Metode .1 Metode pengambilan data

pemantauan persepsi, data kesejahteraan, survei kesehatan, survei pendidikan, atau informasi demografi lainnya. Disamping dua kategori di atas, ada kategori data ketiga yang selama ini kurang dikenal tetapi penting untuk diketahuidirekam: Data tata-kelola yang meliputi semua data terkait dengan tata-kelola KKL. Data ini dapat meliputi informasi tentang status hukum dari KKL Surat Keputusan, penunjukkan, pendirian resmi, dan lain-lain, status perencanaan dan zonasi pengelolaan, kerangka kerja bagi badan pengelola, hak dan tanggungjawab, rencana pendanaan berkelanjutan Bovarnick, 2010, analisis pemangku-kepentingan, dan lain-lain. Juga, data pemantauan tata-kelola seperti patroli dan pengawasan termasuk kecenderungan pelanggaran, pemeliharaan papan tanda dan pelampung perbatasan, dan kegiatan-kegiatan lain yang ditujukan untuk meningkatkan dukungan setempat terhadap KKL juga dapat dianggap sebagai data tata-kelola. Untuk melengkapi kartu skor pada langkah-5 pada pedoman ini, perlu sekali dilakukan pengumpulan, sebanyak mungkin, data pemantauan terkait dengan tiga kategori di atas. Pada beberapa kasus mungkin tidak semua data tersedia; tetapi hal ini seyogianya tidak menghambat para peninjau. Tetap mungkin untuk melengkapi kartu skor tanpa informasi lengkap, dan hasilnya tetap sahih selama dapat digunakan untuk memperoleh gambaran dan umpan-balik bagi efektivitas pengelolaan dimana badan pengelola dapat belajar darinya untuk menanggulangi kendala dan kelemahan yang teridentifikasi. Pada kasus lain, para praktisi KKL mungkin data yang tersedia melimpah, tetapi data tersebut belum dianalisis sedemikian rupa untuk memperoleh hasil dan rekomendasi bagi pengelolaan. Sekali lagi, keadaan seperti ini tetap bermanfaat dalam melakukan tinjauan efektivitas pengelolaan, karena ini bisa diidentifikasi oleh peninjau sebagai hal yang perlu ditanggulangi oleh badan pengelola. Menganalisis data secara efektif merupakan tantangan yang sering dihadapi oleh semua KKL di seluruh dunia, terutama ketika cara-cara pemantauan telah diajarkan dan diterapkan sementara cara-cara untuk analisis tidak diajarkan. Bila relevan, hal ini akan teridentifikasi melalui tinjauan dan kemudian dapat ditanggulangi oleh badan pengelola. Langkah- 4 : Membangun dan memelihara database KKL Informasi latar yang telah dikonsolidasikan melalui langkah-2, dan data pemantauan yang telah dikumpulkan melalui langkah-3, idealnya, kemudian disimpan pada sebuah database. Bentuknya bisa berupa kumpulan lembar-kerja Excel atau laporan-laporan terkompilasi. Untuk menjamin bahwa semua berkas yang disimpan dapat dengan mudah dikenali dan diakses oleh pengguna database di masa mendatang, pemberkasan dan pelabelan semua data dan informasi yang dikumpulkan harus dilakukan dengan seksama dan sistematis. Langkah-5 : Melengkapi Lembar Tinjauan Efektivitas Pengelolaan KKL 1 Informasi latar KKL yang akan merekam data dan informasi penting yang tidak muncul pada daftar kartu skor pengelolaan KKL, dan 2 kartu skor pengelolaan KKL keduanya diberikan dalam bentuk berkas MS-Word, dan dalam bentuk berkas salinan-lunak MS-Excel yang melampiri pedoman ini. Tim peninjau dapat melengkapi lembar tinjauan yang tersedia, meski lebih disarankan untuk melakukannya pada salinan yang sengaja dibuat apalagi ketika jumlah salinan pedoman sangat terbatas hanya satu. Kartu skor merupakan sebuah sistem penilaian scoring sederhana mirip dengan yang sudah digunakan pada proses tinjauan efektivitas lainnya Staub Hatziolos, 2003; Pomeroy et al., 2004; White et al., 2006; Germano