Setiap tuturan tidak santun mengandung maksud tertentu yang ingin disampaikan kepada mitra tuturnya. Meskipun termasuk dalam subkategori
mengejek, pada kenyataannya tuturan D4 memiliki maksud untuk sekadar mengajak bercanda mitra tuturnya. Lain halnya dengan tuturan D9 yang
disampaikan dengan maksud memberi informasi kepada mitra tuturnya. Sayangnya, kedua maksud tersebut disampaikan dengan cara yang kurang santun
sehingga terdengar seperti sebuah ejekan terhadap mitra tuturnya.
4.3.4.3 Subkategori Kesal Salah’e raiso moco D5
Konteks tuturan: tuturan terjadi ketika sedang menonton televisi bersama. Acara yang dilihat saat itu adalah film berbahasa asing yang tentu
dilengkapi dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak dapat membaca mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami acara televisi, mitra
tutur bertanya kepada penutur namun penutur menjawab pertanyaan mitra tutur dengan nada kesal
Mbok nek ndue anak ki ora akeh-akeh. Mosok manak ping 6. Koyo pitik wae D8
Konteks tuturan: penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari. Penutur berusaha menegur mitra tutur dengan kesal, karena
mitra tutur sudah mempunyai 6 anak. Jumlah yang terlalu banyak menurut penutur
Wujud ketidaksantunan linguistik pada cuplikan tersebut terdapat pada tuturan D5 dan D8. Pada tuturan D5 penutur berbicara dengan ketus kepada orang
yang lebih tua dan di hadapan anggota keluarga lainnya, sedangkan tuturan D8 juga disampaikan dengan ketus di hadapan anggota keluarga lain, bahkan penutur
juga menyetarakan sifat manusia dengan binatang. Cara bicara yang demikian ditunjukkan sebagai ungkapan kekesalan penutur terhadap mitra tuturnya. Hal itu
sekaligus memperlihatkan rendahnya kesantunan tuturan penutur, terlebih ketika tuturan itu berpotensi membuat mitra tutur malu.
Tuturan D5 dan D8 memiliki intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi, padahal penutur berada pada jarak yang dekat dengan mitra tutur. Oleh
karena itu, penggunaan intonasi seru yang terdengar cenderung tinggi pada kedua tuturan tersebut dipersepsi sebagai bentuk ketidaksantunan. Jika ditinjau dari
unsur tekanan, tuturan D5 disampaikan dengan tekanan keras. Bagian yang ditekankan yaitu pada kata
salah’e. Begitu juga dengan tuturan D8 yang ditekankan dengan keras pada frasa koyo pitik wae. Pilihan kata-kata yang
mendapat tekanan tersebut terdengar tidak santun, karena menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tuturnya yang cenderung mengakibatkan mitra
tuturnya malu. Kedua tuturan itu dapat saja dikatakan dengan lebih halus menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Selanjutnya, mengenai nada tutur. Aspek nada dalam bertutur lisan memengaruhi kesantunan berbahasa seseorang Pranowo, 2009:77. Pada kedua
tuturan tersebut, penutur berbicara dengan nada tinggi karena suasana hati penutur sedang kesal akibat sikap dan ketidakmampuan mitra tuturnya. Hal tersebut
sejalan dengan penjelasan Pranowo, 2009:77 jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa
menakutkan. Lebih lanjut lagi mengenai unsur segmental, yaitu diksi pilihan kata dan
kata fatis. Kedua tuturan tersebut dituturkan dengan menggunakan bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa. Kata fatis yang
ditemukan adalah mbok yang terdapat pada tuturan D8. Penggunaan bahasa Jawa dalam kedua tuturan tersebut terdengar kurang halus, terlebih ketika disampaikan
kepada orang yang lebih tua. Pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan pragmatik, salah
satunya ditinjau dari aspek penutur dan lawan tutur. Tuturan D5 dilakukan oleh penutur kelas XII SMK, berusia 19 tahun dan mitra tutur berusia 42 tahun.
Penutur adalah anak dari mitra tutur. Selanjutnya, tuturan D8 yang terjadi antara penutur laki-laki berusia 75 tahun dan mitra tutur perempuan berusia 45 tahun.
Penutur adalah bapak dari mitra tutur. Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa penutur dan mitra tutur memiliki hubungan darah dalam kekeluargaan.
Kedekatan inilah yang terkadang justru memunculkan bentuk-bentuk
ketidaksantunan yang terungkap dalam bentuk tuturan yang tidak santun. Aspek berikutnya yaitu konteks tuturan. Tuturan D5 terjadi ketika sedang
menonton televisi malam hari. Acara yang ditonton saat itu adalah film berbahasa asing yang tentu dilengkapi dengan terjemahan. Kondisi mitra tutur yang tidak
dapat membaca mengakibatkan ia kesulitan untuk memahami acara televisi, mitra tutur bertanya kepada penutur namun penutur menjawab pertanyaan mitra tutur
dengan nada kesal. Berbeda dengan tuturan D8 yang terjadi ketika penutur dan mitra tutur berada di ruang keluarga pada sore hari. Penutur berusaha menegur
mitra tutur dengan kesal, karena mitra tutur sudah mempunyai 6 anak. Jumlah yang terlalu banyak menurut penutur. Setelah mencermati kedua konteks tuturan
di atas, dipahami bahwa kekesalan penutur ditunjukkan dengan melontarkan kata- kata yang mengarah pada perilaku berbahasa yang menghilangkan muka.
Tuturan D5 disampaikan dengan tujuan mengungkapkan kekesalannya karena mitra tutur tidak dapat membaca. Tindak verbal yang terjadi: ekspresif.
Tindak perlokusi dari tuturan tersebut yaitu mitra tutur kesal dan malu kemudian pergi tidur. Berbeda dengan tuturan D8 yang dituturkan dengan tujuan
menyadarkan mitra tutur agar tidak menambah jumlah anak lagi. Tindak verbal yang terjadi: ekspresif. Tindak perlokusi dari tuturan tersebut adalah mitra tutur
tersenyum malu kemudian memberikan jawaban untuk membela diri. Lebih lanjut lagi pembahasan mengenai maksud ketidaksantunan.
Maksud dari tuturan adalah milik penutur. Ketika dikonfirmasi kembali, penutur pada tuturan D5 menyampaikan tuturannya dengan maksud mengungkapkan
kekesalannya terhadap ketidakmampuan mitra tutur, sedangkan tuturan D8 disampaikan dengan maksud memrotes mitra tutur yang telah memiliki anak
dengan jumlah banyak. Namun, protes itu disampaikan secara langsung dan menohok sehingga menjadi tidak santun. Hal itu sejalan dengan penjelasan
Pranowo 2009:68 bahwa komunikasi menjadi tidak santun ketika penutur menyampaikan kritiknya secara langsung kepada mitra tuturnya.
4.3.4.4 Subkategori Menegaskan