Pcune861iQ pola hubungan antara pusat dan daerah unpad

(1)

POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

KERJA SAMA ANTARA PUSAT STUDI KAJIAN NEGARA

FAkULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

DENGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)

REPUBLIK INDONESIA


(2)

i

UUD 1945 t elah memberikan dasar-dasar pola hubungan ant ara Pusat dan Daerah, meliput i desent ralisasi t erit orial, dengan asas ot onomi dan t ugas pembant uan, dan memberikan ot onomi seluas-luasnya. Namun dengan berbagai perat uran pelaksanaannya, t elah mendorong penyeragaman sekaligus sent ralisasi t ersembunyi melalui undang-undang sekt oral. Penelit ian ini merupakan kaj ian bert uj uan unt uk menget ahui prinsip-prinsip pemikiran yang mendasari pola hubungan ant ara Pusat dan daerah, dengan pendekat an uraian mengenai dimensi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Dengan menggunakan met ode pendekat an yuridis normat if , penelit ian merupakan penelit ian asas-asas hukum, sist emat ika hukum, dan t araf sinkronisasi vert ikal dan horizont al. Pembahasan penelit ian ini menunj ukkan bahwa t erhadap dimensi-dimensi hubungan ant ara Pusat dan daerah t erj adi inkonsist ensi, baik dalam perspekt if kerangka negara kesat uan, paradigma negara kesej aht eraan, demokrast isasi, dan prinsip ot onomi yang dimaksudkan dalam Perubahan UUD 1945. Dengan demikian perlu kecermat an lebih lanj ut unt uk menat a kembali harmonisasi berbagai perat uran perundang-undangan sebaga pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, unt uk mengembalikan hakikat ot onomi daerah.


(3)

ii

The 1945 Const it ut ion has provided t he basic principl es of t he rel at ionship bet ween cent ral and regional / l ocal government , incl uding t errit orial decent ral izat ion, wit h t he principl e of aut onomy and co-administ rat ion, and provides wide-ranging aut onomy. But wit h t he various impl ement ing regul at ions, has encouraged unif ormit y and cent ral izat ion hidden t hrough sect oral l egisl at ion. This research aims t o det ermine t he principl es t hat underl ie t he pat t ern of rel at ionship bet ween cent ral and regional / l ocal government , wit h a descript ion of t he dimensional approach of aut horit y, concerning: rel at ions, inst it ut ional , f inancial , and supervision rel at ionship. By using t he met hod of normat ive j uridical approach, t he research cat egorized as research on principl es of l aw, syst emat ic of l aw, and t he l evel of vert ical and horizont al synchronizat ion. This research show t hat t he dimensions of t he rel at ionship bet ween cent ral and regional / l ocal government , inconsist encies occurred, bot h in t he perspect ive of t he unit ary st at e f ramework, t he wel f are st at e paradigm, democrat izat ion, t he principl e of aut onomy which is int ended in The Amended 1945 Const it ut ion. Thus t he need t o f urt her precision t o rest ruct ure t he harmonizat ion of l egisl at ion as t he impl ement at ion of Art icl e 18 UUD 1945, t o rest ore t he nat ure of regional / l ocal aut onomy.


(4)

Laporan penelitian yang disajikan ini merupakan hasil kerja sama antara Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH Unpad) dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD – RI). Dari beberapa tema yang ditawarkan, sengaja kami memilih persoalan hubungan keuangan antara pusat daerah karena dalam konteks negara terdesentralisasi seperti Indonesia, persoalan tersebut selalu berkembang.

Bagi kalangan juris perkembangan tersebut tampak misalnya dalam hal

perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah yang sangat dinamis. Bahkan dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ini merupakan peraturan perundang-perundang-undangan yang sangat berkembang pesat, dari mulai Indonesia merdeka hingga saat ini. Perkembangan peraturan perundang-undang tersebut akan menggambarkan konsep dinamis antara desentralisasi dan sentralisasi yang seperti “bandul”. Misalnya, sebelum Perubahan UUD 1945 (khususnya Pasal 18), beberapa undang-undang bercorak desentralistis, seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan beberapa lagi lebih mencerminkan sifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974. Hal tersebut sangat mungkin terjadi hingga saat ini di mana Pasal 18 UUD 1945 telah diubah menjadi 3 pasal pada masa Perubahan Kedua UUD 1945, misalnya antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebelum Pasal 18 UUD 1945 berubah namun secara prinsip tidak bertentangan dengan perubahan Pasal 18 tersebut. Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 dibentuk setelah Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dan mengubah ketentuan UU No. 22 Tahun 1999, begitu pula UU lainnya di bidang perimbangan keuangan pusat – daerah. Perkembangan tersebut selalu menarik untuk diteliti, karena format desentralisasi selalu akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

Namun demikian, memilih tema hubungan pusat – daerah ini cukup beresiko, khususnya dalam hal kedalaman studi, karena terdapat beberapa dimensi hubungan pusat – daerah. Kami mengambil resiko tersebut dengan tujuan bahwa penelitian ini menghasilkan gambaran persoalan hubungan pusat – daerah ini secara umum (overview). Setidaknya dengan penelitian yang umum ini, diharapkan akan muncul penelitian – penelitian lanjutan yang lebih spesifik lagi, seperti hubungan kewenangan pusat – daerah atau dimensi – dimensi lainnya.


(5)

sama penelitian ini dengan kami. Kami sadar laporan penelitian ini banyak kekurangan, sehingga kami sangat membuka diri untuk segala kritik dan saran untuk perbaikan ke depan. Akhir kata, selama membaca.

Bandung, 2009

Tim Peneliti


(6)

v

Bagan 2 Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito 10 Bagan 3 Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin 11 Bagan 4 Pembagian desentralisasi menurut Hans Kelsen 12

Bagan 5 Alur Penelitian 15


(7)

vi

Tabel 1 Ruang lingkup pengawasan

Atas penyelenggaraan pemerintahan daerah

65

Tabel 2 Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis dan Belanda

69

Tabel 3 Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

118

Tabel 4 Perkembangan Pengaturan Pengawasan 124

Tabel 5 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)

150

Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade)

151

Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)

152

Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan

152

Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan

153

Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan

Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007

154

Tabel 11 Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007

156

Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)


(8)

vii

Resource))

Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral

Resource))

158

Tabel 16 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)

158

Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )

160

Tabel 18 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))

160

Tabel 19 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

161

Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Kehutanan (Forestry))

161

Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))

162

Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran Daerah) 2007 – 2008

163


(9)

viii

Abstract ii

Kata Pengantar iii

Daftar Bagan v

Daftar Tabel vi

Daftar Isi viii

BAB I

Pendahuluan

1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan Penelitian 3

D. Kerangka Pemikiran 4

E. Kegunaan Penelitian 12

F. Metode Penelitian 12

G. Alur Penelitian 14

H. PersonaliaPenelitian 16

I. Sistematika Penulisan 16

BAB II

Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

18

A. Negara Kesatuan 18

B. Negara Hukum 19

C. Demokrasi 23

1. Demokrasi sebagai instrumen Mekanisme pemerintahan 23 2. Demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan 25

3. Demokrasi ekonomi 26

D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29

1. Desentralisasi 29


(10)

ix

5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah 52 6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah 58

BAB III

Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah

74

A. Hubungan Kewenangan: dari mulai UUD 1945, UU, dan Pengaturan Sektoral.

74

B. Hubungan Kelembagaan 75

C. Hubungan Keuangan 99

D. Hubungan Pengawasan 112

BAB IV

Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah

A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan 125 B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 126 C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah 128 D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 139 E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah 149

BAB V

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan 182

B. Saran 183


(11)

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu: 1) prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;1 2) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;2 3) prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya;3 4) prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;4 5) prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu;5 6) prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil;6 7) prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;7 8) prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;8 dan 9) prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa;9

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional tersebut, satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan

1

Pasal 18 B ayat (2) 2

Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. 3

Pasal 18 ayat (5) 4

Pasal 18 B ayat (1) 5

Pasal 18 ayat (3) 6

Pasal 18 A ayat (2) 7

Pasal 18 A ayat (1) 8

Pasal 18 A ayat (2) 9


(12)

kabupaten/kota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan.10 Provinsi memiliki urusan wajib dan urusan pilihan.11 Selain itu ditetapkan pula kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang meliputi:12 a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e) moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Walaupun dengan ketentuan pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 194513, namun muncul pula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama, pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua, pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang

10

Pasal 13 ayat (1) dan (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 11

Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004. 12

Pasal 10 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004. 13


(13)

pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian kewenangannya.14 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir Manan disebut dengan spanning15 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dewan Perwakilan Daerah juga mengidentifikasi adanya kewenangan yang tumpah tindih antar instansi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik aturan di tingkat pusat dan/atau peraturan di tingkat daerah.16 Hal tersebut terutama berhubungan dengan a) otoritas terkait tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah; b) kewenangan yang didelegasikan dan fungsi-fungsi yang disediakan oleh Departemen kepada daerah; dan c) kewenangan yang dalam menyusun standar operasional prosedur bagi daerah dalam menterjemahkan setiap peraturan perundang-undangan yang ada. 17 Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu kajian sebagai penelitian payung yang melandasi hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi berdasarkan empat dimensi hubungan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai berikut:

1. Apa dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan antara pusat dan daerah?

2. Bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

C. Tujuan Penelitian

14

Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD Ri Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, hlm. 6.

15

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23

16

Ibid., hlm. 8. 17


(14)

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengetahui dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan antara pusat dan daerah?

2. Mengetahui bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?

D. Kerangka Pemikiran

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum atas dasar kedaulatan rakyat.

Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai negara kesatuan.18 Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn, yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri.19 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary

state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua

18

C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87. 19

Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.


(15)

kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. 20

Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik.21Demokrasi yang lazim pula disebut dengan kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat.22 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat modern.23 C.F. Strong mengartikan demokrasi secara beragam24 termasuk untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan atau kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain. Faktor luas wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.25 Berdasarkan kenyataan demikian, muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung

20

Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21.

21

Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66. 22

Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10. 23

Ibid. 24

C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 25


(16)

melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.26 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat, akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan.27 Rousseau memberi catatan bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.28 Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup bersama.29 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.30

Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh Indonesia adalah negara hukum. Neumann yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.31 Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen.32 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that

the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects

by ordinance or decrees… “33 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of

legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges

26

Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, ..., op.cit. hlm. 11. 27

Ibid., hlm. 284. 28

Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), terjemahan Tim Visimedia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113.

