Pendahuluan Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Kesimpulan dan Saran Pendahuluan Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

viii DAFTAR ISI Abstrak i Abstract ii Kata Pengantar iii Daftar Bagan v Daftar Tabel vi Daftar Isi viii

BAB I Pendahuluan

1

A. Latar Belakang

1 B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian

3 D. Kerangka Pemikiran 4 E. Kegunaan Penelitian 12

F. Metode Penelitian

12 G. Alur Penelitian 14

H. Personalia Penelitian

16 I. Sistematika Penulisan 16

BAB II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

18 A. Negara Kesatuan 18 B. Negara Hukum 19 C. Demokrasi 23 1. Demokrasi sebagai instrumen Mekanisme pemerintahan 23 2. Demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan 25 3. Demokrasi ekonomi 26 D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29

1. Desentralisasi

29 2. Sistem Rumah Tangga Daerah 36 ix 3. Kelembagaan 43 4. Ruang Lingkup dan Prinsip-Prinsip Desentralisasi Fiskal 47 5. Sumber-Sumber Penerimaan Pendapatan Daerah 52 6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah 58

BAB III Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah

74 A. Hubungan Kewenangan: dari mulai UUD 1945, UU, dan Pengaturan Sektoral. 74

B. Hubungan Kelembagaan

75 C. Hubungan Keuangan 99 D. Hubungan Pengawasan 112

BAB IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah

A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan 125 B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 126 C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah 128 D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 139 E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah 149

BAB V Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan 182 B. Saran 183 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu: 1 prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; 1 2 Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; 2 3 prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya; 3 4 prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa; 4 5 prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu; 5 6 prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil; 6 7 prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; 7 8 prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang; 8 dan 9 prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; 9 Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional tersebut, satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan 1 Pasal 18 B ayat 2 2 Pasal 18 ayat 2 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. 3 Pasal 18 ayat 5 4 Pasal 18 B ayat 1 5 Pasal 18 ayat 3 6 Pasal 18 A ayat 2 7 Pasal 18 A ayat 1 8 Pasal 18 A ayat 2 9 Pasal 18 B ayat 1 kabupatenkota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan. 10 Provinsi memiliki urusan wajib dan urusan pilihan. 11 Selain itu ditetapkan pula kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang meliputi: 12 a politik luar negeri; b pertahanan; c keamanan; d yustisi; e moneter dan fiskal nasional; dan f agama. Walaupun dengan ketentuan pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 1945 13 , namun muncul pula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupatenkota. Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua, pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing- masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang 10 Pasal 13 ayat 1 dan 2 dan Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU Nomor 32 Tahun 2004. 11 Pasal 13 ayat 1 dan 2 UU Nomor 32 Tahun 2004. 12 Pasal 10 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004. 13 Pasal 18 ayat 5 Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945; pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian kewenangannya. 14 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning 15 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dewan Perwakilan Daerah juga mengidentifikasi adanya kewenangan yang tumpah tindih antar instansi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik aturan di tingkat pusat danatau peraturan di tingkat daerah. 16 Hal tersebut terutama berhubungan dengan a otoritas terkait tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah; b kewenangan yang didelegasikan dan fungsi-fungsi yang disediakan oleh Departemen kepada daerah; dan c kewenangan yang dalam menyusun standar operasional prosedur bagi daerah dalam menterjemahkan setiap peraturan perundang-undangan yang ada. 17 Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu kajian sebagai penelitian payung yang melandasi hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi berdasarkan empat dimensi hubungan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai berikut: 1. Apa dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan antara pusat dan daerah? 2. Bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

C. Tujuan Penelitian

14 Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD Ri Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, hlm. 6. 15 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23 16 Ibid., hlm. 8. 17 Ibid. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengetahui dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan antara pusat dan daerah? 2. Mengetahui bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi- dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

