membelenggu prakarsa atau inisiatif Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sehingga tidak sejalan dengan upaya mewujudkan
pemerintahan daerah yang demokratis. Jadi sudah dapat terlihat bahwa pengaturan pengawasan saat ini lebih mengarah ke demokratis.
4. Telaah Terhadap Instrumen Penetapan Pembatalan Perda
Keberadaan pengawasan sebagai konsekuensi dari keberadaan hubungan hirarkis. Dalam Undang-Undang menyatakan bahwa yang diawasi
adalah peraturan perundang-undangan yang bernama perda dan perat kepala daerah.
436
Maka dari itu, judicial control sama dengan judicial review. Peraturan daerah yang berlaku sebagai undang-undang bagi daerah,
proses penyusunan maupun implementasinya perlu dimonitor secara terus menerus untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa semua ketentuan
yang diatur dalam perda tersebut sudah mengikuti norma-normakaidah- kaidah yang berlaku yaitu memenuhi persyaratan sebagai peraturan yang
baik. Kegiatan monitoring tersebut pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kegiatan pengawasan yang harus dilakukan oleh suatu
lembagainstitusi tertentu yang pada lazimnya mempunyai kedudukan lebih tinggi dan mempunyai kewenangan untuk melakukan penilaian untuk
memastikan bahwa segala ketentuan yang tercantum di dalam peraturan daerah dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan maupun
prinsip-prinsip yang harus diikuti berkaitan dengan pengenaan suatu pungutan.
Sebagai konsekuensi bahwa peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka pencabutannya pun
hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang lebih tinggi atau sederajat. Dalam rangka pengawasan, merupakan konsekuensi logis jika suatu
peraturan daerah dapat dibatalkan atau dicabut hanya dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal tersebut sesuai dengan urutan peraturan perundang-
436
Pengawasan lainnya yang dilakukan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan daerah adalah pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, lihat Pasal 218 ayat
1 huruf a.
undangan yang ditetapkan dalam UU No. 10 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
437
Ketentuan Undang-undang bahwa perda dapat dibatalkan oleh bentuk peraturan presiden dapat dinilai tepat.
Pasal 145 ayat 3 sudah memberikan atribusi kewenangan
438
kepada Presiden untuk dapat membatalkan suatu perda. Begitu pula dikuatkan
bahwa Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah di yang mengatur pajak dan retribusi daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 15
lima belas hari setelah ditetapkan.
439
Dalam hal Peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dimaksud,
440
Namun ternyata Presiden pun memberikan delegasi kepada Menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan Perda, melalui PP
No. 79 Tahun 2008. Dalam Pasal 37 ayat 1 dikatakan bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah
paling lama 7 tujuh hari sejak ditetapkan. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.
Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh Menteri. Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
437
Pasal 7 ayat 1 mengatur bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Ditambahkan dalam ayat 2 bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupatenkota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupatenkota bersama bupatiwalikota;
c. Peraturan Desaperaturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
438
kompetensikewenangan administrasi negara pejabat TUN berdasarkan suatu perundang-undangan formal, lihat Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hl. 10.
439
Pasal 25A ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi
Daerah.
440
Pasal 25A ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden
berdasarkan usulan Menteri. Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang bertentangan dengan kepentingan umum,
Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri. Sementara itu PasaI 38
menambahkan bahwa Peraturan Presiden tentang pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan paling lambat 60 enam puluh hari sejak Peraturan
Daerah diterima oleh Pemerintah. Peraturan Menteri tentang pembatalan Peraturan Kepala Daerah ditetapkan paling lambat 60 enam puluh hari
setelah Peraturan Kepala Daerah diterima oleh Menteri. Dari ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa:
1. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk
secara spesifik menteri apabertanggungjawab di bidang apa, untuk menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka
pengawasan terhadap PP yang mengatur pajak dan Retribusi daerah, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;
2. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan
dibatalkan oleh menteri; 3. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa
peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrument pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.
Dengan demikian, antara ketentuan-ketentuan yang berlaku terkait dengan pembatalan perda, terdapat suatu ketidakharmonisan antara
peraturan secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik
menunjukkan ketentuan dalam PP No. 79 Tahun 2005 yang terlaksanakan, maka ketetuan dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup.
Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No. 32 Tahun 2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka ketentuan yang
terkait di dalamnya masih harus ditaati. Kecuali jika praktik menghendaki lain, maka perlu dilakukan suatu perubahan terhadap UU No. 10 Tahun
2004, yang diarahkan untuk memberi kemungkinan tempat bagi peraturan setingkat menteri, sebagai representasi pemerintah, ke dalam urutan
peraturan perundang-undangan. Dilihat dari paradigma kerangka Negara Kesatuan, demokratisasi dan
negara hukum, pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang berlaku saat ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Tabel 23 Skema Pola Hubungan Pengawasan Pusat-Daerah
NEGARA KESATUAN
Pemberian otonomi daerah bukan untuk mengarahkan kepada pembagian kedaulatan, melainkan hanya satu
Kedaulatan, yaitu dalam kerangka negara kesatuan. Pengawasan menjadi instrumen pemerintah pusat
untuk menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana sesuai perencanaan.
NEGARA HUKUM DAN
KESEJAHTERAAN Pengawasan baik secara preventif dan represif
dilaksanakan untuk menjamin supremasi hukum, agar peraturan perundang-undangan di tingkat satuan
pemerintahan yang lebih rendah, sesuai dengan peraturan nasional satuan pemerintahan pusat.
Jaminan HAM yang menjadi salah satu ciri negara hukum menjadi bagian dari kewajiban negara hingga
oleh satuan pemerintahan yang lebih rendah.
Pembagian kekuasaan: tidak saja pembagaian secara horizontal eksekutif, legislative, dan yudikatif, tetapi
juga secara vertikal satuan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah.
Semua diarahkan bahwa negara menghantarkan kepada pencapaian kesejahteraan rakyat.
DEMOKRATISASI Terdapat pengawasan hukum dengan judicial review,
bahwa jika suatu perda dibatalkan dan pemda berkeberatan terhadap pembatalan tersebut, pemda
dapat mengajukan judicial review instrumenn
pembatalan tersebut ke Mahkamah Agung.
Kedaulatan negara tidak untuk menjadikan negara menentukan segalanya totaliterisme, melainkan harus dengan keseimbangan legitimasi
etis dan sosial normatif-moral.
441
Letak kedaulatan negara dalam hubungan pengawasan adalah pada pengawasan secara preventif dan represif
terhadap ranperda dan perda. Di sinilah mengapa kedaulatan negara dengan kedaulatan rakyat dapat saling tarik menarik, dapat pula saling
menyeimbangkan. Kedaulatan rakyat tidak boleh tidak terbatas, melainkan melalui perwakilan dan keterbukaan publicity pemerintah daerah.
442
Letak kedaulatan rakyat dalam pola hubungan pengawasan antara pusat-daerah
adalah pemberian ruang bagi pemerintah daerah untuk menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung atas pembatalan perda.
Persoalan kedua, terdapat suatu ketidakharmonisan antara peraturan secara vertikal, yaitu antara UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun
2004, dengan PP No. 79 Tahun 2005. Melihat bahwa pada praktik menunjukkan pembatalan perda selalu dengan Kepmendagri, maka ketetuan
dalam kedua UU di atasnya seolah-olah menjadi tidak hidup. Dalam PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan itu sendiri, pada pasal
37 dan Pasal 38 dapat dikemukakan bahwa: 4. Kedua Pasal yang memberikan kemungkinan kepada Menteri untuk
membatalkan suatu perda, dalam rangka pengawasan, tidak menunjuk secara spesifik menteri apabertanggungjawab di bidang apa, untuk
menetapkan pembatalan perda. Baru ditemukan dalam rangka pengawasan terhadap PP lain, yaitu mengatur pajak dan Retribusi
daerah, dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri;
441
Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 177- 179.
442
Ibid., hlm. 290-291.
5. Kedua Pasal tersebut tidak memberikan kriteria mengenai kapan suatu pembatalan perda ditetapkan oleh peraturan presiden dan kapan
dibatalkan oleh menteri; 6. Kedua Pasal tersebut hanya menyebutkan nama instrumen berupa
peraturan Menteri, bukan keputusan menteri sebagai instrumen pembatalan perda yang memungkinkan didelegasikan oleh Presiden.
Dengan demikian, sepanjang kedua UU tersebut, terutama UU No. 32 Tahun 2004, yang spesifik pertentangannya, belum dicabut, maka
ketentuan yang terkait di dalamnya masih harus ditaati. Masih dalam rangka pengawasan yang tidak dapat dilepaskan dari
pembinaan, jika akan dikeluarkan semacam pedoman dan standard dalam rangka pembinaan kepada daerah, hendaknya unsur ini tidak perlu terlalu
banyak. Semakin banyak pedoman dan standard cenderung menjadikan semakin mendorong keseragaman. hal inilah yang seharusnya dihindari
karena bertentangan dengan otonomi itu sendiri. Yang perlu lebih didorong dari unsur pembinaan ini adalah berupa koordinasi dan fasilitasi.
Berdasarkan rumusan alinea keempat Undang-Undang dasar 1945, jelas bahwa konsep bernegara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah memiliki tujuan yang arahnya untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,
443
atau meminjam konsep Lemaire negara menjalankan fungsi berstuurszorg. Konsep
bernegara yang demikian ini secara teoretikal dianut oleh negara-negara hukum modern menjelang akhir abad ke XIX, atau awal abad ke XX.
Dasar pemikiran keberadaan pengawasan Pusat terhadap Daerah sangat terkait dengan konsepsi Negara Kesatuan yang dianut di dalam Pasal 1 ayat 1
UUD 1945. Adanya pengawasan Pusat terhadap Daerah adalah sebagai
443
Otje Salman dan Anton F. Susanto menyatakan, apabila dilihat secara bulat atau holistik satu kesatuan, yaitu dengan melihat dasar pikiran dalam sila Pertama, Ketiga, dan Kelima,
maka keseimbangan balande merupakan subtansi pokok yang terkandung didalamnya maksudnya alinea keempat-penulis. Kesimbangan yang dijelaskan dalam silanya adalah,
kesimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat serta kepentingan penguasa, yang dituntun oleh Sila Ketuhanan. Lihat, Otje Salman dan Anton F.
Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 159.
konsekuensi Pemerintah NKRI mempunyai tanggung jawab utama untuk tetap menjamin tercapainya tujuan nasional yang tercantum di dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945. Di Indonesia pada prinsipnya pengawasan merupakan konsekuensi dari Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi. Adanya
pembagian kekuasaan secara vertikal antara Pusat dan Daerah sebagaimana diatur Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menyebabkan adanya pengawasan Pusat terhadap
Daerah atau dengan lain perkataan adanya penyerahan urusan pemerintahan dari Pusat kepada Daerah mengakibatkan Pusat mempunyai tugas dan wewenang
untuk melakukan pengawasan, dengan tujuan agar Daerah terhindar dari penyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan-perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum sehingga Daerah dalam menjalankan pemerintahannya senantiasa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan otonomi
daerah.
Dengan demikian pengawasan Pusat terhadap Daerah, apakah itu berupa pengawasan preventif atau represif berupa pembatalan atau
penangguhan suatu produk hukum Daerah, apabila ditelusuri dari Pembukaan UUD 1945, menemukan dasarnya dari konsep Negara
Kesejahteraan sebagaimana telah dirumuskan di dalam alinea keempat UUD 1945. Tindakan atau keputusan pembatalan suatu Perda yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat misalnya, harus dianggap sah menurut hukum praduga rechtmatig sampai ada pembuktian sebaliknya secara hukum.
Oleh karena itu, sejak berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terdapat
ketentuan yang memberikan kemungkinan untuk menguji tindakan atau keputusan pembatalan suatu Perda melalui apa yang disebut dengan
pranata ’keberatan’: Daerah-Daerah yang merasa keberatan atas pembatalan peraturan-peraturan daerahnya dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung. Maka, Mahkamah Agung sebagai institusi yudisial kemudian menguji keputusan pembatalan itu.
Bagir Manan, yang dalam desertasinya membahas sampai Undang-Undang No. 5 tahun 1974, namun tidak mengomentari apakah bentuk pengawasan
harus seperti apa. Bagaimanapun dalam No. 5 tahun 1974, yang tidak
dibahas dalam desertasinya itu, menunjukkan bahwa terdiri dari pengawasan umum, represif, dan preventif. Setelah berlaku UU No. 22 tahun 1999, ada
pendapat Bagir Manan, bahwa yang diatur dalam UU 22 Tahun 1999 dengan menghapus pengawasan preventif, Bagir Manan setuju hanya satu.
Pengawasan yang bagaimana yang tidak membelenggu kemandirian daerah? Walaupun diawasi tapi daerah masih ada keleluasaaan. Dengan
pengawasan yudisial, pengawasan menghindari pembelengguan daerah. Ruang lingkup pengawasan terhadap daerah dibatasi pada peraturan daerah
dan peraturan kepala daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pengawasan yang dipandang tepat yaitu preventif, represif administrative,
yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila suatu daerah berkeberatan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke Mahkamah Agung.
Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah terlaksana pengawasan secara demokratis. Itu pendapat kita yang intinya
bahwa pengaturan tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal. Pengawasan senantiasa diperlukan sebagai pranata bagi pemerintah
pusat atau satuan pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya untuk mengendalikan, mempengaruhi, bahkan memaksakan kehendaknya kepada
satuan pemerintahan yang lebih rendah. Alasan utama yang dikemukakan Gde Pantja
444
adalah supaya desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah tidak bergeser menjadi semacam kemerdekaan, walaupun hanya
sekadar untuk urusan pemerintahan tertentu. Tanpa mengesampingkan arti penting pengawasan, tidak dikehendaki suatu pengawasan yang tidak punya
batasan ruang lingkup.
445
Pengawasan demikian tidak sama artinya dengan pengawasan terhadap segala hal. Pengawasan yang disebut terakhir
menghendaki dibutuhkan sebagai instrument untuk mencapai hakikat pengawasan, yaitu segala upaya untuk mengetahui bahwa segala hal yang
direncanakan terlaksana. Maka dari itu, pengawasan yang baik adalah
444
I Gde Pantja Astawa, Problematika …., op.cit., hlm. 321.
445
Pengawasan seperti ini mirip dengan jenis pengawasan umum yang diatur pada masa UU No. 5 Tahun 1974.
pengawasan terhadap segala hal dengan pembatasan ruang lingkup dan bentuk, yang ditetapkan dalam undang-undang.
Bentuk pengawasan Pusat terhadap Daerah yang seyogyanya dikembangkan dan diterapkan dalam undang-undang yang mengatur
pemerintahan daerah adalah bentuk pengawasan preventif dan represif pengawasan administratif dan dilengkapi pengawasan yudisial.
Kemuncullan kembali pengawasan preventif sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak menyebabkan membelenggu
kemandirian Daerah karena pengawasan preventif telah ditentukan batas- batas ruang lingkupnya serta di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, pengawasan administratif preventif dan represif dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Ditetapkannya tentang bentuk dan ruang lingkup
pengawasan di dalam suatu undang-undang merupakan perwujudan dari pemerintahan daerah yang demokratis. Dengan demikian, walaupun terdapat
pengawasan, Daerah tetap mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri atau tetap mempunyai kemandirian.
Melihat dari paradigma yang cukup mendasar, Ateng Syafrudin
446
berpendapat bahwa terdapat benang merah yang sampai sekarang menjadi persoalan. Tapi banyak pemikiran-pemikiran di balik pembentukan UU ini,
dipengaruhi dari negeri Belanda. Padahal orang Belanda sendiri berpendapat bahwa ternyata cara membagai otonomi itu bersumber dari kedaulatan negara,
bukan kedaulatan rakyat. Paradigma ini tidak diketahui umum, sedangkan kita berpijak pada kedaulatan rakyat. Tidak heran pada tahun 1974 ada suatu
pandangan bahwa otonomi adalah hak prerogatif. Ateng Stafrudin membantah bahwa itu adalah tugas konstitusional presiden. Itu bersumber dari abad
pertengahan, bahwa hak prerogatif dimulai dari ampunan dosa-dosa, hak menentukan nilai mata uang, ketiga, berhak memilih kepercayaan sendiri siapa
yang mewakilinya. Ada juga batas-batasnya, melahirkan hak placet: hak penguasa yang lebih tinggi untuk tidak setuju terhadap gagasan dari satuan pemerintahan di
bawahnya. Hal tersebut ditujukan dalam rangka membina dan memelihara
446
Ateng Syafrudin, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion Fgd Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara
Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.
bawahannya. Pemerintah pusat punya hak placet, tapi hrs dijelaskan supaya tidak menimbulkan konflik. Sekarang pemda baru berindikator pada IPM. Yang lainnya
harus ada. Apakah kalau sudah membangun gedung-gedung menjadi sudah berhasil? Sering orang hanya mengukur secara materil. Terhadap kedaulatan
negara yang menjadi paradigma dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, dapat dikemukakan pendapat Hans Kelsen mengenai kedaulatan.
447
Kedaulatan dikatakan sebagai karakteristik definitif dari kekuasaan tertentu: satu negara, satu
teritorial, satu rakyat, dan satu kekuasaan.
448
Kekuasaan negara mesti berupa validitas dan efektifitas tata hukum, jika kedaulatan dipandang sebagai satu kualitas
dari kekuasaan ini.
449
Sebab kedaulatan hanya dapat sebagai kualitas dari suatu tata normatif sebagai suatu kekuasaan yang merupakan sumber kewajiban-
kewajiban dan hak-hak.
450
Dengan demikian kedaulatan negara dalam hal ini ditempatkan terutama dalam kepentingan untuk menjamin kesatuan hukum dari
satuan pemerintahan pusat sampai dengan satuan pemerintahan yang paling rendah.
Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, kedaulatan negara untuk menjamin kesatuan hukum atau dengan kata lain untuk menjaga harmonisasi peraturan
perundang-undangan tersebut salah satunya dilaksanakan melalui mekanisme pengawasan terhadap peraturan daerah. Mengenai praktik bahwa semua
pembatalan sebagai salah satu bentuk pengawasan selalu ditetapkan dengan kepmendagri, menurut ilmu perundang-undangan, sudah tepat ketentuan bahwa
perda dibatalkan oleh perpres, yaitu mengacu kepada UU No. 10 Tahun 2004. Namun ketentuan ini tidak berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan itu tidak
dapat dilaksanakan tidak sesuai dengan asas feasible. Walaupun demikian, sepanjang suatu peraturan belum diubah atau dicabut, maka ketentuan yang masih
berlaku seharusnya diataati.
Konsep dalam UU yang berlaku saat ini selalu mengaitkan pengawasan dengan pembinaan dan koordinasi. Walaupun begitu masih
perlu suatu pengujian konsep itu, betulkah bahwa setiap penyelengggaraan
447
Hans Kelsen alih Bahasa: Somardi, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995, hlm. 255.
448
Ibid.
449
Ibid.
450
Ibid.
pemerintahan, masalah pengawasan mutlak terkait satu sama lain dengan koordinasi dan pembinaan, dan tidak dapat terpisah sendiri-sendiri.
Pembinaan pun dalam rangka pengawasan, bahwa dalam sistem negara hukum harus berjalan. Pengawasan tidak dapat terpisahkan dari
pembinaan. Penetapan pedoman standard dalam rangka pembinaan tidak boleh terlalu rinci agar keberagaman setiap daerah tetap terjaga. Dengan
demikian kreatifitas daerah tidak terkekang dengan upaya penyeragaman sebagai dampak dari penetapan pedoman standard. Bentuk evaluasi dalam
rangka pembinaan dan pengawasan perlu dikembangkan, terutama terkait dengan pemekaran daerah. Penetapan pemekaran daerah yang sudah
marak dan mendominasi produk legislatif beberapa tahun terakhir perlu ditindaklanjuti dengan mekanisme evaluasi. Tidak hanya cukup sebelum
pemberian status daerah baru, evaluasi dibutuhkan juga setelah pemberian status daerah baru. Ke depan dapat dikembangkan bahwa sebagai tahapan
menuju pemberian status daerah baru dilakukan terlebih dahulu pemberian semacam status administratif, seperti yang pernah berlaku pada masa UU
nomor 5 Tahun 1975. Perbedaan yang harus dikembangkan terletak pada tindak lanjut setelah pemberian status administratif, apakah menjadi kota
atau menjadi kabupaten baru. Pada intinya yang menjadi penting adalah bagaimana suatu daerah telah terlatih dan terbina terlebih dahulu untuk
menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan sebelum mendapatkan status daerah yang baru dibentuk. Hal tersebut untuk melihat apakah sebetulnya
daerah-daerah yang dimekarkan terutama yang berbentuk provinsi mampu memenuhi segala syarat kemandirian, dan terutama dapat menjaga
keutuhan Negara Kesatuan, demokratisasi, dan negara hukum dan kesejahteraan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN