Pendahuluan Model pengelolaan perikanan melalui penentuan efektivitas dan zonasi berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru

Sumber daya perikanan merupakan salah satu kekayaan yang ada di perairan. Sumber daya perikanan mempunyai karakteristik yang unik yaitu merupakan sumber daya milik umum Common Property. Akibatnya pemanfaatan sumber daya ikan bersifat open acces artinya semua orang dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah perairan tanpa adanya pembatasan. Dengan karakteristiknya tersebut maka dalam pemanfaatannya dapat mengalami overfishing yaitu tingkat upaya tangkap ikan meningkat hingga mengganggu keseimbangan populasi ikan yang berakibat tidak lagi diperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya ikan tersebut Nielsen et al, 2004. Jika hal ini terus berlanjut maka akan berdampak negatif pada perekonomian masyarakat. Perairan Aru Tenggara ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi laut pada tahun 1993 dengan status Cagar Alam Laut CAL bertujuan untuk melindungi sumber daya endemik yakni penyu dan ekosistem yang ada di dalamnya. Kawasan dengan luas 114.000 hektar atau 1.140 km 2 ini, merupakan areal yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, karena hampir 97 masyarakat adalah nelayan yang menggantungkan ekonomi keluarga mereka di kawasan dimaksud. Dengan ditetapkannya kawasan ini sebagai areal perlindungan maka secara langsung membatasi hak-hak tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya, terutama jika status kawasan sebagai Cagar Alam dengan kategori Ib, maka kawasan terhindar dari berbagai bentuk pemanfaatan apapun, kecuali bagi kepentingan penelitian dan pengembangan kawasan. Sementara peran utama kawasan lindung adalah konservasi keanekaragaman spesies, konservasi keanekaragaman hayati, bersama dengan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, dapat dan harus menghasilkan manfaat kepada masyarakat sekitar Brodziak et al., 2005; Worm et al., 2009. Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati, 2008 menyatakan bahwa kawasan lindung adalah alat penting untuk konservasi biologi dan ekosistem sebagai pemasok sumber daya dan jasa lingkungan sehingga akan membentuk landasan strategi pembangunan berkelanjutan. Namun sering mengalami kendala dalam pencapaian tujuan dimaksud karena masyarakat semakin terisolasi karena pada saat yang sama, masyarakat berjuang untuk menemukan tanah dan sumber daya yang untuk bertahan hidup, khususnya di negara berkembang Straede and Treue, 2006. Konservasi dan pengentasan kemiskinan perlu ditangani bersama-sama melalui kerjasama yang antara masyarakat dan pemerintah demi pencapaian tujuan dari konservasi di seluruh dunia Adams et al., 2004;. Wittmayer and Büscher, 2010. Untuk memastikan bahwa kawasan lindung mencapai kerjasama lokal dan bertahan ke masa depan, pemahaman yang mendalam tentang dinamika sosial- ekonomi yang menentukan penggunaan saat ini dan masa depan sumber daya lahan di dalam dan sekitar kawasan lindung sangat penting DeFries at al., 2007. Konservasi berbasis masyarakat dan pengembangan telah menjadi paradigma yang berlaku bagi organisasi konservasi selama 20 tahun terakhir Browder 2002; Gjertsen 2005. Dengan dikembalikannya pengelolaan kawasan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009, maka status kawasan ini telah berubah menjadi Suaka Alam Perairan SAP, sehingga pengelolaan kawasan harus didasarkan atas sistem zonasi, yang berarti ada ruang bagi masyarakat kawasan untuk memanfaatkan kawasan dimaksud bagi kepentingan ekonomi mereka yakni pada zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya dan ekosistemnya. Kawasan konservasi dalam penetapan peruntukan ruang zonasi memerlukan kajian yang mendalam tentang kondisi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi serta tata kelola perikanan, yang diharapkan dapat dipadukan untuk menentukan kapasitas fungsi ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampungnya. Untuk maksud itulah maka tujuan penulisan pada Bab 4 adalah mengkaji karakteristik dan status sumber daya perikanan di kawasan konservasi Aru Tenggara, sehingga dapat dipakai dalam evaluasi kawasan secara menyeluruh serta mendukung dalam penyusunan rencana zonasi pengelolaan perikanan di kawasan.

4.2 Metode Penelitian

4.2.1 Metode pengumpulan data

Data topografi, geologi, tanah, iklim, diperoleh melalui penelusuran data sekunder berupa hasil-hasil penelitian atau laporan dari dinas atau instansi pemerintah di Kabupaten Kepulauan Aru. Basis data biofisik dan lingkungan terbagi dalam 5 sub-basis data, yaitu 1 ekosistem pulau, 2 ekosistem mangrove, 3 ekosistem padang lamun, 4 terumbu karang dan 5 ekosistem perairan terbuka. Untuk ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang serta komponen ikan karang maupun ikan pelagis dan demersal, data yang akan ditampilkan meliputi data spasial dan data atribut. 1 Ekosistem pulau Data ekosistem pulau mencakup luas pulau, panjang garis pantai, luas vegetasi darat, luas vegetasi mangrove, pasir pantai, hutan lahan kering, tepat bertelur penyu, rawa, danau, dilakukan melalui analisis interpretasi citra satelit Landsat ETM-7 Tahun 2010, yang disesuaikan dengan hasil tinjauan lapangan. Termasuk luas ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang maupun luas dari ekosistem perairan terbuka dalam hal ini luas daerah penangkapan untuk ikan pelagis dan demersal. Untuk bisa diinterpretasikan secara akurat, citra hasil pemotretan satelit diproses melalui tahap pemrosesan awal pre-processing, penajaman tampilan display and enhancement dan ekstraksi informasi information extraction. Pemrosesan awal ditujukan untuk memperbaiki citra satelit dari kesalahan geometris, radiometris maupun atmosferis. Penajaman tampilan dimaksudkan untuk mempermudah interpretasi obyek-obyek yang diliput satelit. Hal ini biasanya sangat perlu apabila data citra diinterpretasi secara manual atau visual. Penajaman ini dilakukan dengan memperbesar kontras tampilan sehingga mempertajam perbedaan antar obyek. Ekstraksi informasi merupakan tahap akhir dari analisis citra satelit. Hal ini dilakukan baik secara visual dengan mengamati citra dan melakukan pembatasan obyek delineasi maupun secara digital dengan mengelompokkan pixel berdasar nilai spektralnya pada berbagai saluran band. Klasifikasi secara digital diawali dengan memilih sampel pixel yang dianggap mewakili masing- masing kelas penutupan lahan yang dimaksud. Apabila pemilihan sampel ini dilakukan oleh peneliti maka disebut supervised classification, namun apabila pemilihan sampel pixel dilakukan oleh komputer dengan kaidah statistik maka disebut unsupervised classification. Pemilihan sampel ini menghasilkan selang kelas spektral yang digunakan untuk mengelompokkan semua pixel yang ada. Proses klasifikasi dan pemetaan penutup lahan dapat dilakukan secara visual, digital, atau kombinasi keduanya Mather, 2004 Hasil pengelompokan ini adalah kelas-kelas penutupan lahan yang harus diuji kesesuaiannya. Uji ini dapat dilakukan dengan mengecek hasil interpretasi dengan kondisi lapangan ground check, maupun mengecek dengan data sekunder yang lain, misalnya peta atau foto udara. Setelah melalui cek kesesuaian, citra dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk menyusun peta tematik penutupan vegetasi. Selain data hasil interpretasi data citra satelit, data dan informasi yang berhubungan dengan jenis flora dan fauna, sejarah pulau, aktivitas- aktivitas yang berlangsung di pulau serta data lainnya diperoleh melalui wawancara mendalam dengan masyarakat serta penelusuran data sekunder berupa hasil-hasil penelitian sebelumnya. 2 Ekosistem mangrove Pengambilan data ekosistem mangrove dimaksudkan sebagai data dasar dalam menganalisis kondisi eksisting dan perencanaan peruntukan ruang serta kawasan konservasi. Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui struktur dan komposisi dari vegetasi mangrovehutan pantai berdasarkan nilai penting, kerapatan, dan frekwensi kehadiran. Pengambilan data ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan GPS Global Positioning System, alat tulis, tali, meteran dan kamera digital. Studi struktur dan komposisi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode yang merupakan modifikasi dari cara yang digunakan oleh Mueller Dumbois dan Ellenberg 1974. Pada tiap lokasi ditetapkan 3 titik pengambilan sampel yang diharapkan dapat mewakili lokasi tersebut. Selanjutnya pada masing- masing titik sampling tersebut dibuat plot berukuran 10 m x 10 m untuk