Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah

3. Pasal 9 ayat 1 dan 2 menentukan sumpah jabatan presiden … dengan menyatakan “Demi Alloh”. 4. Pasal 28J ayat 2: Hanya saja paham kedaulatan Tuhan itu tidak terjelma atau terwujudkan dalam diri Raja atau Ratu seperti dalam paham teokrasi theocracy yang pernah dipraktikkan dalam sejarah negara-negara Eropa Masa lalu. Ide kedaulatan Tuhan itu diwujudkan dalam prinsip kebebasan setiap individu dalam sistem demokrasi dan dicerminkan pula dalam sistem hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar.

B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah

UUD 1945 telah memberikan dasar-dasar pola hubungan antara Pusat dan Daerah, meliputi desentralisasi teritorial, dengan asas otonomi dan tugas pembantuan, dan memberikan otonomi seluas-luasnya. Dengan pemberian otonomi seluas-luasnya seperti itu, seharusnya sudah memungkinkan bagi daerah-daerah untuk beragam memiliki urusan. Walaupun demikian melalui berbagai peraturan pelaksana, dapat terlihat berbagai ketidakkonsistenan dengan landasan konstitusional ini, pada dimensi-dimensi hubungan pusat dan daerah. Titinjau dari pola hubungan kewenangan, dari ketentuan Pasal 18 ayat 5 UUD 1945 dan Pasal 2 ayat 3 UU No. 322004 dapat diambil beberapa hal. Pertama, kedua ketentuan di atas menggunakan kata ‘kecuali’ exception dalam hal pembagian kewenangan. Kata kecuali dapat diartikan membatasi. Dalam hal ini membatasi urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Jika ketentuan ini diidentifikasi sebagai rumusan limitatif, maka urusan pemerintah pusat itu terbatas pada enam urusan ini. Di luar enam urusan ini merupakan urusan pemerintahan daerah. Pemahaman seperti ini dikenal dengan pendekatan residual. Residual powernya ada pada pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah memiliki otonomi yang luas. Kedua, pelaksanaan pemerintahan daerah yang berdasarkan otonomi seluas-luasnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Tujuan-tujuan tersebut sejalan dengan fungsi negara dan pemerintah pada masa modern yang secara umum dikatakan sebagai negara pelayan the service state. Apa isi pelayanan itu? Kalau digolongkan terdapat tiga fungsi negara atau pemerintah terhadap rakyat, yaitu politik, keamanan dan ketertiban hukum, kemasyarakatan ekonomi, sosial, dan lain-lain. Sebagai ujung tombak mewujudkan negara kesejahteraan, tugas utama pemerintahan daerah di bidang kemasyarakatan adalah yang berkaitan dengan penyediaan prasarana dan sarana publik public utilities, pelayanan umum public services, dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kenyamanan dan ketenteraman warga. 366 Berkaitan dengan daerah istimewa dan otonomi khusus, perkataan ‘khusus’ dalam Pasal 18B UUD 1945 akan memiliki cakupan yang lebih luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus Aceh dan Papua. 367 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa. 368 Dengan demikian tidak dapat lagi dijumpai perbedaan mendasar antara ‘khusus’ dan ‘istimewa’ atau dengan kata lain tidak terdapat ‘kriteria baku’ yang dapat digunakan untuk membedakan kedua istilah tersebut. 369 Ketiadaan kriteria baku ini mengandung resiko-resiko tertentu karena suatu daerah dapat saja menuntut suatu kekhususan semata-mata didasarkan pada faktor-faktor tertentu. 370 Dari persoalan tersebut, jika otonomi dimaknai sebagai sebuah pengakuan atas keberagaman, maka tidak perlu penyeragaman terlalu banyak baik melalui rincian pembagian urusan maupun pedoman dan standard. Demikian pula penjabaran RPJP saat ini cenderung mengubah kepentingan sektor menjadi kepentingan wilayah. Jika otonomi dijalankan sebagaimana yang dimaksud dalam Perubahan UUD 1945, maka akan ditemukan bahwa pada setiap daerah memiliki karakter khusus. Sementara itu pemberian otonomi khusus seperti yang diberlakukan dalam berbagai UU saat ini lebih merupakan anomali. Berimplikasi kepada kelembagaan, perangkat di pusat tidak perlu gemuk, kalau urusan-urusan pemerintahan didesentralisasikan. 366 Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008, hlm. 4. 367 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 15-16. 368 Ibid., hlm. 16. 369 Ibid. 370 Ibid. Ketidakkonsistenan otonomi kemudian muncul melalui pembagian kewenangan yang dirinci melalui PP No. 38 tahun 2007, yang mengurangi keberagaman daerah sebagai bagian dari hakikat otonomi. “penyelundupan” desentralisasi pun terjadi pula melalui UU sektoral yang menarik urusan yang sudah didesentralisasikan, menjadi kewenangan pusat, misalnya pada UU Kehutanan. Inkonsistensi terjadi pula dalam UU Olah raga dan penyuluhan pertanian yang menghendaki pembentukan semacam lembaga pelaksana di daerah. Kekhususan urusan kemudian terjadi dalam pengaturan Pasal 18B UUD 1945. Perkataan ‘khusus’ tersebut akan memiliki cakupan yang lebih luas karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus Aceh dan Papua. 371 Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa. 372

C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah