Perkembangan Hindu dan Buddha di Asia Selatan

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP dan MTs Kelas VII 186 Kepercayaan Hindu diajarkan secara turun-temurun melalui syair atau nyanyian yang berisi pemujaan pada dewa dan berbagai petunjuk kehidupan. Setelah berabad-abad, berbagai ajaran tersebut dihimpun menjadi sebuah buku yang dinamakan Weda yang artinya pengetahuan. Kitab Weda ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan huruf Pallawa. Bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa hanya dapat diucapkan dan dibaca oleh para brahmana. Karena itu, hanya brahmana yang berhak untuk membaca Weda. Masyarakat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan berbagai macam bentuk peribadatan. Ibadah yang paling utama adalah menyembah dewa di kuil-kuil dan perayaan hari-hari besar. Hari besar masyarakat Hindu antara lain Rakhsa-Bandhan dan Navaratri. Seiring dengan perkembangan masyarakat Hindu yang pesat, kemudian terciptalah corak pemerintahan berbentuk kerajaan. Munculnya kerajaan-kerajaan Hindu di kawasan Hindustan sangat memengaruhi pola interaksi masyarakat Hindu. Karena negara berkewajiban menyejahterakan rakyatnya, maka kerajaan-kerajaan tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menggalakkan pertanian, peternakan, dan pembuatan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, hasil pertanian dan pembuatan barang, serta peternakan mengalami kelebihan surplus. Surplus ini mendorong dilakukannya perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain, termasuk dengan kawasan di luar Hindustan. Diperkirakan dari perdagangan inilah awal tersebarnya kebudayaan dan agama Hindu ke kawasan lain, termasuk Indonesia. b. Perkembangan Agama Buddha di Hindustan Pada abad ke-6 SM, di kawasan Lumbini, kaki Pegunungan Himalaya sekarang bagian dari wilayah negara Nepal, ada sebuah kerajaan yang bernama Kapilawastu. Pada sekitar tahun 563 SM, kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bernama Suddodhana. Pada tahun tersebut lahir seorang putra Raja Suddodhana yang bernama Pangeran Sidharta. Sejak lahir, banyak cenayang dan pendeta yang meramalkan bahwa Pangeran Sidharta akan menjadi seorang tokoh besar, namun sebelumnya dia akan menerima berbagai kesusahan dan penderitaan. Untuk mencegah agar ramalan tersebut tidak menjadi kenyataan, maka Pangeran Sidharta dikurung dalam istana dan sama sekali tidak boleh keluar agar tidak menyaksikan berbagai macam penderitaan dan kesusahan yang dialami manusia. Namun suatu hari di tahun 533 SM saat Pangeran Sidharta berusia 29 tahun, ia berkesempatan untuk keluar istana dan berjalan-jalan ke beberapa desa di sekitar istananya. Dalam Gambar 7.5 a Dewa Brahma, b Dewa Wisnu, c Dewa Syiwa Sumber: Ensiklopedi Umum untuk Pelajar a b c