et al., 2007; Wells Mangubhai, 2007 tetapi sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks di Indonesia Carter et al, 2010. Kartu skor Lampiran 6 terdiri dari lima tabel A sampai E, dengan 14 pertanyaan pada setiap tabel. Untuk melengkapi kartus skor, pengguna harus memberikan tanda X atau √ pada kolom yang sesuai dengan pertanyaan yang tertera, mulai dari Tabel A, Pertanyaan 1 sampai ke Tabel E, Pertanyaan 14, dengan memberikan jawaban salah satu di bawah ini: Ya Y, Tidak T, Tidak Tahu TT, atau Tidak Berlaku TA Jumlah semua pilihan yang tersedia Y, T, TT dan TA akan menghasilkan angka pada bagian akhir kartu skor yang menunjukkan ‘Tingkat Pengelolaan’ Angka Tingkat Pengelolaan tersebut dapat dirangkum menjadi sebagai berikut:  Tingkat Pengelolaan 1 – KKL dimulai  Tingkat Pengelolaan 2 – KKL dikelola secara minimum  Tingkat Pengelolaan 3 – KKL dikelola dengan penegakan aturan  Tingkat Pengelolaan 4 – KKL dikelola secara berkelanjutan  Tingkat Pengelolaan 5 – KKL dikelola dengan kelembagaan berfungsi penuh Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan ketika menjawab pertanyaan pada kartu skor: a Menjawab ‘Tidak Berlaku’ Pilihan jawaban ‘Tidak Berlaku’ menjadi sangat penting karena tidak semua pertanyaan yang diajukan pada kartu skor berlaku bagi semua KKL. Meski kriteria dan indikator yang dikembangkan dipilih secara hati-hati dikaitkan dengan relevansi dan kesesuaiannya dengan beragam jenis KKL dalam hal pendekatan tata-kelola, skala, ukuran dan tantangan yang dihadapi, harus diakui tidak semua pertanyaan berlaku umum bagi semua KKL. Sebagai contoh, bila pengelola KKL memutuskan untuk tidak menggunakan pelampung tambat sebagai penanda batas, tetapi menggunakan tanda-tanda alam di darat untuk menentukan batas-batas KKL dan menjamin ketersediaan kawasan yang sesuai di mana, misalnya, perahu dapat lego jangkar, maka jawaban bagi pertanyaan Tabel B, T12 –‚ Apakah pelampung tambat, tanda danatau tanda batas sudah dipasang?‛ adalah ‘Tidak Berlaku’. Jawaban ‘Tidak Berlaku’ TA seyogianya hanya digunakan ketika pertanyaan tertentu tidak akan pernah diterapkan atau berlaku di suatu KKL selamanya. Sebagai contoh, misalnya jawaban bagi pertanyaan ‘Apakah rencana pengelolaan KKL sudah dibuat?‛ Tabel B, T7 adalah ‘Tidak’, maka jawaban ini menyiratkan bahwa pertanyaan tersebut berlaku bagi KKL tersebut; dalam kasus ini, badan pengelola KKL memang ingin memiliki sebuah rencana pengelolaan di masa depan, tetapi karena badan pengelola belum memilikinya maka jawabannya adalah ‘Tidak’. Selanjutnya sebuah pertanyaan terkait ‚Apakah rencana p engelolaan KKL sudah diterima oleh masyarakat setempat?‛ juga diajukan Tabel B, T9; bagaimana tim peninjau akan menjawab pertanyaan ini. Untuk menjawabnya kita harus berhati-hati karena jawaban yang diberikan seyogianya bukan ‘Tidak Berlaku’ karena KKL tidak punya sebuah dokumen rencana pengelolaan, bagaimana mungkin rencana tersebut diterima oleh masyarakat setempat?. Mengacu kepada jawaban sebelumnya Tabel B, T7, maka jawaban untuk pertanyaan ini seyogianya adalah ‘Tidak’ – karena suatu saat di masa mendatang badan pengelola memang ingin menawarkan rencana pengelolaan kepada masyarakat setempat, tetapi dalam contoh ini belum dilakukan. Dalam penghitungan skor tingkat p engelolaan, jawaban ‘Tidak Berlaku’ TA tidak akan dilibatkan dimana untuk setiap jawaban ‘TA’ akan secara otomatis mengurangi jumlah total pertanyaan yang dijadikan denominator penyebut dalam persamaan untuk menentukan persen skor. Ini untuk memungkinkan perbandingan antar KKL yang adil sesuai dengan aspek-aspek tata-kelola, biofisik dan sosio-ekonomi pengelolaan dari masing-masing KKL. b Menjawab ‘Tidak Tahu’ Jawaban ‘Tidak Tahu’ TT dapat diberikan kapan saja ketika tim peninjau tidak tahu dan tidak dapat menemukan jawaban bagi suatu pertanyaan. Jawaban TT, adalah jawaban yang penting sifatnya. Jawaban ‘Tidak Tahu’ akan diperlakukan sama dengan ja waban ‘Tidak’ T pada saat melakukan penghitungan persentase Tingkat Pengelolaan, dan oleh karenanya jawaban- jawaban ‘Tidak Tahu’ perlu dicermati dengan serius. 7.2.2 Metode analisis data Untuk menentukan Tingkat Pengelolaan KKL seperti yang disinggung sebelumnya, dilakukan penghitungan dengan cara berikut: a Pertama-tama kita menentukan skor setiap tabel dalam bentuk persentase atau proporsi dari hasil pengisian kartu skor dan penjumlahan yang sesuai. Misal, sebagai contoh, dari 14 pertanyaan yang tercantum pada Tabel A:  11 memperoleh jawaban ‘Ya’ Y;  1 memperoleh jawaban ‘Tidak’ T;  1 memperoleh jawaban ‘Tidak Tahu’ TT; dan  1 memperoleh jawaban ‘Tidak Berlaku’ TA lihat Tabel 3; maka hasil yang diperoleh bukanlah persentase atau proporsi 11 jawaban ‘Ya’ terhadap 14 pertanyaan yang tercantum, tetapi persentase atau proporsi 11 jawaban ‘Ya’ terhadap 13 pertanyaan. Hal ini dikarenakan 1 pertanyaan memperoleh jawaban ‘Tidak Berlaku’ sehingga dari 14 pertanyaan yang tercantum harus dikurangi 1 agar pertanyaan yang relevan dapat digunakan dalam perhitungan. Hasilnya adalah 1113 dalam bentuk persentase yaitu 84,6 lihat Tabel 33 untuk melihat uraian terinci dari proses penghitungan. Tabel 33 Contoh penghitungan persentase untuk menentukan Tingkat Pengelolaan KKL b Selanjutnya setiap tabel juga mengalami proses yang sama untuk memperoleh persentase skor dari masing-masing tabel tersebut. Perlu ditekankan di sini bahwa semua pertanyaan harus dijawab dengan salah satu jawaban yang tersedia, apakah ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Tidak Tahu’ atau ‘Tidak Berlaku’. Bila ada yang tidak dijawab, ini akan mengganggu penghitungan yang dilakukan Tabel 34. Tabel 34 Contoh hasil penghitungan semua tabel untuk menentukan tingkat pengelolaan c Hasil yang disajikan pada Tabel 34 di atas, kemudian ditampilkan ke dalam bentuk grafik Gambar 60. Gambar 60 Tampilan grafis pemeringkatan tingkat pengelolaan d Tingkat Pengelolaan KKL ditentukan berdasarkan persentase skor manapun yang sama atau lebih dari 75 persen. Tingkat ambang 75 ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa bila suatu KKL sudah mencapai atau lebih dari tingkatan ini maka KKL tersebut dianggap telah mencapai hasil-hasil positif yang diinginkan atau, ringkasnya, memang layak untuk disebut memiliki efektivitas pengelolaan setingkat tersebut. Pada contoh di atas, jelas bahwa KKL yang ditinjau masih berada pada Tingkat Pengelolaan 1 Tabel 35 karena hanya ada satu yang memiliki persentase skor di atas 75. Tabel 35 Tabel tingkat pengelolaan di kawasan konservasi Aru Tenggara Catatan penting: • Bila semua persentase skor kurang dari 75 maka Tingkat Pengelolaan KKL tersebut dikategorikan sebagai Tingkat Pengelolaan 1 atau KKL dimulai. • Penting untuk dicatat bahwa meski skor yang diperoleh adalah 75 tidak berarti bahwa pengelolaan efektif sudah dicapai dengan ‘sempurna’ tetapi masih ada bagian-bagian yang harus dicapai untuk mencapai standar efektivitas yang ideal yaitu, 25 bagian yang belum dilaksanakan. Selain penghitungan Tingkat Pengelolaan di atas, kartu skor terlampir juga memungkinkan tim peninjau untuk menghitung peringkat Efek Konservasi EK. Peringkat ini bertujuan untuk memberi informasi kepada badan pengelola KKL tentang dampak positif konservasi terukur dari KKL yang dikelolanya. EK hanya terfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang secara spesifik terhubung dengan hasil- hasil kegiatan terkait konservasi yang terukur pada suatu KKL, dan memberikan skor peringkat yang sangat berguna bagi para pengelola KKL untuk mengkaji kerja-kerja yang dilaksanakan oleh badan pengelola, proses prioritisasi, dan keberhasilan akhir. Untuk menghitung peringkat Efek Konservasi, beberapa pertanyaan pada kartu skor telah diberi ‘bobot’ berdasarkan salah satu kriteria diadaptasi dari Kapos et al., 2009: • Kegiatan Implementasi IK • Keluaran K • Hasil H • Efek Konservasi EK Untuk menghitung persentase bagi penentuan peringkat Efek Konservasi EK, digunakan rumus sederhana berikut: N D x 100 Keterangan: N = jumlah pertanyaan EK dengan jawaban ‘Ya’ D = jumlah total pertanyaan EK yang relevanberlaku di suatu KKL. Persentase yang dihasilkan ini berkorelasi langsung dengan salah satu dari empat peringkat Efek Konservasi berikut: Peringkat - 1 Efek Konservasi belum terukur atau teramati, atau teramati pada kurang dari seperempat 25 bidang-bidang efek yang diketahui. Peringkat - 2 Efek Konservasi terukur atau teramati pada lebih dari seperempat 25 tetapi kurang dari sebagian 50 bidang-bidang efek yang diketahui. Peringkat - 3 Efek Konservasi terukur atau teramati pada lebih dari setengah 50 tetapi kurang dari tiga perempat 75 bidang-bidang efek yang diketahui. Peringkat - 4 Efek Konservasi terukur atau teramati pada lebih dari tiga perempat 75 bidang-bidang efek yang diketahui. Untuk memberikan jastifikasi terhadap penilaian efektivitas, maka tahapan analisis lanjut dilakukan dengan pendekatan Indeks Efektivitas Kawasan Konservasi IEKK yang ditetapkan berdasarkan kategori Biofisik B, Sosial Ekonomi SE dan Tata Kelola TK dengan menggunakan formula yang dikembangkan berdasarkan formula dasar menurut Poveda et al.,1996 dalam Morenoa et al., 2001, sebagai berikut: .................................................................. 1 Keterangan : IEKK = Indeks Efektivitas Kawasan Konservasi 3 = Jumlah kategori penilaian kawasan konservasi I = Kategori Biofisik J = Kategori Sosial-Ekonomi k = Kategori Tata Kelola n, o, p, = Tabel penilaian Tabel A = 1; Tabel B = 2; Tabel C = 3 dan Tabel D = 4 IE ijk = Indeks Efektivitas untuk kategori Biofisik B, Sosial Ekonomi SE dan Tata Kelola TK Selanjutnya IE ijk diperoleh dari ........................................................................... 2 Dimana : ............................................................................... 3a . ........................................................................... 3b ............................................................................ 3c Y = Jawaban “Ya” untuk masing-masing pertanyaan pada setiap kategori T = Jawaban “Tidak” untuk masing-masing pertanyaan pada setiap kategori Nilai indeks ditetapkan dalam 5 selang kelas, sehingga tingkat efektivitas yang terukur dapat dikategorikan sebagai tidak efektif, kurang efektif, efektif, cukup efektif dan sangat efektif 1-5. Lebih jelas tingkat kategori penilaian dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Peringkat Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Aru Tenggara BOBOT NILAI TINGKAT EFEKTIVITAS WARNA 5 0,8-1,00 Sangat efektif Emas 4 0,6-0,89 Cukup efektif Biru 3 0,4-0,59 Efektif Hijau 2 0,2-0,39 Kurang Efektif Kuning 1 0,0-0,19 Tidak Efektif Merah 7.3 Hasil dan Pembahasan 7.3.1 Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Keberhasilan kawasan lindung di dasarkan pada asumsi bahwa kawasan lindung dikelola untuk melindungi nilai-nilai yang dikandungnya. Agar efektif, pengelolaan harus mempertautkan kebutuhan-kebutuhan spesifik dari lokasi, dengan pertimbangan bahwa masing-masing kawasan lindung mempunyai karakteristik ekologi, sosial dan budaya serta beragam tekanan-tekanan dan pemanfaatannya. Untuk mencapai pengelolaan yang efektif bukan pekerjaan yang mudah, dibutuhkan perbaikan dan penetapan tujuan pengelolaan dan sistem pengaturan yang cocok, sesuai dengan keberadaan sumber daya dan lingkungan serta penetapan strategi dan proses implementasi yang tepat. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumber daya yang ada bagi masa depan. Data Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan KKJI menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2011 terdapat sekitar 15,4 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Kawasan konservasi perairan maupun kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkembang di Indonesia niscaya tidak hanya terhenti dalam capaian luasan semata, namun pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan yang efektif adalah harapan yang senantiasa terus digapai perwujudannya, hingga pada akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat sebagai benefit pengelolaan kawasan konservasi yang lestari. Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan melalui berbagai upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: perlindungan habitat dan populasi biota perairan, rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi, serta pengembangan kerjasama danjejaring konservasi. Program inisiasi dalam rangka percepatan pengelolaan kawasan konservasi perairan untuk mendukung perikanan berkelanjutan dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu juga terus dilakukan baik berupa pilot project program percontohan maupun melalui dukungan tugas pembantuan, dekonsentrasi, dana alokasi khusus, kemitraan, kerjasama serta komitmen pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Program-program percontohan dalam rangka mendorong upaya pemanfaatan kawasan konservasi untuk perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis konservasi maupun aspek pemanfaatan lainnya terus ditingkatkan.

7.3.2 Uraian dan status kawasan

Kawasan konservasi Aru Tenggara merupakan salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 27Kpts-II1991 dengan status sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara. Kawasan CAL Aru Tenggara ditetapkan berdasarkan hasil survei potensi biofisik maupun sosial ekonomi yang mengisyaratkan bahwa kawasan ini harus dipertahankan keberadaannya karena memiliki potensi sumber daya endemik yang harus dilindungi yakni penyu dan dugong serta buaya, yang didukung dengan keragaman ekosistem yang cukup beragam dan kompleks. Selain pertimbangan parameter biofisik yang telah dijelaskan di atas, maka pertimbangan lain yang juga dipakai dalam menentukan kawasan ini sebagai kawasan konservasi yakni: a. Kawasan ini merupakan kawasan yang didalamnya terdapat 7 pulau, dimana 3 pulau diantaranya adalah pulau terluar perbatasan antara pemerintah Indoensia dan Australia. Tiga pulau yang dimaksudkan ialah Pulau Enu, Pulau Karang dan Pulau Kultubai Selatan. b. Kawasan yang terdiri dari 7 pulau ini merupakan pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil dan tidak berpenghuni. c. Di antara ketujuh pulau ini, dua pulau diantaranya yakni Pulau Enu dan Pulau Karang merupakan pulau sejarah bagi seluruh masyarakat Aru karena merupakan tempat asal mereka dahulu ceritera