Perkembangan Budidaya Sylvofishery Kepiting Bakau

Cholik Hanafi 1992 dan hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Menurut Hutching Saenger 1987, kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, memakan akar-akarnya pneumatophore dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk menunjang kehidupannya karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia. Di Afrika Selatan dan Australia, identifikasi terhadap material yang terdapat di lambung kepiting menunjukkan bahwa 50 adalah moluska, 20-22 adalah krustasea, dan sisanya 28-30 terdiri atas sejumlah kecil tanaman dan debris. Pada kepiting Scylla serrata yang isi lambungnya kurang dari 50 penuh, material inorganik mengisi hampir 100, hal ini menunjukkan bahwa kepiting cenderung untuk menelan banyak material yang tidak dapat dicerna Hill 1979. Kepiting bakau hidup di habitat intertidal dan subtidal, dimana mereka secara dominan memangsa moluska dan invertebrata lain yang kurang bergerak, seperti bivalvia, siput, kepiting lain, dan cacing Michelli dalam Arifin 2006. Dalam habitat intertidal, kepiting bakau bersembunyi dalam lumpur untuk mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator Motoh 1979. Lebih lanjut Pagcatipunan 1972 menambahkan bahwa setelah berganti kulit moulting, kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lobang sampai karapasnya mengeras. Wolff et al. diacu oleh Arifin 2006 melaporkan bahwa 99 dari sistem biomassa total dibuat oleh mangrove. Sisa biomassa didistribusikan antara wilayah pelagis dan bentik dengan pembagian 10 dan 90. Melalui serasah, mangrove menyumbangkan sumber makanan primer utama ke dalam sistem, yang dikonsumsi secara langsung oleh herbivora, diuraikan oleh bakteri dan oleh hewan pemakan detritus Uca spp. Herbivora seperti Uca spp adalah pakan alami bagi S. serrata.

2.2.3 Perkembangan Budidaya Sylvofishery Kepiting Bakau

Sylvofishery adalah salah satu konsep kuno dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang mengintegrasikan konservasi mangrove dengan budidaya air payau Quarto dalam Arifin 2006. Ini adalah bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan terintegrasi ini memungkinkan untuk mengkonservasi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove dengan mempertahankan keutuhan mangrove yang relatif lebih tinggi dalam area mangrove, ketika terjadi pembesaran nilai ekonomi pada budidaya air payau. Sylvofishery mempunyai potensi dalam menangkap beberapa manfaat ekonomi dari area mangrove dalam kerangka lingkungan yang sensitif dan aktivitas yang berkelanjutan. Perbaikan dalam pengembalian ekonomik dalam sistem ini akan menjadi faktor kunci dalam penerimaan metode ini secara luas sebagai aktivitas yang berlanjut secara ekonomi dalam mangrove. Sylvofishery juga menyediakan alternatif aktivitas ekonomi bagi rakyat pedesaan yang miskin dan hal itu mungkin dapat mengurangi tekanan ekologi terhadap hutan mangrove Arifin 2006. Quarto dalam Arifin 2006 menggambarkan dua model dasar Sylvofishery yaitu model empang parit dan model mangrove yang berselang-seling komplangan. Model empang parit menyajikan tingkatan yang lebih besar dalam penanaman mangrove atau mempertahankan keberadaan mangrove dalam area tambak, dengan penutupan mangrove antara 60-80 dalam parit di tambak. Sedangkan model berselang-seling merekomendasikan untuk mempertahankan mangrove dengan rasio maksimum yang sama, yaitu tiap 2 ha tambak harus dipertahankan 8 ha mangrove disekeliling tambak tersebut. Budidaya kepiting bakau dapat dilakukan di tambak air payau atau di kurungan tancap di dalam area mangrove Ikhwanuddin Oakley 1999. Budidaya kepiting dalam kurungan tancap lebih mendekati model empang parit, karena kurungan tancap kepiting dibangun dalam area rawa mangrove, dan tumbuh-tumbuhan dalam area mangrove dibiarkan tetap utuh untuk menyediakan lingkungan yang alami untuk kepiting untuk tumbuh dan bereproduksi, parit keliling yang tidak terlalu luas dibuat untuk memenuhi kebutuhan air asin bagi kepiting Wei Say Ikhwanuddin 1999. Genodepa 1999 menyatakan sistem tambak tidak mengkonservasi dan mengelola lingkungan alami kepiting bakau, karena tambak dikembangkan dengan membuka bersih area bakau, yang merupakan habitat alami kepiting bakau. Sistem kurungan tancap lebih bersifat ramah lingkungan karena tidak mengkonversi mangrove dan memungkinkan kepiting hidup dalam lingkungan alaminya Ikhwanuddin Oakley 1999; Genodepa 1999; Johnston Keenan 1999. Kurungan tancap dapat dibangun dengan menggunakan batang pohon dari suatu jenis tanaman palma Oncosperma tigillaria Ikhwanuddin Oakley 1999. Alternatif lain adalah dengan menggunakan jaring nilonwaring dengan ukuran mata jaring 1 cm untuk pengganti papan untuk pagar kurungan tancap dan kerangka yang digunakan adalah kerangka bambu. Penggunaan waring dapat mengurangi frekuensi penebangan pohon untuk memperoleh papan, walapun mungkin biaya yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Untuk penggunaan jaringwaring sebagai pagar, pada bagian bawah waring tetap perlu ditancapkan papan sedalam ± 1.2 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang dalam lumpur Genodepa 1999.

2.2.4 Indeks Kesesuaian Habitat Habitat Suitability IndexHSI