5.2.3.3 Permasalahan dalam Budidaya
Sylvofishery S. serrata
Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pembesaran kepiting bakau secara sylvofishery adalah:
• Adanya hama berupa biawak kalimantan Varanus vomeensis, yang masuk ke dalam kurungan dengan cara melubangi jaring untuk mengambil
ikan rucah yang menjadi pakan kepiting bakau. Masuknya biawak ke dalam kurungan tidak untuk makan kepiting, namun lubang yang dibuat
biawak pada jaring menyebabkan kepiting melarikan diri keluar jaring. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu upaya tambahan untuk mencegah
biawak masuk, yaitu dengan membuat pagar bambu keliling yang tingginya minimal sepanjang biawak terbesar yang masuk ke karamba ± 1
m, sehingga cukup untuk mencegah biawak memanjat. • Adanya angin musim pada bulan-bulan tertentu yang menyebabkan
gelombang laut menjadi besar. Di pesisir Kabupaten Kutai Timur musim gelombang besar ini mulai terjadi dari bulan Januari hingga bulan Maret,
dan mencapai puncaknya pada bulan Februari. Gelombang besar ini dapat mengakibatkan kerusakan karamba yang berupa tercabutnya jaring dari
posisinya atau robeknya jaring akibat hantaman batang-batang pohon yang terseret gelombang. Untuk mencegah kerusakan akibat gelombang, maka
perlu adanya papan kayu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat jaring.
• Adanya run off dari daratan dapat membawa bahan-bahan beracun limbah dari pemukiman dan industri pertambangan yang ada di hulu sungai. Bila
tidak diantisipasi kejadian runoff dapat menyebabkan kematian massal kepiting budidaya dalam karamba tancap.
5.2.4 Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Sylofishery S. serrata
Untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan budidaya pesisir dihitung dari besarnya nilai investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan, dan
pendapatan yang diperoleh dari nilai jual hasil panen.
Kelayakan usaha tersebut digambarkan berdasarkan kriteria nilai Revenue Cost Ratio RC dan keuntungan π untuk mengetahui kelayakan pada saat ini
tanpa memasukkan fakor nilai uang di masa mendatang undiscounted criteria. Sedangkan untuk mengetahui kelayakan usaha dimasa mendatang dengan
memasukkan faktor nilai uang discounted criteria digunakan kriteria Net Benefit Cost Net BC. Tingkat discount rate diasumsikan sebesar 12 ,
perhitungan rentang usaha selama 2 tahun, umur ekonomis peralatan 2 tahun, dan usaha budidaya dioperasikan mulai tahun pertama Lampiran 24.
Dari hasil analisis Lampiran 25, diperoleh nilai rasio penerimaan dengan biaya RC pada sylvofishery kepiting bakau seluas 200 m
2
per tahun sebesar 2.87. Nilai RC 2.87 bermakna bahwa setiap Rp 1 000 000,- uang yang dipakai
untuk pembiayaan budidaya akan memperoleh manfaat sebesar Rp. 2870000,-. Waktu pengembalian investasi payback periode selama 1 tahun 3 bulan. Nilai
Net BC yang diperoleh sebesar 2.05 Net BC 1 bermakna bahwa manfaat yang diperoleh adalah sebesar 2.05 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
Sehingga berdasarkan semua kriteria tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa usaha budidaya kepiting bakau dengan teknologi sylvofishery layak
direkomendasikan untuk dikembangkan.
5.2.5 Analisis Usaha Perikanan Tangkap S. serrata
Pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan S. serrata meliputi pendapatan dari hasil penangkapan dan pendapatan dari hasil budidaya
sylvofishery. Dari hasil penangkapan dengan alat tangkap rakkang nelayan memperoleh
pendapatan sekitar Rp 1 - 1.5 jutabulan. Nilai ini diambil dari rata-rata produksi kepiting tangkapan nelayan setiap bulan dikurangi dengan biaya operasional
penangkapan. Dalam satu bulan nelayan umumnya menangkap kepiting sebanyak 10 kali, yaitu pada saat pasang purnama dan pasang perbani bulan mati. Jumlah
yang diperoleh rata-rata 98 kgbln dengan harga Rp 25 000,-kg, sehingga rerata penerimaan nelayan adalah sekitar Rp. 2 400 000,-bulan. Setelah dikurangi biaya
operasional penangkapan, yaitu untuk bahan bakar minyak BBM, pembelian
umpan, kerusakan alat, dan lain-lain, yaitu sekitar Rp. 900 000,-. Maka pendapatan nelayan diperkirakan sebesar Rp. 1 500 000,-bulan Lampiran 26.
Dari hasil budidaya kepiting bakau, berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha Lampiran 25 total penerimaan nelayan adalah Rp. 6 300 000,- unit
karambatahun. Bila total biaya yang dikeluarkan adalah Rp. 2 198 750,-unit karambatahun, maka pendapatan yang diperoleh nelayan adalah sekitar Rp. 4 101
250,-unit karambatahun. Nilai pendapatan dari budidaya ini dapat ditingkatkan lagi bila nelayan mampu meningkatkan produknya menjadi produk yang nilai
jualnya lebih tinggi, seperti kepiting soka kepiting lunak atau kepiting bertelur.
5.3 Pengelolaan Sumberdaya Scylla serrata di TNK
5.3.1 Permasalahan Kebijakan Pengelolaan Habitat Mangrove TNK
Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 325Kpts-II1995, TNK yang semula adalah
Suaka Margasatwa berubah fungsi dan statusnya menjadi penunjukkan Taman Nasional. Selanjutnya status ini dipertegas lagi dengan munculnya PP no 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pasal 52 Lampiran VIII tentang kawasan Lindung Nasional, yang mengkategorikannya sebagai Taman
Nasional Kutai dengan status tahap pengembangan I IA4. Kewenangan pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional
berada di bawah Balai Taman Nasional Kutai BTNK sebagai unit teknis dari BKSDA kehutanan. Pengelolaan TNK didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1990
tentang konservasi sumberdaya alam dan habitatnya dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, beserta aturan-aturan turunannya.
Hingga saat ini pengelolaan hutan, terutama hutan lindung, masih terkesan disakralkan, tertutup dan dilarang untuk dijamah oleh masyarakat. Namun Sukardi
2009 menyatakan bahwa ruang ini mulai terbuka sejak diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999. Konsep pengelolaan hutan bersama masyarakat tidak secara
eksplisit disebutkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 maupun PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No 3 Tahun 2008. Namun demikian secara substansial peraturan ini telah
mengakomodir kepentingan masyarakat untuk memperoleh akses pengelolaan hutan.