29

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69.

30

Ibid. hlm. 70. 31

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8

32

Ibid., hlm. 8-9. 33


(17)

… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam

mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah merupakan instansi tertinggi.

Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie34, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2) pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan 4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality

before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’

yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip-prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.35

Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi hanya sampaiu kepada penjaga ketertiban dan keamanan.36 Pada perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan

34

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, lihat Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004,hlm. 1-2, diunduh dari

http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc., pada

8/24/2009 9:38:03 AM. 35

Ibid. 36


(18)

individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als

neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini

menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).

Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat, sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu (pseudo), perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan dan penggugatan. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality, dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates

happiness for the greatest number” (Bentham).37

Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah negara, mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat pemerintahan dengan bagian-bagian daerah yang harus diperintah di sisi lain. Oleh karena itu menurut Ateng Syafrudin perlu diadakan pembagian

37


(19)

kerja secara teritorial di samping pembagian kerja secara fungsional.38 Pembagian-pembagian kerja urusan penyelenggaraan pemerintahan tersebut yang kemudian mengarah kepada proses desentralisasi.

Bagir Manan menjelaskan desentralisasi dengan menggunakan pendapat Van Der Pot.39 Menurut pakar Hukum Tata Negara Belanda ini, desentralisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidscorporatis), sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties). Desentralisasi teretorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan.

Bagan 1:

Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot

Pendapat dari Van der Pot ini diikuti antara lain oleh FAM Stroink, Steenbeek, JM de Meij, dan Belifante. Dengan penggolongan yang sedikit berbeda, Irawan Soejito membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi teretorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif (dekonsentrasi). Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ambtelijk

decentralisatie) terjadi apabila “Pemerintah melimpahkan sebagian

kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ Pemerintah sendiri di daerah, yakni pejabat-pejabat Pemerintah yang ada di daerah, untuk dilaksanakan.40

38

Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006, hlm. 72.

39

Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm. 20-21 40


(20)

Bagan 2.

Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito

Irawan Soejito mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian dari desentralisasi, dan merupakan pelunakan sentralisasi menuju desentralisasi.

Pakar hukum lainnya, Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik41, desentralisasi fungsional desentralisasi kebudayaan.42 Pembahasan tentang pemerintahan di daerah tidak akan lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan. Menurutnya asas kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu :43

1. Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah, 2. Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan

dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

41

Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik yang ada di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu, lihat Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5

42 Ibid. 43


(21)

Bagan 3.

Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin

Sebagai tambahan mengenai pembagian desentralisasi, dari Logemann, Colloge aantekemingen, 194744, Ateng Syafrudin mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti luas terdiri dari:

a. Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan membuat peraturan (regelende bevoegheid) dan kewenangan membuat keputusan atau mengurus (bestuurende bevoegheid).

b. Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige

decentralisatie dibagi dua, yaitu: 1) territoriale decentralisatie;

2) fungctionele decentralisatie.

Bentuk dari territoriale decentralisatie adalah autonomie dan medebewind yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment,

zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige

atau politiche decentralisatie.

tkan bahwa desentralisasi terbagi dalam arti luas dan arti sempit. Penelitian ini menggunakan pengertian desentralisasi dalam arti sempit. Pemilihan tersebut diambil sebagaimana yang digunakan oleh Bagir Manan dalam menggali gagasan-gagasan dasar pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945.45

44

Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1.

45


(22)

Dalam kaitan ini Bagir Manan menguraikan mengenai kaitan desentralisasi, kerakyatan, dan Negara hukum, hubungan Pusat dan Daerah akan dipengaruhi oleh:46

1) Sampai sejauh manakah desentralisasi diterima sebagai cara terbaik untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat?

2) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk menjamin dan mewujudkan Negara hukum?

3) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat?

Lebih dari hal tersebut, yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah bahwa pola hubungan antara Pusat dan Daerah tidak dapat terlepas dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian perlu dicari titik temu antara keutuhan Negara Kesatuan di satu sisi, dan demokratisasi di sisi lain sebagai upaya mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahteraan rakyat.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai tambahan pengetahuan mengenai hubungan pusat dan daerah.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian untuk memperoleh data atau bahan dan analisis sebagai berikut:

1. Jenis/ Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini menjelaskan dan menganalisa pengaturan beserta asas-asas yang berkenaan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang berlaku di Indonesia.

2. Metode Pendekatan

46


(23)

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif47 adalah pendekatan dengan melakukan penelitian secara mendalam terhadap hukum yang berlaku. Di antara cakupan dari penelitian hukum normatif tersebut, penelitian ini akan dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.48

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Penelitian ini dilakukan dengan penelusuran terhadap bahan-bahan hukum,49 meliputi:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.50 Bahan hukum ini meliputi antara lain Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksana, perubahan-perubahan, dan peraturan yang secara tidak langsung terkait, seperti peraturan terdahulu;

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,51 seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum;

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, dan ensiklopedia.52

b. Penelitian Lapangan

47

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum, hlm. 6. 48

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14

49

Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007, hlm. 72.

50

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52. 51

Ibid. 52

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 31-32.


(24)

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung penelitian kepustakaan dengan cara menyelenggarakan diskusi terfokus (focused

group discussion-FGD).

4. Pengolahan dan Analisis Data

Bahan penelitian yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan menggunakan penafsiran hukum53 dan selanjutnya dituangkan secara deskriptif yaitu bersifat menggambarkan masalah.

G. Alur Penelitian

53

Penelitian hukum normatif tidak dapat terlepas dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum, dalam Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 37. Lihat juga Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 152.


(25)

• Pe mb e ntuka n Da e ra h • O rg a nisa si

Pe ra ng ka t Da e ra h

Da na Pe rimb a ng a n Da na Tug a s

Pe mb a ntua n UU No . 33/ 2004

Hub ung a n Ke ua ng a n Hub ung a n Ke le mb a g a a n

Hub ung a n Ke we na ng a n UU No .32/ 2004

d a n p e la ksa na a nn

ya

Pe mb a g ia n Urusa n Pe me rinta ha n

• Pe ng a wa sa n Pe mb e ntuka n Pe rd a

• Pe ng a wa sa n Pe nye le ng g a ra a n Urusa n

Pe me rinta ha n Hub ung a n

Pe ng a wa sa n UU Se kto ra l

A lur Pe ne litia n Ba g a n 5.

U U D 1 9 4 5 Ne g a ra

Ke sa tua n De mo kra si

O to no mi

Tug a s Pe mb a ntua n D e s e n t r a l i s a s i Ne g a ra

Hukum Hub ung a n

Pusa t Da e ra h


(26)

H. Personalia Penelitian

Ketua : DR. Indra Perwira, S.H., M.H.

Wakil : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.

Sekretaris : Inna Junaenah, S.H.

Anggota Prof. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.,

DR. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H.,

DR. Agus Kusnadi,S.H., M.H.,

Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D.,

H. Rosjidi Ranggawidjaja, S.H., M.H.

Ali Abdurahman, S.H., M.H.

Tenaga Pendukung : Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Rahayu Prasetianingsih, S.H.

Bilal Dewansyah, S.H.

I. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan penelitian, dan metode penelitian.

Bab II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai teori-teori umum yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi prinsip-prinsip negara Kesatuan, Negara Hukum, demokrasi, dan teori desentralisasi.

Bab III Deskripsi Hubungan Antara Pusat dan Daerah

Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai pengaturan mengenai hubungan antara Pusat dan Daerah dalam empat dimensi, yaitu hubungan


(27)

kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan, disertai permasalahan hubungan antara Pusat dan Daerah pada empat dimensi tersebut.

Bab IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah Bab ini berisi analisa terhadap pengaturan dan problematika empat dimensi pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam perpektif prinsip-prinsip pemikiran yang mendasarinya.

Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi

Dalam Bab ini akan digarisbawahi berbagai telaah terhadap hubungan Pusat dan daerah melalui kesimpulan, yang akan disertai dengan rekomendasi sebagai gagasan-gagasan reformasi pola hubungan antara Pusat dan Daerah di masa yang akan datang.


(28)

BAB II

PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Pilar-pilar yang perlu diketengahkan dalam membangun pola hubungan pusat dan daerah sedikitnya dibentuk dari prinsip negara kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Dengan demikian perlu dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip yang terkandung dalam masing-masing dasar pemikiran tersebut untuk menghantarkan kemunculan hubungan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintahan yang lebih rendah.

A. Negara Kesatuan

Uraian mengenai konsep negara kesatuan perlu diketengahkan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dapat dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai deskripsi suatu negara kesatuan.54 Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan dengan baik oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn, yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak

54

C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.


(29)

mandiri.55 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary

state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua

kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.56 Dalam negara-negara dengan bentuk negara-negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang dipusatkan dan atau dipencarkan.57

Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di daerah.

B. Negara Hukum

Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh Indonesia adalah negara hukum. Neumann (1986) yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.58 Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin supremasi parlemen.59 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that

the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects

55

Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.

56

Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21.

57

Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109.

58

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8.

59


(30)

by ordinance or decrees… “60 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges … and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam

mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah merupakan instansi tertinggi.

Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie61, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2) pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan 4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality

before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’

yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip-prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.62

Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi hanya sampai kepada penjaga ketertiban dan keamanan.63 Pada

60

Ibid., hlm. 9. 61

Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, hlm. 1-2, diunduh dari

http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. pada

8/24/2009 9:38:03 AM. 62

Ibid. 63


(31)

perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al (1978) bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als

neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini

menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).

Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat, sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu (pseudo), perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan dan penggugatan (de Haan, 1978). Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality,

dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates happiness for the greatest number” (Bentham).64

Kembali kepada pembicaraan mengenai rule of law, Wade yang dikutip oleh Munir Fuadi65 berpendapat bahwa implikasi dari penerapan konsep tersebut dalam suatu negara akan mengarahkan para penyelenggara negara ke dalam prinsip-prinsip dan otoritas sebagaai berikut:

64

Ibid., hlm. 27. 65

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9


(32)

1. Pelaksanaan konsep rule of law lebih menghendaki adanya suasana penghormatan kepada “hukum dan ketertiban” (law and order);

2. Penyelenggaraan kewenangan oleh penyelenggaran negara haruslah selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada dispute, badan yudikatiflah yang yang harus memutuskannya. Mengenai peran badan peradilan ini, dalam rangka untuk menjaga tertib hukum dengan melihat konsistensinya terhadap konsitusi, muncul pranata hukum yang disebut

judicial review. Munir Fuady menjelaskan lebih jauh pranata ini sebagai

lembaga khusus untuk melakukan penunjauan ulang, dengan jalan menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi, sehingga hasilnya dapat menguatkan atau menyatakan batal, menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya (termasuk parlemen).66

3. Badan-badan politik (terutama parlemen) menentukan rincian mekanisme

rule of law, baik yang bersifat substantif, maupun secara prosedural.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan rule of law dalam penyelenggaraan pemerintahan, dapat ditambahkan bahwa konsep ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep good governance. Fuady menunjukkan hal tersebut melalui beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu pemerintahan.67 Pertama, aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan terkait warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers, lingkungan hidup, serta para stakeholders lainnya. Kedua, law enforcement yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung mendukung upaya penegakan aturann hukum. Ketiga, sistem pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia.

Keempat, sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang

cerdas dan egaliter. Kelima, sistem pemerintahan yang kondusif terhadap

66

Ibid., hlm. 81. 67


(33)

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan gambaran tersebut Fuady hendak menegaskan bahwa pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga sebaliknya bahwa pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu memperhatikan dan melaksanakan prinsip good governance.68

C. Demokrasi

Istilah demokrasi menurut C.F. Strong diartikan secara beragam.69 Terkadang digunakan untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan dan terkadang dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain.

Dari penelusuran sementara yang berkaitan dengan demokrasi, sedikitnya dapat dikemukakan bahwa demokrasi diterapkan dalam dimensi-dimensi instrumen mekanisme pemerintahan, mekanisme pengambilan keputusan serta demokrasi ekonomi.

1. Instrumen mekanisme pemerintahan

Demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara telah dipraktekan hampir di setiap negara. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang diperbandingkannya terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%).70 Istilah demokrasi71 telah

68

Ibid., hlm. 80. 69

C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17. 70

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 140.

71

Demokrasi berasal dari kata “demokratia”, “demos” berarti rakyat dan “kratia” berarti pemerintahan.


(34)

menjadi bahasa umum yang digunakan oleh negara-negara untuk menunjukan suatu bentuk penyelenggaraan negara yang dianggap ideal.

Paham kedaulatan rakyat sebagai embrio demokrasi, mengantarkan pengertian demokrasi yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

“Pemerintahan dari rakyat yaitu mereka yang duduk sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui dan didukung oleh rakyat. Oleh rakyat maksudnya bahwa penyelenggara negara atau pemerintahan dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama rakyat yang mewakili sedangkan untuk rakyat maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak rakyat.”72

Dalam perkembangan istilah demokrasi kemudian ada yang disebut “participatory democracy”. “Participatory democracy” menambahkan kata “bersama” sehingga dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.73 Dari pengertian tersebut dapat menunjukan demokrasi sebagai

instrumen mekanisme pemerintahan. Dalam hubungannya dengan cita-cita, demokrasi hanyalah sarana, -bukan tujuan- untuk mencapai persamaan (equality) secara politik yang mencakup tiga tujuan utama : kebebasan manusia (secara individu dan kolektif), perkembangan diri manusia dan perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan.74

Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam perkembangannya sulit dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.75 Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama,

72

I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999, hlm 70.

73

Participatory democracy strives to create opportunities for all members of a political group to make meaningful contributions to decision-making, and seeks to broaden the range of

people who have access to such opportunities…http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy diunduh tanggal 27

Agustus 2009 74

I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 66. 75


(35)

muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect

democracy), yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan

oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.76 Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan (representative

democracy). 77 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat,

akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan.78 Menurut

International Commision of Jurist, sistem politik demokratis (demokrasi

perwakilan) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.79 Demokrasi perwakilan

menjadi alternatif terbaik demi tercapainya Representative Government.80

2. Mekanisme pengambilan keputusan

Ide kedaulatan rakyat yang tercermin dalam demokrasi juga meliputi proses pengambilan keputusan baik di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Rakyat berdaulat terhadap produk hukum mulai dari perencanaan, penetapan, hingga ke pengawasan. Hal ini diperjelas dalam pengertian-pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :81

Henry B. Majo :

”A democratic political system is one in which public policies are made on

majority basis, by representatives subject to effective popular control at

76

Ibid., hlm. 11. 77

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61.

78

Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 284. 79

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61.

80

In Modern democracy, both ideals individual rights and equality pen find their highest fulfillment and justification in the citizen’s right to participation in government, the Government of the People. This, in modern states, means representative government through elected deputies” Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967, hlm, 419.

81


(36)

periodic election which are conducted on the pinciple of politcal equality and under condition of political freedom.”

Arthur Lewis

“all who are affected by a decision should have the chanc to participate in

making that decision, either directly or through chosen representative,”

CF Strong :

“a system of government in which the majority of the rule grown members

of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority.”82

Dalam paham kedaulatan rakyat yang berdaulat dari segi politik bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan sebagai keseluruhan.83 Proses kehidupan kenegaraan ini termasuk di

dalamnya adalah proses pengambilan keputusan.

Di Indonesia sendiri, instrumen pengambilan keputusan yang khas diberlakukan adalah melalui musyawarah mufakat. Yamin berpandangan bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan antara dua konsepsi yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan asli Indonesia.84

Musyawarah dilakukan untuk menampung dan memperhatikan semua ide atau pandangan yang ada dan permufakatan menjadi output dari apa yang telah dimusyawarahkan. Proses pengambilan keputusan yang demokratis model Indonesia ini disebutkan dengan jelas dalam sila ke – 4 Pancasila. Oleh karena itu, demokrasi dapat juga dikatakan sebagai instrumen pengambilan keputusan.

3. Demokrasi ekonomi

82

CF Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960, hlm.13

83

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 148. 84


(37)

Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan dan instrumen pengambilan keputusan merupakan penjabaran dari demokrasi yang bersifat politik. Kekuasaan bidang politik dan ekonomi dapat dibedakan satu sama lain namun sesungguhnya mempunyai hubungan fungsional yang erat satu sama lain.85 Demokrasi politik harus menjamin setiap individu agar

memperoleh akses sama dalam setiap kegiatan ekonomi. Demikian yang pengertian demokrasi dari Bung Karno yang tidak sepakat dengan demorkrasi ala barat yang liberal dan didasarkan pada kapitalisme.86

Kedaulatan rakyat tidak hanya di bidang politik namun juga di bidang ekonomi, sehingga negara memegang peranan penting dalam menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi yang demikian ini menurut Bung Karno adalah Demokrasi sosial yang terdiri dari Demokrasi politik ditambah dengan Demokrasi ekonomi.

Lebih jelas lagi Hatta berpendapat bahwa kekurangan demokrasi liberal di Barat adalah karena terlalu dominannya prinsip individualisme, sehingga politik hanya berlaku secara politik saja.87 Demokrasi asli yang ada

di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus dipakai sebagai sendi Perumahan Indonesia Merdeka”.88 Selengkapnya Hatta mengatakan bahwa tiga sifat utama tersebut adalah:

Pertama: cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia

dari zaman dahulu sampai sekarang. Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampak dasar demokrasi, pemerintahan rakyat.

85

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 147. 86

“Disemua negeri modern itu adalah “demokrasi”. Tetapi,.disemua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri itu kaum proletar ditindas hidupnja.Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsara nja. Inikah hasilnja “demokrasi” jang dikeramatkan orang?...” Tabloid Fikiran Ra’jat, No. 18 dan 19 (edisi 4 November), tahun 1932.

http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9511217.html

diunduh tanggal 27 Agustus 2009. 87

I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 80. 88

Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm 42.


(38)

Kedua: cita-cita massa-protest, yaitu hak rakyat untuk membantah

dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap kepada pemerintahan despotisme atau autokrasi yang tersusun di atas pundak desa-demokrasi. Dan demokrasi tidak dapat berlaku, kalau tidak ada hak rakyat untuk mengadakan protes bersama. Dalam hak ini tercantum hak rakyat untuk merdeka bergerak dan merdeka berkumpul.

Ketiga: cita-cita tolong menolong. Sanubari rakyat Indonesia penuh

dengan rasa-bersama, kolektiviteit. Di atas sendi yang pertama dan kedua dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya: satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau Badan-badan Perwakilan. Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.89

Walaupun menolak individualisme pada Demokrasi Barat, namun menurut Hatta asas kolektivisme yang dimaksudkannya bukanlah kolektivisme yang berdasar sentralisasi (satu pimpinan dari atas), melainkan desentralisasi yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri, sepeti sifat hak ulayat atas tanah bukan negeri seumumnya yang berhak melainkan desa.90

Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup bersama.91 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.92

Dihubungkan dengan desentralisasi, Ni’matul Huda mengatakannya sebagai mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik.93Demokrasi yang lazim pula disebut dengan

89

Ibid, hlm 42-43. 90

I Gde Pantja Astawa, Op Cit. hlm. 84. 91

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69.

92

Ibid. hlm. 70. 93


(39)

kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat.94 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat modern.95 Dengan demikian menjadi sejalan dengan apa yang dicatat oleh Rousseau bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.96

D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Dalam upaya memahami hubungan kewenangan antara pusat dan daerah akan digunakan dua teori yakni, desentralisasi dan sistem rumah tangga daerah.

1. Desentralisasi

Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.97 Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.98 Dalam kaitan dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi.99

Koesoemahatmadja menguraikan bahwa desentralisasi terbagi dua, yaitu ambtelijke decentralisati/deconsentratie (dekonsentrasi) dan staatkundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).100 Sementara desentralisasi ketatanegaraan yang merupakan penyerahan kekuasaaan

94

Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 10 95

Ibid. 96

Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113.

97

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10.

98

Ibid., hlm 11. 99

Ibid., hlm 10. 100

RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979, hlm.15


(40)

perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende

bevoegheid) kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi

teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie). Desentralisasi teritorial mencakup autonomie (otonomi) dan medebewind atau zelfbestuur (tugas pembantuan). Dengan perkataan lain, baik otonomi maupun tugas pembantuan, keduanya masuk dalam lingkup desentralisasi.

Van Der Pot, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, membagi desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial yang menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.101 Mengenai desentralisasi, Van der Pot mengemukakan, tidak semua peraturan dan penyelenggaraaan pemerintahan dilakukan dari pusat (central).102 Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara desentralisasi berdasarkan teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionaeele decentralisatie). Bentuk desentralisasi itu dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan. Pemikiran di atas memberi pengertian bahwa tugas pembantuan merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi. Menempatkan kedudukan yang sejajar antar desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas-asas yang terpisah merupakan suatu yang keliru. Demikian pula, bahwa desentralisasi adalah otonomi, tetapi otonomi tidak sama dengan desentralisasi. Otonomi merupakan salah satu bentuk desentralisasi.

Irawan Soejito, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, menjelaskan penggolongan desentralisasi yang agak berbeda, yang terdiri atas desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi).103 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua

101

Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm 21. 102

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10.

103


(41)

pandangan mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi. Pandangan pertama mengatakan bahwa dekonsentrasi sebagai salah satu bentuk desentralisasi sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa dekonsentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju ke arah desentralisasi.104

Ahli lain yang melakukan penggolongan desentralisasi adalah Amrah Muslimin. Menurutnya desentralisasi terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi kebudayaan.105 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu”.106 Menurut Bagir Manan pengertian desentralisasi politik tersebut sama dengan desentralisasi teritorial karena faktor ‘daerah’ menjadi salah satu unsurnya.107 Mengenai desentralisasi kebudayaan, Amrah Muslimin mengartikan:

“memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama, dan lain-lain). Dalam kebanyakan Negara kewenangan ini diberikan pada kedutaan-kedutaan asing demi pendidikan warga negara masing-masing negara dari keduataan yang bersangkutan”.108

Terhadap pendapat Amrah Muslimin mengenai desentralisasi kebudayaan di atas, Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi pada prinsipnya merupakan bentuk dari susunan organisasi negara dan pemberian atau pengakuan hak minoritas untuk mengatur dan mengurus soal agama dan pendidikan di kalangan mereka sendiri lebih tampak sebagai perwujudan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia daripada

104

Ibid., hlm 21-22. 105

Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5. 106

Ibid. 107

Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 22. 108


(42)

sebagai bagian susunan organisasi negara.109 Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian hak kepada kedutaan juga tidak dapat dikategorikan sebagai desentralisasi karena kedutaan bukan bagian dari susunan organisasi di mana kedutaan itu berada.110

Desentralisasi teritorial, khususnya otonomi, berkonsekuensi terhadap pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh pemerintahan daerah. Seperti dikatakan oleh B.C. Smith bahwa it is obvious

that the exercise of governmental powers at the subnational level entails expenditure by subnational governments.111 Hal yang sama juga dikatakan

oleh Bagir Manan bahwa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri menyiratkan pula makna membelanjai diri sendiri.112 Begitu pula dengan Pheni Chalid yang berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan pengelolaan pemerintahan berarti beban pembiayaan harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan daerah.113 Artinya, pemerintahan daerah harus memiliki sumber keuangan sendiri untuk dapat menyelenggarakan rumah tangganya secara mandiri.

Konsekuensi desentralisasi pada pembiayaan urusan pemerintahan daerah pada hakikatnya adalah desentralisasi di bidang keuangan atau desentralisasi fiskal. Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat114.

Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran –

109

Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit.. 110

Ibid. 111

B.C. Smith, Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985, hlm. 99.

112

Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 204. 113

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005, hlm vii

114

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002, hlm 26.


(43)

ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue (penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan kewenangan daerah.

Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari desentralisasi.115 Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen.116 Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang lebih baik, atau ketika sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih rendah.117

Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah yang sentralistik.118 Padahal, sepeti dikatakan oleh Bagir Manan bahwa

115

Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm. 13.

116 Ibid. 117

Ibid.,hlm. 14. 118

Misalnya, untuk kasus Indonesia dalam fase awal desentralisasi fiskal (2001-masa efektif pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999), dikatakan oleh Joko mengutip pendapat Benyamin Hoesein bahwa “Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde Baru yang diterjemahkan melalui Undang – Undang No 5 tahun 1974, telah dirubah dalam suatu pola hubungan yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui dasar hukum Undang - Undang No 22 tahun 1999 serta Undang – Undang No 25 tahun 1999. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah, dari “structural efficiency model“ yang menekankan efisiensi dan


(44)

hakikat dari otonomi yang merupakan wujud desentralisasi adalah kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang merdeka.119 Otonomi juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana masyarakat daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:

”Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, di daerah...jadi, bukan saja persekutuan yang besar, rakyat semuanya, mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari negeri atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiao tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlainan”.120

Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan pendapat Roy Bahl yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal

decentralization as ”the empowerment of people by fiscal empowerment of their local govenment” (pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan

fiskal dari pemerintah daerahnya).121 Artinya, efisiensi dalam rangka

peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteraan tersebut.122 Hal ini sejalan dengan pendapat Bahcrul Elmi, bahwa :

”...salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi, penerimaan otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan)

keseragaman pemerintahan lokal dirubah menjadi “local democracy model“ dengan penekanan pada nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal”. (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”, makalah, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 1.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009.

119

Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit, hlm. 26. 120

Bagir Manan, Hubungan Antara…., op.cit, hlm. 33. 121

Roy Bahl dalam Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008, hlm. 442.

122 Ibid.


(45)

kepada daerah-daerah merupakan suatu proses mengintensifkan peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.123

Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan otonomi. Pola dan ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan derajat otonomi yang dimiliki daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird (1986), bahwa:

”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision

making of regional government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of public services at different level of government”.124

Dari berbagai pendapat para ahli di atas mengenai desentralisasi, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengertian desentralisasi yang agak sempit sebagaimana dikemukakan oleh Van Der Pot yang hanya mengklasifikasikan desentralisasi menjadi dua jenis yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Koesoemahatmadja juga termasuk dalam kategori yang membagi desentralisasi agak sempit karena menurutnya desentralisasi terbagi atas dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Kedua, pengertian desentralisasi yang lebih luas dari kategorisasi yang disampaikan oleh Van Der Pot dan Koesoemahatmadja. Dalam kategori kedua ini dijumpai pembagian desentralisasi yang disampaikan oleh Amrah Muslimin dan Irawan Soejito. Selain desentralisasi teritorial dan fungsional, juga terdapat desentralisasi administratif atau dekonsentrasi. Amrah Muslimin selain membagi kedalam desentralisasi teritorial dan fungsional juga memasukkan desentralisasi kebudayaan. Berbeda dengan kedua ahli lainnya, Amrah Muslimin tidak memasukkan

123 Ibid.

124

Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm.`12.


(1)

I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, bandung, 2009.

Ichimura, Shinichi; Bahl, Roy (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Penerbit Bina Aksara, 1984.

J. Kaloh, Kepala Daerah, Penerbit Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003.

Jimly Ashiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI, Jakarta, 2002.

_______, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. _______, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana

Ilmu Komputer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007.

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah, di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Kelsen, Hans, (alih Bahasa: Somardi), Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, 1995.

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum.

M.N. Azmy Akhir. Masalah Pengurusan Keuangan Negara : Suatu Pengantar Teknis. CV. Dinna. Jakarta. 1986.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993.

Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, dalam Miriam Budiardjo (ed), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980.

_______, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009.

Niessen, Nicole, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009.


(2)

Norton, Alan, International Hand Book of Local and Regional Government A Comparatve Analysis of Advanced Democracies, Edward Elgar Limited – Edaward Elgar Publishing Company, England, USA, 1993.

Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986.

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005.

R. Joeniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Penerbit Alumni, Bandung, 1982. RDH Koesoemahatmadja, Pengantar Ke Arah Sistim Pemerintahan Daerah Di

Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979.

Rousseau, Jean Jacques, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007.

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta.

Smith, B.C., Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Strong, CF, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960. Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

Bakti, Yogyakarta, 1993.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 2006.

Taliziduhu Ndraha, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid I, Rineka Cipta, Jakarta 2003.

Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007.

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995.


(3)

DESERTASI/TESIS/LAPORAN PENELITIAN/MAKALAH/JURNAL

Agus Kusnadi, Bentuk dan Ruang Lingkup Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis Menurut UUD 1945, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009.

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004.

_______, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June 2004.

Asep Warlan Yusuf, Hubungan Kelembagaan antara Pusat dan Daerah, makalah pada Diskusi Terbatas tentang Hubungan Pusat dan daerah, Pusat Studi Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009 Ateng Syafrudin, Masalah Hukum dalam Pemerintahan di Daerah, Makalah untuk

pendidikan non-gelar anggota DPRD tingkat II se-Jawa Barat di Fakultas ISIP Unpad, 28 Desember 1992.

_______, disampaikan dalam acara Focused Group Discussion (Fgd) Tentang “Hubungan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”, diselenggarakan atas kerja sama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 4 Agustus 2009.

_______, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, 2009.

Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002.

Bagir Manan, Tugas Sosial Pemerintahan Daerah, Makalah, 2008.

Bahl dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.


(4)

Bonet, Jaime, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.

Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006.

Era Dabla-Norris, “The Challenge of Fiscal Decentralisation in Transition Countries”, Comparative Economic Studies, Vol.48, 2006.

I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999.

Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008.

Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009.

Kuntana Magnar, Bahan diskusi pada Diskusi Terbatas Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 4 Agustus 2009 Larry Schroeder, Fiscal Decentralization in South East Asia, Journal of Public

Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.

Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Pengkajian Penataan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Laporan Penelitian, Bandung, 2002.

Schroeder, Larry, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.

Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000.


(5)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No. 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor No.33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang Nomor No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1997 Tentang Retribusi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2008 Tentang Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Sumber Internet

http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc.

http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9511217.html www.geocities.com/syahyuti/Rumusan_konsep_kelembagaan.pdf


(6)

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.

http://www.detikfinance.com/read/2009/08/18/103708/1184734/4/15-poin-uu-pokok-pajak-daerah-dan-retribusi-daerah www.worldbank.org/id.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. www.bakd.depdagri.go.id/

www.google.com

http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=329&Itemid=2

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU

http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php/topic,5619.0.html

http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/ http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy

http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/ http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. http://www.ssrn.com/abstract=1029581