102 mm bergeser ke kiri pada ukuran 90 mm, sehingga diduga terjadi rekruitmen individu baru pada bulan Januari 2009. Rekruitmen berikutnya terjadi pada bulan
Maret 2009, yang menyebabkan terjadi kelompok ukuran baru pada bulan April 2009.
Pergeseran modus terjadi dari Oktober 2008 sampai Januari 2009 kelompok umur pertama. Februari 2009 hingga April 2009 kelompok umur
kedua. Mei sampai Juli 2009 kelompok umur ketiga. Kepiting betina di Muara Sangatta dari November 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan September, Februari, dan Mei. Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun M.
Sangatta dapat dilihat pada Lampiran 4. Kejadian rekruitmen individu jantan dan betina di Muara Sangatta terjadi pada bulan yang relatif sama yaitu Januari dan
Maret.
B. Teluk Prancis
i. Jantan
Pergeseran modus terjadi dari Desember 2008 sampai Pebruari 2009 kelompok umur pertama. Maret 2009 hingga Mei 2009 kelompok umur kedua.
Kemudian pada bulan Juni 2009 kelompok umur ketiga. Kepiting jantan di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 3 kelompok umur.
Diduga rekruitmen terjadi pada bulan November, Pebruari, dan Mei. Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting jantan pada tiap bulannya di stasiun
Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 5.
ii. Betina
Pergeseran modus terjadi dari Januari 2009 sampai Pebruari 2009 kelompok umur pertama. Maret 2009 hingga Juni 2009 kelompok umur kedua.
Kepiting betina di Teluk Prancis dari Oktober 2008 sampai Juni 2009 terdiri dari 2 kelompok umur. Diduga rekruitmen terjadi pada bulan Desember, dan Maret.
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting betina pada tiap bulannya di stasiun Teluk Prancis dapat dilihat pada Lampiran 6.
C. Muara Sangkima
i. Jantan
Hasil distribusi frekuensi lebar karapas kepiting bakau di stasiun M. Sangkima pada tiap bulannya dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada bulan
November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008 ditemukan
adanya modus ganda bimodus yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian pada bulan Desember 2008 pada kelas 101 mm dan 128 mm. Selanjutnya
berturut-turut modus berada pada kelas 110 mm untuk Januari 2009 dan 116 mm untuk Februari 2009. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran modus dari
November 2008 hingga Februari 2009 yang menunjukkan adanya pertumbuhan kelompok umur pertama. Sedangkan pada Maret 2009 modus bergeser kembali
ke kiri. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen yang terjadi pada bulan Februari 2009 sehingga masuk individu-individu baru serta membentuk kelompok ukuran
baru pada bulan Maret 2009, pada bulan Maret terjadi bimodus pada kelas ukuran 100 mm dan 140 mm.
Selanjutnya pada bulan April modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 92 mm, hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus
ke kanan yakni pada kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009 kelompok umur kedua. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur yang berbeda pada kepiting jantan yang diamati di M. Sangkima, dengan
rekruitmen yang diduga terjadi pada bulan Februari dan April.
ii. Betina
Pada bulan November 2008 kisaran kelas panjang kepiting mulai dari 76 mm hingga 140 mm. Modus panjang yang ditemukan pada bulan November 2008
ditemukan adanya modus ganda bimodus yaitu pada kelas 100 mm dan 132 mm. Kemudian pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009 modus pada kelas 100
mm. Selanjutnya terjadi pergeseran modus ke arah kiri pada bulan Februari 2009, yaitu di kelas 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen pada bulan Januari
2009 yang membentuk kelompok ukuran baru pada bulan Februari 2009.
Pada Maret 2009 modus bergeser ke kanan di kelas ukuran 105 dan 135 mm, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Selanjutnya pada bulan April
2009 modus kembali bergeser ke kiri lagi pada ukuran 85 mm. Hal ini menunjukkan adanya rekruitmen baru. Pergeseran modus ke kanan yakni pada
kelas 110 mm terjadi pada bulan Mei 2009. Berdasarkan distribusi frekuensi panjang kepiting dari bulan November
2008 hingga Juni 2009 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kelompok umur yang berbeda pada kepiting betina yang diamati di M. Sangkima, dimana diduga
rekruitmen terjadi pada bulan Januari dan April. Pada wilayah perairan mangrove Blanakan, Tanjung Laut dan Mayangan
terdapat dua puncak rekruitmen kepiting bakau yakni terjadi pada bulan April dan Mei serta bulan Agustus dan September Sihainenia 2008
.
Adanya pola rekruitmen kepiting bakau pada bulan-bulan tertentu pada suatu wilayah merupakan dasar pertimbangan pengelolaan perikanan tangkap,
yaitu untuk menentukan waktu penangkapan. Adanya rekruitmen mengindikasikan adanya kepiting betina yang memijah, sehingga perlu diatur agar
sebelum terjadi rekruitmen tidak dilakukan penangkapan untuk menghindari tertangkapnya kepiting bakau betina matang gonade.
5.1.3.3 Parameter Pertumbuhan von Bertalanffy
Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen sebagai indikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yang
digunakan adalah lebar karapas. Dengan menggunakan bantuan program Elefan dari FISAT-II diperoleh nilai dugaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang
meliputi panjang infiniti L ∞ dan kecepatan pertumbuhan K. Parameter
pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK dapat dilihat pada Tabel 20. Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar
dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran
stok rekruitmen, dan laju kematian mortalitas dari suatu populasi Sparre Venema 1999.
Tabel 20 Parameter pertumbuhan S. serrata di habitat mangrove TNK.
STASIUN ♂♀
n L
min
L
maks
L
∞
K t
Sangatta Jantan 656 50 143 151.2 1.2 -0.748
Betina 591 40 155 161.18 1.5 -0.799 Tl prancis
Jantan 252 71 148 154.39 0.80 -0.896
Betina 114 73 138 147.0 1.1 -0.781 Sangkima
Jantan 346 76 154 159.08 0.45 -1.158
Betina 194 65 151 156.98 0.69 -0.956 Sylvofishery
Jantan 65
54 97
96.6 0.45
-0.606 Betina
135 50
98 102.9
4.2 -0.155
Hasil analisa Elefan memperlihatkan lebar karapas maksimum yang dapat dicapai berkisar antara 143 – 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar
antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan K kepiting bakau dari 4 spesies scylla berkisar antara 1.10-1.50tahun Siahainenia 2008.
Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya, dengan L
∞ yang juga lebih besar. Kondisi Muara Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut
menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitas perikanannya. Suburnya kawasan ini mungkin salah satu pendorong tingginya jumlah kepiting yang ada
disana. Umumnya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah dewasa kelamin lebar karapas kurang dari 110 mm. Menurut Siahainena 2008
kepiting yang berukuran kecil memberikan garis regresi ke arah slope yang lebih tajam, karena modus tertinggi yang dilalui garis pertumbuhan lebih banyak pada
kelompok kepiting kecil, sehingga K menjadi besar. Walaupun di Muara Sangatta kebanyakan ditemukan kepiting kecil,
namun demikian, di kawasan tersebut diperoleh juga kepiting betina dewasa kelamin yang berukuran besar hingga 155 mm. Hal ini diduga terjadi karena
Muara Sungai Sangatta menjadi pintu masuk bagi induk-induk kepiting yang selesai memijah di laut untuk kembali ke dalam habitat mangrove.
Kecepatan pertumbuhan S. serrata di Muara Sangkima menunjukkan kecenderungan yang relatif lebih kecil dibanding pada kedua lokasi lainnya. Hal
ini berkaitan dengan kondisi ukuran lebar karapas kepiting S. serrata yang ditemukan di wilayah tersebut umumnya berukuran lebih dari dewasa kelamin,
sehingga kecepatan pertumbuhannya menjadi lebih lambat. Kepiting betina dewasa kelamin lebih banyak menggunakan energinya untuk pertumbuhan dan
perkembangan gonade Lavina dalam Siahainenia 2008.
5.1.3.4 Laju Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Mortalitas adalah angka kematian dalam populasi. Laju mortalitas adalah laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu
satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting
bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah,
misalnya akibat perubahan lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya makanan alami Sparre Venema 1999.
Analisa laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas
kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total Z digambarkan sebagai nilai numerik dari kemiringan slope garis regresi antara logaritma Ndt terhadap
umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai laju
mortalitas total, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan pada Tabel 21. Tabel 21 Mortalitas dan laju eksploitasi S. serrata di habitat mangrove TNK.
STASIUN JENIS
Z M
F E fakt
E max
Sangatta Jantan 2.89 1.2584 1.6316
0.564 0.457
Betina 4.71 1.430 3.280 0.554 0.355
Tl prancis Jantan 2.87 0.9430 1.9270
0.671 0.606
Betina 3.40 1.1774 2.2226 0.654 0.555
Sangkima Jantan 1.36 0.64177 0.71823
0.528 0.555
Betina 1.79 0.85202 0.93798 0.524 0.516
a Muara Sangatta
Laju mortalitas total Z kepiting jantan di Muara Sangatta adalah 2.89 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 1.2584 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.6316 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Selain itu, laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangatta sebesar 0.5645 yang berarti 56.45 kematian kepiting jantan di Muara Sangatta disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Pada kepiting betina Z adalah 4.71 per tahun dengan M sebesar 1.4305 per tahun dan F sebesar 3.280 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya
adalah 55.40. Tekanan penangkapan di Muara Sangatta dikatakan sudah berlebihan, karena laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 45.7
untuk kepiting jantan dan 35.5 untuk kepiting betina. Tingginya kematian karena penangkapan ini terjadi diduga karena di Muara Sangatta terdapat
pemukiman nelayan, sehingga aktifitas penangkapan cukup tinggi. Selain itu, kondisi ekosistem mangrove Muara Sangatta juga telah terdegradasi akibat
tingginya pembukaan mangrove untuk tambak. Areal lahan kritis di mangrove Muara Sangatta mencapai ± 440.3 ha. Siahainenia 2008 pada penelitiannya di
Kabupaten Subang juga menemukan bahwa kelimpahan kepiting bakau terendah umumnya dijumpai pada zona belakang hutan yang memiliki tingkat kerapatan
vegetasi mangrove rendah, serta berada di sekitar areal pemukiman penduduk atau mendapat tekanan akibat tingginya aktifitas masyarakat.
b Teluk Perancis
Laju mortalitas total Z kepiting jantan di Teluk Perancis adalah 2.87 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.9430 per tahun dan laju mortalitas
penangkapan sebesar 1.9270 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju eksploitasi faktual
kepiting jantan di Teluk Perancis sebesar 0.671 yang berarti 67.1 kematian kepiting jantan di Teluk Perancis disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Pada
kepiting betina Z adalah 3.40 per tahun dengan M sebesar 1.1774 per tahun dan F sebesar 2.2226 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 65.40,
menunjukkan kematian kepiting betina lebih banyak karena penangkapan. Tekanan penangkapan di Teluk Perancis sudah melebihi laju eksploitasi maksimal
yang diperbolehkan untuk perikanan lestari. Laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan adalah 60.6 untuk kepiting jantan dan 55.5 untuk kepiting
betina. Tingginya angka mortalitas penangkapan diduga karena penangkapan
kepiting bakau di lokasi ini lebih banyak menggunakan alat tangkap pancingpengait. Teluk Perancis memiliki hutan mangrove yang masih cukup
rapat, sehingga alat tangkap yang sesuai digunakan adalah pengait. Alat tangkap pengait cenderung hanya menangkap kepiting yang berukuran besar saja,
akibatnya hasil perhitungan konstanta pertumbuhan K menjadi kecil, karena semakin besar kepiting semakin lambat pertumbuhan lebar karapasnya. Nilai K
merupakan salah satu variabel yang dipakai dalam rumus untuk menghitung mortalitas alami. Kecilnya nilai K akan mempengaruhi nilai mortalitas alami M
menjadi lebih kecil Pauli yang diacu oleh Sparre Venema 1999, dan akibatnya nilai mortalitas penangkapan F cenderung menjadi lebih besar. Selain itu, di
Dusun Teluk Lombok yang berdekatan dengan Teluk Perancis juga cukup banyak penduduk, sehingga aktifitas penangkapan juga menjadi lebih besar.
c Muara Sangkima
Laju mortalitas total Z kepiting jantan di Muara Sangkima adalah 1.36 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0.6412 per tahun dan laju
mortalitas penangkapan sebesar 0.71823 per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kepiting lebih besar disebabkan oleh faktor penangkapan. Laju
eksploitasi faktual kepiting jantan di Muara Sangkima sebesar 0.5281 yang berarti 52.81 kematian kepiting jantan di Muara Sangkima disebabkan oleh aktifitas
penangkapan. Eksploitasi faktual ini masih di bawah eksploitasi maksimal yang sebesar 55.5. Pada kepiting betina Z adalah 1.79 per tahun dengan M sebesar
0.852 per tahun dan F sebesar 0.938 per tahun. Laju eksploitasi faktualnya adalah 52.40, sedikit di atas laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan sebesar
51.6. Di lokasi Muara Sangkima banyak terdapat tambak-tambak tradisional.
Kepiting yang ditemukan lebih bervariasi ukuran lebar karapasnya, dibanding
kepiting yang ditangkap dalam hutan mangrove. Rendahnya tekanan penangkapan diduga karena lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk.
Walton yang diacu oleh Ewel 2008 menyatakan bahwa populasi Scylla serrata
dapat mempunyai sebaran ukuran yang berbeda karena perbedaan kondisi lingkungan dan pola penangkapan. Maka Ewel 2008 menyarankan peraturan
lokal local regulations sebagai tambahan daerah larangan regional restrictions mungkin layak appropriate untuk banyak wilayah di Indo-Pacific. Pemantauan
populasi secara teratur dapat meningkatkan komunitas kecil terpisah mengelola sumberdaya penting secara berkelanjutan.
5.1.3.5 Distribusi Spasial S. serrata
Scylla serrata hasil tangkapan di kawasan mangrove TNK memiliki
struktur ukuran lebar karapas yang bervariasi berdasarkan lokasi penangkapannya. Lokasi penangkapan dalam penelitian ini meliputi 3 kondisi habitat yang berbeda,
yaitu kawasan bagian tengah hutan mangrove, kawasan pinggiran hutan mangrove garis pantai, dan kawasan perairan pantai inshore. Alat tangkap yang
digunakan pada setiap lokasi berbeda-beda, tergantung pada spesifikasi dan kemampuan alat tangkap. Pada bagian tengah hutan mangrove digunakan pengait,
pada bagian pinggir pantai digunakan rakkang, dan di perairan pantai digunakan alat tangkap rengge. Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan ketiga jenis alat
tangkap pada tiga lokasi selama 8 bulan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Jumlah individu S. serrata hasil tangkapan alat rakkang, rengge, dan
pengait.
Alat Tangkap Jumlah Individu
Jumlah Total ekor
Ukuran Maks-Min mm
Jantan Betina
Jantan Betina
Rakkang 526 449 975
50-143 45-171
Pengait 669 311 980
68-154 65-171
Rengge 59 141 200
70-142 73-135
Tabel 22 menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas terkecil kepiting yang tertangkap adalah 45 mm dan ukuran lebar karapas terbesar adalah 171 mm.
Ukuran kepiting yang terkecil menunjukkan bahwa kepiting yang mulai dapat tertangkap oleh alat tangkap adalah kepiting yang berukuran 45 mm. Grafik
histogram sebaran ukuran dan sebaran jenis kelamin S. serrata berdasarkan hasil tangkapan dari bulan Oktober 2008 - Juni 2009 dengan menggunakan alat tangkap
rakkang, rengge, dan pengait dapat dilihat pada Gambar 33.
A. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Tengah Mangrove
Lebar karapas S. serrata hasil tangkapan alat pengait memiliki kisaran antara 65 – 171 mm, setelah dibagi menjadi 11 kelas dengan interval 10 mm,
maka diperoleh histogram seperti yang disajikan pada Gambar 33 .
Gambar 33 Distribusi S. serrata di beberapa zona hutan mangrove. Lebar karapas S. serrata di tengah hutan mangrove, yang diperoleh dari
hasil tangkapan alat pengait, umumnya berukuran lebih dari 100 mm, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 109.5-129.5 mm. Ukuran lebar
karapas S. serrata pada kelas ukuran kurang dari 100 mm adalah 16.12, artinya
hanya 16 kepiting yang ditangkap dengan alat pengait yang belum dewasa kelamin. Sisanya, sekitar 83.88 merupakan kepiting yang diduga sudah dewasa
kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa di kawasan tengah hutan mangrove cenderung lebih banyak terdapat kepiting yang berukuran besar dewasa kelamin.
Selain itu, sifat alat tangkap pengait yang cukup selektif juga mempengaruhi ukuran kepiting hasil tangkapan. Alat pengait digunakan di lubang-lubang
kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait biasanya pada siang hari, saat air surut,
karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Kepiting yang bersembunyi dalam lubang umumnya
adalah kepiting jantan yang berukuran besar. Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan pengait lebih didominasi jenis
kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.47 dan nilai P0.05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang berarti dari pergeseran rasio kelamin
1:1. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting S. serrata
. S. serrata melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan
beruaya berenang ke laut dan memijah, sementara kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai Hill 1975. Hasil ini bersesuaian dengan
hasil penelitian Le Vay et al. 2007 yang menemukan bahwa hasil tangkapan kembali recaptured kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai
marking adalah 79 tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran mangrove menuju ke laut, 14 yang tertangkap pada siang hari di dalam
mangrove dengan pancingan dan 7 tertangkap gillnets ditetapkan setidaknya pada jarak 1 km lepas pantai dari pinggiran bakau.
B. Struktur ukuran S. serrata di zona depan hutan mangrove
Lebar karapas S. serrata di zona depan hutan mangrove, yang diperoleh dari hasil tangkapan alat rakkang, memiliki kisaran lebar karapas antara 40 – 155
mm. Pada zona depan hutan mangrove diperoleh struktur ukuran lebar karapas S. serrata
pada kelas ukuran kurang dari 100 mm mencapai 77.95, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 78-89 mm. Ukuran 100 mm
merupakan ukuran lebar karapas kepiting bakau yang masih belum dewasa kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting muda yang
tertangkap dengan menggunakan alat tangkap rakkang. Alat tangkap rakkang dioperasikan dengan cara rakkang dipasang ketika air sedang surut, setelah
sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang rakkang dibiarkan terendam dalam air, kemudian ketika air telah surut rakkang diangkat
dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya. Alat rakkang umumnya dipasang di muara sungai, pinggiran sungai, pinggiran pantai yang berlumpur dan
sering terendam air pasang. Banyaknya kepiting muda yang tertangkap dengan rakkang disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar
perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali
melangsungkan perkawinan Afrianto Liviawaty 1993. Webley et al 2009 menyatakan bahwa megalopa dari beberapa spesies
kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika menetap. Megalopa ini biasanya memilih habitat kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan
dan makanan. Kepiting lumpur yang portunid, S. serrata , umumnya ditemukan di muara yang berlumpur Indo-Pasifik Barat setelah mencapai lebar karapas 40
mm. Meskipun telah dilakukan upaya besar, mekanisme perekrutan kepiting lumpur remaja ke muara tidak dipahami karena megalopa dan tahap awal kepiting
muda lebar karapas 30 mm jarang ditemukan. Binatang ini ditempatkan di arena di mana mereka punya pilihan habitat: lamun, lumpur atau pasir, dan arena
di mana mereka tidak punya pilihan. Berlawanan dengan asosiasi yang ditunjukkan oleh megalopa kepiting portunid lain, megalopa S. serrata tidak
selektif di antara habitat muara ini, menunjukkan bahwa mereka cenderung tidak akan memilih habitat ini, atau, tidak memperoleh keuntungan dengan memilih
salah satu dari yang lain. Namun para kepiting muda crablets, sangat memilih lamun, menunjukkan bahwa yang berada dalam lamun adalah bermanfaat bagi
kepiting muda dan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. Perilaku yang selektif mulai berkembang pada tahap kepiting muda, namun belum tampak pada
tahap megalopa.
Berdasarkan histogram tersebut juga tampak bahwa rasio kelamin S. serrata
hasil tangkapan rakkang lebih didominasi jenis kelamin jantan dengan rasio jantan : betina adalah 1 : 0.85 dan nilai P0.05. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan yang berarti dari rasio kelamin 1:1. Dominasi jantan diduga terjadi karena adanya persaingan makanan. S. serrata jantan lebih aktifagresif dalam
mencari makanan sehingga pada saat ada umpan dalam rakkang, kepiting jantan akan mendahului masuk dalam perangkap, sedangkan kepiting betina tidak berani
masuk bila sudah ada kepiting jantan di dalam rakkang. Oleh karena itu, lebih banyak S. serrata jantan yang tertangkap dibanding yang betina.
C. Struktur Ukuran S. serrata di Zona Perairan Pantai
Lebar karapas S. serrata di perairan pantai, yang ditangkap dengan alat rengge memiliki kisaran antara 70 – 142 mm. S. serrata hasil tangkapan pada
zona perairan pantai dengan menggunakan alat rengge, menunjukkan sebesar 42 merupakan kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm, dan sisanya sebesar
58 merupakan kepiting yang berukuran lebih dari 100 mm dan diduga sudah dewasa kelamin. Sebaran lebar karapas S. serrata lebih bervariasi dibandingkan
kedua alat sebelumnya, dengan frekuensi tangkapan tertinggi pada interval 89.5- 121.5 mm.
Rasio kelamin S. serrata hasil tangkapan rengge lebih didominasi jenis kelamin betina dengan rasio jantan:betina adalah 1:2.5. Nilai P0.05
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada pergeseran rasio jantan betina. Lebih banyaknya kepiting betina yang tertangkap karena pola migrasi
reproduksi kepiting betina yang memijah di laut, sehingga mereka berenang ke laut dan tertangkap oleh alat rengge. Renggegillnet digunakan di perairan
dangkal di pesisir. Nelayan umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan
yang menjadi tujuan utama tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari. Pada bagian lain penelitian ini disampaikan bahwa kepiting
betina yang tertangkap sebagian adalah kepiting yang matang gonade dan akan memijah, atau sebagian lagi adalah kepiting betina yang salin selesai memijah.
Variasi pada ukuran lebar karapas kepiting yang tertangkap oleh alat rengge
terjadi karena ada kepiting betina matang gonade yang bermigrasi ke laut untuk memijah dan ada kepiting muda juvenil yang bermigrasi ke hutan bakau untuk
mencari makan dan kawin.
5.1.3.6 Sebaran Temporal Induk Betina Matang Gonade
Pengamatan terhadap induk betina matang gonade dilakukan secara morfologi pada semua sampel kepiting. Tingkat kematangan gonade yang diamati
adalah TKG IV, dimana secara morfologi dapat diamati dengan jelas secara visual. Induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap di habitat mangrove
TNK mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara minimum 91 mm dan maksimum 171 mm. Sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara minimum
170 gram dan maksimum 870 gram. Sebaran ukuran minimum dan maksimum Induk betina matang gonade TKG IV pada masing-masing stasiun dapat dilihat
pada Tabel 23. Grafik sebaran frekuensi induk betina TKG IV pada masing- masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 34 .
Tabel 23 Sebaran ukuran induk betina matang gonade TKG IV.
Lokasi Jumlah Ind
ekor Ukuran Maks-Min mm
lebar karapas Berat
Muara Sangatta 73
91-171 190-870
Teluk Perancis 25
93-136 210-700
Muara Sangkimah 44
92-151 170-650
Pada ketiga lokasi pengamatan, tampak bahwa ukuran minimum betina matang gonade adalah pada lebar karapas lebih dari 91 mm. Penelitian dari
MacIntosh et al. 1993 di Rannong, Thailand menunjukkan bahwa ukuran betina matang gonade berkisar antara 10-11.5 cm, dengan nilai puncak indeks
gonosomatik pada bulan September.
Gambar 34 Sebaran induk betina S. serrata matang gonade TKG IV. Berdasarkan data tangkapan dari bulan November 2008-Juni 2009,
diketahui bahwa di Muara Sangatta, induk betina matang gonade TKG IV yang tertangkap mencapai frekuensi tertinggi pada bulan Maret dan mulai meningkat
lagi pada bulan Juni. Sedangkan di Teluk Prancis, puncaknya dicapai antara bulan Januari-Februari. Di Muara Sangkima puncak tertangkapnya induk betina matang
gonade pada bulan Februari. Kelimpahan individu betina matang gonade terbanyak di Muara Sangatta dibanding di lokasi Teluk Perancis dan Muara
Sangkima. Hal ini terjadi karena Sungai Sangatta merupakan sungai terbesar di kawasan hutan mangrove TNK, sehingga menjadi pintu masuk utama kepiting
bakau yang beruaya kembali ke hutan mangrove. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina TKG IV pada
lokasi Muara Sangatta memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai mengalami peningkatan pada bulan Januari dan mencapai puncak pada bulan Maret,
kemudian cenderung menurun bulan April dan ada indikasi mulai meningkat kembali pada bulan Juni. Grafik distribusi jumlah individu kepiting bakau betina
TKG IV pada lokasi Muara Sangkima memperlihatkan bahwa jumlah individu mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan
Februari, kemudian cenderung menurun bulan April dan tidak menunjukkan indikasi adanya peningkatan kembali. Kelimpahan individu betina matang gonade
Teluk Perancis mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncak pada bulan Januari, kemudian menurun pada bulan April.
Namun, puncak kelimpahan induk betina S. serrata matang gonade TKG IV, diduga terjadi 2 kali dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dari trend
frekuensi induk matang gonade yang mulai meningkat lagi pada bulan Juni. Oleh karena itu diduga di lokasi Muara Sangatta puncak frekuensi betina matang
gonade yang kedua terjadi pada bulan Agustus-September, dan di Teluk Perancis terjadi pada bulan September.
Dugaan ini dilandasi oleh adanya pola pergeseran kelompok umur. Pola pergeseran kelompok ini menyebabkan adanya dugaan bahwa rekruitmen yang
terjadi di Muara Sangatta adalah pada bulan Oktober, Februari, dan Mei; di Teluk Perancis pada bulan Desember, dan Maret; sedangkan di Muara Sangkima pada
bulan Januari dan April. Rekruitmen yang terjadi pada bulan-bulan September, Desember, dan Januari akan terjadi apabila ada pemijahan yang terjadi pada kurun
waktu ±2 bulan sebelumnya. Perkiraan waktu ini didasarkan pada informasi bahwa proses intermoult
dari tahap zoea I – crab I memerlukan waktu 23-25 hari Quinitio et al. 2001, Menurut Motoh et al. 1977 untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya me-
merlukan waktu minimal 18 hari, dan dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda instar 1 memerlukan waktu 11-12 hari, hal ini pada salinitas 31±2 ppt, jika
dilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari. Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen S.
serrata dalam penelitian ini baru terjadi pada juvenil berukuran 40 mm, sehingga
muncul dugaan waktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmen adalah sekitar 2-3 bulan.
Siahainenia 2008 menemukan bahwa pada bulan Maret sampai Agustus terjadi peningkatan kelimpahan kepiting bakau betina matang gonad tingkat akhir
TKG IV dan V baik pada wilayah perairan mangrove Desa Blanakan, Tanjung Laut maupun Mayangan Kabupaten Subang, sehingga bulan-bulan tersebut
diduga merupakan puncak aktifitas pemijahan atau puncak musim pemijahan kepiting bakau.
Kasry 1996 menyatakan bahwa musim memijah kepiting bakau berlangsung sepanjang tahun tetapi puncak kegiatan memijah pada setiap perairan
tidak sama. Di Australia puncak musim pemijahan berlangsung pada bulan November-Desember atau akhir musim semi sampai awal musim panas Heasman
et al. 1985, di Papua New Guinea puncak betina memijah pada April- Juni and
September- Oktober Quinn Kojis dalam LeVay 2001, di Thailand berlangsung dari bulan Juli-Desember atau pertengahan awal musim panas sampai
musim hujan Varikul et al. dalam Macinthos et al. 1993, di India berlangsung dari bulan Desember-Februari Pillai Nair dalam Heasman et al. 1985
sedangkan di Filipina berlangsung dari bulan Mei-September atau akhir musim semi sampai awal musim panas Arriola; Estampador; Pagcatipunan dalam
Siahainenia 2008. Kepiting bakau umumnya memijah di perairan laut. Arriolla dan Brick,
yang diacu oleh Siahainenia 2008 menyatakan bahwa kepiting bakau bertelur akan bermigrasi dari perairan payau ke perairan laut untuk memijah. Migrasi
kepiting bakau betina matang gonad ke perairan laut, merupakan upaya mencari perairan yang kondisinya cocok sebagai tempat memijah, inkubasi dan
menetaskan telur. Dengan demikian merupakan juga upaya penjamin kelangsungan hidup embrio serta bagi larva yang dihasilkan. Kecocokan tersebut
menurut Kasry 1996, terutama terhadap parameter suhu dan salinitas lingkungan.
intensitas pemijahan tertinggi atau puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada bulan Februari sampai April. Hal tersebut berarti puncak
musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada akhir musim hujan sampai menjelang awal musim panas. Siahainenia 2008 menduga hal ini dimaksudkan
untuk menjamin ketersediaan pakan alami bagi larva yang akan ditetaskannya. Pada musim hujan sejumlah besar zat hara dari daratan terangkut ke laut melalui
aliran sungai maupun aliran air tawar lainnya, sehingga produktifitas perairan menjadi lebih tinggi. Kondisi ini ditunjang dengan intensitas cahaya matahari
yang tinggi pada musim panas, yang menyebabkan terjadinya fotosintesa fitoplankon. Kelimpahan fitoplankton selanjutnya akan berdampak terhadap
kehadiran zooplankton yang merupakan makanan alami larva kepiting bakau. Hastuti 1998, menyatakan bahwa telur tingkat akhir, embrio, dan larva kepiting
bakau merupakan penghuni laut dengan media bersalinitas tinggi polihaline. Pada stadia ini kepiting bakau berada dalam lingkungan media dengan osmolaritas
yang mantap yang mendekati isoosmotik dengan cairan internal tubuhnya. Hal tersebut di atas berarti, mulai awal pembuahan sel telur, kepiting bakau sudah
membutuhkan perairan dengan salinitas yang relatif tinggi.
5.1.4 Daya Dukung Habitat Mangrove TNK bagi Budidaya S. serrata
Daya dukung lingkungan untuk sumberdaya kepiting bakau diduga dengan pendekatan indeks kesesuaian habitat Habitat Suitability IndexHSI. HSI
menggambarkan kesesuaian habitat yang diberikan oleh kombinasi interaksi dari semua variabel lingkungan kunci pada spesies, yang meliputi komponen kualitas
air, komponen substrat, dan komponen vegetasi. Variabel-variabel dari ketiga komponen tersebut adalah oksigen terlarut V
1
, Biological Oksigen Demand V
2
, salinitas air V
3
, temperatur air V
4
, pH air V
5
, pH substrat V
6
, pasang surut air laut V
7
, tekstur substrat V
8
, kepadatan makrozoobenthos V
9
, jenis vegetasi V
10
, kerapatan vegetasi V
11
, dan produksi serasah V
12
. Karena antara ke-12 variabel tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
kehidupan kepiting, maka masing-masing variabel diberi bobot terlebih dahulu yang menunjukkan nilai pentingnya dibanding variabel yang lain. Sedangkan
skor kesesuaiannya diberikan sesuai dengan indeks yang dibuat sesuai asumsi- asumsi kebutuhan hidup kepiting Lampiran 19. Nilai dari masing-masing
variabel dapat dilihat pada Tabel 24. Variabel yang paling penting pada usaha budidaya pembesaran kepiting
adalah pasang surut air laut dan kondisi tekstur tanah substrat. Pasang surut akan menentukan lokasi mana yang sering tergenang air laut, karena kepiting sangat
memerlukan air laut untuk hidupnya. Sedangkan variabel substrat penting, karena sifat kepiting yang suka membenamkan diri dalam lumpur. Bila substratnya
banyak mengandung bahan organik gambut atau pasir yang porous dan mudah meresapkan air, maka kondisi tanah akan cepat kering pada saat surut air laut.
Sementara kepiting membenamkan diri dalam lumpur adalah karena mencari tempat yang cukup basah dan dingin selama air surut. Oleh karena itu, kepiting
lebih sering membuat lubang-lubang persembunyian di tepi-tepi parit kecilsungai
atau di tambak-tambak. Tekstur substrat dan lamanya perendaman pasut juga menjadi variabel yang menentukan jenis vegetasi mangrove yang dapat hidup di
ekosistem mangrove tersebut Bengen 2004. Selain itu sifat tekstur substrat juga relatif lebih stabil dibanding variabel lain, misalnya salinitas dan temperatur yang
besar variasinya, sehingga bila digunakan sebagai penduga daya dukung juga akan lebih stabil nilainya. Hal ini didukung oleh hasil analisis PCA habitat
mangrove, yang menunjukkan adanya pengaruh yang besar antara tekstur substrat dengan kelimpahan S. serrata .
Namun demikian, bukan berarti bahwa kelimpahan hanya ditentukan oleh kondisi tekstur substrat saja, karena walaupun tekstur sesuai namun bila tidak ada
vegetasi mangrove, maka kepiting bakau juga tidak akan ditemukan Siahainenia 2008. Oleh karena itu, kerapatan vegetasi mangrove menduduki peringkat kedua
dalam pembobotan variabel. Pada komponen kualitas air, kisaran nilai SI antar ketiga lokasi tidak
terlalu berbeda jauh, yaitu Muara Sangatta 0.69 kemudian Muara Sangkima 0.62 dan terakhir Teluk Perancis 0.56. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas air di
ketiga lokasi hampir sama. Permasalahan kualitas air umumnya adalah akibat pH air yang cenderung asam.
Pada komponen substrat, yang meliputi empat variabel pasut, tekstur, pH, dan makrozoobenthos, nilai SI terbaik pada lokasi Muara Sangatta yaitu sebesar
0.72, berikutnya lokasi Teluk Perancis sebesar 0.66 dan Muara Sangkima sebesar 0.56. Lokasi Muara Sangatta, yang terletak di muara sungai besar memiliki
kondisi tekstur substrat yang liat berlempung, dengan fraksi liat sebesar 40.90- 60.70 . Kondisi ini yang menyebabkan di Muara Sangatta lebih banyak dibuat
tambak-tambak bandeng dibanding lokasi lainnya di habitat mangrove TNK. Nilai SI pasang surut di lokasi ini juga paling tinggi. Runoff yang cukup
tinggi dari daratan melalui Sungai Sangatta memberikan suplai air tawar. Suplai air tawar yang cukup intensif ini merupakan nilai lebih lain dari lokasi Muara
Sangatta, karena kepiting menyukai salinitas air yang payau. Menurut Kasry 1996 kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15 ‰ – 20 ‰, dan kemudian beruaya ke laut dalam untuk memijah. Berdasarkan analisis kelimpahan, kepiting bakau di lokasi ini juga yang paling
tinggi kelimpahannya.
Tabel 24 Nilai kesesuaian variabel lingkungan habitat mangrove TNK untuk kepiting bakau.
NO VARIABEL
Bobot Variabel
Ma Sangatta skor
SI Tl Perancis
skor SI
Ma Sangkima
skor SI
1 oksigen terlarut DO
V
1
1 6.3 - 10.9
1 1
7.3 – 11.9 1
1 7.3 – 11.7
1 1
2 BOD V2
0.6 3.1 - 6.3
1 0.6
2.1 – 3.3 0.6
0.36 2.6 – 5.4
0.7 0.42
3 salinitas air V3
0.7 0 - 25 25
0.9 0.63
24 - 34 30 0.7
0.49 10-34 29
0.8 0.56
4 temperatur air V4
0.8 24 - 29 28
0.95 0.76
25 - 28 27 0.9
0.72 24 - 26 26
0.8 0.64
5 pH Air V5
0.6 6.1 – 7.1 7
0.9 0.54
5.2 – 7.9 6.8 0.7
0.42 7.1 - 7.6
1 0.6
SI KA 0.69
0.56 0.62
6 pH
substrat V6 0.5
5.1-6.8 6.5
0.7 0.35 4.3-5.7 0.4 0.2 5.6-6.9 0.7 0.35 7
pasang surut air laut V7
1 1.2-2.5 1.2
0.9 0.9
1.2-2.4 1.2 0.9
0.9 1.3-2.3 1.3
0.9 0.9
8 fraksi substrat V8
1 clay loam
1 1
sandy loam 0.3
0.3 sandy loam
0.3 0.3
9 kepadatan
makrozoobenthos V9 0.7 20.25 0.9
0.63 22.75 1 0.7 19 0.8 0.56
SI SU 0.67
0.44 0.48
10 jenis vegetasi
dominan V10 0.7
A. corniculatum Nypa fructicans
0.6 0.42 R. apiculata, R.
mucronata, B. gymnorrhiza
0.7 0.49 R. apiculata,
B. parviflora, S. alba
0.9 0.63 11
kerapatan vegetasi V11
0.9 556 0.8
0.72 1350 0.9
0.81 1863
0.8 0.72
12 produksi serasah
V
12
0.3 17.03
0.6 0.18 19.47
0.5 0.15 18.55
0.5 0.15 SI VEG
0.38 0.39
0.41 HSI
0.622000 0.535444
0.557167
frekuensi paling sering SI = bobot variabel x skor
Variabel vegetasi diberi bobot yang berbeda untuk jenis vegetasi, kerapatan vegetasi, dan produksi serasah. Variabel vegetasi yang dianggap paling
berpengaruh bagi kehidupan kepiting adalah kerapatan vegetasi. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, banyak peneliti menemukan adanya keterkaitan yang
erat antara kerapatan vegetasi mangrove dengan kelimpahan kepiting bakau LeVay 2001; Siahainenia 2008, sehingga kerapatan vegetasi diberi bobot 0.9.
Namun demikian, hasil penelitian menemukan bahwa kepiting bakau tidak selalu berada dalam hutan mangrove yang rapat vegetasinya, tapi berada di pinggir
sungaiparittambak atau tempat-tempat yang berair dan terbuka di sekitar hutan mangrove. Kepiting lebih sering ditemukan nelayan pada lokasi-lokasi tersebut
karena dua alasan, yaitu kepiting menyukai membuat lubang di tempat yang berlumpur, dan alasan lain adalah nelayan lebih mudah menemukan kepiting pada
lokasi tersebut dibandingkan mencari kepiting di bawah perakaran mangrove yang padat.
Variabel jenis vegetasi diberi bobot 0.7 karena jenis vegetasi menentukan terbentuknya perakaran di lantai mangrove. Kepiting bakau menyukai jenis
vegetasi yang bentuk perakarannya mampu menyediakan makanan dan tempat berlindung baginya Hutching Saenger 1987. Namun pembentukan perakaran
mangrove sendiri terkait dengan sifat tekstur substrat tempatnya melekat dan periode pasang surut air laut, hanya jenis vegetasi tertentu dengan bentuk
perakaran tertentu yang mampu bertahan hidup pada kondisi substrat di lokasi tersebut. Atau dengan kata lain, jenis vegetasi merupakan variabel turunan dari
variabel tekstur substrat. Menurut Kepmen LH No 201 tahun 2004 status kondisi mangrove di lokasi Teluk Perancis diklasifikasikan baik sedang, dan Muara
Sangkima yang didominasi jenis Rhizophora status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam kategori baik sangat padat. Sedangkan di lokasi Muara
Sangatta didominasi jenis Aegiceras dengan kategori baik sedang. Produksi serasah diberi bobot yang relatif kecil, yaitu 0.3 karena walapun
diasumsikan kepiting memakan jenis serasah daun tertentu untuk dietnya, namun persentasenya dalam diet kepiting bakau hanya sekitar 28-30 McCann dalam
Arifin 2006. Keterkaitan serasah adalah dengan kelimpahan makrozoobenthos sebagai pakan utama kepiting bakau, seperti telah diungkapkan dari hasil analisis
PCA sebelumnya. Oleh karena itu variabel kelimpahan makrozoobenthos diberi bobot 0.7.
Secara keseluruhan Muara Sangatta memiliki nilai indeks kesesuaian lahan HSI yang paling tinggi, yaitu 0.622, berikutnya adalah Muara Sangkima sebesar
0.557 dan Teluk Perancis sebesar 0.535. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa lokasi Muara Sangatta merupakan lokasi yang paling baik
dalam mendukung kehidupan S. serrata. Sehingga lokasi Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai bila digunakan untuk usaha pembesaran kepiting bakau.
Dengan nilai indeks HSI tersebut maka dapat diperkirakan jumlah individu kepiting bakau atau unit budidaya yang dapat dipelihara di habitat mangrove
TNK. Perhitungan jumlah individuunit budidaya yang mampu didukung oleh masing-masing lokasi di TNK disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25 Daya dukung Mangrove TNK untuk unit budidaya.
Lokasi HSI
Luas area m
2
Kelimpahan kepiting
indm²
Daya dukung kepiting ekor
Unit budidaya
Muara Sangatta 0.622
15746741.58 0.025
244862 490
Teluk Prancis 0.535
13412280.46 0.01
71815 144
Muara Sangkima 0.557
13084719.28 0.015
109356 219
Hasil analisis daya dukung menunjukkan bahwa di lokasi Muara Sangatta individu kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya yang berkelanjutan
adalah sebanyak 244 862 ekor atau dapat dibudidayakan pada ± 490 unit budidaya kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Unit karamba sejumlah ini memerlukan
lahan seluas ± 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar ± 400.03 ha lahan kritis bekas tambak. Unit-unit karamba ini dapat dibangun di bekas tambak yang sudah
tidak produktif lagi di Muara Sangatta, sekaligus sebagai upaya untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut.
Muara Sangkima yang mempunyai kondisi mangrove baik sangat rapat dapat mendukung sekitar 219 unit kurungan tancap, sedangkan Teluk Perancis
dapat mendukung sekitar 144 unit kurungan tancap. Namun hal ini bukan berarti
bahwa pada lokasi tersebut dapat dibuat unit karamba budidaya sylvofishery. Budidaya sylvofishery dengan kurungan tancap ini baru dapat dilaksanakan bila
telah dibuat pengaturan zonasi dalam kawasan Taman Nasional Kutai, karena tidak semua zona dapat dilakukan pemanfaatan. Bila melihat dari nilai indeks
kesesuaian lahan yang rendah, dapat dikatakan lokasi Teluk Perancis dan Muara Sangkima tidak sesuai untuk budidaya sylvofishery.
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan
Scylla serrata
Kepiting bakau atau kepiting lumpur, atau kepiting hijau Scylla serrata Moosa et al. 1985 merupakan manfaat tidak langsung dari sumberdaya
mangrove yang mempunyai nilai ekonomis penting. Kepiting bakau di wilayah provinsi Kalimantan Timur, sejak tahun 2000 sudah menjadi salah satu komoditas
ekspor. Harga lokal dari nelayan pada tahun 2009 sekitar Rp 25 000kg dan dapat mencapai harga Rp 48 000kg untuk ekspor. Kepiting bakau untuk ekspor ini
umumnya berasal dari wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Tarakan, dan Kabupaten Berau. Sementara dari Kabupaten Kutai Timur sendiri belum ada yang
masuk ke pasar ekspor. Pemanfaatan kepiting S. serrata hasil tangkapan nelayan di kawasan
mangrove TNK, umumnya langsung dijual ke rumah makan-rumah makan seafood yang terdapat di kota Sangatta. Sebagian kecil dijual ke pasar tradisional.
Sebagian lagi diolah oleh ibu-ibu nelayan Kelompok Kerja Pokja Kerupuk Kepiting menjadi produk kerupuk kepiting. Krupuk kepiting produksi Pokja ini
dihargai Rp 40 000,00 per kg. Penjualannya merambah ke beberapa kota seperti Sangatta, Samarinda, dan Bontang. Dalam Lomba Teknologi Tepat Guna
Masyarakat tingkat Kabupaten Kutai Timur dan tingkat Propinsi Kalimantan Timur, mereka berhasil meraih kemenangan. Kelompok ini kemudian mewakili
Kalimantan Timur dalam lomba tingkat nasional yang diselenggarakan September
2005 di Palembang.
5.2.1 Permintaan Scylla serrata
Konsumen kepiting bakau di Kota Sangatta meliputi konsumen rumah tangga dan rumah-rumah makan. Kepiting bakau dijual di pasar-pasar di Kota
Sangatta oleh pedagang maupun dijual keliling secara langsung oleh penangkap kepiting. Kepiting bakau yang dijual di pasar Kota Sangatta berasal dari hasil
tangkapan nelayan lokal dan kepiting yang dikirim dari Kecamatan Muara Badak. Berdasarkan hasil survei terhadap tiga pasar yang ada di Kota Sangatta,
kebutuhan kepiting untuk memenuhi konsumsi masyarakat Kota Sangatta diperkirakan mencapai lebih dari 200 kghari, berdasarkan rata-rata penjualan
kepiting per hari pada tiga pasar yang ada di Kota Sangatta. Permintaan Scylla serrata tidak hanya berasal dari lokal saja, namun juga
berasal dari kota-kota besar di Indonesia dan dari luar negeri. Data pengiriman kepiting bakau Scylla serrata keluar daerah maupun keluar negeri yang diperoleh
dari Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan disajikan pada Tabel 26. Menurut informasi dari Ibu Yuni, Kasie Data dan Informasi Balai
Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan, yang dimaksud dengan ekspor adalah pengiriman kepiting bakau keluar negeri Singapura, karena bandara
Sepinggan merupakan bandara internasional dimana ada penerbangan langsung ke Singapura. Sedangkan yang dimaksud domestik keluar adalah pengiriman
kepiting keluar negeri, ke negara selain Singapura, namun melalui transit di Jakarta dan Surabaya. Pengiriman domestik adalah pengiriman kepiting bakau
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain. Satuan data yang ada di Balai Karantina adalah ekor bukan dalam
satuan bobot, karena sesuai tupoksinya, Balai Karantina bertugas untuk mengetahui kondisi penyakit ikan, sehingga pencatatan dilakukan per ekor ikan.
Tabel 26 Volume pengiriman kepiting bakau hidup tahun 2006-2008.
Tahun Ekspor
Domestik Domestik Keluar
Lalu lintas Total ekor
ekor ekor
ekor
2006 2 231 042
36.12 222 567 588 62.18 13 426 948 39.82 238 225 578 59.88
2007 2 110 455
34.17 95 613 618
26.71 7 949 698 23.57 105 673 771 26.56
2008 1 835 441
29.71 39 783 234
11.11 12 344 530 36.61 53 963 205 13.56
Total 6 176 938
100 357 964 440
100 33 721 176 100 397 862 554
100 Sumber: Balai Karantina Ikan Kelas I Sepinggan Balikpapan Tahun 2009
Tabel 26 menunjukkan bahwa total lalu lintas pengiriman kepiting bakau hidup dari tahun 2006 sampai dengan 2008 cenderung menurun, dengan
penurunan yang mencapai separuh dari volume tahun sebelumnya. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya penurunan produksi tangkapan kepiting bakau dari alam.
Informasi dari Bapak Sab Lestiawan, Kasie Pelayanan Operasional Balai Karantina Ikan Balikpapan, daerah Handil di Balikpapan yang pada tahun-tahun
awal pengiriman kepiting bakau mendominasi produksi, saat sekarang ini sudah tidak berproduksi lagi. Demikian juga dengan daerah Muara Badak yang mulai
jarang mengirimkan kepiting. Saat ini kepiting bakau yang dikirim keluar Balikpapan didominasi dari daerah Tarakan dan Berau.
Bila melihat data persentase jumlah kiriman untuk domestik dan luar negeri, tampak bahwa produksi kepiting yang ada lebih diutamakan untuk
kepentingan ekspor, dibanding untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Hal ini terlihat dari angka persentase yang cenderung stabil dari tahun ke tahun untuk
keperluan ekspor dan domestik keluar, sekalipun pernah terjadi sedikit penurunan pada tahun 2007 untuk domestik keluar.
5.2.2 Keragaan Perikanan Tangkap S. serrata di TNK
Kepiting jenis S. serrata di wilayah TNK, saat ini dimanfaatkan untuk perikanan tangkap dan budidaya pembesaran, walaupun untuk kegiatan budidaya
pembesaran masih sedikit dilakukan.
5.2.2.1 Jenis Alat Tangkap
S. serrata
Kegiatan perikanan tangkap S. serrata di kawasan mangrove TNK umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 jenis alat tangkap, yaitu
buburakkang, pengait, dan renggegillnet. Masing-masing alat tangkap mempunyai spesifikasi lokasi dan cara penangkapan yang berbeda. Bentuk dari
alat-alat tangkap kepiting tersebut dapat dilihat pada Gambar 35. Bubu, baik dari jenis bubu lipat maupun rakkang digunakan pada area
berlumpur yang selalu digenangi pasut, misalnya di pinggir sungai atau tepi pantai. Cara penangkapan kepiting dengan menggunakan bubu adalah bubu
dipasang ketika air sedang surut, setelah sebelumnya dipasangi umpan berupa ikan rucah. Selama air pasang bubu dibiarkan terendam dalam air, kemudian
ketika air telah surut bubu diangkat dan diambil kepiting yang terperangkap di dalamnya.
Pengait digunakan di lubang-lubang kepiting yang ada di dalam hutan mangrove, atau tambak-tambak di sekitar mangrove. Waktu penggunaan pengait
biasanya pada siang hari, saat air surut, karena pada waktu tersebut kepiting bersembunyi dalam lubang untuk mendinginkan tubuhnya. Penangkapan dengan
menggunakan pengait sering memberikan hasil tangkapan kepiting yang lukacacat akibat kaitan. Hal ini terjadi karena kepiting yang bersembunyi dipaksa
keluar dari lubangnya dengan menggunakan kaitan besi, sehingga capitchela patah.
a. Bubu Lipat b.Renggegillnet
c. Rakkang bubu d. Pengait
Gambar 35 Jenis alat tangkap kepiting yang digunakan di habitat mangrove TNK. Renggegillnet digunakan di perairan dangkal di pesisir pantai. Nelayan
umumnya tidak secara khusus menggunakan rengge untuk menangkap kepiting, namun hanya merupakan hasil sampingan selain ikan yang menjadi tujuan utama
tangkapan. Waktu penggunaan rengge dapat siang atau malam hari.
Nelayan yang menangkap kepiting didominasi oleh suku BugisMakassar dan sedikit dari suku Jawa. Jumlah nelayan di wilayah TNK yang menangkap
kepiting seluruhnya kurang lebih hanya ada 15 orang. Frekuensi nelayan dalam menangkap kepiting bakau dengan menggunakan
rakkang umumnya berkisar antara 2 sampai 3 kali per minggu. Penangkapan dilakukan pada saat air pasang. Pasut di pesisir Kutai Timur bersifat mixed prevailing
semidiurnal dimana kecenderungan dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan amplitudo dan periode pasang surut yang berbeda. Pasang
dengan amplitudo lebih tinggi terjadi pada malam hari. Sehingga nelayan menangkap kepiting pada saat pasang purnama dan pasang perbani. Diantara kedua pasang
tersebut ada masa air tenang, dalam bahasa lokal nelayan menyebutnya dengan ‘konda’ yaitu kondisi dimana massa air diam tidak terjadi pasang ataupun surut. Pada
saat konda tersebut, kepiting juga tidak masuk ke daratan, sehingga tidak bisa ditangkap.
5.2.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Beberapa Alat Tangkap
S. serrata
Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, rakkang merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan. Setiap nelayan kepiting yang menggunakan
rakkang, rata-rata memiliki alat tersebut minimal 50 unit, sehingga diperkirakan di kawasan mangrove TNK ada sekitar 250 unit rakkang. Dari segi efisiensi tenaga
dan waktu, dibanding pengait dan rengge, alat tangkap rakkang lebih efisien untuk menangkap kepiting, karena nelayan tidak perlu mencari-cari keberadaan
kepiting, cukup memasang umpan pada rakkang dan kepiting yang akan datang sendiri. Rakkang pun tidak perlu ditunggui, bila sudah ada kepiting yang masuk
maka kepiting akan terus terperangkap dalam rakkang sampai saat diangkat kembali oleh nelayan. Hasil tangkapan kepiting rata-rata antara 3-5 ekorunit alat.
Kelemahan dari alat tangkap rakkang adalah kepiting yang tertangkap umumnya berukuran kecil kepiting muda yang belum dewasa kelamin. Kepiting muda
yang berukuran di bawah ukuran konsumsi 200-300 gram umumnya mempunyai nilai jual yang rendah, sehingga kurang menguntungkan.
Alat tangkap lain yang cukup banyak digunakan di kawasan mangrove TNK adalah pengaitpancing. Jumlah pengait yang ada di kawasan ini tidak
sebanyak rakkang, hanya ada sekitar 10 unit saja, karena umumnya tiap satu orang nelayan hanya memerlukan satu buah pengait untuk operasional menangkap
kepiting. Kelebihan dari alat pengait adalah nelayan cenderung memperoleh kepiting yang berukuran besar dan harga yang lebih baik. Namun kelemahannya
adalah jumlah hasil tangkapannya relatif sedikit dibanding bila menangkap dengan rakkang. Selain itu hasil tangkapan juga sering cacat, karena kepiting
terluka oleh pengait.
5.2.3 Keragaan Budidaya Pembesaran S. serrata di TNK
Budidaya kepiting bakau yang telah dilakukan di hutan mangrove TNK hanya berupa budidaya pembesaran. Wadah untuk memelihara kepiting bakau ada
berbagai bentuk, antara lain kurungan bambu dalam tambak, karamba di laut, dan kurungan jaring dalam mangrove. Gambar berbagai bentuk wadah pemeliharaan
dapat dilihat pada Gambar 36.
a. Kurungan Bambu b. Kurungan jaring
Gambar 36 Wadah pemeliharaan budidaya pembesaran kepiting bakau di TNK.
Budidaya pembesaran dilakukan dengan tujuan sebagai usaha pemeliharaan sementara bagi kepiting, yang berukuran terlalu kecil untuk
langsung dijual ke pasar. Pembesaran dilakukan dengan menempatkan kepiting
hasil tangkapan alam ke dalam wadah tertentu dan dipelihara hingga ukuran layak dijual.
Hasil budidaya pembesaran kepiting bakau dengan kurungan bambu yang pernah dilakukan di kawasan mangrove TNK ini belum menunjukkan
keberhasilan yang cukup memuaskan. Beberapa kelemahan yang diduga menjadi penyebab kegagalan usaha budidaya tersebut adalah:
1. Tingkat kepadatan benih kepiting bakau yang dipelihara dalam kurungan bambu tidak diperhatikan, sehingga terjadi perebutan ruang dan pakan
antar kepiting. Sementara kepiting bakau sendiri merupakan jenis biota yang kanibal pemakan sesama, sehingga diduga terjadi saling bunuh
antar individu kepiting bakau. 2. Jumlah pakan yang diberikan tidak mencukupi dan tidak konsisten,
sedangkan dalam kurungan tidak tersedia pakan alami, sehingga kepiting akan memakan sesamanya.
3. Teknologi kurungan bambu tidak menyediakan habitat alami yang disukai kepiting bakau, sehingga pada saat ada perubahan lingkungan seperti
peningkatan suhu pada siang hari, atau perubahan salinitas, kepiting bakau tidak bisa berlindung dan menjadi stress, yang akhirnya berdampak pada
kematian. 4. Tinggi kurungan bambu yang hanya sekitar 1 meter sangat rawan terkena
banjir pada saat terjadi pasang naik. Sementara kepiting bakau adalah binatang yang sangat mobile, yang mempunyai kaki renang dan kaki
jalan, sehingga kepiting dapat berenang dan memanjat pagar yang mengurungnya untuk melepaskan diri.
Selain itu teknologi budidaya seperti ini tidak mengkonservasi habitat mangrove, karena menebang habis pohon mangrovenya. Hal ini dapat berdampak
buruk dalam banyak hal, akibat hilangnya fungsi ekologis mangrove.
5.2.3.1 Budidaya Pembesaran
S. serrata dengan Teknik Sylvofishery
Budidaya pembesaran S. serrata yang dilakukan dalam penelitian ini adalah budidaya dalam kurungan tancap dalam mangrove sylvofishery. Lokasi
untuk pembangunan kurungan tancap dipilih di dalam area rawa mangrove yang
berada pada kisaran pasang surut air laut. Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove secara ringkas disajikan dalam Tabel 27.
Tabel 27 Keragaan kurungan tancap pembesaran kepiting bakau dalam mangrove. No
Parameter AlatBahan
Satuan 1
Dimensi kurungan Jaring + papan kayu
10m x 20m x 2m 2
Ukuran mata jaring 1.25”
3 Ukuran Parit Keliling
1 m x 0.8 m 4
Berat Benih 68.8±1.92 g
5 CW Benih
67.83±0.74 mm 6
Padat penebaran 300 ekorkurungan
7 Pakan
Ikan rucah 3 biomasshari
8 Sampling
Buburakkang Per 2 minggu
9 Kerapatan vegetasi
Anakan mangrove 1113 indha
10 Jenis vegetasi
Aegiceras, Nypa, Rhizophora
11 Berat ind. panen
184.75±8.24 g 12
CW ind. panen 88.65±0.94 mm
13 Survival Rate SR
76.5 Dimensi dari kurungan tancap adalah 10 m x 20 m 200 m
2
dan tinggi jaring adalah 2 meter untuk mencegah pemangsa predator dan untuk mencegah
kepiting melarikan diri. Jaring yang digunakan bermata jaring 1.25 inchi. Jaring didukung oleh tonggak pada tiap interval 3 meter dari material tanaman bakau.
Tinggi tonggak 3 meter dengan 0.6 meter ditancapkan dalam tanah. Untuk penggunaan jaring sebagai pagar, pada bagian bawah jaring tetap perlu
ditancapkan papan sedalam ± 0.6 meter untuk mencegah kepiting melarikan diri dengan menggali lubang dalam lumpur. Di dalam kurungan tancap, digali saluran
keliling dengan ukuran lebar antara 0.6-0.9 m dan dalam 0.8 m.
5.2.3.2 Hasil Budidaya Pembesaran
S. serrata
Pelaksanaan pembesaran kepiting bakau telah dilakukan selama 10 minggu, namun belum sampai pada tahap panen. Pertumbuhan kepiting selama
budidaya sylvofishery diketahui dari sampling sebanyak 25 ekor kepiting setiap
dua minggu. Data pertumbuhan kepiting bakau yang diperoleh selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 37.
Selama 10 minggu pengamatan menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan kepiting bakau, baik dari ukuran lebar karapas maupun pada ukuran
berat tubuhnya. Ukuran lebar karapas benih awal rata-rata sekitar 67.83±0.74 mm, setelah 10 minggu terjadi penambahan CW hingga 88.65±0.94 mm.
Sedangkan berat benih awal sekitar 68.8±1.92 g, setelah 10 minggu terjadi penambahan menjadi rata-rata 184.75±8.24 g. Bila dirata-ratakan penambahan
berat yang terjadi ± 11.60 gr tiap minggu. Tingkat kelulushidupansurvival rate SR pada minggu ke-10 adalah ± 76.5. Namun kepiting bakau belum mencapai
usia panen, sehingga belum diketahui berapa SR kepiting yang berhasil lulus hidup sampai panen.
Gambar 37 Grafik pertumbuhan kepiting bakau sylvofishery. Untuk mencapai panen, kepiting bakau yang semula berat tubuhnya 100 g
perlu ditingkatkan menjadi 250-300 g, sebagai ukuran konsumsi. Dengan asumsi terjadi peningkatan berat yang tetap, yaitu 11.6 gr tiap minggu, maka diperlukan
waktu sekitar 16 minggu ± 4 bulan untuk mencapai panen dalam penelitian ini. Menurut Genodepa 1999 diperlukan waktu sekitar 4-7 bulan untuk mencapai
ukuran tersebut.
68,80 71,50
95,00 108,50
161,50 184,75
67,83 67,95
77,55 78,95
88,10 88,65
0,00 50,00
100,00 150,00
200,00 250,00
2 4
6 8
10
P e
rt um
buha n
sa m
pl ing
25 e
k o
r k
e pi
ti ng
Minggu
berat tubuh lebar karapas
5.2.3.3 Permasalahan dalam Budidaya
Sylvofishery S. serrata
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pembesaran kepiting bakau secara sylvofishery adalah:
• Adanya hama berupa biawak kalimantan Varanus vomeensis, yang masuk ke dalam kurungan dengan cara melubangi jaring untuk mengambil
ikan rucah yang menjadi pakan kepiting bakau. Masuknya biawak ke dalam kurungan tidak untuk makan kepiting, namun lubang yang dibuat
biawak pada jaring menyebabkan kepiting melarikan diri keluar jaring. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu upaya tambahan untuk mencegah
biawak masuk, yaitu dengan membuat pagar bambu keliling yang tingginya minimal sepanjang biawak terbesar yang masuk ke karamba ± 1
m, sehingga cukup untuk mencegah biawak memanjat. • Adanya angin musim pada bulan-bulan tertentu yang menyebabkan
gelombang laut menjadi besar. Di pesisir Kabupaten Kutai Timur musim gelombang besar ini mulai terjadi dari bulan Januari hingga bulan Maret,
dan mencapai puncaknya pada bulan Februari. Gelombang besar ini dapat mengakibatkan kerusakan karamba yang berupa tercabutnya jaring dari
posisinya atau robeknya jaring akibat hantaman batang-batang pohon yang terseret gelombang. Untuk mencegah kerusakan akibat gelombang, maka
perlu adanya papan kayu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat jaring.
• Adanya run off dari daratan dapat membawa bahan-bahan beracun limbah dari pemukiman dan industri pertambangan yang ada di hulu sungai. Bila
tidak diantisipasi kejadian runoff dapat menyebabkan kematian massal kepiting budidaya dalam karamba tancap.
5.2.4 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Sylofishery S. serrata
Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan, dan
pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen.
Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue Cost Ratio RC dan keuntungan π untuk mengetahui kelayakan pada saat ini
tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang undiscounted criteria. Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan
memasukkan faktor nilai uang discounted criteria digunakan kriteria Net Benefit Cost Net BC. Tingkat discount rate diasumsikan sebesar 12 ,
perhitungan rentang usaha selama 2 tahun, umur ekonomis peralatan 2 tahun, dan usaha budidaya dioperasikan mulai tahun pertama Lampiran 24.
Dari hasil analisis Lampiran 25, diperoleh nilai rasio penerimaan dengan biaya RC pada sylvofishery kepiting bakau seluas 200 m
2
per tahun sebesar 2.87. Nilai RC 2.87 bermakna bahwa setiap Rp 1 000 000,- uang yang dipakai
untuk pembiayaan budidaya akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 2870000,-. Waktu pengembalian investasi payback periode selama 1 tahun 3 bulan. Nilai
Net BC yang diperoleh sebesar 2.05 Net BC 1 bermakna bahwa manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2.05 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha budidaya kepiting bakau dengan teknologi sylvofishery layak
direkomendasikan untuk dikembangkan.
5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata
Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meliputi pendapatan dari hasil penangkapan dan pendapatan dari hasil budidaya
sylvofishery. Dari hasil penangkapan dengan alat tangkap rakkang nelayan memperoleh
pendapatan sekitar Rp 1 - 1.5 jutabulan. Nilai ini diambil dari rata-rata produksi kepiting tangkapan nelayan setiap bulan dikurangi dengan biaya operasional
penangkapan. Dalam satu bulan nelayan umumnya menangkap kepiting sebanyak 10 kali, yaitu pada saat pasang purnama dan pasang perbani bulan mati. Jumlah
yang diperoleh rata-rata 98 kgbln dengan harga Rp 25 000,-kg, sehingga rerata penerimaan nelayan adalah sekitar Rp. 2 400 000,-bulan. Setelah dikurangi biaya
operasional penangkapan, yaitu untuk bahan bakar minyak BBM, pembelian
umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-bulan Lampiran 26.
Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha Lampiran 25 total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- unit
karambatahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-unit karambatahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101
250,-unit karambatahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai
jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka kepiting lunak atau kepiting bertelur.
5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK
5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK
Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 325Kpts-II1995, TNK yang semula adalah
Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 Lampiran VIII tentang kawasan Lindung Nasional, yang mengkategorikannya sebagai Taman
Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I IA4. Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional
berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai BTNK sebagai unit teknis dari BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya.
Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi
2009 menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara
eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah
mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan hutan.
UU 411999 tentang kehutanan Pasal 23 dan pasal 24 menyatakan “Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya” dan “Pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional”. Selanjutnya
pada Pasal 25 dikatakan “Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Aturan turunan untuk pasal 25 UU 411999 ini adalah Permenhut No. P.56Menhut-II2006. Selanjutnya dalam pasal 68,
disebutkan “masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku”. Dengan demikian dapat dikatakan akses bagi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan telah dibuka, baik dalam hutan
produksi maupun hutan lindung, kecuali pada hutan cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional. Pemanfaatan tersebut meliputi tiga hal pokok,
yaitu pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu. Secara rinci pemanfaatan hutan ini diatur dalam PP No. 6 Tahun
2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008. Walaupun secara legalitas hukum sudah ada aturan-aturan yang
mengijinkan adanya akses masyarakat untuk pemanfaatan hutan, namun hingga saat ini pengelolaan TNK masih tertutup bagi masyarakat. Masyarakat belum
diberi hak untuk memanfaatkan dan dibatasi aksesnya berdasarkan pasal 21 UU No. 5 Tahun 1990 dan pasal 50 UU No. 41 Tahun 1999. Selain itu tidak ada
rencana zonasi yang jelas sesuai amanat undang-undang, yang dibuat untuk kawasan TNK.
Sementara itu kenyataan berbicara lain, dengan adanya pelarangan- pelarangan dan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh pengelola taman
nasional, bukannya berhasil menjaga keutuhan hutan, bahkan pada saat ini TNK justru sangat sarat dengan permasalahan. Isu permasalahan yang paling banyak
terjadi adalah adanya perambahan hutan dan penebangan kayu tidak legal illegal logging. Gambar 25 menunjukkan perambahan hutan cenderung terjadi di bagian
pesisir TNK sebelah timur jalan poros Bontang-Sangatta, yang merupakan kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan ini antara lain dilakukan untuk
pembuatan jalan poros Bontang – Sangatta, yang pada akhirnya berimbas pada perluasan permukiman penduduk, hingga terbentuknya kecamatan baru, yaitu
kecamatan Teluk Pandan, setelah sebelumnya sudah ada kecamatan yang berdiri lebih dahulu, yaitu Kecamatan Sangatta Selatan. Adanya pengembangan wilayah
ke arah pesisir ini sangat mengancam keberadaan hutan mangrove di TNK. Karena dengan adanya penduduk dalam wilayah TNK, akhirnya penduduk
memanfaatkan hutan mangrove, dimana sebagian besar dilakukan dengan cara yang merusak, seperti menebang mangrove dan membukanya untuk penggunaan
lain pemukiman, tambak. Sementara itu, zonasi TNK sampai saat ini juga belum disusun, sehingga
permasalahan perambahan hutan di wilayah TK Kutai menjadi semakin meluas dan berlarut-larut. Untuk penyelesaian masalah tersebut, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Timur berinisiatif mengusulkan beberapa alternatif pengelolaan kawasan TNK yang bermasalah tersebut, salah satunya adalah rencana enclave.
Namun rencana ini juga mengalami banyak kendala. Berbagai kendala yang muncul pada rencana enclave ini, antara lain:
i. Perbedaan persepsi dalam penafsiran enclave antara Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pemerintah Kabupaten Kutai
Timur menafsirkan bahwa kawasan enclave akan dikelola pemerintah daerah setelah enclave selesai. Sedangkan Departemen Kehutanan tetap menghendaki
pengelolaan berada pada BTNK Surat Dirjen PHKA No. 285DJ-VKK2000 tanggal 28 April 2000.
ii. Pemerintah Pusat menolak penyelesaian permasalahan TNK melalui enclave, yaitu dengan dikeluarkannya surat Menteri Kehutanan RI Nomor.
1889Menhut-II2002 tanggal 21 Nopember 2002 yang isinya menyatakan bahwa Departemen Kehutanan tidak bermaksud melepaskan wilayah enclave
dari Taman Nasional Kutai. Selama belum ada kebijakan untuk penyelesaian permasalahan TNK,
diperlukan solusi jangka pendek untuk mencegah semakin meluasnya perusakan
sumberdaya alam di TNK, termasuk diantaranya sumberdaya yang di dalam hutan mangrove.
Dari hasil penelusuran terhadap peraturan perundangan yang ada, beberapa pasal yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan di TNK, khususnya
bagi permasalahan pemanfaatan yang merusak mangrove, yaitu: 1. Pasal 26, 27, 28, 30, dan 32 UU No. 5 tahun 1990,
2. Pasal 23, 24, dan 25 UU No. 41 tahun 1999, 3. Pasal 29 UU No. 27 tahun 2007 beserta penjelasannya,
4. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 60 tahun 2007, 5. Pasal 2, 6, 30, dan 32 PP No. 6 tahun 2007
6. Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56Menhut-II2006 Berdasarkan pasal-pasal tersebut, permasalahan pengelolaan mangrove
dapat diatasi dengan membuat sistem zonasi yang dapat melindungi kepentingan pelestarian alam, sekaligus mengakomodir hak masyarakat untuk memanfaatkan
sumberdaya alam untuk kebutuhan hidupnya. Bila pada UU No. 51990 zonasi dalam kawasan taman nasional hanya
dibagi menjadi 3, yaitu: zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya, maka pada aturan turunannya yaitu Permenhut No. P.56Menhut-II2006, zonasi dibuat lebih
rinci lagi, yaitu: 1. Zona inti;
2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan; 3. Zona pemanfaatan;
4. Zona lain, antara lain: 1. Zona tradisional;
2. Zona rehabilitasi; 3. Zona religi, budaya dan sejarah;
5. Zona khusus. Berdasarkan Permen ini, maka ada tiga zona yang masih bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu zona pemanfaatan, zona lain, dan zona khusus.
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Dari berbagai peraturan tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
pemanfaatan sumberdaya di kawasan lindung seperti Taman Nasional Kutai masih dimungkinkan, selama pemanfaatan tersebut masih dalam batas aturan yang
diijinkan dan tidak keluar dari tujuan undang-undang, antara lain: 1 Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990;
2 Tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam pasal 19 UU No. 5 Tahun 1990;
3 Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari pasal 3 poin c UU No. 41 Tahun 1999;
4 Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar pasal 27 dan
28, UU No. 5 Tahun 1990; 5 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan
kayu danatau bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik
berupa kayu danatau bukan kayu dengan batasan waktu, luas danatau volume tertentu pasal 1 PP No. 6 Tahun 2007;
6 Tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; danatau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah
bentang alam pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007. Penelitian ini merekomendasikan pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau
dari jenis S. serrata, yang merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis tinggi dari hutan mangrove, sebagai sumberdaya yang dapat dikelola secara
kolaboratif oleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari pemanfaatan kepiting bakau di kawasan TNK adalah:
i kepiting bakau merupakan komoditas perikanan dan merupakan hasil hutan bukan kayu,
ii kepiting bakau bukan merupakan komoditas yang tinggal menetap dalam hutan mangrove, karena mempunyai sifat ruaya, sehingga dalam setiap
tahapan hidupnya menempati lokasi yang berbeda. Kepiting bakau yang tinggal dalam mangrove adalah kepiting bakau dewasa yang menggunakan
habitat mangrove untuk kawin dan mencari makanan, sedangkan pada tahap sebelum dewasa kepiting bakau lebih banyak berada di perairan.
iii pemanfaatan hutan mangrove untuk budidaya sylvofishery tidak mengambil kayu atau pun merubah bentang alamnya, karena yang
dimanfaatkan hanyalah fungsi ekologis mangrove sebagai habitat tempat hidup kepiting bakau pemanfaatan kawasan.
iv Benih kepiting bakau yang digunakan untuk budidaya adalah kepiting muda crablets yang ditangkap di perairan pantai, sehingga sudah berada
di luar batas kawasan TNK. v Kepiting dewasa yang dihasilkan dari budidaya sylvofishery sebagian
dapat digunakan untuk restocking induk kepiting di habitat mangrove TNK, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan proses reproduksi
kepiting bakau.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka peneliti merekomendasikan pengembangan budidaya sylvofishery kepiting bakau S. serrata sebagai alternatif
pemanfaatan hutan mangrove yang ramah lingkungan di zona perikanan berkelanjutan dalam kawasan hutan mangrove TNK.
5.3.2 Penentuan Zonasi Pemanfaatan Scylla serrata di Ekosistem Mangrove
TNK
Satu hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam pemanfaatan kawasan hutan mangrove untuk habitat budidaya kepiting bakau adalah penentuan zonasi yang
tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Belajar dari pengalaman Taman Nasional Bali Barat dalam sejarah pengelolaan kawasannya, dapat
diketahui bahwa masyarakat lokal yang sudah terlanjur tinggal di dalam kawasan TN tidak dapat dengan mudah direlokasi ke tempat lain, sebagaimana tidak
mudah juga untuk merubah status kawasan TN. Namun demikian deliniasi zonasi kawasan yang tegas, dan bersamaan dengan upaya peningkatan kesadaran
mayarakat dalam kawasan untuk menjaga kawasan konservasi pada akhirnya berhasil menekan permasalahan agar tidak menjadi semakin luas.
Berdasarkan kondisi eksisting penggunaan lahan di kawasan mangrove TNK, daya dukung dan kesesuaian lahan untuk budidaya sylvofishery kepiting
bakau, dan laju eksploitasi kepiting bakau Scylla serrata serta kondisi sosial
ekonomi budaya masyarakat lokal, maka lokasi yang dapat direkomendasikan untuk zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK adalah sebagaimana
disajikan pada Gambar 38. Zona pemanfaatan budidaya sesuai ditempatkan di lokasi Muara Sangatta
karena daya dukung kawasan Muara Sangatta bagi budidaya sylvofishery paling besar dibanding lokasi yang lainnya. Kawasan ini dapat mendukung budidaya
sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove. Muara Sangatta merupakan sebuah dusun yang terletak di muara Sungai
Sangatta. Sungai Sangatta sendiri merupakan sungai terbesar yang membelah kota Sangatta menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangatta Selatan dan
kecamatan Sangatta Utara. Sungai Sangatta juga menjadi batas sebelah utara wilayah TNK, sehingga kecamatan Sangatta Selatan menjadi masuk dalam
wilayah TNK. Hilir Sungai Sangatta berada di kecamatan Singa Geweh dan bermuara di Selat Makassar.
Informasi yang diperoleh dari Bapak Sidin, ketua RT di Muara Sangatta, Dusun Muara Sangatta terdiri dari 18 buah rumah yang diisi oleh 23 Kepala
Keluarga KK dengan penghuni sebanyak 96 orang dewasa. Dari 23 KK tersebut semuanya bekerja sebagai nelayan, hanya ada 5 KK yang bekerja sebagai
petambak. Namun dari 5 KK yang bekerja sebagai petambak, hanya 1 orang yang memiliki tambak sendiri, sementara yang lainnya hanya bekerja untuk menjaga
tambak dengan sistem upah bagi hasil. Luas tambak yang tercatat memiliki girik di dusun ini sekitar 70 ha, dimana tambak yang produktif hanya sekitar 7 ha saja.
Tambak yang tidak produktif ini umumnya dibiarkan begitu saja, sehingga bekas-bekas tebangan pohon mangrove tumbuh kembali tunasnya sebagai pokok
trubusan yang berukuran diameter 10 cm, seperti yang telah disampaikan pada subbab 5.2.1. Hasil pengamatan menunjukkan di lokasi Muara Sangatta,
kerapatan vegetasi adalah 1113 indha, namun ini adalah kerapatan untuk vegetasi anakan, karena diameternya kurang dari 10 cm.
Parameter fisik kimia lingkungan di Muara Sangatta dicirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, pH substrat, oksigen terlarut, kelimpahan
makrozoobenthos, salinitas air, dan produksi serasah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi Teluk Perancis, dan Muara Sangkima. Namun pada
lokasi ini justru kepiting lebih banyak diperoleh nelayan dibanding kedua lokasi yang lain. Dari hasil pengamatan, jarang ditemui kepiting bakau atau pun
lubangsarangnya pada lokasi yang perakaran mangrovenya sangat padat atau pun pada lantai mangrove yang banyak mengandung serasah jenis tanah gambut.
Kepiting banyak membuat lubang di area yang liat atau berlumpur dan tergenang air, seperti tepi parit, sungai, dan tambak dalam mangrove. Dan kondisi seperti
inilah yang banyak ditemukan di Muara Sangatta, yang merupakan muara sungai besar. Oleh karena itu, adanya sylvofishery diharapkan dapat memanfaatkan
lahan-lahan kritis bekas tambak tersebut, setelah dilakukan rehabilitasi mangrove. Zona penangkapan kepiting bakau S. serrata sesuai diletakkan di lokasi
Muara Sangkima, karena tekanan penangkapan kepiting bakau di lokasi ini paling rendah. Lokasi Muara Sangkima yang jauh dari pemukiman membuat tekanan
penangkapan sumberdaya S. serrata di lokasi ini relatif lebih rendah dibanding pada lokasi Muara Sangatta dan Teluk Perancis.
Gambar 38 Peta zonasi pemanfaatan hutan mangrove TNK. Hal lain yang mendukung Muara Sangkima sebagai zona penangkapan
adalah walaupun di lokasi ini banyak dibuat tambak, namun kondisi vegetasi mangrove masih baik dengan kerapatan sangat padat. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh tidak adanya pemukiman di kawasan tersebut. Pemukiman yang ada hanya sebatas pondok-pondok tempat tinggal penjaga tambak. Sehingga
pemanfaatan mangrove yang merusak, juga relatif rendah. Zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata
sesuai bila diletakkan di lokasi Teluk Perancis. Teluk Perancis termasuk dalam dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima. Di lokasi Teluk Perancis sendiri tidak ada
pemukiman penduduk, namun di Dusun Teluk Lombok ada pemukiman penduduk yang cukup ramai karena berada di area perusahaan minyak Pertamina. Teluk
Lombok juga merupakan kawasan wisata pesisir.
b b
b
Danau Besar
S. Kenduung S
. S eli
m pu
s S. N
ipah S. A
nan gka
pur S.
Sira t
S. Keluang S
. N ag
a S
. P a
ri S
. P
a lu
S .
M a
sa S.
Lab oas
am S
. H
S. Nipah Kecil S. P
ad an
g
S. Ke ndulu
S. T
elu kd
al am
K ec
il S. Ke
nibu ng
mputu k
A_Muara Sangatta B_Teluk Perancis
C_Muara Sangkima
SELAT MAKASSAR
4 4 Kilometers
N E
W S
Zonasi Pemanfaatan Mangrove
0°12 0°12
0°15 0°15
0°18 0°18
0°21 0°21
0°24 0°24
0°27 0°27
0°30 0°30
117°24 117°24
117°27 117°27
117°30 117°30
117°33 117°33
117°36 117°36
117°39 117°39
117°42 117°42
117°45 117°45
tambak nipah
mangrove
Batas TNK Sungai
Zona sylvofishery scylla Stasiun
b
Zona perikanan tangkap scylla
LEGENDA:
SARAWAK KALIMANTAN TIMUR
Disusun oleh: Nirmalasari Idha Wijaya
mayor Pengelolaan SD Pesisir Laut IPB
Sumber Peta: 1. Peta RBI, Bakosurtanal
Tahun 1991, 1:250.000 2. Citra Terra Aster, Tahun 2005
kawasan hutan lain TN Kutai
Mangrove di Teluk Perancis relatif masih utuh dibandingkan dengan Muara Sangatta. Pohon dengan diameter besar masih banyak ditemukan. Penebangan
pohon ditemukan pada beberapa lokasi yang dijadikan tambak. Sebagian besar tambak sudah tidak produktif lagi, dan menjadi lahan kritis. Kerapatan pohon di
Stasiun Teluk Perancis TNK ±550 pohonha, dbh rata-rata 12.87 cm, basal area ±7.421 m
2
Indikator yang menunjukkan bahwa potensi S. serrata di Teluk Perancis rendah adalah laju eksploitasi faktual di atas laju eksploitasi maksimal, ini
menunjukkan bahwa tekanan penangkapan sudah cukup tinggi dan sulit untuk memperoleh kepiting S. serrata di lokasi ini.
ha. Jenis yang dominan adalah Rhizophora apiculata dengan INP = 184.650. Jenis mangrove Rhizophora mempunyai bentuk perakaran tongkat
yang saling menyilang untuk mempertahankan kedudukannya pada substrat yang tidak stabil, demikian juga dengan Bruguiera yang mempunyai jenis perakaran
lutut. Padatnya perakaran ini menyebabkan tidak ada ruang gerak dan ruang untuk membuat lubang persembunyian yang terendam air pada lantai dasar mangrove
bagi S. serrata.
Di sisi lain, kondisi vegetasi mangrove di Teluk Perancis yang relatif lebih bagus dibandingkan mangrove di Muara Sangatta merupakan suatu alasan untuk
menjadikan kawasan ini sebagai zona perlindungan mangrove. Sebagai zona perlindungan mangrove, kawasan ini sekaligus juga merupakan zona perlidungan
kepiting bakau. Artinya, di kawasan ini tidak boleh dilakukan upaya pemanfaatan S. serrata, baik berupa penangkapan maupun pembudidayaan.
5.3.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata
Analisis terhadap laju eksploitasi S. serrata di kawasan mangrove TNK secara umum, kecuali di Muara Sangkima, menunjukkan adanya indikasi tangkap
lebih overexploitation di kawasan ini, sehingga diperlukan pengelolaan perikanan tangkap S. serrata.
Freon et al. dalam Yanuar 2008 menyebutkan bahwa mekanisme pengaturan dalam pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi enam kategori:
pengaturan ukuran ikan; pengaturan kuota, pengaturan kapasitas armada tangkap, pengaturan standar pengusahaan penangkapan ikan, pengaturan musim tangkap,
penutupan area dan penentuan kawasan lindung terkait dengan kawasan penangkapan.
Yanuar 2008 dalam tesisnya menyatakan bahwa aturan optimasi jumlah alat tangkap serta penangkapan ikan tertentu hanya dalam bulan-bulan tertentu,
hanya akan berhasil apabila hal ini diterapkan dalam aturan pengelolaan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Penekanan ini biasanya tidak cukup, karena
umumnya dampaknya tidak segera dirasakan dan ketika dampaknya dirasakan jumlah hasil tangkapan bertambah dan ukuran ikan meningkat akan merangsang
kembali tingkat pemanfaatan yang lebih tinggi. Sanchirico et al. dalam Yanuar 2008 juga menyatakan bahwa kawasan lindung dapat menyediakan
perlindungan terhadap habitat kritis, situs bersejarah serta keanekaragaman hayati namun fungsinya untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dampaknya sering
tidak terlihat. Hal ini terjadi karena fakta bahwa kawasan lindung hanya ’mengobati’ gejalanya tapi tidak mengobati masalah fundamental terjadinya
tekanan pemanfaatan yang tinggi. Diperlukan keterpaduan terhadap kompleksitas interaksi antara faktor-faktor biologi, ekonomi dan institusi. Penekanan diberikan
pada bagaimana memberikan insentif kepada nelayan yang beroperasi di kawasan lindung agar mau berperan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga efektifitas
kawasan lindung, khususnya terhadap peningkatan pengelolaan perikanan, dapat tercapai. Peluang untuk tercapainya tujuan tersebut masih terbuka mengingat
skala usaha nelayan umumnya adalah perikanan skala kecil. Perikanan skala kecil secara ekologis lebih efisien, menghasilkan lapangan kerja yang lebih banyak dan
lebih berkelanjutan dibandingkan perikanan skala besar atau skala industri Pauly dalam Yanuar 2008.
Panayotou 1982 menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti penetapan alat tangkap, penetapan musim, atau penutupan
daerah penangkapan secara sementara atau permanen bertujuan untuk membatasi ukuran dan umur ikan ketika ditangkap. Pendekatan seperti penetapan kuota
bertujuan untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah kepiting bakau yang ditangkap. Bentuk pendekatan lainnya bertujuan membentuk iklim
yang kondusif yang memungkinkan nelayan melakukan sendiri pengendalian dan pengawasan penangkapan kepiting bakau. Langkah-langkah ini selanjutnya akan
menjadi dasar pengelolaan S. serrata pada masing-masing lokasi di TNK, walaupun tidak seluruh langkah ini harus dilakukan, namun perlu melihat kondisi
bioekologi kepiting S. serrata pada lokasi tersebut. Demikian pula yang terjadi di kawasan mangrove TNK, pengelolaan
kawasan hutan mangrove baru akan berhasil bila zonasi pemanfaatan dan pengaturan penangkapan S. serrata dalam kawasan diterapkan secara bersamaan.
Kondisi ekobiologi S. serrata di habitat mangrove TNK telah dipaparkan secara rinci di bab sebelumnya. Beberapa hal dari kondisi ekobiologi tersebut
penting sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan tangkap S. serrata. Perikanan tangkap S. serrata berdasarkan hasil analisis daya dukung dan pertimbangan
kondisi ekobiologi S. serrata hanya bisa dilakukan di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya dan zona
pemanfaatan tangkap. Sedangkan lokasi Teluk Perancis lebih sesuai untuk zona perlindungan mangrove, sekaligus zona perlindungan S. serrata. Beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di lokasi Muara Sangatta dan Muara Sangkima adalah:
1 Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau
Penutupan daerah penangkapan kepiting bakau dilakukan berdasarkan prinsip zonasi pemanfaatan yang telah dibahas sebelumnya. Penangkapan kepiting
bakau S. serrata hanya diijinkan di lokasi Muara Sangkima yang merupakan zona pemanfaatan perikanan tangkap. Di lokasi ini S. serrata dapat ditangkap di dalam
hutan mangrove, sesuai dengan kuota yang telah ditentukan berdasarkan kondisi biologi S. serrata. Zona terbuka dan tertutup bagi penangkapan S. serrata dapat
dilihat pada Gambar 39. Lokasi Teluk Perancis merupakan zona perlindungan yang ditutup bagi
penangkapan kepiting bakau. Demikian juga di lokasi Muara Sangatta, yang disarankan sebagai zona pemanfaatan budidaya TNK, juga tidak boleh dilakukan
penangkapan di dalam areal hutan mangrove. Namun demikian penangkapan benih kepiting di perairan pantai masih memungkinkan karena sudah berada di
luar kawasan TNK.
Gambar 39 Zona Terbuka dan Tertutup bagi Penangkapan Scylla serrata di Kawasan Mangrove TNK.
2 Penutupan Musim Penangkapan Kepiting Bakau
Penutupan musim penangkapan kepiting bakau merupakan pendekatan manajemen yang umumnya dilakukan di negara yang sistem penegakan
hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini berdasarkan sifat sumberdaya kepiting bakau yang sangat bergantung pada musim. Musim kepiting bakau
bergantung pada siklus hidup kepiting bakau yang lahir, besar, dan mati pada waktu tertentu. Dengan mempertimbangkan musim kepiting bakau ini,
manajemen sumberdaya kepiting bakau dengan cara penutupan musim penangkapan dapat dilakukan.
Ada dua bentuk penutupan musim penangkapan kepiting bakau. Pertama, menutup musim penangkapan kepiting bakau pada waktu tertentu untuk me
mungkinkan kepiting bakau dapat memijah dan berkembang. Kedua, penutupan kegiatan penangkapan kepiting bakau karena sumberdaya kepiting bakau telah
mengalami degradasi dan kepiting bakau yang ditangkap semakin sedikit. Oleh b
b
b
S. Nip ah
Labo asam
S .
S. Sirat S. Anang
kapur
S. P ad
an g
S . P
al u
S. Pari S. Keluang
S. Ruh S.
Nag a
S. Kenduung
A_Muara Sangatta
B_Teluk Perancis
C_Muara Sangkima
SELAT MAKASSAR
1 1 Kilometers
N E
W S
ZONA BUKA TUTUP PENANGKAPAN S. SERRATA
0°18 0°18
0°19 0°19
0°20 0°20
0°21 0°21
0°22 0°22
0°23 0°23
0°24 0°24
0°25 0°25
0°26 0°26
117°31 117°31
117°32 117°32
117°33 117°33
117°34 117°34
117°35 117°35
117°36 117°36
117°37 117°37
117°38 117°38
SARAWAK KALIMANTAN TIMUR
Dibuat oleh: Nirmalasari Idha WIjaya
Pengelolaan Pumberdaya Pesisir dan Laut
Kawasan TN Kutai Zona Terbuka
Zona Tertutup Batas tnk
Sungai kecil
LEGENDA :
Sumber Peta: 1. Peta RBI, Bakosurtanal, Tahun 1991
skala 1 : 250 000 2. Citra Terra Aster Tahun 2005
3. Peta Dasar TNK, Balai TNK, Tahun 2005
karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki
populasinya. Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau
pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah
diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup.
Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang
gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret-
April dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil.
Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada
bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim
penangkapan pada bulanFebruari-April. Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat
berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUE
j
Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan RPUEj akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan
meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini
dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.
Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
, puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan catch seperti terlihat pada Gambar 40.
Gambar 40 Dinamika RPUE
j
, kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009.
Kebijakan penutupan musim penangkapan kepiting bakau dapat di- implementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basis-
basis pemukiman nelayan untuk mencegah mereka melakukan kegiatan penangkapan kepiting bakau. Meski demikian, pengawasan langsung di lapangan
atau di daerah penangkapan kepiting bakau masih perlu dilakukan untuk menjamin bahwa penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu,
perlu juga dilakukan pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan konsumen menjadi pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan.
3 Pembatasan alat tangkap kepiting bakau
Kebijakan atau pendekatan pembatasanselektivitas alat tangkap dalam manajemen sumberdaya kepiting bakau adalah metode pemilihan alat
penangkapan kepiting bakau yang bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok kepiting bakau.
Kebijakan ini mempunyai tujuan memberi kesempatan pada kepiting bakau yang produktif untuk bereproduksi dalam rangka mempertahankan keberlanjutan
populasi S. serrata di alam. Dengan kata lain, penangkapan kepiting bakau dilakukan secara selektif hanya pada kepiting bakau yang tidak masuk dalam
kategori ini. Dengan cara demikian, penangkapan kepiting bakau dapat dilakukan secara kontinyu karena kepiting bakau yang tidak ditangkap memiliki kesempatan
untuk bereproduksi dan menghasilkan kepiting bakau muda yang akan berkembang dan memiliki kemampuan bereproduksi. Penangkapan kepiting
bakau secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan kepiting bakau sehingga keberlanjutan sumberdaya kepiting bakau terjamin.
Alat tangkap rakkang, yang cenderung menangkap kepiting yang berukuran kecil, direkomendasikan untuk digunakan pada lokasi zona depan hutan
mangrove TNK. Alasan yang mendasarinya adalah karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga
dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery. Pengaturan yang perlu dilakukan adalah pada ukuran diameter bukaan
mulut rakkang. Diameter mulut rakkang diatur agar berukuran kurang dari 100 mm, sehingga hanya kepiting yang berukuran benih saja yang akan tertangkap,
sedangkan kepiting yang berukuran besar terutama induk betina tidak dapat masuk ke dalam rakkang.
Kepiting berukuran kecil ini bila ditangkap terus menerus akan menyebabkan habisnya stok induk di alam, karena kematian alami dari induk
yang tidak tertangkap. Oleh karena itu, restoking induk dari sebagian hasil panen budidaya sylvofishery merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai
kompensasi atas sumberdaya yang telah diambil dari alam. Alat tangkap rengge, yang cenderung menangkap hasil sampingan berupa
induk S. serrata matang gonade yang sedang beruaya ke laut untuk memijah, sebaiknya tidak digunakan, terutama pada bulan-bulan dimana terjadi puncak
frekuensi induk betina matang gonade. Alat tangkap pengait dapat digunakan pada zona penangkapan kepiting
bakau di tengah hutan mangrove. Alat pengait cukup selektif menangkap kepiting yang berukuran besar. Selain itu penangkapan di zona tengah hutan mangrove
juga berpotensi lebih besar memperoleh kepiting jantan. Penangkapan kepiting jantan akan membantu terbentuknya keseimbangan rasio kepiting jantan : betina
dalam hutan mangrove. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau
sementara waktu, kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya kepiting
bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang.
4 Pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau
Ratio jantan betina pada zona tengah hutan dan depan hutan mangrove yang didominasi oleh kepiting jantan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran
keseimbangan jumlah individu jantan dan individu betina Gambar 41 .
Gambar 41 Rasio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove. Jumlah individu jantan yang mendominasi dari sudut pandang reproduksi
tidak menguntungkan, karena kepiting betina hanya memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting bakau betina memiliki
spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting jantan hingga beberapa bulan Phelan Grubert 2007. Dengan sifatnya ini, maka jumlah jantan yang
lebih banyak dari betina menjadi tidak efektif. Untuk itu disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin
jantan. Penangkapan dengan alat tangkap pengait dapat mendukung saran ini
karena penangkapan di lubang cenderung memperoleh kepiting jantan.
5 pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau
Pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau dapat dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan kepiting
bakau. Namun pada pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di TNK, kuota penangkapan dapat diterapkan sesuai daerah penangkapannya. Laju eksploitasi
kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta, keduanya sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk
penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi
1 0,47
tengah hutan
1 0,85
depan hutan
1 2,5
perairan
jantan betina
penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Kuota tangkapan yang dapat diberikan adalah berkisar antara 6 563 - 10 261 tontahun. Kuota penangkapan ini
diperoleh dari angka pendekatan dari hasil analisis laju eksploitasi, yaitu perkiraan potensi S. serrata sebesar 18 488.80 kgth dikalikan dengan laju eksploitasi
maksimal yang diperbolehkan yaitu terendah 0.355 sampai 0.555. Namun hasil simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kuota tangkapan
setelah ada perbaikan dalam pemanfaatan mangrove, sehingga konversi mangrove yang semakin menurun akan menambah potensi stok S. serrata.
6 Restoking kepiting bakau
Pengendalian yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup dari kepiting bakau dengan tetap menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat adalah
dengan menggunakan metode restoking yaitu perbaikan kondisi kelimpahan kepiting bakau di suatu daerah dengan mengambil jenis kepiting bakau dari
daerah lain untuk ditebarkan di daerah yang mengalami degradasi kepiting bakau. Restoking dapat juga dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari
hasil panen budidaya sylvofishery yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembalian hasil panen, terutama jenis kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan
stok induk betina di alam. Penerapan metode ini dapat dilakukan pada saat penutupan daerah
penangkapan kepiting bakau. Beberapa hal yang harus diketahui untuk menggunakan metode ini adalah pertama, kesesuaian parameter lingkungan
dimana kepiting bakau dapat bertahan hidup diantaranya parameter fisika, kimia dan biologi. Kedua, harus diketahui bioekologi dari kepiting bakau sendiri.
Kelemahan dari metode ini adalah akan terjadi homogenitas spesies karena kebanyakan kepiting bakau yang ditebarkan harus beradaptasi dengan lingkungan
baru sehingga peluang hidupnya akan kecil. Lokasi Muara Sangatta yang melimpah kepiting berukuran kecil menjadi
sumber benih bagi budidaya sylvofishery, dan juga merupakan sumber restoking induk dari hasil budidaya pembesaran sylvofishery untuk ditebar di lokasi lain
Teluk Perancis yang sesuai sebagai zona perlindungan bagi kepiting bakau.
Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan
menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil
panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1 dari hasil panen yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan
meningkatkan produksi sebanyak ± 6 ton pada tahun berikutnya.
5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata
Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya.
Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan
kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove. Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap
menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan
dimana benih awalnya diambil dari alam sampai pada ukuran kepiting mencapai ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari
kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa konstanta pertumbuhan K kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran
sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti
pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata.
Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di
habitat mangrove TNK. Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola
hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh
kebutuhan masyarakat.
Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini, dimana hatchery pembenihan kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya
pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana 2004
larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri
patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu-
satunya pilihan. Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan
benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja
kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu
mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan
sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila
teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka kepiting lunak.
Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m,
dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekorunit atau sebesar 1.5-2.5 ekorm
2
Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor
benih S. serratamusim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari
kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum. .
Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: produksi kepiting bakau empat spesies tahun 2008 = 12.1 ton data statistik
Dinas KP Kutim 2009 bila diasumsikan S. serrata = 80 dari total Cholik Hanafi 1991, maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis
dengan FISAT II diketahui laju eksploitasi maksimum jantan adalah 45.7 dan betina 40.7 rata-rata 43.2 . produksi maksimum S. serrata adalah = 7.26 x
0.455 = 3.033 ton, dengan asumsi per ekor S. serrata = 100 gram, maka tersedia benih = 3.033 x 1.000.000100 = 30 333 ekor benih.
Budidaya sylvofishery direkomendasikan dilakukan di lokasi Muara Sangatta, tidak mesti dilakukan pada kawasan yang masih memiliki vegetasi
mangrove yang baik. Penelitian Triño dan Rodriguez 2002 di Aklan, Philipina menunjukkan bahwa kepiting bakau dapat tumbuh dengan baik di lokasi
mangrove yang sedang direhabilitasi reforested mangrove. Hasil yang paling menguntungkan adalah budidaya dengan kepadatan benih 1.5 ekorm
2
Dengan adanya reforestasi ini, maka minimal akan diperoleh dua keuntungan, yaitu mengembalikan kondisi hutan mangrove menjadi lebih baik
dan keuntungan dari hasil budidaya sylvofishery kepiting bakau untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
dan pemberian pakan campuran 75 kerang coklat dan 25 ikan rucah yang diasin.
Mengacu pada hasil penelitian ini, maka lokasi Muara Sangatta yang banyak terdapat lahan kritis bekas tambak yang tidak produktif lagi, sangat potensial di-
reforestasi untuk budidaya sylvofishery.
5.3.5 Model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK
Model pengelolaan sumberdaya S. serrata dikembangkan melalui
dinamika interkoneksi antar parameter kunci seiring dengan perubahan waktu dari sistem ekologi-ekonomi-sosial yang dikaji dalam penelitian ini. Konsep dasar
perumusan model mengacu pada efek berantai, dimana terjadinya perubahan dalam parameter pengelolaan dapat mempengaruhi sistem keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya S. serrata. Perumusan dalam model yang dibangun didasarkan pada model
matematika sederhana. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Powersim Studio 2005.
Selanjutnya model pengelolaan sumberdaya Scylla serrata ini disebut dengan model CRASYMAN Crab Sylvofishery Management.
Gambar 42 Diagram alir stok SFD model pengelolaan S. serrata di habitat mangrove TNK.
s u b m o d e l m a n g r o v e s u b m o d e l b u d id a y a
s y lv o fis h e r y
s u b m o d e l p e n a n g k a p a n
s u b m o d e l e k o n o m i s u b m o d e l s o s ia l
p e r lu a s a n lu a s _ m g r
Ko n s t a n t a _ p e n a m b h _ m g r v
k o n v e r s i_ m g r v k o n s t _ t a m b a k
t e b a n g _ m g r p r lu a s n _ p m u k im n
z o n a _ p e m a n ft _ m g r fr a k s i_ p e m a n ft _ m g r
DD_ Lin g k HSI
SI _ KA SI _ SUB
SI _ VEG j u m l_ u n it _
k a r a m b a p a n e n _ b d d y
SR_ b d d y
p e n d a p a t a n _ s cy lla fr a k s i r e s t o ck _ in d u k
k e u n t _ b d d y h a r g a _ s cy lla
b ia y a _ b d d y TK
p a k a n b ia y a _ b e n ih
e _ fa ct p r o d u k s i_ s cy l
F Z
M e _ m a x
h a r g a _ b e n ih
k e u n t _ t k p j m l_ k lg
p o t e n s i_ s cy lla p r o s e s _ b d d y
p r o d _ b d d y r e s t o ck _ in d u k
v o l_ p r o d _ b d d y
k e u n t _ t o t a l s t o k _ s cy lla
p e n a m b h _ m g r
s t o k _ b e n ih fr a k s i_ b e n ih
k u o t a _ t k p s t o k _ t k p
b e n ih _ p e r _ k a r a m b a
p e n in g k a t a n _ p e n g e t a h u a n
t k t _ k e s a d a r a n _ lin g k a lo k a s i_ d a n a _
p e n d id ik a n fr a k s i_ d a n a _ p e d d k
p e n g a r u h k e s a d a r n lin g k _ t h d k o n v e r s i
m g r v
fr a k s i_ p e n g a t u r a n _ t a n g k a p
p e n d a p a t a n _ la in p e n g e t a h u a n _
k a d a lu a r s a p e n g a r u h _ d a n a _ p e
n d d k _ t e r h a d a p _ p e n g e t a h u a n
fr a k s i_ p e n g e t a h u a n _ k a d a lu a r s a
p a d a t _ t e b a r _ b e n ih
b ia y a _ t k p p e n g a r u h _ lu a s _
m g r v _ t h d p o t e n s i s cy lla
r e r a t a _ k e lim p h n _ s cy lla
k o n v e r s i_ b io m a s s _ p e r e k o r
k o n v e r s i_ b o b o t _ p a n e n
p r o d _ t k p p e n d p t _ k lg
la j u _ p o t e n s i t a m b a k
r e h a b ilit a s i m g r
2 3 , 1 8 8 . 9 6 k g y r
Langkah awal pengembangan model pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK adalah merumuskan model secara matematis, lalu
memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun dan terakhir dilakukan analisis model.
Nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis
model keberlanjutan pengelolaan sumberdaya S. serrata di habitat mangrove TNK
disajikan pada Tabel 28 dan diagram alir stok disajikan pada Gambar 42.
Tabel 28 Nilai dugaan parameter pada model pengelolaan sumberdaya S. serrata
di habitat mangrove TNK
Submodel dan Parameter Nilai
Dugaan Keterangan
I Submodel Mangrove
1. initial luasan mangrove ha 5277.79
Hasil analisis citra Terra Aster 2005 2. laju perluasan mangrove hath
var 7 – var 6 3. penebangan kayu mangrove hath 12.25
Analisis trendrata-rata
4. perluasan pemukiman hath 13
Analisis trendrata-rata 5. pembukaan tambak hath
10 Analisis trendrata-rata
6. laju konversi mangrove hath var 3 + var 4 + var 5
7. pertambahan luas mangrove hath 0.257
var 1 var 9 8.zona pemanfaatan mangrove ha
1 028.85 var 1 var 10
9. konstanta pertambahan luas th 0.05
Data sekunder Laju akresi 10. konstanta fraksi zona
pemanfaatan mangrove 20
Dahuri 2003 11. Habitat Suitability Index HSI
tanpa unit satuanTS 0.622 Hasil Analisis HSI Data Primer
Yang Diolah 2009 12. daya dukung lingk untuk S.
serrata kgth 19 688.60
var 11 var 10 var 24
II Submodel Penangkapan S. serrata
13. potensi S. serrata kgth 22 192.43
Analisis Deskriptif Data Primer Yang Diolah 2009
14. produksi tangkapan S. serrata per tahun kgth
6 800 Analisis Deskriptif series data
diolah 2005-2009 15. laju potensi S. serrata
18 488.80 16. laju eksploitasi faktual TS
0.556 Z F
17. Z = total laju mortalitas TS 2.41
Hasil olahan FISAT Data Primer Yang Diolah 2009
18. M = laju mortalitas alami TS 1.07
Hasil olahan FISAT Data Primer Yang Diolah 2009
19. F = laju mortalitas penangkapan TS
1.34 Var 17 – var 18
20. fraksi pengaturan tangkap 100
Asumsi kebijakan penangkapan 100
21. rerata eksploitasi maksimal TS 0.455
Hasil olahan FISAT Data Primer Yang Diolah 2009
Submodel dan Parameter Nilai
Dugaan Keterangan
22. stok total S. serrata kgth 10 030.98
var13 var 21 23. stok tangkapan S. serrata kgth
4 011.96 Stok total – stok benih
24. rerata kelimpahan S. serrata kgha.th
43.1 var 13 var 1
III Submodel Budidaya S. serrata
25. jumlah unit karamba unit 490
var 12 var 25 26. konstanta padat tebar benihunit
kgunit 30
Triño Rodriguez 2002 27. stok benih untuk budidaya kgth
6 018.59 var 22 var 28
28. fraksi stok benih 60 Scientist
judgement 29. ketersediaan padat tebar benih
budidaya kgunit 60
var 27 var 25 30. SR budidaya TS
0.76 Hasil analisis data primer 2010
31. konversi biomass per ekor ekorkg
4 Hasil analisis data primer 2010
32. panen budidaya ekorth 117 884
Var 29var 30var 31 33. fraksi restoking induk
1 Warner 1977
34. restoking induk S. serrata ekorth
1 167 var 33var 34
35. produksi budidaya ekorth Konversi produksi bddy kgth
116 705 29 176.25
var 32 – var 34 36. total biaya budidaya IDRth
452 197 398 var 37 + var 38 + var 39 37. biaya benih IDRth
177 197 398 Hasil analisis data primer 2010 38. biaya Tenaga Kerja TK
IDRth 150 000 000 Hasil analisis data primer 2010
39. biaya pakan IDRth 125 000 000 Hasil analisis data primer 2010
IV Submodel Ekonomi
40. harga ekspor S. serrata IDRkg 35 000 Hasil analisis data 2010
41. biaya penangkapan 30
Asumsi 42. keuntungan penangkapan S.
serrata IDRth 84 251 133 var 23var 40-var 41
43. keuntungan budidaya S. serrata IDRth
568 971 352 var 35var 40-var 36 44. keuntungan total IDRth
653 222 485 var 42 + var 43
V Submodel Sosial
45. potensi jumlah pembudidaya KK
60 Hasil analisis kuisioner 2009 46. pendapatan keluarga IDRth
var 44var 45 + var 47 47. pendapatan sumber lain IDRth
500 000 Asumsi 48. fraksi dana pendidikan
15 Hasil analisis kuisioner 2009 49. alokasi dana pendidikan IDRth
1 703 740 var 46var 48
50. pengaruh dana pendidikan terhadap pengetahuan masyarakat
TS Hasil analisis regresi berdasarkan
asumsi 51. pengaruh pengetahuan terhadap
peningkatan kesadaran lingkn Asumsi
Nilai level stock, laju rate, variabel auxiliary dan konstanta dari masing- masing submodel yang tercantum pada Tabel 28 dapat dijelaskan sebagai berikut:
5.3.5.1 Submodel mangrove
Submodel mangrove menggambarkan dinamika meningkatmenurunnya luasan dan kualitas hutan mangrove di TNK. Submodel dibangun dari elemen luas
mangrove, zona pemanfaatan mangrove, laju perluasan mangrove yang dipengaruhi oleh laju konversi dan laju penambahan luas mangrove, kondisi
habitat yang mempengaruhi indeks kesesuaian lingkungannya HSI, dan pengaruh tingkat kesadaran lingkungan terhadap konversi mangrove. Dengan
menggunakan alat bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan
secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel mangrove seperti diperlihatkan pada Gambar 43.
Luas areal mangrove akan meningkat atau menurun dipengaruhi oleh laju perluasan mangrove. Laju perluasan mangrove sendiri akan naik atau turun
dipengaruhi oleh besarnya konversi mangrove menjadi penggunaan lain dan penambahan luas mangrove oleh akresi atau pun kegiatan rehabilitasi mangrove.
Bila laju konversi mangrove lebih besar dibanding laju penambahannya, maka yang terjadi adalah stok luas mangrove akan terus menerus menurun.
Gambar 43 Diagram alir stok SFD submodel habitat mangrove.
su b mo d e l ma n g ro ve
p e rlu a sa n lu a s_ mg r
Ko n st a n t a _ p e n a mb h _ mg rv
ko n ve rsi_ mg rv ko n st _ t a mb a k
t e b a n g _ mg r p rlu a sn _ p mu kimn
zo n a _ p e ma n ft _ mg r fra ksi_ p e ma n ft _ mg r
DD_ Lin g k
HSI SI _ KA
SI _ SUB SI _ VEG
p e n a mb h _ mg r
p e n g a ru h _ lu a s_ mg rv_ t h d p o t e n si
scylla t a mb a k
re h a b ilit a si mg r
Initial luas awal habitat mangrove ditentukan berdasarkan hasil analisis Citra Terra Aster Tahun 2005, yaitu seluas 5 277.779 ha. Adanya pemanfaatan
mangrove untuk penggunaan lain, yaitu menjadi tambak, perluasan pemukiman, dan penebangan pohon mangrove, telah menyebabkan terjadi konversi mangrove.
Untuk itu perlu adanya perbaikan pola pemanfaatan mangrove yang merusak mengkonversi mangrove agar laju konversi ini dapat diturunkan, bahkan bila
perlu tidak terjadi konversi mangrove lagi. Kesadaran lingkungan yang diasumsikan semakin meningkat dengan
adanya peningkatan pengetahuan melalui pendidikan formal, akan mempengaruhi pola pemanfaatan mangrove oleh masyarakat pembudidaya. Bila semula
menggunakan mangrove untuk membuka tambak, maka selanjutnya akan menggunakan mangrove sebagai lahan budidaya kepiting bakau, sehingga tidak
perlu membuka mangrove lagi. Selain itu, peningkatan kesadaran lingkungan juga akan mendorong masyarakat untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah
terdegradasi. Dengan adanya penurunan laju pembukaan tambak dan upaya rehabilitasi akan meningkatkan kembali luas hutan mangrove.
Luas zona pemanfaatan mangrove merupakan implikasi dari kebijakan yang mengijinkan adanya pemanfaatan terbatas di kawasan Taman Nasional
Kutai. Kebijakan ini dapat berupa persentase kawasan TN yang akan dialokasikan untuk pemanfaatan. Interfensi kebijakan ini sangat besar pengaruhnya dalam pola
pemanfaatan mangrove, karena akan mempengaruhi besarnya daya dukung kawasan, pada penelitian ini daya dukung kawasan adalah untuk pemanfaatan
budidaya sylvofishery. Selain luasnya zona pemanfaatan, daya dukung budidaya sylvofishery juga
sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, yang digambarkan dengan indeks kesesuaian lingkungan HSI. HSI terdiri atas komponen-komponen: kualitas
perairan, kualitas tekstur substrat, dan kualitas vegetasi. Bila kondisi lingkungan baik, maka HSI juga akan meningkat.
5.3.5.2 Submodel Penangkapan S. serrata
Submodel penangkapan S. serrata menggambarkan dinamika potensi stok S. serrata
yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Submodel dibangun
oleh parameter potensi produksi kepiting bakau, laju eksploitasi faktual dan laju eksploitasi maksimal, laju kematian alami, laju kematian karena penangkapan,
stok S. serrata total, kuota tangkapan S. serrata, besarnya restok induk betina, pengaruh luas mangrove terhadap stok S. serrata. Dengan menggunakan alat
bantu powersim studio 2005, semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik
menghasilkan diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 44.
Gambar 44 Diagram alir stok submodel penangkapan S. serrata.
5.3.5.3 Submodel Budidaya Sylvofishery S. serrata
Submodel budidaya S. serrata merupakan skenario yang dibangun untuk menata kelola zona pemanfaatan di kawasan mangrove TNK. Karena pada
kondisi saat ini, budidaya sylvofishery belum dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat. Namun telah dilakukan introduksi teknologi budidaya sylvofishery
pada masyarakat saat penelitian berlangsung, dengan hasil yang cukup baik. Data yang diperoleh dari introduksi ini digunakan untuk nilai dugaan dalam
membangun submodel budidaya sylvofishery. Submodel sylvofishery terdiri atas elemen daya dukung lingkungan,
jumlah unit karamba yang dapat dibangun, berlangsungnya proses budidaya yang
sub model penangkapan e_fact
produksi_scyl
F Z
M e_max
pot ensi_scylla st ok_scylla
kuot a_t kp st ok_t kp
fraksi_pengat uran_ t angkap
rerat a_kelimphn_ scylla
prod_t kp laju_pot ensi
dipengaruhi oleh biomassa dan survival rate SR, elemen panen budidaya, restok induk yang dipengaruhi oleh besarnya fraksi restok, parameter-parameter input
produksi yang meliputi biaya benih, tenaga kerja, dan pakan. Semua peubah- peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan
diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery S. serrata seperti diperlihatkan pada Gambar 45.
Gambar 45 diagram alir stok submodel budidaya sylvofishery.
5.3.5.4 Submodel ekonomi S. serrata
Submodel ekonomi S. serrata menggambarkan dinamika keuntungan yang diperoleh masyarakat bila memanfaatkan sumberdaya S. serrata. Produk kepiting
dari hasil tangkapan dan panen budidaya pembesaran kepiting merupakan salah sumber pendapatan bagi masyarakat, namun nilainya sangat tergantung dari harga
yang terbentuk di pasar. Asumsinya semakin tinggi harga pasar, maka tingkat pendapatan nelayanpetani akan semakin meningkat. Bila produksi ini dikalikan
harga, maka akan diperoleh sebagai keuntungan π. Keuntungan dihitung sebagai
Total Revenue TR dikurangi Total Cost TC.
sub model budidaya sylvofishery
DD_Lingk juml_ unit _
karamba panen_bddy
SR_bddy
fraksi rest ock_induk biaya_bddy
TK pakan
biaya_benih harga_benih
proses_bddy prod_bddy
rest ock_induk
vol_prod_bddy st ok_benih
fraksi_benih benih_per_
karamba padat _t ebar_
benih konversi_biomass_
per ekor
konversi_berat _ panen
Keuntungan total dari pemanfaatan S. serrata merupakan penjumlahan dari keuntungan yang diperoleh dari penangkapan dan keuntungan dari budidaya.
Keuntungan total ini juga menjadi pendapatan masyarakat yang diperoleh dari sumberdaya S. serrata. Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok submodel ekonomi pemanfaatan S. serrata seperti
diperlihatkan pada Gambar 46.
Gambar 46 diagram alir stok submodel ekonomi pada pemanfaatan S. serrata.
5.3.5.5 Submodel sosial
Submodel sosial merupakan gambaran dari pengaruh pendapatan terhadap tingkat kesadaran lingkungan masyarakat. Peningkatan pendapatan keluarga akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan melalui jenjang pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh masyarakat. Asumsinya, semakin tinggi jenjang pendidikan formal
yang diperoleh, tingkat pengetahuan masyarakat akan semakin meningkat. Selanjutnya tingkat pengetahuan ini akan mempengaruhi kesadaran lingkungan
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove TNK dalam pola pemanfaatan ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove akan
berubah sesuai dengan tingkat kesadaran masyarakat dan peraturan perundangan atau kebijakan pemerintah yang berlaku dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Semua peubah-peubah ini berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dan diformulasikan secara numerik menghasilkan diagram alir stok
submodel sosial seperti diperlihatkan pada Gambar 47.
sub mode l ekon omi
pe ndapa t an keun t _b ddy
harga_ scylla biaya_bdd y
keunt _t kp vo l_prod_ bddy
keun t _t ot al biaya_t kp prod_t kp
Gambar 47 diagram alir stok submodel sosial pada pemanfaatan S. serrata.
5.3.6 Skenario Pengelolaan S. serrata di Habitat Mangrove TNK
Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang dapat dilakukan pada kondisi di lapangan untuk mempengaruhi perilaku parameter pada
suatu sistem pemodelan.
5.3.6.1 Analisis skenario dasar
Analisis skenario dasar base case scenario menguraikan perilaku sumberdaya yang digambarkan oleh parameter luas mangrove, stok S. serrata,
panen budidaya sylvofishery, peningkatan pendapatan dari S. serrata, berdasarkan kondisi nyata pada saat ini, hasil analisis terhadap skenario dasar dan simulasi
kondisi sampai 20 tahun mendatang tahun 2010-2030 disajikan pada gambar 48. Gambar 48 menunjukkan bahwa berdasarkan data riil yang disimulasikan
hingga 20 tahun ke depan, luasan mangrove cenderung terus menurun. Sementara itu, stok S. serrata masih ada kemungkinan untuk meningkat hingga sekitar tahun
2018, namun setelah itu akan cenderung menurun. Data statistik Dinas Kelautan Kabupaten Kutai Timur menunjukkan hasil tangkapan kepiting bakau secara
umum 4 spesies masih terus meningkat, yaitu pada tahun 2006 sebesar 11.4 ton hingga tahun 2008 menjadi 12.1 ton. Namun demikian penurunan luasan
su b mo d e l so sia l
j ml_ klg p e n in g ka t a n _ p e n g e
t a h u a n t kt _ ke sa d a ra n _ lin g k
a lo ka si_ d a n a _ p e n d id ika n
fra ksi_ d a n a _ p e d d k p e n g a ru h ke sa d a rn
lin g k_ t h d ko n ve rsi mg rv
p e n d a p a t a n _ la in p e n g e t a h u a n _
ka d a lu a rsa p e n g a ru h _ d a n a _ p e
n d d k_ t e rh a d a p _ p e n g e t a h u a n
fra ksi_ p e n g e t a h u a n _ ka d a lu a rsa
p e n d p t _ klg
mangrove dan penangkapan kepiting bakau yang tidak terkendali diperkirakan dapat menurunkan stok S. serrata setelah tahun 2018 ke depan. Penurunan stok S.
serrata ini berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan, yang juga ikut menurun karena hasil tangkapan menurun. Sehingga dapat dikatakan bila menggunakan skenario dasar, maka pengelolaan
sumberdaya di hutan mangrove TNK tidak akan berkelanjutan, baik bagi sumberdaya vegetasi hutan maupun bagi sumberdaya kepiting bakau S. serrata.
Gambar 48 hasil simulasi skenario dasar pengelolaan S. serrata di TNK. Luas awal habitat mangrove ditentukan dari hasil analisis Citra Terra Aster
Tahun 2005, yaitu seluas 5 277 ha, Hasil simulasi menggunakan skenario dasar menunjukkan pada tahun 2030 diperkirakan luas mangrove tersebut tersisa
4 926.28 ha. Potensi produksi S. serrata di habitat mangrove TNK, diperkirakan dari
produksi tangkapan kepiting di area tersebut selama setahun sebagai potensi faktual yang telah dieksploitasi ditambah dengan sisa potensi yang belum
dieksploitasi. Produksi yang diperoleh pada tahun 2008 pada tingkat eksploitasi faktual 0.556 adalah sebesar 6 800 kgth. Sehingga potensi S. serrata di habitat
mangrove TNK pada tahun 2030 diduga sebesar 22 192.43 kgth. Potensi S. serrata
ini merupakan penurunan dari potensi yang semula sebesar 27 374.13
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 5,000
5,100 5,200
ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 6 , 0 0 0
9 , 0 0 0 1 2 , 0 0 0
k g yr
s to
k _
s c
y ll
a
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 5
2 , 0 0 0 , 0 0 0 4 , 0 0 0 , 0 0 0
6 , 0 0 0 , 0 0 0 8 , 0 0 0 , 0 0 0
ru p ia h KK p e r KK
p e
n d
p t_
k lg
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 1
2 3
4 5
6 7
tk t_
k e
s a
d a
ra n
_ li
n g
k
kgth. Namun, potensi ini dapat berubah dengan adanya masukan induk dari restoking budidaya sylvofishery, sehingga dalam perhitungan potensi dimasukkan
juga input restok induk betina dan pengaruh dari penambahan luas area mangrove.
5.3.6.2 Identifikasi parameter kunci
Hasil simulasi kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem saat ini memberikan ancaman bagi kelestarian habitat mangrove dan keberlanjutan
sumberdaya S. serrata yang ada di dalamnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu skenario strategi yang dapat mengendalikan pola pemanfaatan yang
merusak habitat mangrove di TNK. Identifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya
mengoptimasikan pemanfaatan S. serrata secara berkelanjutan dilakukan berdasarkan hasil uji sensitivitas. Uji sensitivitas dilakukan untuk memilih
parameter kunci, yang berpengaruh besar terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Uji sensitivitas pada dasarnya mengasumsikan kemungkinan- kemungkinan suatu kondisi yang terjadi di dunia nyata dan pilihan-pilihan
kebijakan yang mungkin dilakukan oleh pengambil keputusan. Uji sensitivitas model pada penelitian ini menggunakan parameter yang berpengaruh tinggi
terhadap kinerja sistem, yaitu fraksi zona pemanfaatan mangrove submodel mangrove, fraksi stok untuk benih budidaya submodel penangkapan, fraksi
alokasi dana pendidikan submodel sosial, dan harga S. serrata submodel ekonomi. Metode yang dipakai untuk melihat kepekaan parameter tersebut
dengan best–worst case scenario Sterman 2000. Setiap perubahan parameter, dalam hal ini dinaikkan diturunkan sebesar 10 dari nilai parameter skenario
dasar, akan dilihat responnya terhadap perubahan parameter utama. Bila terbukti perubahan pada parameter tersebut mengakibatkan perubahan yang nyata pada
parameter lain, maka parameter-parameter tersebut akan dianggap sebagai parameter kunci key variable. Gambar 49 dan 50 merupakan grafik hasil uji
sensitivitas dari simulasi Powersim.
Gambar 49 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci dinaikkan 10. Gambar 49 menunjukkan adanya peningkatan luas mangrove pada tahun
2020 saat variabel kunci dinaikkan 10. Sedangkan Gambar 50 menunjukkan bila variabel kunci diturunkan 10 maka luas mangrove yang tersisa pada tahun
2030 tinggal 4 580.75 ha, menurun dari skenario dasar semula seluas 4 926.28 ha.
Gambar 50 perbandingan luas mangrove saat parameter kunci diturunkan 10. Berdasarkan hasil uji sensitivitas tersebut, maka parameter fraksi zona
pemanfaatan mangrove, fraksi stok untuk benih budidaya, fraksi alokasi dana pendidikan, dan harga S. serrata , digunakan sebagai parameter yang akan
diintervensi sebagai faktor yang berpengaruh pada kondisi yang akan terjadi di masa depan.
Deskripsi dari masing-masing parameter kunci dan hubungan interkoneksinya dengan parameter yang lain adalah sebagai berikut:
a Fraksi zona pemanfaatan mangrove adalah kebijakan yang mengatur berapa
bagian dari luas mangrove seluruhnya yang dapat digunakan untuk zona pemanfaatan. Dahuri 2003 mengusulkan 20 dari kawasan yang dilindungi
dapat digunakan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui peraturan perundangan.
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 4,800
4,900 5,000
5,100 5,200
ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 5,100
5,150 5,200
5,250 ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 4,700
4,800 4,900
5,000 5,100
5,200 ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2 0 1 0 1 1 2 0 2 0
1 1 2 0 3 0 4,600
4,700 4,800
4,900 5,000
5,100 5,200
ha
lu a
s _
m g
r
b Fraksi stok untuk benih budidaya adalah pembagian dari stok S. serrata total
yang digunakan untuk keperluan budidaya. Bagian yang lain adalah stok S. serrata
yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap konsumsi langsung jual. Fraksi stok ini dapat diatur pembagiannya dalam kebijakan kuota perikanan
tangkap. c
Fraksi alokasi dana pendidikan adalah bagian dari pendapatan keluarga yang dialokasikan untuk biaya pendidikan. Umumnya pada keluarga nelayan bagian
ini rendah sekali, tidak mencapai 10 dari pendapatan. Pada masyarakat yang berpendapatan rendah alokasi yang paling besar masih untuk kebutuhan
makanan Sukardi 2009. Namun bila terjadi peningkatan pendapatan bagian ini menjadi lebih kecil dan alokasi untuk kebutuhan lain seperti pakaian dan
pendidikan akan meningkat. d
Harga S. serrata yang digunakan disini adalah harga S. serrata untuk pasar ekspor. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa bila S. serrata cukup banyak
diproduksi maka dapat memenuhi kebutuhan ekspor yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Skenario kebijakan pemanfaatan sumberdaya S. serrata disusun berdasarkan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Selanjutnya dari
masing-masing kondisi tersebut dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar berbagai kondisi tersebut. Kombinasi-kombinasi tersebut disusun untuk
memperoleh tiga bentuk skenario, yaitu: 1 skenario optimistik, 2 skenario moderat, dan 3 skenario pesismistik. Tabel 29 menyajikan keterkaitan antara
parameter kebijakan dengan perkiraan kondisi yang akan terjadi di masa depan. Jenis skenario untuk kebijakan pemanfaatan kepiting bakau S. serrata di
habitat mangrove TNK yang dapat disusun lebih dari tiga kombinasi. Namun untuk mencari kondisi yang optimal dari berbagai kondisi, ketiga kombinasi
tersebut dipilih sebagai kemungkinan yang paling besar terjadi di masa depan.
Tabel 29 Keterkaitan antar parameter dan kondisi state untuk skenario kebijakan. No Faktor
Kondisi di masa mendatang 1 Fraksi
zona pemanfaatan
1A 1B
20 1C
40 Tidak ada zona
Pemanfaatan, seperti kondisi
saat ini Sesuai teori
yang berlaku di kalangan
akademisi saat ini
Terjadi peningkatan karena kebutuhan SDA
lebih besar, sehingga ada kebijakan peningkatan
luas zona pemanfaatan mangrove
2 Fraksi stok untuk benih budidaya
2A 2B
40 2C
60 Tidak
ada stok
untuk sylvofishery Peningkatan
fraksi untuk budidaya
Lebih diutamakan stok untuk benih budidaya,
karena lebih menguntungkan
3 Fraksi alokasi
dana pendidikan 3A
10 3B
15 3C
20 Alokasi
menurun karena
pendapatan berkurang
Tetap seperti saat ini
Pendapatan yang diperoleh dari
pemanfaatan S. serrata meningkat
4 Harga S. serrata
4A Menurun
4B tetap
4C Meningkat
Preferensi konsumen
menurun Tetap seperti
kondisi saat ini Peningkatan permintaan
konsumen
Berdasarkan berbagai kondisi tersebut, disusun kombinasi untuk tiga kemungkinan skenario Tabel 30.
Tabel 30 Skenario dan kombinasi antar faktor dan kondisi.
No. Skenario
Kombinasi kondisi parameter
1 Pesimistik
1A, 2A, 3B, 4A 2
Moderat 1B, 2B, 3B, 4C
3 Optimistik
1C, 2C, 3C, 4C
5.3.6.3 Skenario Pesimistik
Skenario pesimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1 tidak ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan, 2 tidak
ada alokasi benih untuk sylvofishery seluruh stok hanya untuk penangkapan, 3 alokasi dana untuk pendidikan tetap 15 dari pendapatan keluarga seperti kondisi
saat ini, 4 harga S. serrata menurun menjadi harga lokal karena permintaan ekspor berkurang.
Penerapan skenario pesimistis ini akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut:
1 Terjadi penurunan luas mangrove, hingga tahun 2030 mangrove yang tersisa
seluas 4 554,54 ha; 2
Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 9 519,93 kgth pada tahun 2030. Grafik hasil simulasi skenario pesimistik disajikan pada Gambar 51.
Gambar 51 Grafik hasil simulasi skenario pesimistik.
5.3.6.4 Skenario Moderat
Skenario moderat dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1 ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 20 dari luas
total hutan mangrove, 2 benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 40 dari total stok kepiting yang diduga, 3 alokasi dana untuk pendidikan tetap 15 dari
pendapatan keluarga, 4 harga S. serrata meningkat 10 dari harga semula karena permintaan ekspor meningkat.
1 1 2010 1 1 2020
1 1 2030 4,600
4,800 5,000
5,200 ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2010 1 1 2020
1 1 2030 4,000
6,000 8,000
10,000 12,000
k g yr
s to
k _
s c
y ll
a
Penerapan skenario moderat akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut:
3 Mangrove yang awalnya seluas 5 277.79 ha tahun 2010, mengalami
penurunan luas hingga 5 134.56 ha pada tahun 2018, namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 236.33 ha tahun 2030;
4 Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 030,98 kgth pada tahun 2030,
namun penurunan ini masih lebih lambat dibanding pada skenario pesismistik. Grafik hasil simulasi skenario moderat disajikan pada Gambar 52.
Gambar 52 Grafik hasil simulasi skenario moderat.
5.3.6.5 Skenario Optimistik
Skenario optimistik dibangun berdasarkan kondisi parameter kunci sebagai berikut: 1 ada alokasi mangrove untuk zona pemanfaatan sebesar 30
dari luas total hutan mangrove, 2 benih untuk sylvofishery dialokasikan sebesar 60 dari total stok kepiting yang diduga, 3 alokasi dana untuk pendidikan
meningkat menjadi 20 dari pendapatan keluarga, 4 harga S. serrata meningkat 10 dari harga semula karena permintaan ekspor meningkat.
Penerapan skenario optimistik ini akan memberikan implikasi terhadap sumberdaya sebagai berikut:
1 Mangrove mengalami penurunan luas hingga 5 175.42 ha pada tahun 2018,
namun setelah itu terjadi peningkatan lagi hingga menjadi seluas 5 288.05 ha tahun 2030, dan menjadi stagnan;
1 1 2010 1 1 2020
1 1 2030 5,150
5,200 5,250
ha
lu a
s m
g r
1 1 2010 1 1 2020 1 1 2030
4,000 6,000
8,000 10,000
12,000 k g yr
s to
k s
c y
ll a
2 Terjadi penurunan stok S. serrata menjadi 10 124.32 kgth pada tahun 2030,
penurunan ini lebih lambat dibanding penurunan pada skenario moderat. Grafik hasil simulasi skenario optimistik disajikan pada Gambar 53.
Gambar 53 Grafik hasil simulasi skenario optimistik.
Berdasarkan hasil simulasi dengan ketiga skenario tersebut, implikasi menunjukkan bahwa skenario optimistik menunjukkan kinerja model yang lebih
berkelanjutan untuk pengelolaan hutan mangrove di TNK bila dilakukan dengan pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya Scylla serrata.
5.4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sylvofishery Kepiting Bakau di
Kawasan Mangrove TNK
Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau Scylla serrata dipertimbangkan dari empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi
dimensi sosial dan dimensi kelembagaan. Dalam setiap dimensi terdiri atas beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan
selanjutnya akan diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling MDS. Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi,
selanjutnya analisis MDS ini disebut Rap-CRASYMAN Rapid Assesment Techniques for Crab Sylvofishery Management
. Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pengelolaan kepiting
bakau di kawasan mangrove TNK. Hasil survei dan pengukuran terhadap masing- masing atribut per dimensi di disajikan pada Tabel 31.
1 1 2010 1 1 2020
1 1 2030 5,200
5,250 ha
lu a
s _
m g
r
1 1 2010 1 1 2020
1 1 2030 4,000
6,000 8,000
10,000 12,000
k g yr
s to
k _
s c
y ll
a
Tabel 31 Skor atribut dari empat dimensi pengelolaan sylvofishery kepiting bakau di TNK.
No Dimensi dan Atribut
Skor Baik
Buruk Realitas
saat ini Keterangan
A.
Dimensi Ekologi
1. Kerapatan vegetasi
mangrove 0; 1; 2
2 Sedang11` =
skor 1 0= jarang; 1= sedang;
2= sangat rapat 2. Potensi
stok kepiting
bakau 0; 1; 2
2 Menurun =
skor 1 0= habis; 1= menurun;
2= meningkat 3. Laju
eksploitasi kepiting bakau
0; 1; 2 2
Lebih dari E-maks =
skor 0 0= lebih dari E-maks;
1= sama dgn E-maks; 2= kurang dari E-maks
4. Daya dukung
mangrove bagi budidaya sylvofishery
S. serrata 0; 1; 2
2 antara 0.5-
7.5 = skor 1 0= kurang dari 0.5;
1= antara 0.5-7.5 ; 2= lebih dari 7.5
5. Ketersediaan lahan
kritis mangrove untuk sylvofishery
0; 1; 2 2
lebih luas = skor 2
0= kurang luas; 1= sama luas; 2= lebih luas
dibandingkan kebutuhan sylvofishery
B. Dimensi Ekonomi
1. Kuota tangkapan
kepiting bakau kgbulan
0; 1; 2 2
100-1000 kg = skor 1
0= kurang dari 100 kg; 1=100-1000 kg; 2 =
lebih dari 1000 kg
2. Harga produk
kepiting bakau Rpkg
0; 1; 2 2
Trend meningkat=
skor 2 0= trend menurun; 1 =
tetap; 2= trend meningkat
3. Keuntungan pembudidaya
sylvofishery kepiting
bakau Rptahun 0; 1; 2
2 Lebih besar
= skor 2 0= lebih kecil; 1 =
sama; 2 = lebih besar dibanding keuntungan
budidaya tambak
4. Keuntungan nelayan
penangkapan kepiting bakau Rptahun
0; 1; 2 2
Sama = skor 1
0= lebih kecil; 1 = sama; 2 = lebih besar
dibanding keuntungan budidaya tambak
5. Permintaan pasar
ekspor thd kepiting bakau
0; 1; 2 2
trend meningkat =
skor 2 0= trend menurun; 1 =
tetap; 2= trend meningkat
No Dimensi dan Atribut
Skor Baik
Buruk Realitas
saat ini Keterangan
C. Dimensi Sosial
1. Pengetahuan masyarakat tentang
pengelolaan mangrove
0; 1; 2 2
25-75 = skor 1
0 = 25 ; 1 = 25- 75; 2 = 75
2. Penerimaan masyarakat pada
usaha budidaya sylvofishery
0; 1; 2 2
75 = skor 2 0 = 25 ; 1 = 25- 75; 2 = 75
3. Kemampuan teknologi masyarakat
dalam pemanfaatan kepiting bakau
0; 1; 2 2
Rendah = skor 0
0= rendah; 1= sedang; 2= tinggi
4. Potensi konflik
budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan
lain 0; 1; 2
2 5 sektor =
skor 0 0 = 5 sektor; 1 = 2-5
sektor; 2 = 2 sektor
5. Potensi penyerapan tenaga kerja
0; 1; 2 2
meningkat = skor 2
0= menurun; 1= konstan; 2= meningkat
6. Dukungan elemen
pemerintah dalam pengelolaan mangrove
berkelanjutan 0; 1; 2
2 2 sektor =
skor 0 0 = 2 elemen; 1 = 2-5
elemen; 2 = 5 elemen
D. Dimensi Kelembagaan
1. Keberadaan aturan
pengelolaan ekosistem mangrove
0; 1; 2 2
tdk ada = skor 0
0= tdk ada; 1=ada, tdk dilaksanakan; 2= ada,
dilaksanakan
2. Keberadaan lembaga
masyarakat untuk pengelolaan mangrove
0; 1; 2 2
Ada, aktif = skor 2
0= tdk ada; 1=ada, tdk aktif; 2= ada, aktif
3. Zonasi kawasan
mangrove TNK 0; 1; 2
2 tdk ada =
skor 0 0= tdk ada; 1=ada, tdk
dilaksanakan; 2= ada dilaksanakan
4. Adanya otoritas
lembaga pengelola TNK
0; 1 1
ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada
No Dimensi dan Atribut
Skor Baik
Buruk Realitas
saat ini Keterangan
5. Penegakan hukum
oleh aparat bagi pelanggar
0; 1; 2 2
hanya sebagian=
skor 1 0= tdk ada; 1= hanya
sebagian kasus; 2= seluruh kasus
6. Dukungan perusahaan
Mitra TNK 0; 1
1 ada = skor 1 0= tdk ada; 1= ada
5.4.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Kepiting Bakau
Analisis dengan MDS ini menghasilkan status dan indeks keberlanjutan pengelolaan sylvofishery di kawasan mangrove TNK. Status Keberlanjutan yang
dimaksud adalah apakah pengelolaan sylvofishery saat ini telah efektif dan akan berkelanjutan berdasarkan keempat dimensi pengelolaan yang dikaji dan indeks
yang diperoleh Gambar 54.
Gambar 54 Diagram layang-layang pengelolaan sylvofishery di kawasan mangroveTNK.
Hasil analisis dengan Rap-CRASYMAN diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 46.640 dengan status kurang berkelanjutan,
dimensi ekonomi sebesar 76.422 dengan status berkelanjutan, dimensi sosial
DI AGRAM LAYAN G- LAYAN G SYLVOFI SH ERY
38.829 46.640
76.422 60.626
20 40
60 80
100
Dimensi Ekologi
Dimensi Ekonomi
Dimensi Sosial Dimensi Kelembagaan
sebesar 38.829 dengan status kurang berkelanjutan, dan dimensi kelembagaan sebesar 60.626 dengan status cukup berkelanjutan. Indeks ini merupakan
gambaran keberlanjutan dari masing-masing atribut berdasarkan pengelolaan saat ini. Untuk memperoleh peningkatan status menjadi berkelanjutan, maka masa
yang akan datang perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut-atribut pada masing- masing dimensi tersebut.
5.4.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Status keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah ‘kurang berkelanjutan’. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1
Kerapatan vegetasi mangrove; 2 Potensi stok kepiting bakau; 3 Laju eksploitasi kepiting bakau; 4 Daya dukung lingkungan mangrove bagi budidaya
sylvofishery ; 5 Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk sylvofishery. Dari
kelima atribut tersebut, setelah dilakukan leveraging analysis, diketahui bahwa atribut yang cukup sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah
laju eksploitasi kepiting bakau Gambar 55. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga bila dilakukan perbaikan pada
atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhannya.
Gambar 55 Peran masing-masing atribut dimensi ekologi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS Root
Mean Square .
Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi
0.30 2.01
9.77 3.47
2.49
2 4
6 8
10 12
Kerapatan vegetasi mangrove
Potensi stok kepiting bakau
Laju eksploitasi kepiting bakau
Daya dukung lingkungan mangrove
bagi budidaya sylvofishery
Ketersediaan lahan kritis mangrove untuk
sylvofishery
A ttr
ib u
te
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d on Susta ina bility sca le 0 to 100
Perbaikan untuk atribut laju eksploitasi kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara, antara lain pengaturan perikanan tangkap kepiting bakau dan
pengembangan budidaya kepiting bakau ramah lingkungan.
5.4.3 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada pengelolaan sylvofishery kepiting bakau adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 76.422. Atribut yang
berpengaruh dalam dimensi ekologi terdiri dari lima jenis, yaitu: 1 Kuota tangkapan kepiting bakau kgbulan; 2 Harga produk kepiting bakau Rpkg; 3
Keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau Rptahun; 4 Keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau Rptahun; dan 5 Permintaan pasar ekspor
terhadap kepiting bakau. Atribut yang cukup sensitif dalam mempengaruhi indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ada tiga, yaitu: harga produk kepiting bakau,
keuntungan pembudidaya sylvofishery kepiting bakau, keuntungan nelayan penangkapan kepiting bakau Gambar 56.
Gambar 56 Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS Root
Mean Square .
Perbaikan terhadap keuntungan pembudidaya dan keuntungan nelayan penangkap kepiting bakau dapat diupayakan melalui peningkatan jumlah dan
kualitas produk. Peningkatan jumlah produk hanya bisa dilakukan bila teknologi
Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi
5.02 5.99
7.98 9.32
3.37
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Kuota tangkapan kepiting bakau
kgbulan Harga produk kepiting
bakau Rpkg Keuntungan
pembudidaya sylvofishery kepiting
bakau Rptahun Keuntungan nelayan
penangkapan kepiting bakau Rptahun
Permintaan pasar ekspor thd kepiting
bakau
A tt
ri b
u te
Root Me a n Square Cha nge in Ordination w hen Se lecte d Attribute Re move d on Sustaina bility sca le 0 to 100
pembenihan kepiting bakau dapat dilakukan secara budidaya, tidak hanya mengandalkan tangkapan alam. Penelitian-penelitian untuk pembuatan hatchery
kepiting bakau merupakan langkah yang mutlak perlu dilakukan. Perbaikan kualitas produk kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia dalam teknologi budidaya, tidak hanya sekedar budidaya pembesaran, namun juga jenis budidaya yang lain seperti budidaya
kepiting bertelur atau budidaya kepiting lunak soka.
5.4.4 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
Status keberlanjutan dari dimensi sosial dalam pengelolaan sylvofishery adalah kurang berkelanjutan indeks 38.829. Perlu dilakukan perbaikan untuk
meningkatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi sosial terdiri dari enam jenis, yaitu: 1 pengetahuan masyarakat
tentang pengelolaan mangrove; 2 penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery
; 3 kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau; 4 potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain; 5
potensi penyerapan tenaga kerja; 6 dukungan elemen pemerintah dalam pengelolaan mangrove berkelanjutan.
Gambar 57 Peran masing-masing atribut dimensi sosial pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS Root
Mean Square .
Faktor Pengungkit Dimensi Sosial
5.91 11.60
14.79 12.42
7.41 6.09
2 4
6 8
10 12
14 16
Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan mangrove
Penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery
Kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau
Potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain
Potensi penyerapan tenaga kerja Dukungan elemen pemerintah dalam
pengelolaan mangrove berkelanjutan
A ttr
ib u
te
Root Me a n Squa re Cha nge in Ordina tion w he n Se le cte d Attribute Re move d on Susta ina bility sca le 0 to 100
Atribut yang sensitif dan dapat menjadi pengungkit dalam dimensi sosial ada empat jenis, yaitu: penerimaan masyarakat pada usaha budidaya sylvofishery,
kemampuan teknologi masyarakat dalam pemanfaatan kepiting bakau, potensi konflik budidaya sylvofishery dengan pemanfaatan lain, dan potensi penyerapan
tenaga kerja Gambar 57. Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat memang relatif masih sedikit
dilakukan di lokasi TNK, karena masyarakat belum memiliki teknologi pemanfaatan kepiting bakau. Bila kemampuan ini dapat ditingkatkan, maka
diharapkan akan terjadi penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dan masyarakat akan lebih menerima budidaya sylvofishery dibandingkan budidaya perikanan lain
yang tidak ramah lingkungan. Sedangkan perbaikan terhadap potensi konflik dapat dilakukan dengan adanya pengaturan zonasi yang tegas.
5.4.5 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Status keberlanjutan dari dimensi kelembagaan dalam pengelolaan sylvofishery
adalah ‘cukup berkelanjutan’ indeks 60.626. Atribut yang berpengaruh dalam dimensi kelembagaan terdiri dari enam jenis, yaitu: 1
tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove; 2 keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove; 3 adanya zonasi di kawasan mangrove
TNK; 4 otoritas lembaga pengelola TNK; 5 penegakan hukum oleh aparat bagi pelanggar; 6 dukungan perusahaan Mitra TNK.
Berdasarkan hasil analisis leverage, diketahui ada dua atribut yang sangat sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan, yaitu adanya
zonasi di kawasan mangrove TNK dan otoritas lembaga pengelola TNK. Sedangkan tiga atribut yang lain cukup sensitif mempengaruhi nilai indeks, yaitu:
tersedianya aturan pengelolaan ekosistem mangrove, keberadaan lembaga masyarakat untuk pengelolaan mangrove, dan dukungan perusahaan Mitra TNK
Gambar 58. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan indeks keberlanjutan
dimensi kelembagaan adalah perlu disusun rencana zonasi di kawasan mangrove TNK agar tidak terjadi perusakan yang semakin meluas. Perbaikan lain yang perlu
dilakukan adalah pelaksanaan kewenangan pengelolaan kawasan TNK yang sebaik-baiknya. Lembaga pengelola TNK, yaitu Balai TNK, selama ini terkesan
kurang berani dalam menindak pelanggaran yang terjadi di kawasan TNK, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun oleh perusahaan di sekitar kawasan.
Selain itu lembaga pengelola TNK juga belum menyediakan perangkat untuk mengelola, seperti aturan-aturan yang bersifat detil dan teknis untuk pengelolaan
kawasan TNK.
Gambar 58 Peran masing-masing atribut dimensi kelembagaan pada keberlanjutan pengelolaan sylvofishery dinyatakan dalam bentuk nilai RMS Root
Mean Square .
5.5. Rekomendasi Penatakelolaan Kawasan Mangrove di TNK
Dari berbagai kajian ilmiah yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil adalah perlu adanya penatakelolaan kembali
kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai, untuk mempertahankan fungsi ekologisnya, sekaligus mencegahnya dari degradasi yang lebih parah dan
mengembalikan fungsinya sebagai kawasan pelestarian alam. IUCN 1994 menyatakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan untuk
mengatasi issue masyarakat yang menetap dalam kawasan TN antara lain adalah: kemungkinan untuk dipindahkan relokasi, pemberian kompensasi untuk
perpindahan komunitas masyarakat, diberikan pilihan alternatif mata pencaharian lain, atau perubahan pendekatan pengelolaan dalam berbagai kondisi.
Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan
7.85 7.58
15.12 11.33
2.44 7.84
2 4
6 8
10 12
14 16
Keberadaan aturan pengelolaan ekosistem
mangrove Keberadaan lembaga
masyarakat untuk pengelolaan mangrove
Zonasi kawasan mangrove TNK
Otoritas lembaga pengelola TNK
Penegakan hukum oleh aparat bagi
pelanggar Dukungan perusahaan
Mitra TNK
A ttr
ib u
te
Root Me an Squa re Change in Ordina tion w he n Sele cted Attribute Remove d on Susta inability scale 0 to 100
Berdasarkan berbagai hasil analisis penelitian yang telah dilakukan di atas, rekomendasi yang dapat disampaikan untuk penatakelolaan kawasan mangrove
TNK adalah: 1
Perlu segera dilakukan penataan ruang kawasan zonasi sesuai fungsinya di kawasan TNK secara umum, maupun secara khusus di kawasan
mangrove TNK sebagai bagian dari TNK. 2
Perlu perubahan pendekatan dalam pengelolaan kawasan TNK, agar terbentuk pengelolaan kolaboratif dengan masyarakat lokal yang terlanjur
tinggal di dalam kawasan TN. Pengelolaan kolaboratif adalah pendekatan pengelolaan yang direkomendasikan untuk mengelola mangrove di TNK.
Salah satu hasil Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai adalah menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas 23
712 ha. 3
Perlu perubahan paradigma pengelolaan yang membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya alam dalam TNK, menjadi peluang
untuk memanfaatkan sumberdaya secara bertanggung jawab sesuai peraturan yang berlaku. Khusus untuk sumberdaya di kawasan mangrove,
budidaya sylvofishery
kepiting bakau merupakan alternatif matapencaharian untuk kelangsungan hidup masyarakat. Masyarakat yang
telah menetap dalam kawasan diberi hak pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya, dengan kontrol pengawasan dari pemerintah. Sumberdaya
yang dapat dimanfaatkan dari kawasan mangrove adalah kepiting bakau. Pemanfaatan kepiting bakau melalui budidaya sylvofishery atau pun
penangkapan dilakukan pada zona yang telah ditentukan sesuai fungsinya. 4
Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, berkewajiban menyediakan elemen untuk kontrol pengawasan bagi pengelolaan oleh
masyarakat. Elemen kontrol ini antara lain berupa peraturan perundangan yang disepakati oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kawasan.
Selain itu tersedianya aparat pengawasan yang jumlahnya mencukupi untuk wilayah yang luas, juga perlu diperhatikan. Selama ini tidak
efektifnya pengawasan dan tidak tegasnya penerapan sanksi menyebabkan pelanggaran aturan yang meluas di kalangan masyarakat lokal.
5 Perlu adanya aturan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya dalam
ekosistem mangrove. Pembatasan dapat dilakukan melalui pengaturan kuota sesuai daya dukung lingkungan, restoking, dan pembayaran retribusi
atas penggunaan sumberdaya. Sehingga pemanfaatan sumberdaya di kawasan pelestarian alam bertujuan untuk mempertahankan keberlanjutan
kehidupan masyarakat, dan tidak untuk komersialisasi atau pun privatisasi. 6
Masyarakat lokal perlu diberi informasi yang benar tentang konsep pengelolaan kolaborasi dan tujuan pengelolaan kawasan taman nasional,
sehingga semua pihak akan mempunyai tujuan yang sama untuk mempertahankan fungsi TNK sebagai kawasan konservasi sekaligus dapat
mengelolanya secara berkelanjutan untuk kehidupan masyarakat. 7
Perlu peninjauan kembali penunjukkan dan luas wilayah TNK sebagai Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional, mengingat saratnya masalah
politis dan kependudukan dalam kawasan TNK.
8
Kebijakan pengelolaan dengan menggunakan skenario optimistik dari model pemanfaatan kepiting bakau berdasarkan kondisi ekobiologi perlu
diterapkan untuk mencapai pemanfaatan yang berkelanjutan.
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1
Simpulan
1. Kondisi bioekologi S. serrata di kawasan mangrove TN Kutai, berdasarkan hasil analisis dengan metode analitik, diketahui bahwa penangkapan S.
serrata sudah berada di atas laju eksploitasi maksimal, hanya di lokasi Muara
Sangkima penangkapan kepiting jantan masih sedikit di bawah eksploitasi maksimal yang diperbolehkan.
2. Hasil analisis HSI menunjukkan bahwa daya dukung budidaya sylvofishery di lokasi Muara Sangatta tertinggi dibanding lokasi yang lain. Individu
kepiting bakau yang dapat didukung untuk budidaya sylvofishery yang berkelanjutan adalah sebanyak 244.862 ekor atau dapat dibudidayakan pada
± 490 unit kurungan tancap berukuran 10 x 20 m. Ketersediaan benih di lokasi tersebut diperkirakan sebesar 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S.
serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan
kawasan pemanfaatan umum. Unit karamba sejumlah ini memerlukan lahan seluas 10 ha. Di Muara Sangatta terdapat sekitar 400.03 ha lahan kritis. Unit-
unit karamba ini dapat dibangun di lahan tersebut, sekaligus sebagai upaya untuk rehabilitasi lahan kritis.
3. Rekomendasi pengelolaan yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis bioekologi dan daya dukung adalah kawasan mangrove TN Kutai perlu ditata
menggunakan konsep zonasi. Muara Sangatta adalah lokasi yang paling sesuai untuk usaha budidaya sylvofishery dan Muara Sangkima untuk zona
perikanan tangkap Scylla serrata, sedangkan lokasi yang lain digunakan sebagai zona perlindungan.
Enam hal yang penting dipertimbangkan dalam pengelolaan Scylla serrata
adalah 1 Penutupan daerah penangkapan Scylla serrata, sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya; 2 penutupan musim penangkapan
Scylla serrata . 3 pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau,
disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan untuk menjaga keseimbangan rasio
kepiting jantan:betina di alam; 4 pembatasan alat tangkap kepiting bakau.
Jenis alat tangkap yang direkomendasikan untuk digunakan adalah jenis alat tangkap buburakkang dengan lokasi tangkapan pada zona depan hutan
mangrovepinggiran pantai, karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan
sebagai benih pada budidaya sylvofishery; 4 pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di
Muara Sangatta dan Teluk Perancis, sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk
penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi penangkapan, maupun dari jumlah nelayan; 6 restoking Scylla serrata dapat
dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen budidaya sylvofishery. Restoking induk betina Scylla serrata minimal
sebesar 1 dari panen budidaya sylvofishery.
6.2 Saran