D. Kerangka Pemikiran

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum atas dasar kedaulatan rakyat. Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai negara kesatuan. 18 Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn, yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri. 19 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan unitary state, ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua 18 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87. 19 Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14. kewenanganurusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenanganurusan pemerintah yang didesentralisasikan. 20 Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik. 21 Demokrasi yang lazim pula disebut dengan kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat. 22 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat modern. 23 C.F. Strong mengartikan demokrasi secara beragam 24 termasuk untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan atau kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain. Faktor luas wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi langsung direct democracy tidak mungkin untuk dilaksanakan. 25 Berdasarkan kenyataan demikian, muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung indirect democracy, yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung 20 Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21. 21 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66. 22 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10. 23 Ibid. 24 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 25 Ibid. melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat. 26 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat, akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan. 27 Rousseau memberi catatan bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi. 28 Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup bersama. 29 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi. 30 Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh Indonesia adalah negara hukum. Neumann yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik. 31 Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen. 32 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects by ordinance or decrees… “ 33 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges 26 Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, ..., op.cit. hlm. 11. 27 Ibid., hlm. 284. 28 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social Perjanjian Sosial, terjemahan Tim Visimedia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113. 29 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69. 30 Ibid. hlm. 70. 31 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8 32 Ibid., hlm. 8-9. 33 Ibid., hlm. 9. … and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah merupakan instansi tertinggi. Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie 34 , konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1 perlindungan hak asasi manusia; 2 pembagian kekuasaan; 3 pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan 4 Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1 Supremacy of Law; 2 Equality before the law, dan 3 Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip- prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak independence and impartiality of judiciary yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. 35 Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe negara hukum sebagai “penjaga malam” nachtwakersstaat. Disebut sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi hanya sampaiu kepada penjaga ketertiban dan keamanan. 36 Pada perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan 34 Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, lihat Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004,hlm. 1-2, diunduh dari http:www.fh.unsri.ac.idold_versionCITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc., pada 8242009 9:38:03 AM. 35 Ibid. 36 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26. individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem- problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan menempatkan golongan lapisan bawah the have not dalam masyarakat sebagai pihak yang sangat menderita “De staat mocht niet langer, door als neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”. Ini menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” welfare state. Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat, sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai pelengkap incidenteel en aanvullend. Tetapi sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu pseudo, perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan eigendom negara, keterbukaan dan penggugatan. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality, dan fraternity” revolusi Perancis dan “The greates happiness for the greatest number” Bentham. 37 Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah negara, mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat pemerintahan dengan bagian-bagian daerah yang harus diperintah di sisi lain. Oleh karena itu menurut Ateng Syafrudin perlu diadakan pembagian 37 Ibid., hlm. 27. kerja secara teritorial di samping pembagian kerja secara fungsional. 38 Pembagian-pembagian kerja urusan penyelenggaraan pemerintahan tersebut yang kemudian mengarah kepada proses desentralisasi. Bagir Manan menjelaskan desentralisasi dengan menggunakan pendapat Van Der Pot. 39 Menurut pakar Hukum Tata Negara Belanda ini, desentralisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah gebeidscorporatis, sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada pada tujuan-tujuan tertentu doelcorporaties. Desentralisasi teretorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan. Bagan 1: Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot Pendapat dari Van der Pot ini diikuti antara lain oleh FAM Stroink, Steenbeek, JM de Meij, dan Belifante. Dengan penggolongan yang sedikit berbeda, Irawan Soejito membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi teretorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif dekonsentrasi. Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi ambtelijk decentralisatie terjadi apabila “Pemerintah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ Pemerintah sendiri di daerah, yakni pejabat-pejabat Pemerintah yang ada di daerah, untuk dilaksanakan. 40 38 Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006, hlm. 72. 39 Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm. 20-21 40 Ibid, hlm 21 Bagan 2. Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito Irawan Soejito mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian dari desentralisasi, dan merupakan pelunakan sentralisasi menuju desentralisasi. Pakar hukum lainnya, Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik 41 , desentralisasi fungsional desentralisasi kebudayaan. 42 Pembahasan tentang pemerintahan di daerah tidak akan lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan. Menurutnya asas kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu : 43 1. Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah, 2. Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri. 41 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik yang ada di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu, lihat Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5 42 Ibid. 43 Ibid. Bagan 3. Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin Sebagai tambahan mengenai pembagian desentralisasi, dari Logemann, Colloge aantekemingen, 1947 44 , Ateng Syafrudin mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti luas terdiri dari: a. Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan membuat peraturan regelende bevoegheid dan kewenangan membuat keputusan atau mengurus bestuurende bevoegheid. b. Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige decentralisatie dibagi dua, yaitu: 1 territoriale decentralisatie; 2 fungctionele decentralisatie. Bentuk dari territoriale decentralisatie adalah autonomie dan medebewind yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment, zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige atau politiche decentralisatie. tkan bahwa desentralisasi terbagi dalam arti luas dan arti sempit. Penelitian ini menggunakan pengertian desentralisasi dalam arti sempit. Pemilihan tersebut diambil sebagaimana yang digunakan oleh Bagir Manan dalam menggali gagasan-gagasan dasar pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945. 45 44 Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1. 45 Bagir Manan, Hubungan…., op.cit., hlm. … Dalam kaitan ini Bagir Manan menguraikan mengenai kaitan desentralisasi, kerakyatan, dan Negara hukum, hubungan Pusat dan Daerah akan dipengaruhi oleh: 46 1 Sampai sejauh manakah desentralisasi diterima sebagai cara terbaik untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat? 2 Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk menjamin dan mewujudkan Negara hukum? 3 Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat? Lebih dari hal tersebut, yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah bahwa pola hubungan antara Pusat dan Daerah tidak dapat terlepas dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian perlu dicari titik temu antara keutuhan Negara Kesatuan di satu sisi, dan demokratisasi di sisi lain sebagai upaya mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahteraan rakyat.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai tambahan pengetahuan mengenai hubungan pusat dan daerah.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian untuk memperoleh data atau bahan dan analisis sebagai berikut:

1. Jenis Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini menjelaskan dan menganalisa pengaturan beserta asas-asas yang berkenaan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang berlaku di Indonesia.

2. Metode Pendekatan

46 Bagir Manan, Hubungan Pusat….., op.cit., hlm. 39. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif 47 adalah pendekatan dengan melakukan penelitian secara mendalam terhadap hukum yang berlaku. Di antara cakupan dari penelitian hukum normatif tersebut, penelitian ini akan dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. 48

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Penelitian ini dilakukan dengan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum, 49 meliputi: 1 Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. 50 Bahan hukum ini meliputi antara lain Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksana, perubahan- perubahan, dan peraturan yang secara tidak langsung terkait, seperti peraturan terdahulu; 2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, 51 seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum; 3 Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, dan ensiklopedia. 52

b. Penelitian Lapangan

47 Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum, hlm. 6. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14 49 Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana S1, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007, hlm. 72. 50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52. 51 Ibid. 52 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 31-32. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung penelitian kepustakaan dengan cara menyelenggarakan diskusi terfokus focused group discussion-FGD.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Bahan penelitian yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan menggunakan penafsiran hukum 53 dan selanjutnya dituangkan secara deskriptif yaitu bersifat menggambarkan masalah.

G. Alur Penelitian

53 Penelitian hukum normatif tidak dapat terlepas dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, dalam Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 37. Lihat juga Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 152. • Pe mb e ntuka n Da e ra h • O rg a nisa si Pe ra ng ka t Da e ra h Da na Pe rimb a ng a n Da na Tug a s Pe mb a ntua n UU No . 33 2004 Hub ung a n Ke ua ng a n Hub ung a n Ke le mb a g a a n Hub ung a n Ke we na ng a n UU No .32 2004 d a n p e la ksa na a nn ya Pe mb a g ia n Urusa n Pe me rinta ha n • Pe ng a wa sa n Pe mb e ntuka n Pe rd a • Pe ng a wa sa n Pe nye le ng g a ra a n Urusa n Pe me rinta ha n Hub ung a n Pe ng a wa sa n UU Se kto ra l A lur Pe ne litia n Ba g a n 5. U U D 1 9 4 5 Ne g a ra Ke sa tua n De mo kra si O to no mi Tug a s Pe mb a ntua n D e s e n t r a l i s a s i Ne g a ra Hukum Hub ung a n Pusa t Da e ra h

H. Personalia Penelitian

Ketua : DR. Indra Perwira, S.H., M.H. Wakil : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M. Sekretaris : Inna Junaenah, S.H. Anggota Prof. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., DR. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H., DR. Agus Kusnadi,S.H., M.H., Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D., H. Rosjidi Ranggawidjaja, S.H., M.H. Ali Abdurahman, S.H., M.H. Tenaga Pendukung : Hernadi Affandi, S.H., LL.M. Rahayu Prasetianingsih, S.H. Bilal Dewansyah, S.H.

I. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan penelitian, dan metode penelitian.

Bab II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai teori-teori umum yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi prinsip- prinsip negara Kesatuan, Negara Hukum, demokrasi, dan teori desentralisasi.

Bab III Deskripsi Hubungan Antara Pusat dan Daerah