Indikator ketiga, yaitu memberi penjelasan lebih lanjut
Kelas Eksperimen
Gambar 4.20 Jawaban
Post test No 4 Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Gambar 4.21 Jawaban
Post test No 4 Kelas Kontrol
Soal post test nomor 4 ini meminta siswa untuk merumuskan langkah- langkah penyelesaian dari suatu permasalahan yang diberikan, yaitu
menentukan banyaknya kertas yang dibutuhkan untuk membuat 70 buah layang-layang. Jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol sudah benar
yaitu 4,7 lembar kertas atau jika dibulatkan menjadi 5 lembar kertas. Namun penulisan jawabannya yang berbeda. Pada gambar 2.23 jawaban siswa pada
kelas eksperimen langkah-langkah penyelesaiannya tersusun secara sistematis, dan lebih dapat dipahami karena pada jawaban tersebut juga ditarik
kesimpulan bahwa kertas yang dibutuhkan untuk membuat 70 buah layang- layang adalah 5 lembar. Berbeda dengan jawaban siswa kelas kontrol, pada
jawaban tersebut hanya terdapat perhitungannya saja, langkah-langkah penyelesaian tidak ditulis secara sistematis sehingga sulit dibedakan mana luas
layang-layang, luas kertas, dan kesimpulan juga tidak ada pada jawaban tersebut.
Berdasarkan hasil jawaban siswa dari pertanyaan tersebut, didapatkan persentase skor rata-rata indikator merumuskan langkah-langkah penyelesaian
pada kelas eksperimen sebesar 63,24 dan kelas kontrol sebesar 58,82. Persentase skor siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan
dengan kelas kontrol. Berdasarkan hasil rata-rata nilai ketercapaian semua indikator kemampuan
berpikir kritis matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan rata-rata nilai ketercapaian semua indikator kemampuan berpikir kritis matematis
siswa pada kelas kontrol. Berdasarkan uraian di atas juga terlihat bahwa pembelajaran matematika dengan model pembelajaran learning cycle 5e yang
diterapkan dalam proses pembelajaran dapat berpengaruh baik terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa terutama pada indikator memberi
penjelasan lebih lanjut. Pada indikator tersebut terjadi perbedaan yang cukup jauh antara hasil persentasi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Selain itu pada
indikator ini juga hasil persentasi skor siswa kelas kontrol dari semua indikator berpikir kritis yang paling rendah. Hal tersebut disebabkan karena siswa yang
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5e akan memahami materi lebih mendalam karena siswa mengkonstruksi sendiri konsep
yang akan dipelajari melalui LKS yang diberikan kepada siswa dan melalui tahap- tahap pembelajaran yang telah dilakukan oleh siswa di kelas sehingga pengalaman
belajar siswa akan lebih bermakna dan lebih lama diingat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat made wena melalui bukunya, yang
mengatakan bahwa model pembelajaran Learning cycle merupakan model
pembelajaran yang berbasis konstruktivisme.
1
Teori konstruktivisme menekankan agar peserta didik secara aktif menyusun dan membangun pengetahuan dan
pemahaman mereka sendiri, oleh karena itu pembelajaran dengan model pembelajaran learning cycle 5e lebih berpusat pada siswa.
2
Menurut pandangan konstruktivis, “guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran siswa, akan
tetapi guru harus mendorong siswa untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, dan berpikir secara kritis.”
3
Berdasarkan pandangan konstrutivis di atas itu berarti salah satu tujuan dari proses pembelajaran
konstruktivisme adalah untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Sedangkan pada pembelajaran konvensional guru merupakan sumber dari proses
pembelajaran sehingga siswa hanya pasif mendengarkan penjelasan guru sehingga kemampuan berpikir kritisnya kurang dapat terlatih.
Selain itu, hasil persentasi skor setiap indikator berpikir kritis pada kelas eksperimen rata-rata sudah mencapai lebih dari 65, sedangkan pada kelas
kontrol hanya satu indikator yang persentase skornya mencapai 65 yaitu pada indikator memberikan alasan, dan tiga indikator lainnya seperti mengidentifikasi
keputusan, memberi penjelasan lebih lanjut, dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian persentase skornya masih di bawah 65. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rosita Mahmudah pada tahun 2013 yang berjudul “Pengaruh
Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa hasil persentasi
skor setiap indikator berpikir kritis pada kelas eksperimen rata-ratanya tidak ada yang mencapai 65.
4
Hal ini menunjukkan model pembelajaran learning cycle 5e lebih efektif untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
dari pada model pembelajaran Creative Problem Solving. Selain itu ternyata hasil penelitian Oktaviani Dwi Astuti juga menunjukkan bahwa model pembelajaran
1
Made Wena, StrategiPembelajaran Inovatif Kontemporer, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009 h. 170.
2
Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008 , h. 8.
3
Ibid.
4
Rosita Mahmudah , “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa ”, Skripsi jurusan pendidikan matematika UIN,
Jakarta, 2013, h. 67.