Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah

Ketidakkonsistenan otonomi kemudian muncul melalui pembagian kewenangan yang dirinci melalui PP No. 38 tahun 2007, yang mengurangi keberagaman daerah sebagai bagian dari hakikat otonomi. “penyelundupan” desentralisasi pun terjadi pula melalui UU sektoral yang menarik urusan yang sudah didesentralisasikan, menjadi kewenangan pusat, misalnya pada UU Kehutanan. Inkonsistensi terjadi pula dalam UU Olah raga dan penyuluhan pertanian yang menghendaki pembentukan semacam lembaga pelaksana di daerah. Kekhususan urusan kemudian terjadi dalam pengaturan Pasal 18B UUD 1945. Perkataan ‘khusus’ tersebut akan memiliki cakupan yang lebih luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus Aceh dan Papua. 371 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa. 372

C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah

Pemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional atau Negara. Efekivitas pemerintahan Negara bergantung kepada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keberhasilan kepemimpinan di daerah menentukan kesuksesan kepemimpinan nasional. Ketidakmampuan Kepala Daerah dalam menyukseskan pembangunan daerah berimplikasi pada rendah atau berkurangnya kinerja dan efektivitas penyelenggaraan pembangunan nasional. 373 Paradigma baru Otonomi Daerah harus diterjemahkan oleh Kepala Daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena menurut James W Fesler, otonomi daerah bukanlah tujuan melainkan suatu instrument untuk mencapai tujuan. Instrument tersebut haruslah digunakan secara arif oleh kepala daerah tanpa harus menimbulkan konflik antara pusat 371 Ibid., 15-16. 372 Ibid., 16. 373 J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003, hlm. 4. dan daerah, atau antar provinsi dan kabupatenKota karena jika demikian, makna otonomi daerah menjadi kabur. Dalam kondisi demikian, kepala daerah harus waspada terhadap munculnya hubungan antar tingkat pemerintahan yang bergerang dalam saling ketidakpercayaan, atau suasana kurang harmonis seperti munculnya egoism masing-masing tanpa menyadari bahwa fungsi pemerintahan hanya meliputi tiga hal, yaitu pelayanan kepada masyarakat public services; membuatkan pedomanarah atau ketentuan kepada masyarakat regulation; dan pemberdayaan empowerment. 374 Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain ekslusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan. Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif. 375 Tuntutan reformasi kelembagaan dicirikan oleh asumsi sebagai berikut: 376 1. Reformasi kelembagaan yang aspiratif dan akseleratif mensyaratkan adanya kemauan, keberanian, dan komitment politik yang kuat dari pemerintah daerah; 2. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya transparansi dan objektivitas guna menghindari perbuatan KKN dengan cara mengutamakan orang-orang yang “dekat” dengan pejabat pengambil 374 Ibid, hlm. 16 375 Eko Prasojo, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisip UI, http:ekoprasojo.com20080408konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan- pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme 376 Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009 keputusan, terutama dalam rangka penataan kepegawaian dalam kelembagaan yang baru; 3. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya kepastian dan perlindungan terhadap upaya pemberdayaan daerah, artinya tidak dilakukan dengan setengah hati sehingga terjadi tarik ulur antara kewenangan Pemerintah, Provinsi dan KabupatenKota; 4. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya penguatan Civil Society masyarakat madani agar sukses, partisipasi serta kontribusi dari dan oleh mnasyarakat dapat terakomodasi secara maksimal; 5. Reformasi kelembagaan mensyaratkan adanya pengembangan dan pemberdayaan dalam membangun berbagai aliansi strategis dengan pihak manapun. Mekanisme hubungan pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah dalam kelembagaan susunan organisasi menurut Bagir Manan: 377 1. Susunan luar; semua satuan pemerintahan tingkat daerah harus tersusun dalam satu kesatuan susunan integral. 2. Susunan dalam harus mencerminkan dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara. 3. Dalam rangka lebih memperkokoh asas desentralisasi sebagai salah satu sendi system ketatanegaraan RI, disarankan agar Pemerintah Pusat mengurangi badan-badan penyelenggara urusan pemerintahan pusat di daerah. Agar diusahakan sebanyak mungkin pelaksanaan urusan pemerintahan pusat di daerah dilakukan melalui atau kerjasama dengan Pemerintah Daerah. 378 Konstruksi hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang atau urusan antar berbagai tingkatan pemerintahan; 377 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 256 378 Ibid., hlm. 257 perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah. 379 Persoalan hubungan pusat dan daerah dalam Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi lebih luas dari sekedar bertalian dengan cara- cara penentuan Rumah Tangga daerah, tetapi bersumber pula antara lain pada cara menyusun dan menyelenggarakan organisasi pemerintahan di daerah ditinjau dari macam-macam peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang pernah berlaku. Terlihat perbedaan perwujudan politik otonomi disatu pihak condong kearah desentralisasi, dipihak lain ke arah sentraliasi. Di samping ada pula yang mengarah pada gabungan keduanya. Meskipun demikian, segala sesuatunya perlu ditempatkan dalam hubungan yang serasi. Hubungan pusat dan daerah dalam sistem otonomi yang bagaimanapun luasnya bukanlah ketentuan statis tetapi harus merupakan ketentuan yang dinamis pola hubungan itu harus selalu bergerak seimbang antara ke pusat dan ke daerah yang mampu menampung kebutuhan masyarakat dan pemerintahan. Dalam hal ini, harus diperhatikan bergeraknya pola hubungan tersebut tidak sampai menimbulkan masalah besar khususnya bagi daerah. Dengan diterapkannya otonomi luas terutama di Kabupaten dan Kota, akan memperbesar organisasi pemerintahan daerah, kemungkinan demikian harus diantisipasi dengan cermat sehingga tidak terjadi susunan organiasi “yang kegemukan” atau sebaliknya. Begitu pula kemampuan daerah yang satu belum tentu sama dengan daerah yang lainnya, sehingga harus dimungkinkan adanya perbedaan susunan organisasi setiap daerah. Bertambah luasnya urusan Rumah Tangga daerah belum tentu selalu membawa keuntungan bagi daerah, bahkan sebaliknya dapat menambah beban terlebih-lebih masalah yang dihadapi bukanlah hanya terletak dalam hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga hubungan antar daerah itu sendiri. 379 http:ekoprasojo.com20080408konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan- pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme Mengenai kedudukan gubernur, karena ada dua kedudukan sebagai alat pemerintah pusat, yaitu dalam arti sebagai kepala pemerintahan daripada pemerintah lokal administratif umum pusat dan sebagai alat Pemerintah Daerah, yaitu dalam arti sebagai Kepala Pemerintahan dari pada pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, dengan sendirinya ia mempunyai dua macam tugas yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan antara dua macam tugas tersebut tidak hanya terletak pada macam tugasnya, tapi juga pada cara penyelenggaraannya dan pertanggungjawabannya. 380 Penyelenggaraan dan pertanggungjawaban tugas oleh Gubernur dalam kedudukannya sebagai alat pemerintah Pusat, tunduk pada prinsip- prinsip dekonsentrasi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai alat pemerintah daerah tunduk kepada prinsip-prinsip desentralisasi. 381 masing- masing sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini yaitu UU No. 32 Tahun 2004. Begitu pula berkaitan dengan kelembagaan DPRD. Konsep perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan masyarakat secara langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan urusan rumah tangga daerahnya. 382 Meskipun pengaturan tentang susunan, kedudukan serta fungsi DPRD ini berada dalam satu undang-undang yang sama dengan pengaturan mengenai susunan, kedudukan dan fungsi DPR RI, bahkan dalam cara pengisiannyapun sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, namun DPRD tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan DPR, atau dengan perkataan lain DPRD bukan merupakan subordinasi dari 380 R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 215. 