sejarah masyarakat Aru sedangkan 5 pulau lainnya merupakan pulau sejarah bagi beberapa desa sekitar yakni desa Longgar, desa Apara dan desa Bemun. d. Kawasan konservasi Aru Tenggara berhadapan langsung dengan daerah penangkapan fishing ground di laut Arafura. Kawasan konservasi Aru Tenggara pada saat ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut CAL dikelola sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan dengan badan pengelola di tingkat Provinsi dikenal dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA. Selanjutnya dikembalikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009 dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63Men2009 dengan perubahan status sebagai Suaka Alam Perairan SAP Aru Tenggara, dengan posisi geografis pada Tabel 37. Tabel 37 Koordinat batas derajat-menit-detik kawasan konservasi Aru Tenggara Kawasan konservasi Aru Tenggara dengan luasan 114.000 Ha, didominasi oleh zona perairan terbuka sebesar 85,06, dan terendah pada zona ekosistem hutan mangrove dengan persentase sebesar 1,69 Tabel 38. Kondisi ekosistem yang ada di kawasan konservasi Aru Tenggara memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi tempat hidup, makan, tempat memijah bagi berbagai sumber daya yang ada di dalamnya. Tabel 38 Luas zona di kawasan konservasi Aru Tenggara Luas Zona 1 2 3 4 5 6 7 Total Km2 Titik Derajat o Menit Detik Derajat o Menit Detik 1 6 49 4 134 41 24 2 6 51 32 134 46 9 3 6 58 13 134 49 18 4 7 2 18 134 44 14 5 7 8 15 134 29 15 6 7 7 2 134 23 31 7 6 56 5 134 27 13 8 6 54 5 134 29 26 Lintang contoh: U 9 o 41’ 11.4” Bujur contoh: T 123 o 30’ 25.4” Luas Pulau 14,38 3,30 0,82 6,68 1,79 16,18 5,69 48,85 4,28 Mangrove 10,01 2,10 0,06 2,84 1,04 1,20 1,98 19,24 1,69 Lamun 0,86 2,80 1,31 0,74 9,72 50,02 7,89 73,34 6,43 Karang 3,41 4,94 2,00 1,99 5,00 6,53 5,05 28,92 2,54 Perairan Terbuka 169,65 85,06 Total 1140 100 Keterangan 1 = Pulau Enu 3 = P. Kultubai Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin 2 = P. Karang 4 = Pulau Jeh 6 = P. Jeudin

7.3.3 Peringkat pengelolaan kawasan

Hasil analisis lembar kerja elektronik efektivitas pengelolaan diperoleh hasil bahwa kawasan konservasi Aru Tenggara masih berada pada tingkat pengelolaan 1 atau baru dimulai. Kesimpulan ini didasarkan atas hasil analisis bahwa nilai skor pada tingkat 1 telah mencapai 78,57, dimana ketentuan dari lembar analisis elektronik ini mengisyaratkan bahwa jika skor manapun yang sama atau lebih dari 75, maka tingkatan tersebut telah mencapai hasil-hasil positif yang diinginkan Tabel 39. Tabel 39 Hasil perhitungan penentuan tingkat pengelolaan kawasan Hasil perhitungan juga memperlihatkan bahwa tingkat pengelolaan 2 telah mencapai 28,57, tingkat pengelolaan 3 telah mencapai 7,14, sedangkan tingkat pengelolaan 4 dan 5 belum memiliki nilai yakni 0. Dengan demikian berdasarkan ketentuan nilai ambang yang sama atau lebih dari 75, maka dapatlah dikatakan bahwa pada tingkat pengelolaan 2, 3, 4, dan 5 belum mencapai hasil-hasil yang positif yang diinginkan Gambar 61. Dari nilai-nilai skor yang diperoleh maka baik tingkat pengelolaan 1 sampai tingkat pengelolaan 5 masih memiliki komponen-komponen yang belum dilaksanakan dan atau diimplementasikan, untuk maksud itulah menjadi perlu Hasil Tabel Total ‘Ya’ Terekam Total ‘Tidak’ Terekam Total ‘Tidak Tahu’ Terekam Total ‘Tidak Berlaku’ Terekam Proporsi Jawaban ‘Ya’ = Total ‘Ya’ terekam Total skor yang diharapkan - TA x 100. TABEL A Tingkat 1 11 3 78,57 TABEL B Tingkat 2 4 10 28,57 TABEL C Tingkat 3 1 12 1 7,14 TABEL D Tingkat 4 13 1 0,00 TABEL E Tingkat 5 9 5 0,00