diharapkan pembuat tahu dengan masa kerja baru terlatih dan memiliki motivasi untuk melakukan proses kerja lebih baik sehingga produktifitas
meningkat. Sedangkan pembuat tahu yang memiliki masa kerja lama melakukan aktivitas fisik dengan beban kerja yang ringan seperti proses
perendaman, pencucian, penggilingan, pengendapan, dan pemotongan.
3. Status Gizi
Status gizi dapat digambarkan dengan perhitungan IMT melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dimana seorang pembuat tahu
dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik sehingga tidak mudah mengalami
kelelahan. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Spearman Correlations
didapatkan nilai p-value sebesar 0,27 menunjukkan bahwa status gizi pembuat tahu tidak berpengaruh terhadap kejadian kelelahan kerja. Arah
korelasi status gizi dengan kejadian kelelahan kerja positif dengan kekuatan korelasi yang lemah, artinya semakin status gizi menjauhi kadar
normal tidak normal, semakin meningkat untuk terjadinya kelelahan kerja namun hanya sedikit. Uji statistik juga menjelaskan bahwa prediksi
peningkatan status gizi untuk terjadinya kelelahan kerja hanya 1,6 pada pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur.
Hal ini bisa terjadi karena berdasarkan hasil univariat didapatkan hasil bahwa nilai median status gizi pembuat tahu di wilayah Kecamatan
Ciputat dan Ciputat Timur adalah 21,93 kgm
2
. Jika dibandingkan dengan standar yang diterapkan oleh Kesehatan Depkes RI Tahun 2004 status gizi
tersebut termasuk status gizi nomal, dimana pembuat tahu yang berstatus gizi normal sebanyak 61 orang, sedangkan pembuat tahu yang berstatus
gizi tidak normal sebanyak 14 orang. Status gizi terendah adalah 17,15 kgm
2
yang dialami satu orang dimana termasuk kategori kurus, sedangkan status gizi tertinggi adalah 32,46 kgm
2
yang dialami satu orang dimana termasuk kategori sangat gemuk. Kecenderungan ini terjadi
dikarenakan pemilik tempat pembuatan tahu dalam pembagian kerja tidak mempertimbangkan keadaan fisik pembuat tahu dimana mereka yang
memiliki gizi tidak normal baik kurus maupun gemuk mengerjakan pekerjaan yang sama dengan mereka yang memiliki gizi normal. Sehingga
pembuat tahu tetap mengalami kelelahan kerja walaupun sebagian besar dari mereka berstatus gizi normal.
Penelitian ini sebanding dengan hasil penelitian kelelahan pada pekerja proyek dimana pada tingkat kelelahan sedang, dari 65 pekerja
dengan status gizi normal, 25 pekerja 38,5 mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 35 pekerja dengan status gizi tidak normal, 20
pekerja 57,1 mengalami kelelahan sedang. Hal ini berarti tidak dapat
ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja Marif, 2013.
Namun, hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa seorang pekerja dengan status gizi yang baik akan
memiliki ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang lebih baik, sedangkan seorang pekerja dengan status gizi yang tidak baik akan memiliki
ketahanan tubuh dan kapasitas kerja yang tidak baik juga Budiono, dkk, 2003. Apabila dalam melakukan pekerjaan tubuh kekurangan energi baik
secara kualitatif maupun kuantitatif, kapasitas kerja akan terganggu sehingga pekerja tidak produktif, mudah terjangkit penyakit dan
mempercepat timbulnya kelelahan Tarwaka, dkk, 2004. Artinya bila asupan makanan sebelum bekerja dan saat istirahat tidak sebanding
dengan kalori yang dikeluarkan selama bekerja. maka pekerja akan lebih mudah mengalami kelelahan dibandingkan dengan pekerja yang asupan
makannya cukup untuk bekerja. Dalam penelitian ini asupan kalori yang dikonsumsi pembuat tahu
sebanding dengan kalori yang dikeluarkan selama bekerja. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemilik tempat pembuatan tahu juga
menyediakan meja khusus makanan dan makanan yang cukup bagi pembuat tahu, sehingga pembuat tahu tidak perlu membeli makananjajan
sembarangan diluar untuk sarapan dan makan siang saat jam istirahat yang
belum tentu baik untuk tubuh mereka. Dimana gizi baik dapat membantu pembuat tahu tetap sehat dan terhindar dari kelelahan kerja maupun risiko
kesehatan lain yang dapat mempengaruhi kinerja dan produktivitas mereka.
4. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok adalah kegiatan yang dilakukan berulang- ulang dalam menghisap rokok mulai dari satu batang ataupun lebih dalam
satu hari. Bustan, 2000. Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Mann-Whitney
didapatkan nilai p-value sebesar 0,239, menunjukkan bahwa kebiasaan merokok tidak berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja pada
pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur tahun 2014. Hal ini berarti kelompok pembuat tahu yang memiliki kebiasaan
merokok dengan kelompok yang tidak memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko yang sama untuk terjadinya kelelahan kerja.
Sedangkan berdasarkan hasil univariat didapatkan bahwa sebagian besar pembuat tahu di wilayah Kecamatan Ciputat dan Ciputat Timur
memiliki kebiasaan merokok yaitu sebesar 69,3 dari total sampel atau sebanyak 52 orang. Berdasarkan wawancara dengan kuesioner, pembuat
tahu mengaku mengkonsumsi rokok dimulai pada masa remaja dimana