Subkategori Marah Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik

Penutur menggunakan kata ‘gembeng’ yang artinya orang yang mudah menangis. Penutur, MT1, dan MT2 perempuan. Penutur berusia 53 tahun, MT1 adalah tamu, dan MT2 berusia 4 tahun. Penutur adalah nenek dari MT2. Tujuan tuturan penutur ialah menceritakan sikap MT2. Tindak verbal yang terjadi: representatif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT2 menunduk sambil terus ‘menggelendot’ manja di samping penutur. 5 Maksud Ketidaksantunan Tuturan D12 disampaikan dengan maksud menakut-nakuti mitra tuturnya yang mudah menangis, dengan harapan mitra tuturnya jera.

4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik

Berikut ini delapan tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik dan dipaparkan berdasarkan subkategori ketidaksantunan.

4.2.5.1 Subkategori Marah

Cuplikan tuturan 65 P : “Woo monyet” E7 MT : “Lambemu” Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut, sehingga melontarkan umpatan kepada mitra tutur Cuplikan tuturan 67 MT : “Udah Shalat belum?” P : “Iso meneng ora? Aku wis dong” E9 Konteks tuturan: penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur, bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun 1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik Tuturan E7 : “Woo monyet” Tuturan E9: “Iso meneng ora? Aku wis dong” Dapat diam tidak? Aku sudah mengerti 2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik Tuturan E7: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan keras dan berteriak sembari berdiri, penutur melontarkan umpatan sembari menatap mitra tutur dengan mata terbelalak. Tuturan E9: penutur berbicara kepada orang yang lebih tua dengan ketus sembari berdiri, perkataan penutur mengakibatkan mitra tutur marah dan membanting pintu. 3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik Tuturan E7: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi seru, tekanan keras pada kata monyet, nada tinggi, pilihan kata yang digunakan adalah bahasa populer, dan kata fatis yang terdapat dalam tuturan: woo. Tuturan E9: intonasi yang digunakan penutur adalah intonasi tanya, tekanan keras pada frasa wis dong, nada tinggi, dan pilihan kata yang digunakan adalah bahasa nonstandar dengan menggunakan bahasa Jawa. 4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik Tuturan E7: Penutur dan mitra tutur berada di teras rumah pada sore hari. Secara tidak sengaja, mitra tutur memakai sandal penutur tanpa ijin terlebih dahulu. Penutur sangat tidak berkenan mengetahui hal tersebut. Penutur kemudian melontarkan umpatan kepada mitra tutur. Penutur laki-laki kelas 4 SD, berusia 12 tahun dan mitra tutur perempuan kelas XII SMK, berusia 19 tahun. Penutur adalah adik dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan tersebut adalah penutur mengungkapkan amarahnya. Tindak verbal yang terjadi ialah ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut: MT melontarkan kata-kata umpatan kepada penutur. Tuturan E9: Penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk Shalat, namun penutur tidak mengindahkan peringatan dari mitra tutur, bahkan melontarkan jawaban dengan kata-kata tidak santun. Penutur laki-laki kelas VII SMP, berusia 13 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 40 tahun. Penutur adalah anak dari mitra tutur. Tujuan dari tuturan tersebut ialah mengungkapkan amarahnya karena penutur tidak suka diatur-atur. Tindak verbal yang terjadi yakni ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah MT marah dan membanting pintu kamar penutur. 5 Maksud Ketidaksantunan Tuturan E7 disampaikan dengan maksud marah karena tingkah laku mitra tutur yang mengakibatkan penutur tidak berkenan. Selanjutnya, tuturan E9 yang disampaikan dengan maksud kesal karena penutur merasa sering diatur oleh mitra tuturnya.

4.2.5.2 Subkategori Kesal