Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts

2.4 Teori-teori Ketidaksantunan

Dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher 2008 seperti yang telah dibahasakan oleh Rahardi 2012 dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga Family Domain ”, nampak bahwa beberapa ahli telah menelaah fenomena baru ini. Berikut pemaparan beberapa ahli mengenai ketidaksantunan berbahasa.

2.4.1 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts

Locher dan Watts berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif negative marked behavior, karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Locher dan Watts juga menjelaskan bahwa ketidaksantunan merupakan alat untuk menegosiasikan hubungan antarsesama a means to negotiate meaning. Lebih lanjut lagi pandangan Locher dan Watts tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘...impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ cf. Locher and Watts, 2008:5. Pengertian teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher dan Watts dapat diilustrasikan dengan situasi berikut. Situasi: Petang hari di serambi rumah, ayah, ibu, dan kakak sedang menunggu adik pulang. Tidak lama kemudian, adik memasuki halaman rumah dan langsung bertemu dengan ayah, ibu, dan kedua kakaknya. Dalam keluarga tersebut sudah disepakati bahwa tidak boleh terlambat saat kembali ke rumah. Jikalau terlambat, harus dengan alasan yang jelas. Kemudian terjadilah percakapan di dalam keluarga tersebut. Wujud tuturan: Adik : “Mas, bapak sama ibu nunggu aku pulang udah dari tadi to?” Kakak 1 : “Udah hampir satu jam. Coba kamu jelasin sana kenapa bisa pulang terlambat” Adik : “Oooohh..” Kakak 2 : “Kamu nggak inget kesepakatan awal gimana? Kita harus pulang ke rumah tepat waktu. Jangan sampe deh bapak sama ibu marah- marah.” Adik : “Haduhh, lupa Mas. Emangnya, Mas juga patuh sama peraturan itu?” Kakak 1 : “Iya dong, itu kan udah jadi kesepakatan bersama.” Dari percakapan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan yang disampaikan oleh penutur adik saat terlambat pulang ke rumah terdengar datar tanpa rasa bersalah. Tuturan itu mengakibatkan mitra tutur 1 kakak 1 dan mitra tutur 2 kakak 2 meresponnya dengan sinis dan kesal. Percakapan di atas menunjukkan bahwa adik menghiraukan komitmen keluarga yang sudah disepakati bersama yaitu tidak boleh terlambat pulang ke rumah. Sebaliknya, penutur adik tanpa merasa bersalah menanggapi teguran mitra tutur dengan berkata Haduhh, lupa mas. Emangnya mas juga patuh sama peraturan itu? Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan keluarga yang sudah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dipahami bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher dan Watts 2008 menitikberatkan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang secara normatif dianggap menyimpang, karena dianggap melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat tertentu.

2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi