mandiri.
55
Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan unitary state, ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua
kewenanganurusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenanganurusan pemerintah yang didesentralisasikan.
56
Dalam negara- negara dengan bentuk negara kesatuan unitary state, ditinjau dari sudut
pembagian kewenangan, terdapat dua kewenanganurusan pemerintah yakni yang dipusatkan dan atau dipencarkan.
57
Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin
luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan pusat yang ada di daerah.
B. Negara Hukum
Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh Indonesia adalah negara hukum. Neumann 1986 yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.
58
Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin
supremasi parlemen.
59
Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that
the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects
55
Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.
56
Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and
Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21.
57
Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109.
58
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8.
59
Ibid., hlm. 8-9.
by ordinance or decrees… “
60
Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons,
the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges … and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam
mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah merupakan instansi tertinggi.
Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie
61
, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1 perlindungan hak asasi manusia; 2 pembagian kekuasaan; 3 pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4 Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1 Supremacy of Law; 2 Equality before the law, dan 3 Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-
prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak independence and impartiality of judiciary yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
62
Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe negara hukum sebagai “penjaga malam” nachtwakersstaat. Disebut
sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi hanya sampai kepada penjaga ketertiban dan keamanan.
63
Pada
60
Ibid., hlm. 9.
61
Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, hlm. 1-2, diunduh dari http:www.fh.unsri.ac.idold_versionCITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. pada
8242009 9:38:03 AM.
62
Ibid.
63
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum …, op.cit., hlm. 26.
perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri problem-
problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al 1978 bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan
menempatkan golongan lapisan bawah the have not dalam masyarakat sebagai pihak yang sangat menderita “De staat mocht niet langer, door als
neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich
daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen
nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”. Ini menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” welfare state.
Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat, sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum
administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai
pelengkap incidenteel en aanvullend. Tetapi sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan
pembuatan undang-undang semu pseudo, perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan eigendom negara, keterbukaan dan penggugatan de Haan,
1978. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality,
dan fraternity” revolusi Perancis dan “The greates happiness for the greatest number” Bentham.
64
Kembali kepada pembicaraan mengenai rule of law, Wade yang dikutip oleh Munir Fuadi
65
berpendapat bahwa implikasi dari penerapan konsep tersebut dalam suatu negara akan mengarahkan para penyelenggara negara
ke dalam prinsip-prinsip dan otoritas sebagaai berikut:
64
Ibid., hlm. 27.
65
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern Rechtsstaat, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9
1. Pelaksanaan konsep rule of law lebih menghendaki adanya suasana penghormatan kepada “hukum dan ketertiban” law and order;
2. Penyelenggaraan kewenangan oleh penyelenggaran negara haruslah selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada dispute, badan
yudikatiflah yang yang harus memutuskannya. Mengenai peran badan peradilan ini, dalam rangka untuk menjaga tertib hukum dengan melihat
konsistensinya terhadap konsitusi, muncul pranata hukum yang disebut judicial review. Munir Fuady menjelaskan lebih jauh pranata ini sebagai
lembaga khusus untuk melakukan penunjauan ulang, dengan jalan menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi,
sehingga hasilnya dapat menguatkan atau menyatakan batal, menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari
aparat pemerintah eksekutif atau dari pihak-pihak lainnya termasuk parlemen.
66
3. Badan-badan politik terutama parlemen menentukan rincian mekanisme rule of law, baik yang bersifat substantif, maupun secara prosedural.
Lebih lanjut mengenai pelaksanaan rule of law dalam penyelenggaraan pemerintahan, dapat ditambahkan bahwa konsep ini tidak
dapat dipisahkan dengan konsep good governance. Fuady menunjukkan hal tersebut melalui beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain
dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu pemerintahan.
67
Pertama, aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan terkait warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers,
lingkungan hidup, serta para stakeholders lainnya. Kedua, law enforcement yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung mendukung
upaya penegakan aturann hukum. Ketiga, sistem pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia.
Keempat, sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dan egaliter. Kelima, sistem pemerintahan yang kondusif terhadap
66
Ibid., hlm. 81.
67
Ibid., hlm. 79.
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan gambaran tersebut Fuady hendak menegaskan bahwa pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang
baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga sebaliknya bahwa pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu
memperhatikan dan melaksanakan prinsip good governance.
68
C. Demokrasi