provinsi dan 7 tahun untuk kabupatenkota dirasakan kurang karena dalam waktu sesingkat itu pemerintahannya belum stabil seperti halnya suatu
provinsi atau kabupatenkota yang sudah lama berdiri. Sebagai contoh, provinsi Jawa Barat sudah pernah dimekarkan dengan dibentuknya provinsi
Banten pada tahun 2001. Berapa lama sebenarnya kemudian provinsi Jawa Barat dapat dimekarkan lagi ke dalam provinsi baru? Hal ini sangat penting
untuk memperoleh kejelasan karena sekarang ini sudah muncul pembentukan provinsi Cirebon dan provinsi Pantai Utara Pantura.
Demikian pula halnya untuk pembentukan kabupatenkota baru harus ada penegasan hal yang sama.
D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah a. Telaah Terhadap Mekanisme Perimbangan Keuangan
Dilihat dari substansi pengaturannya, UU No. 33 Tahun 2004 memperbaiki ketentuan UU sebelumnya UU No. 25. Tahun 2000 terkait
dengan jenis –jenis dana perimbangan, persentase yang lebih besar, adanya dana perimbangan yang peruntukannya di atur 0, 5 DBH sektor Migas
untuk alokasi pendidikan dasar
384
dan sanksinya jika ketentuan tersebut dilanggar
385
, serta dalam mekanisme dana perimbangan sebagai instrumen pengendali pengelolaan keuangan daerah.
386
Namun demikian, ada beberapa hal yang masih menjadi masalah dalam UU tersebut atau jika
dikaitkan dengan UU lainnya. UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekan pada pembagian pendapatan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konteks tersebut, penyempurnaan jenis-jenis dana perimbangan, termasuk asal dananya, serta
persentase dana perimbangan menjadi perhatian utama dalam UU tersebut.
384
Lihat Pasal 20 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004.
385
Berupa pemotongan DBH sektor Migas. Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004.
386
Hal tersebut berupa ancaman sanksi penundaan atau pemotongan dana perimbangan jika daerah melanggar larangan melakukan pinjaman luar negeri, kriteria dan batas defisit
APBD, kewajiban menyampaikan informasi keuangan daerah sesuai dengan standard akuntansi pemerintah. Lihat Pasal 50 ayat2, Pasal 83 ayat4, Pasal 102 ayat 3 UU No.
33 Tahun 2004.
Dalam konteks tersebut, UU No. 33 Tahun 2004 lebih menekankan konsep desentralisasi fiskal pada transfer dana pusat ke daerah. Padahal
desentralisasi fiskal tidak hanya mencakup hal tersebut, tetapi juga menjamin daerah untuk lebih mandiri mendapatkan sumber-sumber penerimaan
daerah sesuai dengan potensinya. Transfer dana pusat ke daerah seharusnya ditempatkan sebagai mekanisme penyeimbang dalam hal
mengatasi masalah ketidakseimbangan kemampuan keuangan secara vertikal dan horizontal vertical and horizontal fiscal imbalance.
387
Padahal jika dikaitkan dengan konsep desentralisasi fiskal, maka sangat besarnya
transfer dana dari pusat ke daerah akan menyebabkan ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat.
388
DAU yang didasarkan pada perhitungan celah fiskal dapat mengatasi persoalan vertical imbalance antara pusat dengan daerah. Daerah-daerah
miskin dan terpencil mendapatkan keuntungan yang besar dari pola DAU dalam UU No. 3 Tahun 2004 terutama sejak tahun 2006, yang disebut oleh
Fengler dan Hofman sebagai the second big bang.
389
Sementara itu, daerah- daerah yang memiliki DBH baik dari sektor pajak, dan terutama DBH sumber
daya alam, pasti memiliki DAU lebih kecil sehingga antara daerah-daerah yang kaya dengan daerah-daerah miskin dan terpencil dapat tercipta
keseimbangan kemampuan keuangan secara horizontal. Namun demikian, walaupun secara normatif dan perhitungan “di atas kertas” tercipta
keseimbangan baik vertikal maupun horizontal, namun kenyataannya dana- dana tersebut sebagian besar tidak terserap, seperti di Aceh dan daerah
Indonesia timur, dana-dana perimbangan tersebut lebih banyak berada di rekening bank,
390
atau dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia SBI,
391
387
Roh Bahl, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl eds, loc.cit., hlm. 10 – 11.
388
Lihat pendapat K. Brueckner, loc.cit., hlm. 1.
389
Istilah big bang decentralization mengacu pada fenomena desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 efektif pada tahun 2001 yang mengubah Indonesia dari negara
sentralistis menjadi negara terdesentralisasi secara drastis. Lihat Wolfgang Fengler, Bert Hofman, “Managing Indonesia’s Rapid Decentralization: Achievements And Challenges”,
dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl eds, op.cit., hlm. 245 – 246.
390
Ibid., hlm. 254.
391
Ibid., hlm. 246.
sementara secara kontras, penyerapan PAD lebih mudah dilakukan. Meminjam istilah Fengler dan Hofman, daerah lebih mudah menyerap “dana
rakyat yang lain”
392
PAD. Fengler dan Hofman sendiri menegaskan persoalan ke depan yang menjadi tantangan bukanlah bagaimana
menambah transfer dana dari pusat ke daerah – daerah miskin dan terpencil, tetapi bagaimana mengelola dana-dana transfer tersebut secara efektif.
393
Selain menumpuknya dana-dana transfer dari pusat, belanja daerah pun lebih banyak dikeluarkan untuk membiayai gaji pegawai, dibandingkan
belanja lain yang terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah, seperti belanja modal atau infrastruktur.
394
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal Indonesia lebih banyak ditekankan pada otonomi
pengeluaran, walauapun hasilnya tidak efektif. Dengan kata lain, tantangan desentralisasi Indonesia di kemudian hari tidak hanya ditekankan pada
efektifitas penggunaan sumber-sumber keuangan daerah secara efektif. Persoalan yang juga signifikan adalah tingkat otonomi dan kecukupan
pendapatan revenue autonomy and adequacy untuk mendapatkan PAD. Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak daerah dan
retribusi daerah, namun hal tersebut tidak efektif. Pajak daerah dan retribusi daerah yang diberikan kewenangannya kepada daerah dalam UU No.18
Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 sangat terbatas. Pajak daerah dalam UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 lebih menekankan pada
keseragaman antar daerah, dalam bentuk kewenangan memungut pajak tertentu positive list yang basis pajaknya objeknya telah ditetapkan dalam
undang-undang.
395
Walaupun daerah dapat menetapkan jenis pajak daerah lain berdasarkan kriteria yang ditetapkan UU tersebut, namun sangat sulit
392
Ibid., hlm. 255.
393
Loc.it., hlm. 246.
394
Misalnya pada tahun 2006 APBD Kabupaten Kota untuk belanja pegawai termasuk gedung-gedung pemerintah daerah mencapai 32 dari seluruh pengeluaran, yang juga
disebabkan karena meningkatnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Sementara itu, belanja infrastruktur yang terkait langsung dengan pelayanan publik hanya mencapai 15.
Lihat World Bank 2007, Spending for Development — Making the Most of Indonesia’s New Opportunities Public Expenditure Review 2007, Jakarta 2007.
www.worldbank.orgid .
395
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007, hlm. 264.
ditemukan jenis pajak daerah baru, karena ketatnya kriteria-kriteria tersebut.
396
Praktiknya, hasil pajak daerah dan retribusi daerah tidak berkontribusi signifikan terhadap PAD, terutama kepada kabupaten kota.
397
Bahkan hasil yang diperoleh dari pajak dearah dan retribusi daerah lebih kecil dari pada biaya pemungutannya
398
dan sebagian besar akibat dari pajak daerah dan retribusi daerah tersebut menyebabkan ekonomi berbiaya
tinggi sehingga merusak iklim investasi.
399
Hal – hal di atas mencerminkan masih rendahnya tingkat otonomi pendapatan dari daerah.
Dengan diundangkannya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menggantikan UU sebelumnya, terdapat
beberapa perubahan signifikan, salah satunya adalah penambahan pajak daerah dan retribusi daerah baru. Namun demikian, dengan diterapkannya
sistem penetapan jenis pajak daerah secara tertutup, menimbulkan pertanyaan, apakah otonomi pendapatan dari daerah semakin menguat atau
semakin melemah? Salah satu alasan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 karena
selama ini penyerahan kewenangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
400
Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan.
401
Dengan argumentasi demikian, UU No. 28 Tahun 2009 mengatur perluasan basis
pajak dengan menambah pajak daerah dan retribusi daerah yang baru. Namun demikian, apakah pajak-pajak daerah yang baru dapat menjamin
hasil pungutan pajak daerah yang besar pula dan apakah tersebut dapat
396
Ibid., hlm. 266.
397
Di tingkat kabupaten kota kontribusi PAD hanya menyumbang kurang dari 10 terhadap APBD. Tjip Ismail, op.cit.,hlm. 263.
398
Biaya penyelenggaraaan pajak daerah dan retribusi daerah mencapai lebih dari 50 dari hasil yang diterima. Wolfgang Fengler, Bert Hofman, op.cit.,hlm. 255.
399
Ibid., hlm. 256.
400
Penjelasan Umum paragraf 8 UU No. 28 Tahun 2009.
401
Ibid.
meningkatkan kemandirian daerah dalam upaya peningkatan PAD secara tepat?
Dari jenis pajak daerah baru tersebut, hanya pajak rokok yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap PAD dengan tarif 10 dari cukai
nasional dan sebagian lagi dari pajak hiburan yang dapat mencapai tariff maksimum 75 untuk hiburan-hiburan tertentu.
402
Namun demikian, khusus mengenai pajak rokok, terdapat kejanggalan dalam konteks pemungutan.
Walaupun pajak rokok adalah pajak daerah provinsi, namun yang melakukan pemungutan pajak adalah instansi pemerintah berwenang memungut cukai
bersamaan dengan pemungutan cukai rokok
403
, yang artinya pemerintah pusat. Hal ini merupakan mekanisme yang tidak menciptakan kemandirian
daerah untuk melakukan pemungutan pajak daerah. Pajak rokok lebih tampak seperti dana perimbangan dari konsumsi rokok, karena dipungut oleh
pemerintah pusat lalu disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
404
Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan PBB Pedesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan BangunanBPHTB
sebenarnya bukan pajak baru, karena hal tersebut merupakan pajak pusat yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada daerah sebagai dana bagi
hasilDBH dari sektor pajak.
405
Sementara itu, Pajak Sarang Burung Walet dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki potensi ini. Artinya, tidak semua
daerah dapat memungut pajak daerah tersebut, karena tidak setiap daerah memiliki potensi sarang burung walet.
Perluasan objek pajak daerah, misalnya untuk pajak hotel dan restoran sebenarnya juga bukan hal baru. Beberapa daerah juga telah
402
Hiburan tertentu yang dimaksud adalah Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan
mandi uapspa. Lihat Pasal 45 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2009.
403
Pasal 27 ayat 3 UU No.28 Tahun 2009.
404
Pasal 27 ayat 4 UU No.28 Tahun 2009.
405
Pengaturan persentase perimbangan alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 : 90 untuk DBH PBB dan 20 : 80 untuk DBH BPHTB. 10
bagian pusat dari PBB dan 20 bagian pusat dari BPHTB dibagikan seluruhnya kepada daerah dengan formula tertentu. Lihat Pasal 12 ayat 2 dan ayat5 UU No. 33 Tahun 2004.
menetapkan jenis pajak daerah di luar UU No. 34 Tahun 2000, yang menyerupai perluasan objek pajak tersebut, misalnya pajak rumah kos di
Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, perluasan objek pajak tersebut sebenarnya hanya mengambil dan mengukuhkan secara nasional pajak-
pajak daerah yang sebelum telah dipungut di beberapa daerah. Pajak Kendaraan Bermotor PKB yang tarifnya ditentukan secara
progresif pun di mulai dari prosentase tariff 1 untuk kepemilikan kendaraan pribadi yang pertama, walaupun untuk kendaraan kedua dan seterusnya
dapat naikkan secara progresif hingga 10. Secara sepintas, pajak tersebut dapat menghasilkan dana yang besar mengingat tingginya pembelian
kendaraan bermotor. Namun demikian, jika mekanisme pengawasan tentang kepemilikan kendaraan bermotor tidak ditetapkan dengan baik, maka
kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum dapat mengakibatkan hasil pemungutan pajak tersebut tidak signifikan.
Begitu pula dengan pemecahan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan menjadi Pajak Air Tanah kabupaten kota dan Pajak Air
Permukaan untuk provinsi, pada dasarnya memiliki objek pajak yang tidak berubah, dengan tarif yang sama dengan UU sebelumnya untuk Pajak Air
Tanah maksimal 20
406
, namun lebih rendah untuk Pajak Air Permukaan maksimal 10.
407
Hal – hal di atas menunjukkan bahwa pemberian pajak baru, penyesuaian tarif pajak daerah tidak dapat dipastikan dapat meningkatkan
PAD. Apalagi jika dikaitkan dengan kemungkinan masalah yang muncul dalam praktik, misalnya mekanisme pengawasan kepemilikan kendaraan
bermotor pribadi dengan tariff pajak progresif. Jika mekanisme tersebut tidak dibentuk, maka pelaksanaan pemungutan pajak tersebut, berpotensi
menimbulkan ketidakadilan.
408
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka otonomi
406
Pasal 70 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2009.
407
Pasal 24 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2009.
408
UU No. 28 Tahun 2009 tidak mewajibkan mekanisme balik nama jika terjadi peralihan hak atas kepemilikan kendaraan pribadi. Artinya, jika seseorang telah menjual
kendaraannya kepada orang lain tanpa melakukan balik nama, maka orang tersebut akan
pendapatan yang diharapkan dapat meningkat dengan adanya UU ini, belum tentu dapat terwujud.
Jika asumsi PAD dari sektor pajak daerah belum dapat ditingkatkan dengan adanya UU No. 28 Tahun 2009, maka dengan sistem penetapan
jenis pajak yang tertutup, daerah kurang dapat memanfaatkan potensi pajak daerah lain, selain yang telah ditetapkan secara limitatif dalam UU tersebut.
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa sistem tertutup tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat.
409
Namun demikian, pembentukan UU tersebut tidak melihat bahwa otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah otonomi seluas-
luasnya di mana urusan pemerintahan daerah sangat luas, mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
410
Artinya, dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, sehingga hal
tersebut harus didukung dengan sumber pendapatan yang juga sangat besar.
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa dengan sistem pajak daerah selama ini, banyak daerah yang melanggar kriteria yang
telah ditetapkan untuk menetapkan pajak daerah baru, ditambah dengan lemahnya pengawasan penetapan Perda Pajak Daerah dan perilaku banyak
daerah yang tidak menyampaikan Perda Pajak Daerah untuk dievaluasi.
411
Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2009 tetap menerapkan sistem yang semi terbuka untuk retribusi daerah. Artinya, selain retribusi daerah yang
ditetapkan dalam UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat menetapkan jenis retribusi daerah lain, berdasarkan kriteria yang ditetapkan.
412
Padahal pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 juga mengakui bahwa penetapan
dikenakan tariff progresif jika akan membeli kendaraan bermotor lagi untuk jenis yang sama, padahal orang tersebut secara de facto hanya memiliki 1 kendaraan pribadi.
409
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.
410
Pasal 18 ayat 5 Perubahan Kedua UUD 1945, menyatakan: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.
411
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.
412
Pasal 150 UU No. 28 Tahun 2009.
retribusi daerah yang banyak melanggar kriteria yang telah ditetapkan disebabkan, hasil penerimaan dari jenis pajak daerah yang ditetapkan, tidak
dapat memenuhi kebutuhan daerah.
413
Padahal dengan sistem pajak daerah yang sifatnya tertutup maka, pelangggaran terhadap kriteria jenis retribusi
daerah lain kemungkinan akan terulang kembali. Hal tersebut menunjukkan ambiguitas pemikiran para pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 dalam
mendudukkan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal-hal di atas menunjukkan, waluaupun terdapat upaya untuk
menambahkan kewenangan pajak daerah dan retribusi daerah dalam UU No. 28 Tahun 2009, namun hal tersebut tidak menjamin terciptanya otonomi
dan kecukupan pendapatan bagi daerah. Artinya, jika tujuan meningkatkan otonomi pendapatan dalam UU ini tidak tercapai, maka daerah akan tetap
bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pusat.
b. Telah Terhadap Pinjaman Daerah
Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 20004 dalam beberapa hal lebih baik jika dibandingkan dalam UU No. 25 Tahun 1999,
misalnya dalam hal batas kumulatif pinjaman yang lebih ketat, dan sanksi bagi daerah yang melanggar ketentuan tersebut. Dengan pengaturan yang
lebih ketat, tidak berarti daerah tidak memiliki borrowing previllage yang terbatas. Batas-batas objektif dalam melakukan pinjaman daerah diperlukan
agar hal tersebut sesuai dengan maksud pinjaman daerah, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan pembangunan yang
menerus sustainable development.
414
Adanya kategorisasi pinjaman daerah sesuai peruntukkannya dalam UU No. 33 Tahun 2004 merupakan
salah satu cara untuk menempatkan pinjaman daerah sesuai dengan kebutuhan pinjaman tersebut dilakukan.
Namun demikian, Menurut Shah, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia di mana pasar keuangan belum terbangun dengan
413
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.
414
Glasson dalam Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, loc.cit., hlm. 62.
baik untuk kredit jangka panjang dan kemampuan daerah untuk membayar pinjaman, menyebabkan akses daerah untuk melakukan pinjaman sangat
terbatas.
415
Dalam konteks tersebut, maka yang paling mungkin dilakukan di Indonesia adalah pinjaman jangka pendek dan menengah yang tidak
ditujukan untuk menghasilkan penerimaan. Artinya, pinjaman daerah di Indonesia hanya berperan untuk mempertahankan struktur APBD agar tetap
berimbang seiring dengan diterapkannya hard budget constraints dalam hal APBD. Pinjaman daerah di Indonesia belum dapat diberdayakan untuk dapat
menghasilkan penerimaan, walaupun jenis pinjaman tersebut disediakan pinjaman jangka panjang untuk pembiayaan investasi.
Belum berkembangnya pasar keuangan di negara-negara berkembang, seperti lembaga keuangan bank dan non-bank, termasuk di
Indonesia, maka sumber pinjaman daerah sangat terbatas. Otomatis, sumber pinjaman daerah yang secara signifikan diharapkan oleh daerah
berasal dari pemerintah, karena pinjaman dari masyarakat obligasi daerah dan pinjaman dari pemerintah daerah lain belum banyak diberdayakan.
Namun demikian, pemerintah pusat pun tidak selamanya dapat memberikan pinjaman kepada daerah, khususnya selain untuk tujuan menutupi defisit,
karena transfer dana pusat ke daerah sudah begitu besar, khususnya dari DAU. Apalagi dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah dilarang melakukan
pinjaman luar negeri, kecuali berasal dari penerusan pinjaman dari pusat yang dananya dari pinjaman luar negeri. Artinya sumber dana pinjaman
daerah semakin terbatas. Dalam kewenangan melakukan pinjaman, daerah tidak dapat
memanfaatkan sumber pinjaman luar negeri secara langsung, namun harus melalui penerusan pinjaman dari pemerintah pusat.
416
Dalam hal pinjaman dari luar negeri, UU No. 22 Tahun 1999 memberikan mekanisme yang lebih
realistis. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri danatau dari sumber luar negeri
415
Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 29
416
Lihat Pasal 50 ayat 1 dan Pasal 56 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004.
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD.
417
Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
418
Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, harus mendapatkan persetujuan pemerintah pusat.
419
Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 membolehkan daerah melakukan pinjaman luar negeri, namun pada prinsipnya hal tersebut tidak sepenuhnya
menjadi kewenangan daerah, karena harus mendapatkan persetujuan pusat. Artinya, prinsip bahwa urusan luar negeri adalah urusan pemerintah pusat
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, masih tetap dipertahankan. Namun demikian, walaupun keputusan akhir ada di tangan
pemerintah pusat, dalam mekanisme UU No. 22 Tahun 1999, daerah tetap dapat melakukan penjajakan potensi pinjaman luar negeri. Artinya,
kebebasan untuk melakukan pinjaman lebih terjamin. Walaupun demikian, dalam konteks penjajakan pinjaman luar negeri, tidak diatur bagaimana
mekanisme keterlibatan pemerintah pusat, sehingga hal ini menjadi salah satu kelemahan UU No. 22 Tahun 1999. Kelemahan lainnya, UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, tidak mengatur kriteria pinjaman yang dananya berasal dari luar negeri. Padahal hal tersebut sangat penting.
Jenis-jenis pinjaman yang diperuntukan untuk menutupi arus kas atau penyediaan pelayanan publik seharusnya tidak berasal dari pinjaman luar
negeri. Pinjaman luar negeri seharusnya ditentukan hanya berupa pinjaman jangka panjang yang diperuntukkan untuk membiayai proyek investasi yang
menghasilkan penerimaan. Dalam UU No. 33 Tahun 2004, daerah tidak memiliki inisiatif untuk
menjajaki pinjaman, padahal unsur esensial dalam melakukan pinjaman adalah unsur persetujuan dari pemerintah pusat. Artinya, seharusnya daerah
tetap diberikan kewenangan untuk menjajaki potensi pinjaman dari sumber dana luar negeri. Walaupun demikian, proses penjajakan tersebut sebaiknya
417
Pasal 81 ayat 1 UU No.22 Tahun 1999.
418
Pasal 81 ayat 2 UU No.22 Tahun 1999.
419
Lihat Pasal 81 ayat 3 UU No.22 Tahun 1999
juga harus melibatkan pemerintah pusat, karena terkait dengan urusan luar negeri.
Dengan pengaturan saat ini, adanya keterbatasan pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada daerah, maka pinjaman yang dapat diterima
oleh daerah dari pusat terbatas pada tujuan untuk menutupi kekurangan arus kas defisit APBD atau untuk melakukan penyediaan pelayanan publik yang
tidak menghasilkan penerimaan. Artinya, kemampuan pemerintah pusat untuk memberikan pinjaman kepada daerah tidak dapat diharapkan untuk
dapat membiayai proyek-proyek investasi besar yang dapat menghasilkan penerimaan, melainkan hanya untuk menutupi defisit, dan penyediaan
pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan. Pengaturan pinjaman daerah dalam UU No. 33 Tahun 2004, tidak
terlepas dari transfer dana pusat ke daerah yang sangat besar. Artinya, dengan dana perimbangan yang besar, maka tingkat defisit APBD yang
rendah, walaupun dengan PAD yang kecil. Dengan demikian, maka diharapkan pinjaman yang dilakukan oleh menjadi tidak besar. Padahal,
dengan besarnya dana perimbangan, khususnya DAU dan DBH, fungsi pinjaman daerah di kemudian hari tidak ditekankan untuk menutupi defisit
APBD, tetapi adalah untuk melakukan investasi produktif yang dapat dapat menghasilkan penerimaan.
E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah