Latar Belakang Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau di Taman Nasional Kutai provinsi Kalimantan Timur

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau Scylla serrata adalah jenis kepiting yang hidup di habitat mangrovehutan bakau. Scylla serrata merupakan komoditas ekspor disamping rajungan Portunus pelagicus. Bila rajungan mempunyai nilai ekonomis penting sebagai daging dalam kaleng atau dalam keadaan beku, maka kepiting bakau dapat dipasarkan dalam keadaan hidup karena lebih tahan hidup di luar air Juwana 2004. Ada dua spesies dari kelompok Scylla sp yang ditemukan di Indonesia, yaitu yang berwarna hijau kemerahankecoklatan dan hijau keabu-abuan. Jenis ini adalah S. serrata dan S. serrata var. paramamosain Moosa et al. dalam Cholik Hanafi 1991. Berikutnya ditemukan spesies Scylla yang lain, yaitu S. tranquebarica dan S. olivacea. Namun, studi morfometri dan allozyme yang digunakan untuk menyatakan spesiasi dalam genus Fuseya Watanabe; Overton et al .; Sugama Hutapea; dalam LeVay 2001 merevisi genus Scylla menjadi empat jenis, S. serrata, S. tranquebarica, S. olivacea dan S. paramamosain, berdasarkan allozyme elektroforesis, DNA mitokondria sekuensing dan analisis morfometri Keenan et al. 1998. Scylla serrata adalah spesies kepiting bakau yang dominan di Indonesia. Diperkirakan sekitar 80 dari total pendaratan kepiting bakau adalah dari spesies ini Cholik Hanafi 1991. Perikanan kepiting di Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh di masa yang akan datang karena beberapa alasan, yaitu: adanya peningkatan permintaan pada komoditas ini yang diindikasikan dengan peningkatan harga di pasar lokal maupun internasional; sumberdaya perikanan mendukung spesies ini baik untuk penangkapan dari alam maupun budidaya; pengetahuan dan pengalaman teknik budidaya kepiting semakin berkembang Cholik Hanafi 1991. Kepiting banyak diminati karena daging kepiting tidak saja lezat, tetapi juga menyehatkan. Daging kepiting mengandung nutrisi penting bagi kesehatan. Meskipun mengandung kolesterol, makanan ini rendah kandungan lemak jenuh dan merupakan sumber Niacin, Folate, dan Potassium. Selain itu juga merupakan sumber protein, Vitamin B12, Phosphorous, Zinc, Copper, dan Selenium. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan perusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri. Fisheries Research and Development Corporation di Australia melaporkan bahwa dalam 100 gram daging kepiting bakau mengandung 22 mg Omega-3 EPA, 58 mg Omega-3 DHA, dan 15 mg Omega-6 AA yang penting untuk pertumbuhan dan kecerdasan anak Muskar 2007. Bukan hanya daging kepiting yang mempunyai nilai komersil, kulitnya pun mempunyai nilai ekonomis tinggi. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut memegang peran sebagai antivirus dan antibakteri dan juga digunakan sebagai obat untuk meringankan dan mengobati luka bakar, selain dapat digunakan sebagai pengawet makanan yang murah dan aman Muskar 2007. Kepiting bakau telah menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Perikanan kepiting bakau di Indonesia diperoleh dari penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove atau estuaria, dan dari hasil budidaya di tambak air payau. Akhir-akhir ini, dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat Cholik 1999. Namun bersamaan dengan itu, rata-rata pertumbuhan produksi kepiting bakau di beberapa provinsi penghasil utama kepiting bakau justru agak lambat dan cenderung menurun Cholik 1999. Kasry 1996 menyatakan bahwa di banyak tempat di pulau Jawa, nelayan kepiting bakau sudah mulai kesulitan memperoleh hasil tangkapan. Kepiting bakau yang bernilai sebagai sumber makanan dan pendapatan di Kosrae, Negara Bagian Micronesia, juga mengalami deplesi pada kelimpahan dan ukuran, akibat tekanan penangkapan yang dipengaruhi oleh distribusi penduduk dan lokasi usaha perikanan komersial Bonine et al. 2008. Penurunan populasi kepiting bakau di alam diduga disebabkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap over exploitation Siahainenia 2008. Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Keberlanjutan pengembangan budidaya kepiting sangat memerlukan integrasi antara perikanan dengan pengelolaan mangrove. Status ekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi dan pengelolaannya perlu dipahami untuk mendukung pengembangan dari perikanan dan budidaya kepiting bakau yang berkelanjutan LeVay 2001. Penelitian mengenai status bioekologi kepiting diperlukan untuk mengetahui status kepiting ini di alam, agar dapat dikelola dengan benar dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

1.2 Perumusan Masalah