Subkategori Marah Woo monyet E7

Untuk mengetahui maksud, dilakukan konfirmasi kepada penutur. Meskipun termasuk dalam subkategori menegaskan, maksud dari tuturan penutur sebenarnya adalah ingin menakut-nakuti mitra tuturnya agar dapat menrubah sifatnya yang pemalu.

4.3.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik

Teori ketidaksantunan yang terakhir dikemukakan oleh Bousfield 2008:3. Ketidaksantunan berbahasa dipahami sebagai, ‘...the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, teori ketidaksantunan berbahasa menurut Bousfield 2008 menekankan bentuk penggunaan tuturan tidak santun dengan maksud selain melecehkan dan menghina mitra tutur dengan tanggapan sekenanya secara sengaja dapat menimbulkan konflik bahkan pertengkaran di antara penutur dan mitra tutur. Dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik, terdapat lima subkategori ketidaksantunan. Berikut pembahasan mengenai wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur yang dipaparkan berdasarkan masing-masing subkategori.

4.3.5.1 Subkategori Marah Woo monyet E7

Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut, sehingga melontarkan umpatan kepada mitra tutur Iso meneng ora? Aku wis dong E9 Konteks tuturan: penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur, bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun Pada kedua tuturan di atas, penutur mengungkapkan amarahnya dengan berbicara ketus dan berteriak. Cara penuturan yang demikian sudah tentu menyiratkan bahwa tuturan yang disampaikan juga tidak santun, terlebih ketika penutur berbicara sembari berdiri dan menatap mitra tutur dengan mata terbelalak. Lebih tidak santun lagi ketika tuturan tersebut disampaikan kepada orang yang lebih tua. Selanjutnya, mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dalam tuturan. Tuturan E7 dan E9 disampaikan dengan intonasi seru yang bernada tinggi. Tuturan tersebut dipersepsi sebagai tuturan yang tidak santun karena penutur didorong rasa emosi ketika menyampaikan tuturannya. Hal itu sejalan dengan penjelasan Pranowo 2009:75 bahwa salah satu gejala penutur yang bertutur secara tidak santun adalah didorong rasa emosi ketika bertutur. Jika ditinjau dari aspek tekanan, tuturan E7 dan E9 disampaikan dengan tekanan keras pada frasa berikut secara berturut-turut, yaitu monyet dan wis dong. Tekanan dalam tuturan penutur berfungsi agar maksud yang diinginkan oleh penutur dapat dengan mudah sampai kepada mitra tuturnya. Namun, kenyataannya tekanan keras pada kedua tuturan itu justru memicu terjadinya konflik antara penutur dan mitra tutur. Lebih lanjut lagi mengenai diksi dan kata fatis. Penggunaan bahasa yang ditemukan pada kedua tuturan tidak santun di atas adalah bahasa populer dan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa. Pilihan kata monyet pada tuturan di atas, termasuk dalam bahasa populer karena secara umum sudah dikenal dan diketahui oleh masyarakat. Namun, umpatan pada tuturan E7 itu sangatlah tidak santun, terlebih ketika dituturkan dengan nada tinggi dan tekanan keras, yang tentunya memancing emosi lawan tutur, sehingga memicu terjadinya konflik. Penggunaan bahasa Jawa pada tuturan E9 juga tidak santun karena terdengar kasar dan menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tuturnya. Pada tuturan E7 terdapat penggunaan kata fatis, yaitu woo yang menegaskan amarah penutur. Penanda ketidaksantunan pragmatik pada kedua tuturan di atas, ditandai berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Partisipan dalam tuturan E7 adalah penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun dan mitra tutur perempuan kelas XII SMK, berusia 19 tahun. Penutur adalah adik dari mitra tutur. Perbedaan usia yang tidak terlampau jauh nampaknya cenderung memunculkan bentuk-bentuk tuturan yang tidak santun. Terlebih, ketika penutur dan mitra tutur menyandang status kakak beradik dalam sebuah keluarga. Lain lagi dengan tuturan E9 yang terjadi antara penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Pada tuturan ini nampak bahwa penutur yang berusia lebih muda sangatlah tidak santun ketika bertutur dengan mitra tuturnya. Lebih lanjut lagi dalam konteks tuturan itu sendiri. Tuturan E7 terjadi ketika penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut. Penutur kemudian melontarkan umpatan kepada mitra tutur. Berdasarkan konteks yang terjadi, diketahui bahwa penutur tidak mampu mengendalikan emosinya. Hanya karena masalah sepele, penutur bahkan melontarkan umpatan yang sangat tidak santun. Konteks tersebut menunjukkan adanya komunikasi yang tidak baik antara penutur dan mitra tutur. Seperti penjelasan Pranowo, 2009:75 bahwa salah satu gejala penutur yang bertutur secara tidak santun adalah didorong rasa emosi ketika bertutur. Begitu juga dengan tuturan E9 yang terjadi ketika penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur, bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun. Berdasarkan konteks tuturan tersebut, nampak bahwa penutur berusaha membangkang ketika diingatkan oleh mitra tuturnya. Penutur juga dinilai tidak santun karena berani berbicara ketus dan kasar kepada orang yang lebih tua. Kedua konteks dalam tuturan-tuturan di atas menunjukkan bahwa tuturan yang disampaikan oleh penutur mengarah pada tuturan yang menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tuturnya. Pembahasan berikutnya mengenai tujuan penutur, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan E7 disampaikan dengan tujuan mengungkapkan amarah penutur akibat tingkah laku mitra tuturnya. Begitu juga dengan tuturan E9 yang bertujuan mengungkapkan amarah kepada mitra tutur yang dinilai terlalu banyak mengatur. Tindak verbal yang terjadi pada kedua tuturan tersebut ialah ekspresif. Tindak perlokusi dari kedua tuturan tersebut adalah terpancingnya emosi mitra tutur, sehingga melontarkan umpatan bahkan membanting pintu. Kedua tuturan tersebut disampaikan untuk menyiratkan maksud tertentu kepada mitra tuturnya. Meskipun tuturan E9 termasuk dalam subkategori marah, maksud yang tersirat di dalamnya ternyata berbeda dengan subkategori atau makna tuturan itu. Pada tuturan E9 penutur menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan kekesalan kepada mitra tuturnya. Berbeda dengan tuturan E7 yang dituturkan dengan maksud mengungkapkan amarah penutur terhadap mitra tutur.

4.3.5.2 Subkategori Kesal