1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia tentu saling berinteraksi satu sama
lain. Manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan
sesuatu yang terlintas dalam hati. Namun, lebih jauh lagi bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan
gagasan, pikiran, konsep atau perasaan. Chaer 2011:1 mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu
masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Ilmu yang mengkaji dan menjelaskan tentang bahasa disebut linguistik.
Perkembangan linguistik sangat pesat. Kajian tentang bahasa tidak hanya meliputi satu aspek saja. Pada dasarnya linguistik mempunyai dua bidang besar yaitu
mikrolinguistik dan makrolinguistik Nikelas, 1988:14. Mikrolinguistik adalah bidang yang mengkaji bahasa dari struktur dalam bahasa tersebut, sedangkan
makrolinguistik mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa. Ilmu linguistik tersebut menjadi dasar bagi ilmu-ilmu yang lain,
seperti kesusastraan, filologi, pengajaran bahasa, penterjemahan, dan sebagainya.
Linguistik ditinjau dari faktor-faktor di luar bahasa memiliki beberapa cabang. Salah satunya yaitu ilmu pragmatik. Pragmatik merupakan ilmu yang
mempelajari penggunaan bahasa sesuai konteks situasi tuturan. Rahardi 2003:16 mengemukakan bahwa ilmu pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur
di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Pragmatik mengkaji satuan lingual tertentu secara eksternal. Makna yang dikaji dalam
pragmatik bersifat terikat konteks dan bertujuan untuk memahami maksud penutur. Sejalan dengan pengertian tersebut, banyak hal menarik untuk dikaji
lebih mendalam, khususnya berkaitan dengan bidang kajian pragmatik yaitu kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa.
Berbahasa itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan atau yang sering diucapkan dianggap utama di dalam
bahasa karena lambang yang digunakan berupa bunyi. Fungsi bahasa yang terutama adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam
kehidupan bermasyarakat Chaer, 2011:2. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa setiap individu menggunakan bahasa dengan tujuan tertentu. Salah satunya untuk
menyampaikan maksud kepada orang lain. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat
istiadat, agama, latar belakang sosial, dan profesi yang beragam, sudah tentu memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda pula ketika berkomunikasi.
Ada yang mampu bertutur kata secara halus dengan maksud yang jelas sehingga membuat orang lain berkenan. Namun, tidak sedikit yang kurang memperhatikan
tuturan ketika berkomunikasi.
Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saja belum cukup ketika seseorang berkomunikasi. Masih ada satu kaidah lagi yang perlu
diperhatikan yaitu kesantunan. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penuturpenulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar
atau pembaca Pranowo, 2009:4. Selain bahasa yang santun, dibutuhkan pula mimik, gerak-gerik tubuh, sikap atau perilaku untuk mendukung pengungkapan
kepribadian seseorang. Kesantunan berbahasa adalah bidang kajian pragmatik yang sudah banyak diteliti dan dikaji secara mendalam oleh para peneliti.
Kesantunan berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang baik agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sementara itu, ketidaksantunan berbahasa
merupakan kajian pragmatik baru yang dipahami sebagai penggunaan bahasa yang tidak baik dan seringkali menyinggung perasaan orang lain. Fenomena
pragmatik yang tidak dikaji secara mendalam, tentu tidak akan bermanfaat banyak bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik.
Ketidaksantunan berbahasa dapat dikaji dalam berbagai ranah, yaitu pendidikan, keluarga, dan agama. Ranah keluarga merupakan salah satu bidang
kajian yang menarik untuk diteliti, karena kemampuan berbahasa seseorang tentu berawal dari kebiasaan berbahasa di dalam keluarganya. Sebagaimana sudah
dipaparkan sebelumnya bahwa setiap individu memiliki kemampuan dan karakteristik tersendiri ketika berkomunikasi. Oleh karena itu, kebahasaan yang
mereka gunakan tentu akan berbeda. Strata sosial dalam masyarakat turut mempengaruhi kebahasaan ketika
berkomunikasi. Strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam
masyarakat Bungin, 2006:49. Secara umum, strata sosial dalam masyarakat memunculkan kelas-kelas sosial yang terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu atas
upper class, menengah middle class, dan bawah lower class. Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas
menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok
pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya Bungin, 2006:49-50. Keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan
berkomunikasi yang lebih baik daripada keluarga dengan status sosial rendah. Selain strata sosial yang ada dalam masyarakat, perkembangan zaman
sudah tentu turut mempengaruhi kebahasaan seseorang ketika berkomunikasi. Terlebih ketika profesi tertentu mengakibatkan sifat individualis semakin
menjamur di kalangan masyarakat. Harapan untuk dapat berbahasa secara santun nampaknya akan sulit terwujud jika bertegur sapa saja menjadi aktivitas yang
langka dijumpai dalam masyarakat individualis. Fenomena kebahasaan yang terjadi dalam setiap keluarga tentu berbeda-beda. Fenomena kebahasaan dalam
keluarga petani yang sebagian besar masih hidup dalam kesederhanaan dan tinggal di wilayah yang jauh dari keramaian kota tentu berbeda jika dibandingkan
dengan kebahasaan dalam komunikasi keluarga di lingkungan kraton, keluarga pendidik, keluarga pedagang, dan lainnya.
Petani merupakan salah satu mata pencaharian yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bercocok tanam di sawah atau ladang. Ketika
melakukan aktivitas bercocok tanam, sudah tentu terjadi sebuah komunikasi
antara petani yang satu dengan petani yang lain. Mereka akan saling bertegur sapa, membantu menggarap sawah, melakukan perbincangan, bahkan bergurau.
Kebahasaan dalam komunikasi yang terjadi mungkin ditandai dengan suara yang keras, penggunaan bahasa daerah yang masih khas, dan percakapan yang akrab
atau terdengar ramah. Oleh karena keakraban yang terjalin setiap kali beraktivitas, memungkinkan timbulnya bentuk-bentuk ketidaksantunan dalam berbahasa.
Penggunaan bahasa demikian dengan sendirinya akan terbawa dalam komunikasi di dalam keluarga masing-masing.
Kabupaten Bantul adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Kabupaten Bantul merupakan
kawasan yang identik dengan persawahan. Letak geografis yang demikian tentu menandakan bahwa sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai
petani, baik sebagai pemilik sawah itu sendiri maupun petani sebagai penggarap sawah milik orang lain. Oleh karena itu, Kabupaten Bantul menjadi daya tarik
tersendiri bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam bagaimana ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani. Bertolak dari latar belakang
masalah di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah