Pinjaman Daerah Hubungan Keuangan

Besarnya jumlah celah fiskal akan mempengaruhi jumlah alokasi DAU yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. 328 Sementara itu, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. 329 Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU. 330

c. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 331 Berbeda dengan dana perimbangan lainnya, DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. 332 Hal ini disebabkan DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN 333 yang merupakan urusan daerah. 334 Daerah penerima DAK juga ditentukan wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10 dari alokasi DAK 335 . Hal ini dapat dimengerti karena pada dasarnya urusan pemerintahan yang dibiayai DAK merupakan kewenangan daerah. Namun demikian, daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

3. Pinjaman Daerah

328 Pasal 32 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. 329 Pasal 32 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004. 330 Pasal 32 ayat 3 UU No. 33 Tahun 2004. 331 Lihat Pasal 1 angka 23 UU No. 33 Tahun 2004. 332 Pasal 38 UU No. 33 Tahun 2004. 333 Pasal 39 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004. 334 Pasal 39 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. 335 Pasal 41 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. Salah satu sumber pembiayaan daerah untuk menutupi defisit anggaran yang diandalkan adalah melalui pinjaman daerah. UU No. 33 Tahun 2004 mengatur sejumlah ketentuan mengenai kewenangan pemerintahan daerah untuk melakukan pinjaman daerah, termasuk kewenangan yang tetap dimiliki oleh pusat, dalam 6 batas pinjaman, prosedur pinjaman, sumber pinjaman, jenis dan jangka waktu pinjaman, penggunaan pinjaman, persyaratan pinjaman. Mengenai batas pinjaman, pemerintah pusat menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional. 336 Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60 enam puluh persen dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. 337 Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya. 338 Namun demikian, yang paling penting dalam hal ini, bahwa daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. 339 Jika daerah melakuan pelanggaran terhadap ketentuan, maka akan dikenakan sanksi administratif berupa penundaan danatau pemotongan atas penyaluran dana perimbangan oleh Menteri Keuangan. 340 Hal ini berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur pinjaman daerah, di mana pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah yang dananya berasal dari luar negeri. 341 Pinjaman kepada pemerintah daerah dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah daerah. 342 Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah dan dapat dinyatakan dalam mata uang 336 Pasal 49 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. 337 Pasal 49 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004. 338 Pasal 49 ayat 3 UU No. 33 Tahun 2004. 339 Pasal 50 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. 340 Pasal 50 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004. 341 Pasal 56 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004. 342 Pasal 56 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004. Rupiah atau mata uang asing. 343 Daerah memang tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pinjaman luar negeri, namun daerah secara tidak langsung juga dapat melakukan pinjaman luar negeri melalui penerusan pinjaman oleh pemerintah pusat.

C. Hubungan Pengawasan

Pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah ternyata secara yuridis- historis telah dilakukan sejak bangsa Indonesia memulai kehidupan bernegaranya sebagai bangsa yang merdeka. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sejak awal telah meletakkan dasar-dasar berpikir tentang keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah. Memang, ketentuan tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945 secara normatif-eksplisit tidak diatur di dalam UUD 1945. Akan tetapi landasan berpikirnya dapat ditelusuri paling dari 2 dua hal, yaitu:

1. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat; dan Batang Tubuh UUD 1945

Di dalam Pembukaan UUD 1945, landasan berpikir tentang pengawasan Pusat terhadap Daerah dapat ditelusuri di dalam Alinea Keempat UUD 1945. Rumusan alinea keempat itu adalah: ”Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan 343 Pasal 56 ayat 3 dan 4 UU No. 33 Tahun 2004.