Ekosistem mangrove Hasil dan Pembahasan
Dengan luas ekosistem tersebut dapat memberikan sumbangsi besar bagi produktivitas primer di kawasan, terutama bagi kepentingan sumber daya
perikanan sebagai tempat makan dan memijah serta lindung bagi hewan-hewan
lainnya. Produksi primer bersih ekosistem mangrove telah diperkirakan 218 ± 72 Tg C tahun Bouillon et al, 2008, mangrove merupakan salah satu ekosistem
yang memiliki bioma yang paling produktif di bumi, sehingga sangat penting untuk ekosistem ini dikelola secara berkelanjutan.
Aktivitas masyarakat kawasan sering memanfaatkan ekosistem ini bagi kepentingan pemenuhan pembangunan perumahan kayu untuk bangunan
maupun sebagai sumber protein hewan, karena menyediakan berbagai sumber daya perikanan seperti ikan, kerang-kerangan maupun fauna darat lainnya yang
dapat dimanfaatkan. Sejalan dengan tingkat pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat pada
ekosistem mangrove, Walters, at al., 2008, menjelaskan bahwa tekanan penduduk biasanya terbesar sepanjang pantai, sehingga sedikit mengejutkan
bahwa pengaruh manusia terhadap hutan mangrove di dunia sangat signifikan terhadap pertumbuhan mangrove. Ekosistem mangrove telah terdegradasi dalam
skala yang mengkhawatirkan selama empat dekade terakhir Valiela et al, 2001; Duke et al, 2007, namun kawasan ekosistem ini tetap merupakan sumber penting
dari kayu dan produk makanan bagi masyarakat pesisir di daerah tropis Balmford et al
, 2002. Keanekaragaman jenis mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara
cukup tinggi, hal ini terlihat dengan ditemukannya sebanyak 22 jenis mangrove yang tersebar pada 7 pulau di kawasan ini. Terdapat 3 jenis mangrove yang
ditemukan pada seluruh pulau di kawasan diantaranya Rhizophora apiculata, R. Stylosa
dan Bruguiera gymnorrhiza dengan tingkat kehadiran sebesar 9,86, sedangkan terdapat 7 jenis yang kehadirannya sangat jarang di kawasan Tabel
12. Kondisi ini menunjukkan bahwa ke 3 jenis tersebut sangat cocok untuk tumbuh dan berkembang pada susbtrat dikawasan, sehingga untuk kepentingan
rehabilitasi ekosistem, maka 3 jenis dimaksud sangat potensial untuk dikembangkan.
Tabel 12 Jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada setiap pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara
1 2
3 4
5 6
7 1
Rhizophora apiculata J
J J
J J
J J
7
100,00
2 R. stylosa
J J
J J
J J
J 7
100,00
3 R. mucronata
J J
J J
4
57,14
4 Ceriops tagal
J J
J J
J J
6
85,71
5 Bruguiera gymnorrhiza
J J
J J
J J
J 7
100,00
6 B. parviflora
J J
J J
J J
6
85,71
7 B. cylindrica
J J
J 3
42,86
8 J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
J J
Pul a u Tota l
Jenis Mangrove No
Keterangan :
1 = P. Enu
3 = P. K. Selatan
5 = P. Mar
7 = P. Marjinjin
2 = P. Karang
4 = P. Jeh
6 = P.Jeudin
Restorasi ekosistem mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara ke keadaan asli sangat penting untuk dilakukan, mengingat beberapa aktivitas
penebangan hutan mangrove untuk kepentingan kayu rumah dan kayu api sering dilakukan. Rehabilitasi untuk memulihkan beberapa fungsi ekosistem sangat tepat
ketika ekosistem mangrove dikawasan ini telah mengalami beberapa perubahan sehingga proses normal dari suksesi sekunder atau pemulihan alami dari
kerusakan terhambat dalam beberapa cara. Restorasi mangrove semakin dipraktekkan di banyak bagian dunia Kairo
et al , 2002. Hutan bakau telah direhabilitasi untuk mencapai berbagai tujuan,
misalnya untuk tujuan komersial dan untuk tujuan perikanan yakni mengembalikan habitat satwa liar untuk tujuan penggunaan masyarakat, atau
tujuan perlindungan garis pantai Walters, 2008. Sudah ada banyak pengetahuan dan pengalaman dalam rehabilitasi mangrove dengan cara buatan di seluruh dunia
Field, 1998 maupun di Indoneisa. Namun, banyak dari usaha ini dilakukan tanpa
mempertimbangkan pengalaman dan pelajaran dari proyek-proyek serupa, mengakibatkan duplikasi usaha dan pemborosan sumber daya Elster, 1999; Kairo
et al , 2002.
Kehadiran masing-masing jenis mangrove berbeda pada setiap pulau, dengan jenis terbanyak ditemukan di Pulau Mar sebanyak 13 jenis 59,09 jenis,
selanjutnya Pulau Jeudin sebanyak 12 jenis 54,55, Pulau Jeh sebanyak 11 jenis 50.00, Pulau Kultubai Selatan sebanyak 10 jenis 45,45, Pulau Karang dan
Pulau Marjinjin masing-masing sebanyak 9 jenis 40,91 serta jumlah jenis tersedikit ditemukan di Pulau Enu sebanyak 7 Jenis 31,82.
Berdasarkan jumlah genus dan famili dari ekosistem mangrove yang ditemukan di kawasan, maka jumlah genus terbanyak ditemukan di tiga pulau
yakni Pulau Karang, Pulau Mar, dan Pulau Jeudin sebanyak 8 genus sedangkan terkecil dijumpai pada Pulau Kultubai Selatan. Jumlah famili terbanyak ditemukan
pada Pulau Jeh sebanyak 7 famili, sedangkan famili terendah ditemukan pada Pulau Kultubai Selatan dan Pulau Marjinjin. Perbedaan jumlah jenis, genus dan
famili memberikan jastifikasi kuat bahwa ekosistem mangrove di kawasan ini cukup beragam.
Nilai kerapatan mangrove pada Pulau Mar adalah yang tertinggi dibandingkan dengan kerapatan jenis pada pulau-pulau lainnya yakni sebesar 2
individum
2
sedangkan 6 pulau lainnya memiliki nilai kerapatan sebesar 1 individum
2
. Diameter rata-rata tumbuhan mangrove untuk kategori pohon tergolong kecil, tetapi masih ditemukan pohon mangrove berukuran besar yaitu
mencapai 63,0 cm untuk jenis Sonneratia alba. Selain itu, jenis mangrove yang memiliki diameter pohon terkecil adalah Aegiceras corniculatum. Untuk kategori
sapihan, jenis mangrove yang memiliki diameter terkecil yaitu Rhizophora stylosa dan jenis mangrove dengan diameter terbesar adalah Sonneratia alba.
Data yang telah diuraikan memberi indikasi bahwa bila terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap ekosistem mangrove maka dibutuhkan waktu yang
cukup lama untuk pemulihannya karena jumlah tegakan untuk kategori sapihan hanya sekitar 50, walaupun jumlah tegakan untuk kategori anakan jauh lebih
besar dari tegakan untuk kategori pohon dan sapihan. Faktor lain yang juga akan
memberikan kontribusi terhadap lambatnya pemulihan yaitu ukuran pulau yang kecil dan mudah rapuh bila mengalami tekanan, disertai struktur substrat dasar
yang belum mencapai kematangan akibat secara geologis pulau-pulau kecil di kawasan masih dalam perkembangan.
Akan tetapi sesuai data yang tersedia menunjukkan bahwa pemulihan jenis mangrove Bruguiera gymnorrhiza agak cepat karena jumlah tegakan untuk
kategori sapihan mencapai 76 dari jumlah tegakan untuk kategori pohon. Karena jumlah tegakan untuk kategori anakan yang besar, maka dapat dikatakan bahwa
komunitas mangrove di kawasan memiliki kecenderungan untuk berkembang bila dikelola secara baik, dan tidak mengalami tekanan antropogenik.
Aktivitas pemanfaatan sumber daya pada ekosisten mangrove oleh masyarakat sering dilakukan, walaupun tingkat efektivitas dan dampaknya belum
dapat terukur dengan jelas pada saat penelitian ini. Secara keseluruhan rata-rata aktivitas pemanfaatan pada kawasan ini mencapai 77,14, mencakup 5 aktivitas,
2 diantaranya adalah aktivitas yang dilakukan diseluruh pulau yakni penangkapan fauna darat dan penangkapan kepiting bakau, sedangkan kegiatan penebangan
kayu mangrove adalah aktivitas terendah yang berlangsung di 3 pulau Tabel 13. Ekosistem mangrove Pulau Jeh dan Mar mendapat tekanan terbanyak
akibat aktivitas masyarakat adalah, sedangkan tekanan terendah pada Pulau Enu dan Pulau Karang. Rendahnya tingkat tekanan ini diduga karena faktor jarak atau
akses untuk mencapai ke dua pulau ini yang membutuhkan energi baik waktu maupun bahan bakar yang lebih dibandingkan dengan ke-lima pulau lainnya.
Melalui keberadaan ekosistem mangrove, baik luasan ekosistem, nilai kerapatan dan keragaman jenis, telah memberikan sumbangsi yang berarti bagi
keberadaan sumber daya perikanan. Produksi perikanan merupakan nilai utama dari ekosistem mangrove yang dipasarkan. Kontribusi ekosistem mangrove dalam
satu hektar dapat memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat sebanyak 7 orang setiap tahunnya Chan et al., 1993; Singh et al., 1994. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa dengan luasan mangrove pada kawasan konservasi Aru Tenggara seluas 19,24 km2 1.924 ha, maka ekosistem ini akan menyumbangkan
protein hewani kepada masyarakat kawasan konservasi Aru Tenggara sebanyak
13.465 orangtahun. Hal itu berarti dengan merujuk pada data jumlah penduduk Kecamatan Aru Tengah Selatan dan Kecamatan Aru Selatan Timur dengan total
penduduk sebanyak 10.285 jiwa, maka kontribusi pelayanan dari ekosistem mangrove telah melebihi jumlah total penduduk di 2 kecamatan.
Tabel 13 Aktivitas pemanfaatan pada ekosistem mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara.
1 2
3 4
5 6
7 1
Penangkapan fauna darat
7 100,00
2 Penebangan Kayu
3
42,86 3
Penangkapan ikan
5 71,43
4 Pengambilan Kerang
5
71,43 5
Penangkapan kepiting bakau
7 100,00
Total 2
2 4
5 5
4 5
5 Persentase
40,00 40,00
80,00 100,00
100,00 80,00
100,00 7
77,14 No
Aktivitas Pemanfaatan Pulau
Total
Keterangan : 1 =
P. Enu 3 =
P. K. Selatan 5 =
P. Mar 7 =
P. Marjinjin 2 =
P. Karang 4 =
P. Jeh 6 =
P. Jeudin
Dukungan mangrove untuk perikanan komersial, rekreasi dan subsistensi didokumentasikan dengan baik Walters, at al., 2008 . Misalnya, 80 dari
semua spesies laut yang bernilai komersial atau rekreasi di Florida-AS, diperkirakan tergantung pada daerah muara ekosistem mangrove untuk beberapa
tahapan dalam siklus hidup mereka Hamilton dan Snedaker, 1984 dalam Walters, at al., 2008. Kontribusi relatif dari mangrove terkait hasil tangkapan
perikanan cukup signifikan seperti yang terjadi di Australia bagian Timur dimana 67 dari seluruh tangkapan komersial dilakukan pada perairan sekitar kawasan
ekosistem mangrove Hamilton dan Snedaker, 1984 dalam Walters, at al., 2008, 49 dari sumber daya ikan demersal di Selat southern Malacca Macintosh,
1982, 30 dari hasil tangkapan ikan dan hampir 100 dari hasil tangkapan udang di negara-negara ASEAN Singh et al., 1994 dalam Walters, at.al., 2008.
2 Kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan pada ekosistem
mangrove Sama seperti pada komponen pembentuk pulau, maka pada ekosistem
mangrove dijumpai 8 komponen utama unsur pembentuk yakni a luas mangrove;
b jenis; c substrat; d sumber daya hayati laut; e sumber daya hayati darat; f habitat hewan langkah; g kerapatan; h biodiversitas ekosistem Gambar 35.
Gambar 35 Kerangka masalah sumber daya perikanan pada ekosistem
mangrove
Komponen-komponen utama dimaksud berdasarkan keberadaanya telah mengalami perubahan baik berupa jumlah jenis dikaji berdasarkan frekwensi
kehadiran, luasan areal, persen tutupan yang bermuara pada kerusakan ekosistem. Kondisi yang sama juga berlaku untuk sumberdaya flora dan fauna yang banyak
mengalami gangguan sehingga menyebabkan berkurang atau hilangnya sumber daya tersebut di pulau. Kegiatan-kegiatan dimaksud meliputi penambangan pasir,
penangkapan satwa lindung darat seperti kus-kus berkantong, burung, biawak, maupun penebangan pohon untuk kepentingan pembangunan perumahan, yang
kesemuanya itu menyebabkan pengurangan luasan ekosistem, rendahnya keragaman sumber daya, serta rusaknya ekosistem. Kerusakan ekosistem
Kondisi eksisting mangrove HubunganPengaruh
mangrove terutama terjadi pada 2 pulau yakni Pulau Enu dan Pulau Jeh, hal ini dianalisis berdasarkan kondisi lahan terbuka yang terdapat pada ke 2 pulau, yang
memberikan indikasi bahwa ada aktivitas pemanfaatan pada kawasan dimaksud, sementara pada 5 pulau lainnya tidak ditemukan.
Tipe permukiman masyarakat di kawasan umumnya adalah sistem rumah gantung yang berjejer sepanjang garis pantai. Untuk melaksanakan pembangunan
sistem gantung ini, maka diperlukan kayu penopang rumah yang kuat dan tahan terhadap air laut, untuk itulah kebanyakan kayu yang digunakan adalah jenis kayu
mangrove Soneratia sp yang diameternya realtif lebih dan lurus sehingga dapat menjadi tiang penyanggah yang kokoh bagi rumah yang dibangun. Menurut
masyarakat, daya tahan kayu ini bisa mencapai 20 - 30 tahun lamanya. Jumlah tiang penyangga sangat tergantung dari besar atau kecilnya ukuran rumah yang
dibangun. Rata-rata untuk ukuran rumah 10 m x 10 m, rata-rata membutuhkan 10 - 20 potong tiang penyangga, sehingga jika ada 100 rumah di kawasan maka akan
membutuhkan kayu mangrove sebanyak 1.500 pohon dengan diameter 10 cm, untuk jangka waktu 20 - 30 tahun lamanya.
Jika di kaji dari lama waktu pergantian, maka waktu tersebut sebenarnya cukup untuk proses pemulihan pada ekosistem mangrove, namun jika dikaji dari
jumlah penggunaan, maka akan sangat berdampak jika pemanfaatanpenebangan berlangsung pada 1 atau 2 kawasan saja, sehingga kemampuan pulih akan sangat
sulit terjadi, bahkan bukan hanya berdampak hanya pada ekosistem mangrove, namun akan pula berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya lain yang hidup
dan berkembang pada ekosistem ini. Itulah sebabnya dalam pengelolaan hendaknya mempertimbangkan kebiasaan masyarakat setempat, sehingga ada
solusi untuk tidak menggunakan kayu dari hutan mangrove tetapi kayu pada lahan darat yang relatif cukup tersedia.
Ekosistem mangrove juga merupakan tempat potensial bagi nelayan penangkap kepiting bakau, yang biasanya menempatkan bubu atau perangkap
mereka di kawasan ini. Kepiting bakau memliki harga yang cukup baik terutama jika jual di Kota Dobo pusat Kabupaten, namun sayangnya nelayan setempat
biasanya menjual pada pedagang pengumpul yang membeli dengan harga relatif
murah yakni Rp. 5000ind. Selain itu ibu-ibu dan anak-anak juga cenderung memanfaatkan kawasan ini untuk melakukan penangkapan terhadap ikan-ikan
kecil dan kerang-kerangan kelompok bivalvia pada ekosistem mangrove pada saat kondisi laut bergelombang dan nelayan sulit untuk mencari ikan. Kegiatan ini
cenderung dilakukan pada pulau-pulau dekat dengan permukiman yakni Pulau Kultubai Selatan, P. Jeh, P. Mar, P. Jeudin dan P. Marjinjin. Secara metodologi
tidak memberikan dampak terhadap kerusakan ekosistem, namun dalam prakteknya terkadang memerlukan berbagai tindakan pengrusakan terutama pada
saat memasang perangkap bubu maupun tempat pendaratan perahu sehingga areal mangrove yang membatasi harus dipotong atau dirusakkan.
Kegiatan penambangan pasir di sekitar ekosistem juga berdampak pada abrasi pantai sehingga pada saat musim gelombang besar, hutan mangrove yang
berada pada pinggiran pantai akan tumbang karena sistem perakarannya tidak mampu menahan gempuran gelombang yang datang, akibatnya luasan ekosistem
menjadi berkurang seiring dengan rusaknya ekosistem. Permasalahan ini jika dibiarkan terus terjadi maka akan berpengaruh
terhadap kelangsungan ekosistem mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara Folke et al, 2004; Kinzig et al, 2006; Reyers et al, 2009, sehingga masyarakat
akan sulit untuk memperoleh sumber daya dan pada gilirannya mereka akan berpindah pada kawasan yang lain Allison dan Hobbs, 2004; Anderies et al,
2006 Salah satu cara untuk dapat mewujudkan kondisi yang lebih baik adalah
melalui proses dinamis yang memperbaiki tingkat kerentanan terhadap perubahan di waktu yang akan datang. Untuk itu diperlukan strategi adaptif yang mampu
memberikan pembaharuan terhadap kelestarian lingkungan tanpa meninggalkan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya.