Perumusan Masalah Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di Taman Nasional Kutai provinsi Kalimantan Timur

Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove. Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan LeVay 2001. Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah

Hutan mangrove di kawasan TNK merupakan salah satu habitat kepiting di Kabupaten Kutai Timur. Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Kutai TNK terletak pada tiga wilayah administrasi Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten Kutai Timur ± 80, Kabupaten Kutai Kartanegara ± 17,48, dan Kota Administratif Bontang ± 2,52. Kawasan konservasi TNK memiliki hutan mangrove seluas ± 5 131.55 ha, yaitu 1-2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera TNK 2005. UU RI No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai Kawasan Pelestarian Alam KPA yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 681998 kawasan konservasi tersebut terdiri dari kawasan pelestarian alamKPA taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan suaka alamKSA suaka margasatwa dan cagar alam dan taman buru. Taman nasional termasuk dalam kelompok kawasan pelestarian alam KPA. Definisi kawasan pelestarian alam dalam UU RI No. 5 Tahun1990 adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa pengelolaan taman nasional memungkinkan adanya pemanfaatan secara lestari terhadap sumberdaya di dalam kawasan. Kategori II dalam IUCN menyatakan Taman Nasional sebagai kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi. Definisi taman nasional menurut kategori II IUCN adalah area alam daratan danatau laut, yang ditunjuk untuk a melindungi integritas ekologis dari satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, b meniadakan eksploitasi atau kegiatan yang bertentangan dengan tujuan penunjukan kawasan dan c memberikan landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung, yang semuanya harus menjamin lingkungan dan budaya yang kompatibel. Umumnya kawasan konservasi alam di Indonesia berada di bawah rejim properti milik publik common property regimes yang dikuasai negara state- property. Dalam banyak kasus seringkali terjadi pertikaian antara pemerintah dengan masyarakat lokal atau masyarakat adat. Secara khusus, walaupun kawasan secara de jure dikontrol oleh pemerintah, tetapi secara de facto di beberapa lokasi dikontrol oleh penduduk lokal atau pelaku bisnis lokal yang mengeksploitasi wilayah kawasan secara terorganisasi. Itu ditandai dengan maraknya penebangan liar dan perburuan liar pada beberapa kawasan konservasi. Ketika kontrol pemerintah dan komunitas lokal tidak berjalan efektif atau tidak ada sama sekali di lapangan, maka wilayah kawasan konservasi menjadi open access. Kondisi ini merupakan ekspresi dari tragedy of the commons yang dikuatirkan Hardin penggagasnya, yaitu musnahnya sumber daya PHKA-Dephut et al. 2002. Selain itu konflik juga muncul, karena konsep model pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional di negara-negara selatan, termasuk Indonesia mengadopsi konsep Amerika Serikat yang bersifat ‘pengelolaan eksklusif’ yang secara tegas memisahkan antara kepentingan kawasan konservasi dengan keinginan masyarakat lokal dalam mengelola kawasan konservasi. Sehingga kuat sekali dominasi negara atau pihak swasta dalam mengelola kawasan konservasi. Model ‘pengelolaan inklusif’ yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat belum terpakai di Indonesia. Pada model ini keinginan masyarakat lokal dan administrasi setempat dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kedua model ini masing- masing memiliki kelebihan masing-masing, pengelolaan eksklusif sukses melindungi hidupan liar dan keindahan panorama, walaupun tanpa pelibatan masyarakat lokal. Sedangkan pengelolaan inklusif berhasil memasukan peranan masyarakat lokal dalam aras pengelolaan kawasan konservasi Borrini-Feyerabend et al. dalam PHKA-Dephut et al. 2002. Transformasi pola pengelolaan sumber daya alam oleh negara, swasta, dan kemudian kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat lokal agaknya merupakan tuntutan universal, yang berlaku bukan cuma di Indonesia. Di India telah terjadi empat tahap evolusi pola pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan, dari kolonialisme, komersialisme, konservasi, dan saat ini kolaborasi. Sedangkan di Nepal terjadi evolusi: privatisasi, nasionalisasi, dan populisme. Bahkan pergeseran juga terjadi di beberapa negara-negara bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif’ kawasan konservasi telah mulai bergeser menuju pengelolaan kolaboratif PHKA- Dephut et al. 2002. Di Indonesia sendiri, mulai terjadi pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi di kawasan pesisir. Beberapa kawasan konservasi pesisir saat ini mulai dikelola secara kolaboratif, dengan pembentukan DPL Daerah Perlindungan Laut yang dikelola oleh masyarakat, sebagai contohnya antara lain Taman Nasional Kepulauan Togean TNKT. Pengelolaan TNKT dikembangkan suatu sistem pengelolaan yang kolaboratif mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No. P.19Menhut- II2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, dengan mengakomodir konsep DPL Berbasis Masyarakat yang telah berjalan dengan baik di kawasan Togean, yaitu DPL Kabalutan dan DPL Teluk Kilat. Kawasan TNKT tidak berbentuk kawasan yang tertutup sepenuhnya untuk aktivitas pemanfaatan, namun berupa area yang menjadi zona inti dengan zona penyangga di sekitarnya, dimana di zona penyangga tersebut masyarakat lokal secara terbatas dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada Zamani et al. 2007. Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekadar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik: produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat lokal. Pemerintah di negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat lokal berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumber daya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat lokal merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis PHKA- Dephut et al. 2002. Di dalam kawasan mangrove TNK saat ini telah berdiri 4 desa definitif berdasarkan SK Gurbernur Kalimantan Timur No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997 tentang Penetapan desa definitif di dalam TNK, yaitu Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan; dan SK. No. 410.44 K.4521999 tentang pemekaran Desa Sangatta Selatan menjadi Singa Geweh dan Sangatta Selatan. Sehingga muncul wacana dari pemerintah daerah untuk meng-enclave hutan mangrove tersebut agar dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan digunakan untuk pemanfaatan lain. Hutan dan masyarakat di sekitarnya memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kondisi demikian terjadi pula pada masyarakat yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang merupakan bagian dari kawasan TNK. Masyarakat banyak memanfaatkan sumber daya alam yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah: mencari ikan, kerang, dan kepiting baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap atau ketupat; pemanfaatan nira nipah menjadi gulaarak; pemanfaatan buah nipah sebagai campuran es buah atau dimakan segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar, jembatan, tiang bagang, tiang penambat perahu; pemanfaatan buah rambai laut Sonneratia alba sebagai campuran sayuran; dan pemanfaatan ekosistem mangrove menjadi tambak. Akibatnya tingkat kerusakan ekosistem mangrove di kawasan TNK menjadi semakin luas. Pada saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar TNK masih memanfaatkan hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang merusak, seperti membuka mangrove untuk tambak atau menebang pohon mangrove untuk diambil kayunya. Sesuai data dasar TNK 2005, luas hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kutai Timur sekitar 5 131.55 ha 2,58 total luas TNK. Saat ini luas mangrove yang sudah dikonversi menjadi lahan terbuka seluas 1 361.34 ha 26.53 total luas mangrove, yaitu untuk tambak 155.81 ha 3.04 dan menjadi lahan terbuka lain seluas 1 205.53 ha 23.49 . Formasi mangrove yang masih utuh terdapat di Desa Teluk Pandan hingga Teluk Kaba, sedangkan di pesisir Desa Sangatta Selatan sangat rentan terhadap degradasi. Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan pengembangan model pengelolaan mangrove yang melibatkan masyarakat dalam kawasan tersebut, karena keberadaan masyarakat sekitar hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga diperlukan adanya suatu model pengelolaan kolaboratif yang dapat mendistribusikan tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola pemanfaatan hutan mangrove, terutama hutan mangrove dalam kawasan konservasi. Penelitian ini penting untuk memberikan masukan rekomendasi kebijakan atau perubahan legislasi mengenai pengelolaan kolaboratif yang berbasis ilmiah sehingga walaupun pemanfaatan sumberdaya alam bakau dapat dilakukan namun tujuan utama pengelolaan taman nasional untuk konservasi keanekaragaman hayati tetap dapat dipertahankan. Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya di hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dua tipe pemanfaatan kepiting bakau dari alam, yaitu penangkapan kepiting bakau dewasa ukuran lebih dari 300 gram untuk konsumsi dan penangkapan kepiting bakau muda ukuran ± 100 gram untuk benih dalam pembesaran kepiting. Potensi kepiting bakau di habitat mangrove TNK, yang diduga masih besar, dapat dijadikan alternatif mata pencaharian bagi penduduk lokal, agar tidak merusak hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau, bila dioptimalkan dengan memperhatikan daya dukung sumberdaya yang ada, maka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan di sisi lain keutuhan habitat hutan mangrove akan tetap terjaga. Pemanfaatan lestari kepiting bakau dengan model pengelolaan kolaboratif berpotensi menurunkan kerusakan hutan bakau minimal sebesar 700 ha, yaitu seluas kerusakan mangrove yang terjadi akibat pembukaan hutan mangrove untuk tambak. Budidaya tambak yang dilakukan di TNK selama ini belum menunjukkan produksi maupun nilai keuntungan yang cukup seimbang dibandingkan kerugian yang diperoleh akibat kerusakan mangrove. Penurunan luas kerusakan mangrove diharapkan terjadi dengan mengalihkan pemanfaatan mangrove dari pembukaan tambak menjadi sylvofishery kepiting bakau. Hutan mangrove merupakan habitat utama bagi S. serrata. Dengan rusak dan hilangnya habitat dasar serta fungsi utama ekosistem mangrove maka akan menghilangkan habitat alami dari S. serrata yang pada akhirnya menurunkan jumlah populasi salah satu jenis krustasea yang bernilai ekonomi tinggi ini. Seperti yang diduga Siahainenia 2008 telah terjadi di perairan mangrove Kabupaten Subang. Penurunan populasi S. serrata selain disebabkan penangkapan eksploitasi secara berlebihan oleh nelayan juga disebabkan hilangnya habitat alami kerusakan ekosistem mangrove, sehingga menghilangkan kesempatan bagi S. serrata untuk berkembang dan tumbuh dengan baik. Dua tipe pemanfaatan kepiting bakau, yaitu penangkapan dan budidaya, perlu dipertahankan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan nelayan lokal dan pembudidaya. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini harus diterapkan secara bertanggung jawab dan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian untuk tujuan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdayanya Cholik 1999. Pemanfaatan sumberdaya kepiting, baik secara penangkapan atau pun melalui budidaya pembesaran kepiting, pada dasarnya dilakukan dengan menangkap kepiting dari alam. Oleh karena itu, bila tidak dikelola dengan benar, maka dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi penurunan hasil tangkapan, hingga habisnya stok kepiting di alam. Perikanan tangkap kepiting bakau dapat ditingkatkan melalui perbaikan habitat dan restoking Cholik 1999, sedangkan budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove Ikhwanuddin Oakley 1999. Namun menurut Genodepa 1999, sistem tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting bakau. Sedangkan sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan mengijinkan kepiting hidup dalam lingkungan alaminya Ikhwanuddin Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston Keenan 1999. Beberapa teknologi yang mendukung kegiatan budidaya kepiting bakau, yaitu: pembenihan, pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan produksi kepiting lunaksoka. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah: 1. Pada area hutan mangrove bagian mana saja di TNK yang dapat dimanfaatkan sumberdaya kepitingnya untuk suatu pemanfaatan yang berkelanjutan? 2. Apakah sumberdaya kepiting di TNK sudah mengalami penurunan saat ini dibandingkan waktu yang lalu? 3. Seberapa besar daya dukung sumberdaya di zona pemanfaatan TNK bagi populasi kepiting untuk penangkapan maupun budidaya pembesaran? 4. Bagaimana bentuk pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya kepiting dan sekaligus menjaga kelestarian hutan mangrove di TNK sebagai habitat bagi kepiting tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian