bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi polihaline. Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas
yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah
membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi.
5.1.4 Daya Dukung Habitat Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata
Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan pendekatan indeks kesesuaian habitat Habitat Suitability IndexHSI. HSI
menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies, yang meliputi komponen kualitas
air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut V
1
, Biological Oksigen Demand V
2
, salinitas air V
3
, temperatur air V
4
, pH air V
5
, pH substrat V
6
, pasang surut air laut V
7
, tekstur substrat V
8
, kepadatan makrozoobenthos V
9
, jenis vegetasi V
10
, kerapatan vegetasi V
11
, dan produksi serasah V
12
. Karena antara ke-12 variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
kehidupan kepiting, maka masing-masing variabel diberi bobot terlebih dahulu yang menunjukkan nilai pentingnya dibanding variabel yang lain. Sedangkan
skor kesesuaiannya diberikan sesuai dengan indeks yang dibuat sesuai asumsi- asumsi kebutuhan hidup kepiting Lampiran 19. Nilai dari masing-masing
variabel dapat dilihat pada Tabel 24. Variabel yang paling penting pada usaha budidaya pembesaran kepiting
adalah pasang surut air laut dan kondisi tekstur tanah substrat. Pasang surut akan menentukan lokasi mana yang sering tergenang air laut, karena kepiting sangat
memerlukan air laut untuk hidupnya. Sedangkan variabel substrat penting, karena sifat kepiting yang suka membenamkan diri dalam lumpur. Bila substratnya
banyak mengandung bahan organik gambut atau pasir yang porous dan mudah meresapkan air, maka kondisi tanah akan cepat kering pada saat surut air laut.
Sementara kepiting membenamkan diri dalam lumpur adalah karena mencari tempat yang cukup basah dan dingin selama air surut. Oleh karena itu, kepiting
lebih sering membuat lubang-lubang persembunyian di tepi-tepi parit kecilsungai
atau di tambak-tambak. Tekstur substrat dan lamanya perendaman pasut juga menjadi variabel yang menentukan jenis vegetasi mangrove yang dapat hidup di
ekosistem mangrove tersebut Bengen 2004. Selain itu sifat tekstur substrat juga relatif lebih stabil dibanding variabel lain, misalnya salinitas dan temperatur yang
besar variasinya, sehingga bila digunakan sebagai penduga daya dukung juga akan lebih stabil nilainya. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA habitat
mangrove, yang menunjukkan adanya pengaruh yang besar antara tekstur substrat dengan kelimpahan S. serrata .
Namun demikian, bukan berarti bahwa kelimpahan hanya ditentukan oleh kondisi tekstur substrat saja, karena walaupun tekstur sesuai namun bila tidak ada
vegetasi mangrove, maka kepiting bakau juga tidak akan ditemukan Siahainenia 2008. Oleh karena itu, kerapatan vegetasi mangrove menduduki peringkat kedua
dalam pembobotan variabel. Pada komponen kualitas air, kisaran nilai SI antar ketiga lokasi tidak
terlalu berbeda jauh, yaitu Muara Sangatta 0.69 kemudian Muara Sangkima 0.62 dan terakhir Teluk Perancis 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di
ketiga lokasi hampir sama. Permasalahan kualitas air umumnya adalah akibat pH air yang cenderung asam.
Pada komponen substrat, yang meliputi empat variabel pasut, tekstur, pH, dan makrozoobenthos, nilai SI terbaik pada lokasi Muara Sangatta yaitu sebesar
0.72, berikutnya lokasi Teluk Perancis sebesar 0.66 dan Muara Sangkima sebesar 0.56. Lokasi Muara Sangatta, yang terletak di muara sungai besar memiliki
kondisi tekstur substrat yang liat berlempung, dengan fraksi liat sebesar 40.90- 60.70 . Kondisi ini yang menyebabkan di Muara Sangatta lebih banyak dibuat
tambak-tambak bandeng dibanding lokasi lainnya di habitat mangrove TNK. Nilai SI pasang surut di lokasi ini juga paling tinggi. Runoff yang cukup
tinggi dari daratan melalui Sungai Sangatta memberikan suplai air tawar. Suplai air tawar yang cukup intensif ini merupakan nilai lebih lain dari lokasi Muara
Sangatta, karena kepiting menyukai salinitas air yang payau. Menurut Kasry 1996 kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15 ‰ – 20 ‰, dan kemudian beruaya ke laut dalam untuk memijah. Berdasarkan analisis kelimpahan, kepiting bakau di lokasi ini juga yang paling
tinggi kelimpahannya.
Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau.
NO VARIABEL
Bobot Variabel
Ma Sangatta skor
SI Tl Perancis
skor SI
Ma Sangkima
skor SI
1 oksigen terlarut DO
V
1
1 6.3 - 10.9
1 1
7.3 – 11.9 1
1 7.3 – 11.7
1 1
2 BOD V2
0.6 3.1 - 6.3
1 0.6
2.1 – 3.3 0.6
0.36 2.6 – 5.4
0.7 0.42
3 salinitas air V3
0.7 0 - 25 25
0.9 0.63
24 - 34 30 0.7
0.49 10-34 29
0.8 0.56
4 temperatur air V4
0.8 24 - 29 28
0.95 0.76
25 - 28 27 0.9
0.72 24 - 26 26
0.8 0.64
5 pH Air V5
0.6 6.1 – 7.1 7
0.9 0.54
5.2 – 7.9 6.8 0.7
0.42 7.1 - 7.6
1 0.6
SI KA 0.69
0.56 0.62
6 pH
substrat V6 0.5
5.1-6.8 6.5
0.7 0.35 4.3-5.7 0.4 0.2 5.6-6.9 0.7 0.35 7
pasang surut air laut V7
1 1.2-2.5 1.2
0.9 0.9
1.2-2.4 1.2 0.9
0.9 1.3-2.3 1.3
0.9 0.9
8 fraksi substrat V8
1 clay loam
1 1
sandy loam 0.3
0.3 sandy loam
0.3 0.3
9 kepadatan
makrozoobenthos V9 0.7 20.25 0.9
0.63 22.75 1 0.7 19 0.8 0.56
SI SU 0.67
0.44 0.48
10 jenis vegetasi
dominan V10 0.7
A. corniculatum Nypa fructicans
0.6 0.42 R. apiculata, R.
mucronata, B. gymnorrhiza
0.7 0.49 R. apiculata,
B. parviflora, S. alba
0.9 0.63 11
kerapatan vegetasi V11
0.9 556 0.8
0.72 1350 0.9
0.81 1863
0.8 0.72
12 produksi serasah
V
12
0.3 17.03
0.6 0.18 19.47
0.5 0.15 18.55
0.5 0.15 SI VEG
0.38 0.39
0.41 HSI
0.622000 0.535444
0.557167
frekuensi paling sering SI = bobot variabel x skor
Variabel vegetasi diberi bobot yang berbeda untuk jenis vegetasi, kerapatan vegetasi, dan produksi serasah. Variabel vegetasi yang dianggap paling
berpengaruh bagi kehidupan kepiting adalah kerapatan vegetasi. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, banyak peneliti menemukan adanya keterkaitan yang
erat antara kerapatan vegetasi mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau LeVay 2001; Siahainenia 2008, sehingga kerapatan vegetasi diberi bobot 0.9.
Namun demikian, hasil penelitian menemukan bahwa kepiting bakau tidak selalu berada dalam hutan mangrove yang rapat vegetasinya, tapi berada di pinggir
sungaiparittambak atau tempat-tempat yang berair dan terbuka di sekitar hutan mangrove. Kepiting lebih sering ditemukan nelayan pada lokasi-lokasi tersebut
karena dua alasan, yaitu kepiting menyukai membuat lubang di tempat yang berlumpur, dan alasan lain adalah nelayan lebih mudah menemukan kepiting pada
lokasi tersebut dibandingkan mencari kepiting di bawah perakaran mangrove yang padat.
Variabel jenis vegetasi diberi bobot 0.7 karena jenis vegetasi menentukan terbentuknya perakaran di lantai mangrove. Kepiting bakau menyukai jenis
vegetasi yang bentuk perakarannya mampu menyediakan makanan dan tempat berlindung baginya Hutching Saenger 1987. Namun pembentukan perakaran
mangrove sendiri terkait dengan sifat tekstur substrat tempatnya melekat dan periode pasang surut air laut, hanya jenis vegetasi tertentu dengan bentuk
perakaran tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi substrat di lokasi tersebut. Atau dengan kata lain, jenis vegetasi merupakan variabel turunan dari
variabel tekstur substrat. Menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 status kondisi mangrove di lokasi Teluk Perancis diklasifikasikan baik sedang, dan Muara
Sangkima yang didominasi jenis Rhizophora status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam kategori baik sangat padat. Sedangkan di lokasi Muara
Sangatta didominasi jenis Aegiceras dengan kategori baik sedang. Produksi serasah diberi bobot yang relatif kecil, yaitu 0.3 karena walapun
diasumsikan kepiting memakan jenis serasah daun tertentu untuk dietnya, namun persentasenya dalam diet kepiting bakau hanya sekitar 28-30 McCann dalam
Arifin 2006. Keterkaitan serasah adalah dengan kelimpahan makrozoobenthos sebagai pakan utama kepiting bakau, seperti telah diungkapkan dari hasil analisis
PCA sebelumnya. Oleh karena itu variabel kelimpahan makrozoobenthos diberi bobot 0.7.
Secara keseluruhan Muara Sangatta memiliki nilai indeks kesesuaian lahan HSI yang paling tinggi, yaitu 0.622, berikutnya adalah Muara Sangkima sebesar
0.557 dan Teluk Perancis sebesar 0.535. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa lokasi Muara Sangatta merupakan lokasi yang paling baik
dalam mendukung kehidupan S. serrata. Sehingga lokasi Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai bila digunakan untuk usaha pembesaran kepiting bakau.
Dengan nilai indeks HSI tersebut maka dapat diperkirakan jumlah individu kepiting bakau atau unit budidaya yang dapat dipelihara di habitat mangrove
TNK. Perhitungan jumlah individuunit budidaya yang mampu didukung oleh masing-masing lokasi di TNK disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Daya dukung Mangrove TNK untuk unit budidaya.
Lokasi HSI
Luas area m
2
Kelimpahan kepiting
indm²
Daya dukung kepiting ekor
Unit budidaya
Muara Sangatta 0.622
15746741.58 0.025
244862 490
Teluk Prancis 0.535
13412280.46 0.01
71815 144
Muara Sangkima 0.557
13084719.28 0.015
109356 219
Hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa di lokasi Muara Sangatta individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya yang berkelanjutan
adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit budidaya kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Unit karamba sejumlah ini memerlukan
lahan seluas ± 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar ± 400.03 ha lahan kritis bekas tambak. Unit-unit karamba ini dapat dibangun di bekas tambak yang sudah
tidak produktif lagi di Muara Sangatta, sekaligus sebagai upaya untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut.
Muara Sangkima yang mempunyai kondisi mangrove baik sangat rapat dapat mendukung sekitar 219 unit kurungan tancap, sedangkan Teluk Perancis
dapat mendukung sekitar 144 unit kurungan tancap. Namun hal ini bukan berarti
bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery. Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila
telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks
kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan