Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK

umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-bulan Lampiran 26. Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha Lampiran 25 total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- unit karambatahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-unit karambatahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101 250,-unit karambatahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka kepiting lunak atau kepiting bertelur.

5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK

5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK

Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 325Kpts-II1995, TNK yang semula adalah Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 Lampiran VIII tentang kawasan Lindung Nasional, yang mengkategorikannya sebagai Taman Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I IA4. Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai BTNK sebagai unit teknis dari BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya. Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi 2009 menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan hutan. UU 411999 tentang kehutanan Pasal 23 dan pasal 24 menyatakan “Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya” dan “Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”. Selanjutnya pada Pasal 25 dikatakan “Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Aturan turunan untuk pasal 25 UU 411999 ini adalah Permenhut No. P.56Menhut-II2006. Selanjutnya dalam pasal 68, disebutkan “masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Dengan demikian dapat dikatakan akses bagi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan telah dibuka, baik dalam hutan produksi maupun hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan tersebut meliputi tiga hal pokok, yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. Secara rinci pemanfaatan hutan ini diatur dalam PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008. Walaupun secara legalitas hukum sudah ada aturan-aturan yang mengijinkan adanya akses masyarakat untuk pemanfaatan hutan, namun hingga saat ini pengelolaan TNK masih tertutup bagi masyarakat. Masyarakat belum diberi hak untuk memanfaatkan dan dibatasi aksesnya berdasarkan pasal 21 UU No. 5 Tahun 1990 dan pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Selain itu tidak ada rencana zonasi yang jelas sesuai amanat undang-undang, yang dibuat untuk kawasan TNK. Sementara itu kenyataan berbicara lain, dengan adanya pelarangan- pelarangan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pengelola taman nasional, bukannya berhasil menjaga keutuhan hutan, bahkan pada saat ini TNK justru sangat sarat dengan permasalahan. Isu permasalahan yang paling banyak terjadi adalah adanya perambahan hutan dan penebangan kayu tidak legal illegal logging. Gambar 25 menunjukkan perambahan hutan cenderung terjadi di bagian pesisir TNK sebelah timur jalan poros Bontang-Sangatta, yang merupakan kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan ini antara lain dilakukan untuk pembuatan jalan poros Bontang – Sangatta, yang pada akhirnya berimbas pada perluasan permukiman penduduk, hingga terbentuknya kecamatan baru, yaitu kecamatan Teluk Pandan, setelah sebelumnya sudah ada kecamatan yang berdiri lebih dahulu, yaitu Kecamatan Sangatta Selatan. Adanya pengembangan wilayah ke arah pesisir ini sangat mengancam keberadaan hutan mangrove di TNK. Karena dengan adanya penduduk dalam wilayah TNK, akhirnya penduduk memanfaatkan hutan mangrove, dimana sebagian besar dilakukan dengan cara yang merusak, seperti menebang mangrove dan membukanya untuk penggunaan lain pemukiman, tambak. Sementara itu, zonasi TNK sampai saat ini juga belum disusun, sehingga permasalahan perambahan hutan di wilayah TK Kutai menjadi semakin meluas dan berlarut-larut. Untuk penyelesaian masalah tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur berinisiatif mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan kawasan TNK yang bermasalah tersebut, salah satunya adalah rencana enclave. Namun rencana ini juga mengalami banyak kendala. Berbagai kendala yang muncul pada rencana enclave ini, antara lain: i. Perbedaan persepsi dalam penafsiran enclave antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai Timur menafsirkan bahwa kawasan enclave akan dikelola pemerintah daerah setelah enclave selesai. Sedangkan Departemen Kehutanan tetap menghendaki pengelolaan berada pada BTNK Surat Dirjen PHKA No. 285DJ-VKK2000 tanggal 28 April 2000. ii. Pemerintah Pusat menolak penyelesaian permasalahan TNK melalui enclave, yaitu dengan dikeluarkannya surat Menteri Kehutanan RI Nomor. 1889Menhut-II2002 tanggal 21 Nopember 2002 yang isinya menyatakan bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave dari Taman Nasional Kutai. Selama belum ada kebijakan untuk penyelesaian permasalahan TNK, diperlukan solusi jangka pendek untuk mencegah semakin meluasnya perusakan sumberdaya alam di TNK, termasuk diantaranya sumberdaya yang di dalam hutan mangrove. Dari hasil penelusuran terhadap peraturan perundangan yang ada, beberapa pasal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan di TNK, khususnya bagi permasalahan pemanfaatan yang merusak mangrove, yaitu: 1. Pasal 26, 27, 28, 30, dan 32 UU No. 5 tahun 1990, 2. Pasal 23, 24, dan 25 UU No. 41 tahun 1999, 3. Pasal 29 UU No. 27 tahun 2007 beserta penjelasannya, 4. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 60 tahun 2007, 5. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 6 tahun 2007 6. Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56Menhut-II2006 Berdasarkan pasal-pasal tersebut, permasalahan pengelolaan mangrove dapat diatasi dengan membuat sistem zonasi yang dapat melindungi kepentingan pelestarian alam, sekaligus mengakomodir hak masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam untuk kebutuhan hidupnya. Bila pada UU No. 51990 zonasi dalam kawasan taman nasional hanya dibagi menjadi 3, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, maka pada aturan turunannya yaitu Permenhut No. P.56Menhut-II2006, zonasi dibuat lebih rinci lagi, yaitu: 1. Zona inti; 2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; 3. Zona pemanfaatan; 4. Zona lain, antara lain: 1. Zona tradisional; 2. Zona rehabilitasi; 3. Zona religi, budaya dan sejarah; 5. Zona khusus. Berdasarkan Permen ini, maka ada tiga zona yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu zona pemanfaatan, zona lain, dan zona khusus. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain: 1 Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990; 2 Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990; 3 Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari pasal 3 poin c UU No. 41 Tahun 1999; 4 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar pasal 27 dan 28, UU No. 5 Tahun 1990; 5 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan kayu danatau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu danatau bukan kayu dengan batasan waktu, luas danatau volume tertentu pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007; 6 Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; danatau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007. Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan kepiting bakau di kawasan TNK adalah: i kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil hutan bukan kayu, ii kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan. iii pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya sylvofishery tidak mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat tempat hidup kepiting bakau pemanfaatan kawasan. iv Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting muda crablets yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada di luar batas kawasan TNK. v Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi kepiting bakau. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti merekomendasikan pengembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau S. serrata sebagai alternatif pemanfaatan hutan mangrove yang ramah lingkungan di zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan hutan mangrove TNK.

5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Ekosistem Mangrove