Telaah terhadap Pengawasan Peraturan Daerah

Pada tahun 2007 keluar persyaratan baru terhadap pemekaran yang dipandang lebih ketat. 427 Di dalamnya diatur bahwa pemberian status daerah baru didahului dengan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 428 PP tersebut mengatur pula mengenai kemungkinan pencabutan status daerah jika dinilai tidak mampu. 429 Pertanyaan pun muncul dari sebagian kalangan mengenai dapatkah aturan baru itu memperlambat atau bahkan menghentikan lajunya usulan pemekaran yang semakin marak. 430 Satu sisi dinilai bahwa PP tersebut menetapkan syarat yang lebih ketat, di sisi lain, ternyata pada tahun 2008, pembentukan daerah-daerah baru terjadi bahkan melebihi 50 persen jumlah produk undang-undang. Persoalan-persoalan di atas sedikitnya memunculkan tantangan mengenai bagaimana pembinaan dan pengawasan dapat menyeimbangkan tarik ulur antara hubungan pusat dan daerah. Pengaturan yang berlaku sebagai rangkaian pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak final unuk diarahkan menengahi spanning yang senantiasa memungkinkan muncul dalam hubungan pusat dan daerah.

2. Telaah terhadap Pengawasan Peraturan Daerah

Berbicara negara kesatuan, dikatakan oleh CF strong, the supreme legislative power by one central power. Hanya satu kekuasaan legislatif, yaitu di tangan pemerintah pusat. Oleh sebab itu di dalam negara kesatuan kedudukan pemerintah pusat lebih tinggi daripada pemerintah daerah. Dengan kata lain, ada satu sistem hukum yang harus diikuti sampai ke 427 SB, Memperlambat Laju Pemekaran Daerah, Harian KOMPAS, Rabu, 16 Januari 2008, dalam Publikasi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah KPPOD, http:kppod.orgindindex.php?option=com_contenttask=viewid=329Itemid=2 , pada 8122009 2:01:32 PM 428 Pasal `22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah 429 Bab IV dan Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. 430 SB, Memperlambat …, Op.cit.. daerah-daerah otonom. Hanya satu sistem hukum, yaitu yang dibuat oleh kekuasaan legislatif tertinggi. Inilah yang mendasari harus ada pengawasan pusat terhadap daerah. Pada intinya adalah apakah daerah tidak menyimpang terhadap sistem perundang-undangan. Agar tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan secara nasional. Maka harus ada pengawasan pusat terhadap daerah. Ini mempertegas bahwa yang diawasi adalah peraturan perundang-undangan. Yang lebih jelas lagi adalah dalam perundang-undangan adalah perda dan peraturan kepala daerah. Ini kaitannya dengan teori negara hukum, kegara kesatuan, dan demokratisasi. Untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah menyerahkan sebagian urusan kepada daerah dalam rangka mencapai tujuan itu. Bentuk dan lingkup pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah, ternyata berbeda-beda, baik bentuk maupun lingkup pengawasannya. Dengan demikian, berdasarkan sejarah perkembangan pengawasan Pusat terhadap Daerah menurut UUD 1945, dalam implementasinya diatur dan dijabarkan berbeda-beda oleh berbagai undang-undang. Bentuk maupun ruang lingkupnya terus berkembang dinamis mengikuti perkembangan kehidupan sosial politik yang ada pada kurun waktu yang berbeda. Berdasarkan perkembangan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang pernah diatur dalam peraturan perundang- undangan sampai sekarang terdapat 3 tiga bentuk yakni pengawasan preventif, pengawasan represif dan pengawasan umum. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur 2 dua bentuk pengawasan yakni pengawasan preventif dan pengawasan represif. Sedangkan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1974 mengatur 3 tiga bentuk pengawasan yakni pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 hanya mengatur pengawasan represif saja. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, pengawasan preventif dilaksanakan melalui tindakan pengesahan terhadap peraturan daerah bidang tertentu yakni Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Jadi, sebuah peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah terlebih dahulu harus dilakukan evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Peraturan Daerah Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota. Apabila hasil evaluasi tersebut, ternyata rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bertentangan dengan peraturan perundang-undangan danatau kepentingan umum, maka daerah yang bersangkutan harus melakukan revisi agar tidak bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi danatau kepentingan umum. Setelah melalui proses tersebut, maka Peraturan Daerah dapat diberlakukan oleh Daerah. Dengan adanya pengawasan preventif, peraturan daerah tidak serta merta berlaku, namun terlebih dahulu dilakukan evaluasi oleh pemerintah pusat danatau pemerintah provinsi. Pada masa berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata pengawasan preventif ditiadakan. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, UU No. 22 Tahun 1999 mengambil jalan politik baru yaitu meniadakan pengawasan preventif dalam pembentukan peraturan daerah. Peraturan daerah akan serta merta berlaku karena tidak memerlukan pengesahan. Yang ada adalah pengawasan represif yaitu wewenang membatalkan atau penundaan. 431 Terhadap pengawasan preventif ini, menurut Bagir Manan, 432 terdapat segi positif dan negatifnya. Positifnya, pengawasan preventif dapat menjadi daya kendali atau belenggu terhadap inisiatif daerah. Melalui pengawasan preventif, daerah “dipaksa” selalu tunduk pada kemauan pihak yang berwenang memberi pengesahan. Segi negatifnya, tidak ada unsur pencegahan terhadap kekeliruan, kecerobohan, atau kesalahan suatu peraturan daerah. 431 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,…, Op., Cit., hlm. 154. 432 Ibid. Pengawasan represif, sebagaimana dikemukakan di atas adalah wewenang untuk membatalkan atau penundaan berlakunya peraturan daerah. Jadi pengawasan represif dilakukan setelah suatu peraturan daerah mempunyai akibat hukum, baik dalam rangka desentralisasi maupun tugas pembantuan. Pelaksanaan pengawasan preventif berada pada posisi “lebih awal” dari pengawasan represif. Daya campur tangan terhadap daerah juga menjadi lebih besar. Pengawasan preventif mengandung “prasyarat” agar peraturan daerah atau yang mengandung sifat tertentu dapat dijalankan. Pembatasan terhadap pengawasan preventif lebih ketat dibanding pengawasan represif. Salah satu pembatasan adalah dengan cara mengatur atau menentukan secara pasti jenis atau macam peraturan daerah yang memerlukan pengesahan. Memahami pengaturan dan praktik pengawasan dalam rangka penyelenggaran pemerintahan daerah yang berjalan selama ini, bentuk pengawasan yang seyogyanya dikembangkan atau diterapkan dalam Undang-undang yang mengatur pemerintahan ke depan adalah bentuk pengawasan preventif dan pengawasan represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dapat dikatakan sudah sangat tepat mengatur pengawasan preventif dan pengawasan represif ini, karena telah diatur dengan jelas dan rinci ruang lingkup dari kedua bentuk pengawasan tersebut serta ditentukan dengan tegas batas-batas ruang lingkupnya sehingga diharapkan dapat dicegah tindakan Pemerintah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah untuk bertindak sewenang-wenang atau melampaui kewenangan. Selain itu, sejalan dengan pelaksanaan pengawasan represif, yang berupa pembatalan terhadap produk-produk hukum daerah, ternyata Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 demi terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis telah memberi saluran hukum ‘judicial review’ kepada Daerah yang keberatan produk-produk hukumnya telah dibatalkan, yakni dengan cara mengajukan perkara pembatalan ini ke lembaga yudisial, dalam hal ini Mahkamah Agung. Dengan pengaturan atau peran lembaga Yudisial Mahkamah Agung dalam rangka pengawasan represif Pusat terhadap Daerah, terlihat bahwa lingkup pengawasan Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah hanya sebatas pengawasan dalam bidang administrasi pemerintahan atau administrasi negara. Selain itu peran tersebut tidak dalam kerangka memberikan keputusan-keputusan yang bersifat hukum yudisial. Dalam hal pengawasan oleh Pemerintah Pusat terhadap Daerah, apabila adanya kejanggalan-kejanggalan atau dugaan penyimpangan dalam materi hukum produk-produk hukum Daerah, maka Pemerintah Pusat dapat memberikan evaluasi serta rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan untuk pembenahan. Selanjutnya, apabila pembatalan oleh Pemerintah Pusat tidak dapat diterima, Daerah dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung, kemudian atas dasar putusan yudisial dari Mahkamah Agung tersebut, Pemerintah Pusat apabila memenangkan sengketa melalui Mendagri sesuai dengan wewenangnya dapat mengintruksikan kepada Daerah yang bersangkutan untuk segera mencabut dan mengubahnya. Atas dasar wewenang pengawasan yang diberikan kepadanya, Pemerintah Pusat juga dapat menerapkan sanksi administratif kepada Daerah yang sengaja atau lalai melaksanakan perintah untuk mencabut dan mengubah peraturan daerah yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung itu. Berdasarkan gagasan sebagaimana tersebut di atas, maka paling tidak dalam praktik penyelenggaran daerah, keberadaan pengawasan dilihat dari mekanisme yang diatur di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 itu dapat menghindari 2 dua hal yang kontra produktif. Pertama, terhindar adanya intervensi lembaga Pemerintah badan eksekutif terhadap fungsi yudisial pengadilan. Kedua, terhindar timbulnya dominasi eksekutif atas pemerintahan daerah Kepala Daerah dan DPRD yang telah menetapkan produk-produk hukum secara demokratis. Di antara penggolongan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, yang dipandang tepat yaitu preventif, represif administrative, yang dilengkapi dengan pengawasan yudisial. Apabila berkebaratan perdanya dibatalkan, dapat mengajukan ke mahkamah agung. Itu yang tidak dapat berjalan dalam praktik. Dengan demikian telah terlaksana pengawasan secara demokratis. Pada intinya bahwa pengaturan tentang pengawasan saat ini menuju kepada yang ideal. Apakah control sama dengan review? Dapat dikatakan ya, karena yang dikontrol adalah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini perda atau peraturan kepala daerah. Berbeda dengan legislative review, yaitu dilakukan oleh DPRDPRD. Berbicara pengawasan dari pusat dan daerah hanya dua macam, represif dan preventif. tapi UU No. 32 Tahun 2004 nampaknya sejalan dengan otonomi seluas-luasnya daerah diberikan kesempatan untuk banding. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa persoalan mengenai apakah pengaturan pengawasan preventif dan represif terhadap perda, ditambah pengawasan yudisial sudah tepat, terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan. Pertama, Selama ini yang diverifikasi adalah lebih kepada legislative drafting, bukan karena semata-mata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum. Dengan demikian apakah cocok pengawasan preventif terhadap empat hal tertentu? Nampaknya pengawasan secara represif untuk semua bidang cenderung lebih baik. Hal tersebut terkait dengan agenda-agenda pembangunan daerah yang membutuhkan proses yang lebih efisien. Biarkan setiap norma menjadi sah sampai ditentukan lain. Kedua, di sisi lain dapat dipandang bahwa bentuk pengawasan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini sudah mendekati bentuk yang ideal. Letak kedaulatan rakyat dalam pola hubungan pengawasan antara pusat-daerah dalam UU ini adalah pemberian ruang bagi pemerintah daerah untuk menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung atas pembatalan perda.

3. Telaah Terhadap Bentuk-Bentuk Lingkup dan Objek Pengawasan