dana perimbangan yang berasal dari pembagian pajak dan sumber daya alam. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, dana tersebut disebut sebagai Bagian
Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
264
. Sementara itu dalam UU No. 33 Tahun 2004, istilah dana tersebut diubah menjadi dana bagi hasil DBH. Perubahan
tersebut, tidak hanya sekedar penggantian istilah, namun juga ditambah dengan perubahan asal dana yang dibagi, yaitu dalam hal jenis pajak
265
. Khusus mengenai dana perimbangan lainnya, istilah dan substansinya tetap
dipertahankan dalam UU No. 33 Tahun 2004, yaitu dana alokasi umum DAU, dan dana alokasi khusus DAK, namun berbeda dari segi
formulanya. Mengenai DBH, DAU dan DAK akan dibahas selanjutnya. Walaupun inti dari hubungan keuangan pusat daerah adalah
perimbangan keuangan, namun hubungan keuangan pusat-daerah juga berkaitan dengan pembiayaan urusan pusat yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah dan oleh aparat pusat yang juga unsur pemerintah daerah. Hal ini disebabkan UU No. 33 Tahun 2004, tidak hanya mengatur
dana perimbangan dalam rangka desentralisasi, melainkan juga dana tugas pembantuan dan dana dekonsentrasi. Namun demikian, dalam penelitian ini
tidak dibahas mengenai dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi karena memerlukan penelitian tersendiri yang lebih mendetail.
1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
PAD yang sah.
266
Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan PAD, namun daerah dilarang menetapkan peraturan daerah
Perda tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan menetapkan Perda tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
264
Lihat Pasal 6 ayat 1 huruf a UU No.22 Tahun 1999.
265
Dalam UU No. 33 Tahun 2004, PPh tertentu juga menjadi DBH, sementara dalam UU No. 25 Tahun 2002, PPh tidak dijadikan pajak yang dibagi ke daerah.
266
Pasal 6 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004.
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan imporekspor.
267
Dalam UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah merupakan UU yang penting di bidang ini, karena menggantikan UU sebelumnya yang telah berlaku dalam waktu yang cukup lama Undang-
Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum
Retribusi Daerah. UU No. 18 Tahun 1997 mengatur kewenangan daerah untuk
memungut 3 pajak daerah untuk provinsi, 7 pajak daerah untuk kabupaten kota, dan 3 golongan retribusi daerah.
268
Dalam PP No. 20 Tahun 1997, ditentukan 11 jenis dari golongan retribusi jasa umum, 12 jenis untuk
golongan retribusi jasa usaha, dan 6 jenis golongan retribusi perizinan tertentu.
Setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999, UU N0.18 Tahun 1997 diubah untuk disesuikan, dan lahirlah perubahan pertama dari UU tersebut
UU No. 34 Tahun 2000. UU No. 34 Tahun 2000 menambahkan 1 jenis pajak daerah untuk provinsi dan 1 jenis untuk pajak daerah kabupaten kota.
Sementara itu, pengaturan mengenai retribusi daerah diatur dalam PP No.66 Tahun 2001 menggantikan PP No. 20 Tahun 1997 dan ditentukan 10 jenis
dari golongan jasa retribusi umum, 13 jenis untuk golongan retribusi jasa usaha, dan 4 jenis golongan retribusi perizinan tertentu yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah. UU No. 18 Tahun 1997 dan UU No. 34 Tahun 2000 sama-sama
mengatur bahwa selain jenis pajak daerah yang telah ditentukan dapat ditambahkan jenis pajak daerah lain berdasarkan kriteria yang ditentukan UU
tersebut sistem terbuka. Perbedaannya, UU No 18 Tahun 1997 mengatur
267
Pasal 7 UU No. 33 Tahun 2004.
268
UU No.18 Tahun 1997 tidak mengatur jenis-jenis retribusi daerah seperti halnya pajak daerah. Jenis-jenis retribusi daerah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 20 Tahun 1997.
bahwa penambahan jenis pajak daerah tersebut ditetapkan dalam PP
269
, sementara dalam UU No. 34 Tahun 2000, penambahan tersebut ditetapkan
dengan peraturan daerah.
270
Dalam hal retribusi daerah, PP No. 20 Tahun 1997 tidak memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan jenis retribusi lain selain
yang ditetapkan dalam PP tersebut sistem tertutup. Sementara itu, PP No.66 Tahun 2001 menentukan bahwa daerah dapat mengatur jenis retribusi
daerah selain yang ditentukan dalam kedua PP tersebut dengan kriteria yang ditentukan dalam UU No. 34 Tahun 2000 sistem terbuka. Penambahan
jenis retribusi daerah ditetapkan dalam bentuk Perda. Perbedaan pengaturan di atas mencerminkan bahwa UU No. 18
Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 memberikan kewenangan untuk menambahkan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah kepada
pemerintah pusat, sementara UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun 2001, memberikan kewenangan tersebut kepada pemerintahan daerah.
Dengan demikian, ketentuan dalam UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun 2001, memberikan otonomi yang lebih luas dibandingkan UU No. 18
Tahun 1997 dan PP No. 20 Tahun 1997 dalam menentukan jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah.
Menggantikan UU sebelumnya, UU No. 28 Tahun 2009 mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010.
271
Berbeda dengan dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan perubahan pertamanya UU No. 34 Tahun 2000,
UU No. 28 Tahun 2009, mengatur jenis pajak daerah sistem daftar tertutup
272
. Artinya, daerah tidak dapat memungut pajak daerah selain yang ditentukan dalam UU tersebut.
269
Lihat Pasal 2 ayat 3 UU No. 18 Tahun 1997.
270
Lihat Pasal 2 ayat 4 UU No. 34 Tahun 2000.
271
Lihat Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009.
272
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa 48 mengatakan: ”Sistem yang ditetapkan bersifat daftar
tertutup, artinya daerah hanya diperbolehkan memungut pajak dan retribusi sesuai undang- undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah, mencari, atau berkreasi
yang tidak baik dalam arti mencari-cari penghasilan asli daerah,” “Pajak Daerah Dibatasi,
UU No. 28 Tahun 2009 juga menambahkan jenis pajak daerah baru, masing –masing 1 untuk provinsi pajak rokok dan 3 untuk kabupaten kota
pajak sarang burung wallet, PBB pedesan dan perkotaan serta BPHTB.
273
Sebelumnya, semua PBB, termasuk PBB pedesaan dan perkotaan menjadi kewenangan pusat, BPHTB. Walaupun tidak semua jenis PBB diberikan
kewenangan kepada daerah, namun hal ini merupakan satu kemajuan dalam hal kewenangan daerah memungut pajak. Padahal jika dibandingkan dengan
negara-negara asia tenggara lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia PBB atau secara umum dikenal sebagai property tax sudah diberikan
kewenangannya kepada daerah sejak lama.
274
Pungutan atas usaha rokok sebelumnya, hanya dikenal pungutan cukai rokok, sementara dalam UU No. 28 Tahun 2009, selain cukai rokok
yang menjadi kewenangan provinsi, cukai rokok pun tetap diberlakukan dan tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pajak rokok sebagai pajak
daerah baru ditentukan untuk dipungut instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok.
275
Pajak rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014.
276
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok yang ditetapkan pemetintah terhadap rokok dan tarif pajak rokok ditentukan sebesar 10 dari
cukai rokok.
277
Hasil penerimaan pajak tersebut juga merupakan objek pembagian antara kabupaten kota dan provinsi. Hasil penerimaan pajak
tersebut sebesar 70 dialokasikan untuk kabupatenkota
278
, sehingga provinsi menerima sisanya 30. Sementara itu, pajak sarang burung walet
Pelayanan kepada Masyarakat Wajib Ditingkatkan”, Kompas, Rabu, 5 Agustus 2009, diakses dari
http:koran.kompas.comreadxml2009080504112298pajak.daerah.dibatasi .
273
Ibid.
274
Filipina memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut the real property tax sejak diundangkannya Local Government Act 1959, sementara Thailand memberikan
kewenangan kepada daerah untuk memungut a single property based tax 1999. Malaysia juga memberikan kewenangan yang sama kepada daerah berupa property tax sejak
diundangkannya Local Government Act 1976 Act No. 171. Lihat, Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting Financial
Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003, hlm. 392, 393, 402, 405.
275
Pasal 27 ayat 3 UU No. 28 Tahun 2009.
276
Pasal 181 UU No. 28 Tahun 2009.
277
Lihat Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2009.
278
Pasal 94 ayat 1 huruf c UU No. 28 Tahun 2009.
merupakan pajak daerah yang dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya tersebut dengan tarif maksimal 10 .
279
Selain penambahan jenis pajak baru, UU No. 28 Tahun 2009 juga mengubah beberapa pengaturan pajak daerah yang sebelumnya telah ada
dalam UU sebelumnya. Pertama, pajak kendaraan bermotor menggunakan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya
dengan tarif 2 sampai maksimal 10 di mana ketentuan progresivitasnya ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama ditetapkan tariff minimal
1 dan maksimal 2.
280
Kedua, tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan maksimal 10
281
, namun tarif pajak untuk kendaraan umum dapat ditentukan 50 lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi.
282
Bila terjadi kenaikan harga tinggi atas BBM, pemerintah pusat dapat mengubah
besaran tarif Perda melalui Perpres.
283
Ketiga, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang semula merupakan
kewenangan Provinsi, digantikan istilahnya dengan pajak pengambilan dan pemanfatan air tanah dan air permukaan. Tidak sekedar menggantikan
nomenklatur, UU tersebut juga menentukan bahwa pajak air tanah menjadi pajak daerah kabupatenkota, sementara pajak air permukaan menjadi pajak
daerah provinsi,
284
dan air permukaan yang hanya di satu kabupatenkota berlaku aturan khusus.
285
Keempat, ada beberapa jenis pajak daerah yang sudah ada, basis pajaknya tax base diperluas, yaitu, Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah,
286
Pajak Hotel diperluas hingga
279
Pasal 75 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2009.
280
Pasal 6 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2009.
281
Pasal19 ayat1 UU No. 28 Tahun 2009.
282
Pasal19 ayat2 UU No. 28 Tahun 2009.
283
Pasal19 ayat3 UU No. 28 Tahun 2009.
284
Lihat Pasal 2 ayat1 huruf d, dan Pasal 2 ayat 2 huruf h UU No. 28 Tahun 2009.
285
Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupatenkota yang bersangkutan sebesar 80 delapan puluh persen. Lihat Pasal 94 ayat 2 UU No. 28
Tahun 2009.
286
Tarif pajak Kendaraan pemerintah termasuk TNIPOLRI, dan Pemerintah Daerah bersama Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial
keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan
mencakup seluruh persewaan di hotel,
287
Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering,
288
tarif Pajak Hiburan untuk hiburan – hiburan tertentu dinaikkan hingga mencapai tariff maksimal 75.
289
Kelima, ada beberapa jenis pajak yang hasil penerimaan ditentukan penggunaannya,
yaitu Pajak Kendaraan Bermotor minimal 10 dari hasi penerimaan pajak ini untuk belanja infrastruktur jalan pembangunan danatau pemeliharaan
jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di daerahnya
290
; Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupatenkota, dialokasikan paling sedikit 50 lima puluh persen untuk
mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang
291
; dan Pajak Penerangan Jalan juga sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.
292
2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil