Membangun struktur model untuk memudahkan secara visual bagi pengguna model dalam memahami dan menangkap hipotesis dinamis yang
dimaksud dengan menggunakan alat CLD. Secara konseptual, pada bagian awal bab ini telah dibangun diagram sebab akibat CLD sistem pengelolaan kepiting
bakau di TNK. Kemudian, struktur model dilanjutkan dengan membangun diagram alir dengan alat SFD untuk mengantarkan pada tahap simulasi. Sebelum
membangun diagram alir, harus dipahami dahulu variabel atau parameter yang akan dijadikan stock akumulasi dan flow aliran yang dapat mengubah nilai
stock .
Tahap selanjutnya setelah pembuatan diagram stock flow SFD adalah memformulasikan diagram tersebut. Tahap formulasi model simulasi
menggunakan alat bantu program komputer Powersim Studio 2005. Model simulasi harus sudah dilengkapi dengan persamaan matematis yang benar,
parameter dan penentuan kondisi nilai awal initial agar dapat dijalankan run. Powersim pertama kali menghitung nilai awal untuk mengukur stock dan aliran
sebuah flow. Kemudian flow digunakan untuk memperbaharui stock tersebut. Nilai baru stock digunakan kembali untuk menghitung dan seterusnya seiring
dengan perubahan waktu secara berulang.
3.8 Zonasi Pemanfaatan S. serrata di Kawasan Mangrove TNK
Sesuai UU No. 5 Tahun 1990 pasal 32, kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain
sesuai dengan keperluan. Kawasan Taman Nasional Kutai meliputi hutan daratan dan hutan mangrove dengan luas keseluruhan mencapai kurang lebih ± 198 000
ha, dimana ± 5.227 ha diantaranya merupakan hutan mangrove. Sumberdaya bukan kayu dalam hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan
adalah kepiting bakau S. serrata. Untuk mencegah kepiting bakau tersebut dari pemanfaatan yang berlebihan, maka perlu diatur zonasi pemanfaatan S. serrata.
Zonasi pemanfaatan S. serrata ditentukan untuk zona pemanfaatan perikanan tangkap dan zona pemanfaatan budidaya sylvofishery. Penentuan
kesesuaian zona pemanfaatan dilakukan berdasarkan parameter indeks kesesuaian habitat HSI, laju eksploitasi E S. serrata, dan kondisi konversi mangrove pada
masing-masing area. Analisis dilakukan dengan menggunakan software ArcView 3.2. Matriks parameter kesesuaian zona pemanfaatan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kriteria kesesuaian zonasi pemanfaatan Scylla serrata
No. Kriteria Zonasi Pemanfaatan
Scylla serrata Zona Budidaya
Zona Tangkap Zona Inti
1 HSI tinggi
sedang Rendah
2 Laju Eksploitasi
S. serrata tinggi rendah
sedang- rendah
3 Konversi mangrove
tinggi sedang
Rendah
3.9 Simulasi dan Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Scylla
serrata di Kawasan Mangrove TNK
Pada awal 1990-an, berkembang instrumen yang didesain langsung pada pengendalian sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan menjadi
kawasan konservasi. Lima prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1 Proses ekologis seharusnya dapat
dikontrol; 2 Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman ekologi; 3 Ancaman luar hendaknya dapat diminimalkan dan manfaat dari luar
dapat dimaksimalkan; 4 Proses evolusi hendaknya dapat dipertahankan; 5 Pengelolaan hendaknya bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan SDA dan
lingkungan Yulianda 2006. Kebijakan adalah aturan umum bagaimana status keputusan dibuat
berdasar pada informasi yang tersedia. Setiap kebijakan memiliki empat komponen, yaitu kondisi saat ini aktual dan yang diinginkan, kecepatan
tanggapan dan tindakan perbaikan Forrester dalam Lyneis 1980. Kecepatan tanggap dalam studi ini menggunakan matrik yang terdiri dari tiga pilihan
pengaturan parameter, yaitu agresif, moderat dan lambat Lyneis 1980. Skenario kebijakan pada kajian ini dalam rentangan waktu time horizon dua puluh tahun
kedepan tahun 2010-2030. Rentangan waktu 20 tahun dianggap mewakili kondisi bila diasumsikan hutan mangrove mulai tumbuh dengan baik dari saat
mulai ditanam dan dapat menjadi habitat bagi biota lain. Simulasi skenario kebijakan pemanfaatan akan dilakukan melalui 2 tahap,
yaitu analisis skenario dasar dan analisis perilaku dinamik. Analisis skenario dasar
base case scenario menguraikan perilaku sistem pada tahun mendatang tahun 2009-2029 dipengaruhi oleh unjuk kerja parameter dengan sensitif tinggi, yaitu
luasan mangrove dan pendapatan dari Scylla serrata. Parameter lainnya yang memiliki sensitif sedang dan rendah diasumsikan tidak mengalami perubahan dari
tahun 2009. Analisis perilaku dinamik memungkinkan bagi pengguna model untuk
merubah nilai parameter. Meskipun analisis base case scenario run penting sebagai cerminan dari kondisi aktual di lapangan, namun pengambilan keputusan
dalam pengelolaan Scylla serrata pada tahun-tahun yang akan datang perlu meramalkan kondisi mendatang berdasarkan cerminan kondisi aktual tersebut.
Perubahan nilai parameter dibagi kedalam tiga skenario, yaitu skenario agresif optimis, moderat dan lambat pesimis. Ketiga skenario secara berturut-
turut pemodel sebut dengan scenario run 1 SR1, scenario run 2 SR2 dan scenario run 3
SR3. Skenario pengelolaan disusun berdasarkan perubahan nilai parameter yang dilakukan secara apriori oleh peneliti dalam proyeksi 20 tahun
mendatang. Keberlanjutan pengelolaan mangrove melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata, selanjutnya akan dianalisis secara statistik multivariate dengan pendekatan Multidimensional Scaling MDS.
Analisis multidimensi menurut Bengen 2000 merupakan analisis data yang menggambarkan karakter-karakter kuantitatif dan kualitatif suatusekumpulan
individu yang disusun berdasarkan suatu orde dan tidak dapat dilakukan operasi aljabar sehingga cenderung lebih dekat pada statistik deskriptif dari pada statistik
inferensial. Analisis keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau ini
ditujukan untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi mangrove melalui pemanfaatan sylvofishery kepiting bakau.
Keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di kawasan mangrove TNK dianalisis menggunakan metode Rap-CRASYMAN Rapid Assesment
Techniques for Crab Sylvofishery Management . Metode Rap-CRASYMAN
merupakan modifikasi dari metode RAPFISH Rapid Assessment Techniques for Fisheries
yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British
Columbia, Kanada, untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Hasil analisis ini dinyatakan dalam bentuk Indeks Keberlanjutan Pengelolaan
Sylvofishery Kepiting Bakau.
Analisis keberlanjutan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1 Penentuan atribut pengelolaan berkelanjutan sylvofishery kepiting bakau yang
meliputi empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi hukum-kelembagaan.
2 penilaian skoring setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi. Mengacu pada teknik RAPFISH, maka skor
yang diberikan berupa nilai “buruk” bad yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling tidak menguntungkan, dan juga berupa nilai “baik”
good yang mencerminkan kondisi pengelolaan yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara.
Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. dan Heershman et al
. dalam Laapo 2010, maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak 3 tiga yakni nilai
buruk diberi skor 0 nol, nilai antara diberi skor 1 satu dan nilai baik diberi skor 2 dua.
3 Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sylvofishery kepiting bakau. Penilaian status keberlanjutan berdasarkan indeks setiap dimensi
dikategorikan menurut Kavanagh 1999 sebagai berikut: - nilai indeks 0-24.99 kategori tidak berkelanjutan
- nilai indeks 25-49.99 kategori kurang berkelanjutan - nilai indeks 50-74.99 kategori cukup berkelanjutan dan
- nilai indeks 75-100 kategori berkelanjutan. Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan
melalui sumbu horisontal dan sumbu vertikal dengan proses rotasi. Posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horisontal dengan nilai indeks
keberlanjutan diberi nilai skor 0 buruk dan 100 baik. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan
50, maka sistem dikatakan berkelanjutan sustainable. Sistem tidak akan berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50.
4 Analisis sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif
memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan sylvofishery
kepiting bakau. Peran masing-masing atribut terhadap nilai indeks dianalisis dengan “attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi
apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Peran pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan Root Mean Square RMS ordinasi
khususnya pada sumbu-x. Atribut-atribut yang memiliki tingkat kepentingan sensitivitas tinggi dari hasil analisis ini, dianggap sebagai faktor pengungkit,
yang apabila dilakukan perbaikan pada atribut tersebut maka akan berpengaruh besar dalam mengungkit nilai indeks keberlanjutan menjadi lebih
baik. Perbaikan terhadap atribut sensitif, yang merupakan faktor pengungkit tersebut, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi
dalam pengelolaan sumberdaya Scylla serrata di kawasan mangrove TNK.
4 KONDISI UMUM TAMAN NASIONAL KUTAI 4.1
Sejarah Kawasan TNK
Kawasan TNK pada awalnya berstatus sebagai Hutan Persediaan dengan luas 2 000 000 ha berdasarkan Surat Keputusan SK Pemerintah Belanda GB
Nomor: 3843AZ1934, yang kemudian oleh Pemerintah Kerajaan Kutai ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Kutai melalui SK ZB Nomor: 8022-
ZB1936 dengan luas 306 000 ha TNK 2005. Sejak keberadaannya, TNK tidak pernah lepas dari konflik kepentingan.
Berdasarkan data yang ada, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas
secara drastis seperti tersaji dalam Tabel 4. Tabel 4 Sejarah status kawasan Taman Nasional Kutai.
Institusi Keputusan
Status Luas
ha
Keterangan
Pemerintah Hindia
Belanda SK GB No.
3843Z1934 Hutan
Persediaan 2 000 000
Pemerintah Kerajaan
Kutai SK ZB No.
8022-B1936 Suaka
Margasatwa 306 000
Ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa
Menteri Pertanian
SK No. 110UN 1957, tanggal 14
Juni 1957 Suaka
Margasatwa Kutai
306 000 Menteri
Pertanian SK No. 30Kpts
Um61971, tanggal 23 Juli
1971 Suaka
Margasatwa Kutai
200 000 Dilepas 106 000 ha, 60 000 ha
yang masih asli untuk HPH PT kayu Mas dan sisanya untuk
perluasan Industri pupuk dan gas alam. 100 000 ha yang dikelola
oleh HPH pada tahun 1969 kemudian dikembalikan ke SMK
Menteri Pertanian
SK No. 736 MentanX 1982
Taman Nasional
Kutai 200 000
Dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di
Bali sebagai satu dari 11 calon TN Menteri
Kehutanan SK No.
435Kpts-XX 1991
Taman Nasional
Kutai 198 629
Luasnya dikurangi 1 371 ha untuk perluasan Bontang dan PT
Pupuk Kaltim Menteri
kehutanan SK Menhut
No. 325Kpts- II1995
Taman Nasional
Kutai 198 629
Perubahan fungsi dan penunjukan SMK menjadi
Taman Nasional Kutai Menteri
Kehutanan Surat No. 997
Menhut-VII 1997
Taman Nasional
Kutai 198 629
Izin prinsip pelepasan kawasan TNK seluas 25 ha untuk
keperluan pengembangan fasilitas pemerintah daerah
Bontang
Sumber: TNK 2005
4.2 Letak Geografis dan Topografi TNK