Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan
menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil
panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1 dari hasil panen yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan
meningkatkan produksi sebanyak ± 6 ton pada tahun berikutnya.
5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata
Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya.
Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan
kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove. Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap
menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan
dimana benih awalnya diambil dari alam sampai pada ukuran kepiting mencapai ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari
kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa konstanta pertumbuhan K kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran
sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti
pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata.
Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di
habitat mangrove TNK. Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola
hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh
kebutuhan masyarakat.
Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini, dimana hatchery pembenihan kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya
pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana 2004
larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri
patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu-
satunya pilihan. Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan
benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja
kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu
mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan
sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila
teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka kepiting lunak.
Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m,
dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekorunit atau sebesar 1.5-2.5 ekorm
2
Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor
benih S. serratamusim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari
kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum. .
Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: produksi kepiting bakau empat spesies tahun 2008 = 12.1 ton data statistik
Dinas KP Kutim 2009 bila diasumsikan S. serrata = 80 dari total Cholik Hanafi 1991, maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis
dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 dan betina 40.7 rata-rata 43.2 . produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x
0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia benih = 3.033 x 1.000.000100 = 30 333 ekor benih.
Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi
mangrove yang baik. Penelitian Triño dan Rodriguez 2002 di Aklan, Philipina menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi
mangrove yang sedang direhabilitasi reforested mangrove. Hasil yang paling menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekorm
2
Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik
dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
dan pemberian pakan campuran 75 kerang coklat dan 25 ikan rucah yang diasin.
Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial di-
reforestasi untuk budidaya sylvofishery.
5.3.5 Model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK