Sejak saat itu, ide taman nasional menyebar ke negara-negara lain, dan dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun sudah ada lebih dari 2.000 taman nasional
yang ditetapkan di 136 negara Wiratno et al. dalam Damanik et al. 2006 Di Indonesia, sejarah penetapan kawasan dilindungi sebenarnya telah
dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, pada saat itu pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan dilindungi seperti Cagar Alam CA Arca Domas
1913, CA Junghun di Bandung 1919, CA Tangkuban Perahu 1919, dan CA Rawa Danau di Serang 1921 Dephut 2007.
Pemikiran konservasi, termasuk taman nasional, mulai berkembang sekitar tahun 1970-an. Lima taman nasional pertama dengan luas total 1.430.948 ha
ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yaitu Taman Nasional TN Gunung Leuser, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Ujung Kulon,
TN Baluran, dan TN Komodo Wiratno et al. dalam Damanik et al 2006. Selanjutnya pada tahun 1982, saat Kongres Taman Nasional dan Kawasan
Lindung Sedunia III yang berlangsung di Bali, pemerintah Indonesia mendeklarasikan 11 Taman Nasional dengan luas 3.287.063 ha, yaitu TN Kerinci
Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN Kep. Seribu,, TN Bromo-Tengger-Semeru, TN Meru Betiri, TN Tanjung Puting, TN Kutai, TN Bali Barat, TN Lore Lindu,
TN Bogani Nani Warta Bone, dan TN Manusela Wiratno et al. dalam Damanik et al.
2006.
2.5 Konsep Keterpaduan
Integrated Coastal ManagementICM dan Kolaboratif dalam Pengelolaan Mangrove Taman Nasional Kutai
Konsep pengelolaan pesisir dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu konsep pengelolaan secara sektoral dan konsep pengelolaan secara terpadu ICM
= Integrated coastal management. Pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem
untuk memenuhi tujuan tertentu sektoral, seperti perikanan tangkap dan budidaya, pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan,
pertanian pantai, pelabuhan dan sebagainya. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dilakukan secara menyeluruh comprehensive assessment,
merupakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap
kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu
dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir Stakeholders, daya dukung
lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada Dahuri 2001.
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,
sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu integrated guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
Dahuri 2001 dan proses dinamis yang berjalan secara terus menerus dalam membuat keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan
wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan Bengen 2004, serta merupakan suatu upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan masyarakat, ilmu pengetahuan
dengan manajemen, kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan
pengembangan ekosistem pesisir terpadu GESAMP 1996. Taman Nasional Kutai memiliki garis pantai sepanjang ± 52 km.
Sepanjang garis pantai ini sejauh 1-2 km ke arah daratan ditumbuhi hutan mangrove, yang merupakan ekosistem spesifik pesisir. Walaupun pesisir dan
hutan mangrove di wilayah ini masuk dalam kawasan pelestarian alam, namun area ini sarat dengan permasalahan pengelolaan, karena banyaknya penggunaan
lain di wilayah ini, antara lain: pada wilayah pesisir ini terdapat 2 kecamatan dengan beberapa desa pantai yang dihuni oleh kelompok masyarakat, adanya
perusahaan pertambangan minyak pertamina dalam kawasan TN Kutai, dan adanya akses jalan poros Bontang-Sangatta sejauh 56 km. Berbagai kondisi ini
menyebabkan munculnya konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pelestarian alam Taman Nasional Kutai, yang seharusnya dilindungi.
Berbagai kepentingan dari para pihak yang terkait dengan sumberdaya alam di kawasan hutan mangrove TN Kutai perlu dikelola secara terpadu. Thia-
Eng 2006 menyatakan ada tiga prinsip fundamental dalam pengelolaan pesisir terpadu ICM, yaitu: mananajemen adaptif, keterpaduan dan inter-relasi, serta
manajemen berbasis ekosistem. Prinsip ini menjadi dasar dalam praktek ICM dan membedakan ICM dengan sektor lain. Fokus ICM saat ini tidak hanya meliputi
perlindungan keanekaragaman dan keutuhan ekologis, serta keberlanjutan mata pencaharian saja, namun juga menyelamatkan kehidupan manusia.
Manajemen Adaptif Prinsip pertama dalam ICM adalah manajemen adaptif. Walters dan
Holling dalam Thia-Eng 2006 mendeskripsikan manajemen adaptif sebagai upaya belajar dengan mencoba. Pendekatan manajemen adaptif didasarkan pada
pemikiran bahwa informasi dan pengetahuan tentang sistem sumberdaya dan bagaimana mengelolanya sangat tidak lengkap dan penuh dengan ketidakpastian.
Manajemen adaptif dilakukan dengan tahapan ‘merencanakan, mengimplemen- tasikan, menilai dan mengulanginya lagi’.
Keterpaduan dan Inter-relasi Prinsip kedua ICM adalah keterpaduan dan inter-relasi, yang terdiri dari
tiga integrasi yaitu: 1 System integration: dalam keterpaduan sistem memasukan pertimbangan dimensi spatial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam
persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang
muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara cukup. Keterpaduan ini membutuhkan berbagai ketersediaan informasi yang
dibutuhan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. 2 Functional Integration: Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan
pengelolaan seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan dan sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi
diantara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik merupakan
salah satu bentuk efektif dari keterpaduan fungsional. Maksud rencana zonasi yaitu membagi kawasan pengelolaan laut dan pesisir dalam zona-zona yang sesuai
dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. 3 Policy integration: Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program
pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerintah pusat dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah mengintegrasikan
program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Namun demikian, kebijakan dan strategi
penyuluhan pesisir harus dapat merupakan perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional.
Manajemen Berbasis Ekosistem Pendekatan manajemen berbasis ekosistem muncul dalam kerangka
Konvensi Keanekaragaman Hayati Convention of Biological DiversityCBD. CBD mendefinisikan ekosistem sebagai dinamika kompleks komunitas tanaman,
hewan dan mikro-organisme, serta lingkungan non-hidup yang berinteraksi sebagai unit fungsional. Fokus dari pendekatan berbasis ekosistem adalah
mempertahankan keutuhan ekosistem yang menyediakan jasa dan sumberdaya yang penting untuk kegiatan dan kesejahteraan manusia Thia-Eng 2006.
IUCN - World Conservation Union dalam Resolusinya 1.42 Tahun 1996 menjelaskan gagasan dasar pengelolaan kolaboratif juga disebut co-management,
atau joint, participatory atau multi-stakeholder management adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pengguna sumber daya,
lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung-
jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumber daya IUCN 1997.
Pengelolaan Kolaboratif dalam kawasan konservasi dapat diartikan sebagai kemitraan di antara berbagai pihak yang menyetujui untuk berbagi
fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola daerah atau sumber daya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi PHKA-
Dephut et al. 2002. Pengelolaan Kolaboratif berbeda dengan pengelolaan partisipatori lainnya
atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat community-based resources management,
karena menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung-jawab pemerintah secara formal. Dalam konteks ini, konsultasi masyarakat dan
perencanaan partisipatori ditujukan untuk menetapkan bentuk-bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh
kelompok-kelompok kepentingan terkait dan sah legitimate dalam mengelola dan melestarikan sumber daya alam.
Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan kolaboratif dapat dibayangkan berada ditengah-tengah atau jalan kompromistik antara
manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan dibawah kendali penuh masyarakat. Pengelolaan secara ko-manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep
yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan stakeholders menerapkan manajemen kerjasama
yang adaptif. Beberapa prinsip dan asumsi yang perlu diperhatikan dalam strategi
pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend dalam PHKA-Dephut et al.
2002 yang mungkin dapat diterapkan untuk pengelolaan TNK adalah: a. Menggunakan pendekatan yang pluralistik dalam mengurus sumber
daya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan
sumber daya alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan manfaat dan tanggung-jawab.
b. Dalam proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi
dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial
non-diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih.
c. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam.
d. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama, keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk
pengelolaan yang memadukan berbagai kepentingan. e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta
terjadi kekeliruan proses. Yang paling penting adalah kerjasama pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi
berbagai kebutuhan secara efektif. f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada
solusi yang unik dan tidak berat sebelah dalam mengelola sumber daya
alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan pengetahuan lokal dan scientifik serta berkemampuan untuk
mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan. g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hak-
hak pengelolaan dan tanggung jawab. ‘Wewenang dan tanggung jawab terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan dan diberikan kepada
aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur’. h. Tantangan dalam pengelolaan kolaboratif adalah bagaimana
menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi.
i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif bidang pengelolaan daerah dilindungi, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di
antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku kepentingan, luasan dan batas daerah dilindungi atau sumber daya alam,
kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan, pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur
untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan,
prosedur menjalankan setiap keputusan dan aturan spesifik untuk pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan kemitraan
dan rencana pengelolaan. j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi
konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai.
2.6 Pengelolaan Berbasis Ekosistem