381 Ibid. 382 BN. Marbun, Perwakilan Politik Lokal dan Eksistensi DPRD dalam Konteks Otonomi Daerah, dalam Kumpulan Tulisan, Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan TIFA, editor Anhar Gonggong, Jakarta 2005, hlm. 327 DPR RI. Di samping itu DPRD juga sebenarnya merupakan bagian atau unsur kekuasaan eksekutif pada level pusat karena merupakan bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah. Bahkan dalam hal pembentukan perda, kekuasaan DPRD baik tingkat provinsi maupun KabupatenKota akan melalui sebuah upaya evaluasi peraturan pelaksanaannya. Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir sudah banyak dibentuk atau dimekarkan suatu daerah, baik provinsi, kabupaten, atau kota. Terjadinya pemekaran daerah yang meluas hampir di seluruh wilayah Indonesia sebenarnya diawali dengan peluang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Kursif dari Tim Peneliti. Di lain pihak, kecenderungan masyarakat untuk membentuk daerah baru juga didukung oleh lembaga formal baik pada tingkat daerah maupun pusat. Dalam hal ini, pemerintah daerah induknya, baik provinsikabupatenkota dan DPRD-nya masing-masing juga menjadi faktor pendukung terjadinya pemekaran daerah dengan mudahnya memberikan persetujuan pemekaran daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit di antara daerah yang memekarkan diri itu diketuai oleh kepala daerah atau para anggota DPRD-nya. Sebagai balasannnya, banyak di antara mereka yang kemudian mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang baru tersebut. Dengan demikian, alasan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah pun menjadi tersamar dan yang muncul justru adalah kepentingan elit politik lokal tersebut. Demikian pula halnya keterlibatan pemerintah pusat maupun lembaga negara yang diharapkan akan menjadi penyaring dalam pemekaran daerah juga tidak berjalan dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari mudahnya pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, memberikan rekomendasi dalam pembentukan daerah baru. Demikian pula halnya, keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah DPD dalam mengajukan rancangan undang-undang tentang pemekaran daerah sangat memungkinkan dan mendorong terjadinya pemekaran daerah. Hal itu ternyata menjadi penyebab pemekaran daerah tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, peran lembaga formal sangat penting dalam menyaring dan mengendalikan pemekaran daerah agar pemekaran daerah itu dapat dikurangi atau dihentikan. Alasan Majelis Permusyawaratan Rakyat menggunakan istilah “dibagi” bukan “terdiri atas” adalah untuk menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang kedaulatan negara berada di tangan Pusat. Selain itu, hal itu konsisten dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan, di mana jika menggunakan istilah “terdiri atas” akan lebih menunjukkan susbtansi federalisme karena istilah itu menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian. 383 Secara konseptual dan teoretis, hal itu dapat diterima karena sangat masuk akal dan berdasar. Akan tetapi, ternyata dari kata “dibagi” tersebut kemudian menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam praktik di mana hal itu diartikan Indonesia akan selalu dibagi ke dalam provinsi, dan provinsi akan selalu dibagi ke dalam kabupaten atau kota. Penafsiran itu mungkin terlalu naïf, tetapi faktanya memang seperti itu di mana kemudian pembagian wilayah atau daerah di Indonesia menjadi sangat dipermudah dalam undang-undang pelaksanaannya. Hal itu sangat dimungkinkan karena undang-undang yang berkaitan memang membuka peluang seperti dijelaskan di atas. Sebagai bukti, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menyatakan “Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah”. Dari bunyi pasal tersebut tampak bahwa memang sangat dimungkinkan suatu daerah untuk dimekarkan bahkan dapat menjadi lebih dari satu daerah baru. 383 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, op.cit, hlm. 31. Namun, di sisi lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak membatasi secara tegas sampai berapa banyak jumlah provinsi, kabupaten, dan kota yang dapat dibentuk di Indonesia. Apabila undang-undang itu dibaca dalam waktu yang berbeda, maka tampak seperti tidak ada pembatasan sampai berapa tahap suatu daerah dapat dibagi ke dalam daerah yang lebih kecil. Artinya, wilayah Indonesia dapat dibagi terus ke dalam provinsi-provinsi, provinsi dapat dibagi terus ke dalam kabupaten atau kota, kabupaten atau kota juga dapat dimekarkan terus ke dalam kecamatan-kecamatan, dan kecamatan pun dapat dipecah lagi ke dalam kelurahan-kelurahan dan desa-desa. Pasal tersebut sangat memungkinkan terjadinya pemekaran daerah seperti halnya pemecahan sel yang berlangsung terus-menerus tanpa ada pembatasan. Secara formal, kriteria dan prosedur pemekaran daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut sudah cukup baik selama dijalankan secara ketat dan teruji melalui penelitian dan pengkajian yang komprehensif. Namun, di sisi lain kriteria dan prosedur tersebut dapat dianggap terlalu mudah dan terkesan formalistik, sehingga pemenuhannya lebih banyak ditekankan kepada aspek formalnya semata-mata. Dengan kata lain, ketentuan tersebut sangat membuka peluang kepada semua daerah untuk memekarkan diri tanpa melihat kondisi objektif daerah. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak daerah yang mencoba mengajukan usulan pemekaran diri sekalipun secara faktual daerahnya tidak memenuhi persyaratan atau persyaratan formalnya terpenuhi tetapi faktualnya tidak. Pemenuhan persyaratan yang diajukan dalam pemekaran daerah itu lebih banyak hanya ditekankan dari segi formal dan prosedur, sementara dari segi faktual-material banyak yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi nyata di daerah yang bersangkutan. Bahkan tidak sedikit pula dalam pemekaran daerah itu dilakukan dengan memaksakan diri padahal situasi dan kondisi daerah itu sebenarnya belum atau tidak layak dimekarkan. Dengan kata lain, dalam pemekaran daerah banyak memunculkan data dan fakta yang berbeda dengan situasi, kondisi, maupun kemampuan daerah yang bersangkutan. Keadaan itu dimungkinkan terjadi karena adanya kemudahan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mencapai tujuannya. Hal itu itu menunjukkan sangat longgarnya persyaratan dan prosedur pemekaran daerah dalam undang-undang, terutama Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya. Sebagai akibatnya, undang- undang tersebut yang pada awal kehadirannya disambut dengan harapan yang sangat tinggi agar pelaksanaan otonomi daerah yang sebelumnya dilaksanakan secara sentralistik berubah menjadi lebih desentralistik justru dianggap menimbulkan banyak masalah. Hal itu sebagai akibat negatif di mana daerah diberi kewenangan dan keleluasaan yang sangat luas untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Pada gilirannya, pelaksanaan otonomi daerah yang sangat luas tersebut tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat di daerah. Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan undang- undang tersebut ternyata tidak berhasil dengan baik, sehingga tujuan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Padahal, dengan diberikannya otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah menyebabkan daerah memiliki kekuasaan yang luar biasa besar dalam menentukan dan mengambil kebijakan menyangkut daerahnya. Semestinya, hal itu dijadikan peluang untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, maupun daya saing daerah. Namun yang terjadi justru sebaliknya di mana dengan otonomi yang sangat luas tersebut menimbulkan banyak ekses negatif, termasuk kebebasan daerah dalam memekarkan daerahnya menjadi daerah otonom baru. Sebagai akibatnya, banyak daerah provinsi, kabupaten, atau kota yang sibuk melakukan pemekaran daerah baru dengan melupakan keberadaannya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan masyarakat, maupun daya saing daerah. Akibat lain dari berlakunya undang-undang tersebut, selain banyak munculnya daerah baru, adalah timbulnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh daerah, seperti adanya kerusakan lingkungan, korupsi, konflik masyarakat, dan sebagainya. Hal itu disebabkan demikian besarnya kewenangan daerah kabupaten dan kota untuk mengambil kebijakan, sehingga tidak dapat dikontrol oleh provinsi maupun pusat. Pada akhirnya, tujuan semula dikeluarkannya undang-undang tersebut tidak berhasil diwujudkan sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian, era otonomi daerah yang sudah mulai dinikmati oleh daerah kemudian menjadi kehilangan momentum karena daerah tidak mampu memelihara dan menjaganya. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Penggantian tersebut dilakukan untuk mengubah paradigma yang dianut oleh undang- undang sebelumnya yang terlalu memberikan keleluasan sepenuhnya kepada daerah tanpa adanya mekanisme kontrol yang proporsional, termasuk dalam hal pemekaran daerah. Namun demikian, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga ternyata masih membuka peluang yang cukup besar bagi daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Hal itu dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Dengan demikian, semangat undang-undang tersebut masih sama dengan semangat undang-undang sebelumnya yang ”akan selalu membagi” wilayah atau daerah Indonesia ke dalam bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan dalam kurun waktu 2004 sampai dengan sekarang 2009 pemekaran daerah juga masih berlangsung. Hal itu dimungkinkan terjadi dan terus berlangsung karena memang undang- undangnya membuka peluang untuk itu. Sekalipun banyak pihak yang sudah menganjurkan upaya pemekaran tersebut dihentikan, hal itu tidak dilaksanakan oleh banyak daerah. Dengan demikian, ada di antaranya dalam proses pemekaran tersebut menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat sendiri atau dengan pemerintah induk provinsikabupaten kota bahkan dengan pemerintah pusat. Hal itu terjadi karena adanya pihak tertentu yang menginginkan pemekaran dan di lain pihak justru menentangnya dengan masing-masing alasannya. Apabila dibandingkan antara kedua ketentuan peraturan perundang- undangan tersebut, tampaknya tidak terlalu berbeda di mana keduanya sangat membuka peluang dilakukannya pemekaran daerah. Hal itu disebabkan persyaratan yang harus dipenuhi tidak ketat, termasuk posedurnya juga cukup sederhana. Sebagai contoh, tidak adanya syarat yang mewajibkan persetujuan dari daerah lain dalam pembentukan daerah baru. Misalnya, apabila akan dibentuk provinsi baru, semua provinsi di Indonesia harus menyetujui pembentukan provinsi baru tersebut. Hal itu sangat penting, di samping akan mempengaruhi alokasi anggaran masing- masing provinsi yang sudah ada, pembentukan daerah baru juga akan menjadi penyebab berubahnya administrasi kependudukan, kepegawaian, penghasilan daerah, potensi daerah, dan sebagainya. Demikian pula halnya dalam pembentukan kabupatenkota baru harus mendapatkan persetujuan dari semua kabupatenkota yang ada dalam provinsi yang sama. Selain fakto-faktor yang sama dalam pembentukan provinsi, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah terjadinya “gangguan” terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Misalnya, akan terjadi pemungutan retribusi baru oleh kabupatenkota baru bagi warganya yang akan melintasi daerah baru tersebut, padahal sebelumnya tidak dipungut retribusi karena masih merupakan bagian daerah kabupatenkota yang bersangkutan. Apabila sudah berdiri sendiri sebagai kabupatenkota, daerah tersebut akan menerapkan ketentuan yang menguntungkan daerahnya sendiri, tidak peduli apakah “korbannya” adalah tetangganya yang sebelumnya adalah sesama warga kabupatenkota sebelum pemekaran daerah induk. Sekalipun dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah diatur tentang pembatasan waktu berapa lama suatu daerah yang sudah dimekarkan dapat dimekarkan lagi, baik untuk daerah lama yang sudah pernah dimekarkan maupun daerah baru yang kemudian akan dimekarkan lagi, praktiknya hal itu sangat riskan. Alasannya, waktu 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupatenkota dirasakan kurang karena dalam waktu sesingkat itu pemerintahannya belum stabil seperti halnya suatu provinsi atau kabupatenkota yang sudah lama berdiri. Sebagai contoh, provinsi Jawa Barat sudah pernah dimekarkan dengan dibentuknya provinsi Banten pada tahun 2001. Berapa lama sebenarnya kemudian provinsi Jawa Barat dapat dimekarkan lagi ke dalam provinsi baru? Hal ini sangat penting untuk memperoleh kejelasan karena sekarang ini sudah muncul pembentukan provinsi Cirebon dan provinsi Pantai Utara Pantura. Demikian pula halnya untuk pembentukan kabupatenkota baru harus ada penegasan hal yang sama.

D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah a. Telaah Terhadap Mekanisme Perimbangan Keuangan