Penerapan pembelajaran konstruktivisme dengan model kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi bilangan bulat di kelas VII SMP Pangudi Luhur I Klaten.

(1)

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

DENGANMODEL KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) PADA MATERI BILANGAN BULATDI KELAS VII

SMP PANGUDI LUHUR I KLATEN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Matematika Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

Linda Christina Permatasari

111414023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Matius 7 : 7 - 11

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti. Atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Dengan penuh syukur, Skripsi ini kupersembahkan untuk Tuhan Yesus, Kedua orang tuaku, Mas Anggi dan seluruh sahabat-sahabatku, Almamater kebangaanku, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(5)

(6)

(7)

vi ABSTRAK

Linda Christina Permatasari. 2015. Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme

dengan Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada Materi Bilangan Bulat di Kelas VII SMP Pangudi Luhur I Klaten. Skripsi. Program

Studi Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme dengan model kooperatif tipe TSTS, hasil belajar siswa, serta motivasi belajar siswa pada materi bilangan bulat. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksploratif. penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016. Subjek penelitian adalah siswa-siswi kelas VII C SMP Pangudi Luhur I Klaten.

Instrumen pada penelitian ini meliputi instrumen pembelajaran yang berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Instrumen pengumpulan data berupa tes meliputi tes kemampuan awal dan tes evaluasi belajar, sedangkan data non tes berupa lembar pengamatan keterlaksanaan pembelajaran dan kuesioner motivasi belajar siswa. Instrumen pembelajaran tersebut sebelumnya terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan guru bidang studi matematika kelas VII C. Uji coba soal dilaksanakan sebelum dilaksanakannya tes evaluasi belajar untuk diuji validitas dan realibilitasnya. Semua instrumen sudah dinyatakan memenuhi syarat yang telah ditetapkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Penerapan pembelajaran konstruktivisme dengan menggunakan model kooperatif tipe TSTS pada materi bilangan bulat di kelas VII C SMP Pangudi Luhur I Klaten dapat terlaksana dengan baik dengan presentase rata-rata keterlaksanaan 83 %. (2) Jika dilihat dari kategori nilai, presentase hasil evaluasi belajar siswa yang sangat baik 12,50 %, baik 18,75 %, cukup 40,63 %, kurang 3,13 %, dan kurang sekali 25,00 %. (3) Motivasi belajar siswa tergolong cukup baik dengan presentase motivasi belajar siswa dengan kategori baik mencapai 9,38 % dan cukup 90,63 %.

Kata kunci : bilangan bulat, hasil belajar, model kooperatif tipe two stay two stray, motivasi belajar, pembelajaran konstruktivisme


(8)

vii ABSTRACT

Linda Christina Permatasari. 2015. The Implementation of Constructivism

Mathematics Teaching-Learning Using Cooperative Model of the Type of Two Stay Two Stray (TSTS) on the Learning Materials of Integers in the Seventh Grade of Pangudi Luhur 1 Junior High School, Klaten. Undergraduate Thesis.

Matematics Education Study Program, Department of Mathematics and Science Education. Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

This research was aimed at finding out the implementation of constructive teacher-learning process using cooperative model of the type of TSTS (Two Stay Two Stray), students’ learning achivement, as well as the students’ learning motivation on the learning materials of integers. This research was an explorative quantitative research which was conducted in the first semester of the academic year of 2015/2016. The subjects of this research were the students of Pangudi Luhur 1 Klaten Junior High School on class VII C in the first semester of 2015/2016 academic year.

The instrument for this research included a teaching-learning instrument which was in the form of a teaching-learning plan. The data gathering instrument which was in the form of tests contained pre-test and learning evaluation test, whereas the non-test data were obtained using an observation sheet of the implementation of the learning process and a questionnaire about students’ motivation. The teaching-learning instrument had been consulted to the advisor and the mathematics teacher of Class VII C. A trial for the questions of the test had also been done prior to student evaluation using that test in order to test its validity and reliability. All instruments had satisfied the requirements that were demanded on the instruments.

This research results were as follows: (1) The implementation of constructivism teaching-learning using cooperative model ot the type TSTS on the teacher- learning materials of integers in Pangudi Luhur 1 Junior High School, Klaten in class VII C had been well with 83 % implementation percentage on the average. (2) If seen from the categories based on the score of the achivement test, 12.50 % belonged to the very good category, 18.75 % belonged to good category, 40.63 % belonged to the adequate category, 3.13 % belonged to deficient category, and 25.00 % belonged to very deficient category. (3) Students’ learning motivation was good enough with the 9.38 % belonged to good category and 90.63 % belonged to the adequate category.

Keywords : integers, learning result, cooperative model of the type of two stay two stray, learning motivation, constructivism learning


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme dengan Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Pada Mata Pelajaran Matematika Kelas VII SMP Pangudi Luhur I Klaten” untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan matematika.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak tantangan dan rintangan, akan tetapi penulis dapat mengatasi tantangan dan rintangan tersebut atas berkat Tuhan serta dukungan dari berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, tenaga, dan pikiran yang dengan sabar membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

3. Bapak Dr. Hongki Julie, M.Si., selaku Ketua Program Studi Matematika yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian

4. Segenap dosen dan staf sekretariat JPMIPA atas segala pelayanan dan bantuan yang diberikan.

5. Br. Anton Hardianto, FIC selaku kepala sekolah SMP Pangudi Luhur I Klaten yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMP Pangudi Luhur I Klaten.

6. Ibu S. Setyawati, S. Pd., selaku guru bidang studi matematika SMP Pangudi Luhur I Klaten yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses pelaksanaan penelitian.


(10)

(11)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Pembatasan Masalah ... 5

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : LANDASAN TEORI A. Belajar ... 9

B. Pembelajaran ... 11

C. Pendekatan Konstruktivisme ... 12

D. Model Pembelajaran Kooperatif ... 20

E. Motivasi ... 46


(12)

xi

G. Kerangka Berpikir ... 61

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 64

B. Subjek Penelitian ... 64

C. Objek Penelitian ... 64

D. Variabel Penelitian ... 65

E. Bentuk Data ... 65

F. Tehnik Pengumpulan Data ... 66

G. Instrumen Penelitian ... 67

H. Tehnik Analisis Data ... 76

I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 80

J. Penjadwalan Waktu Penelitian ... 82

BAB IV : HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Diskripsi Sekolah ... 84

B. Diskripsi Siswa ... 86

C. Laporan Pelaksanaan Uji Coba Soal Evaluasi Belajar ... 87

D. Laporan Pelaksanaan Penelitian ... 91

E. Analsis Data ... 117

F. Pembahasan ... 129

G. Kelemahan-kelemahan Pembelajaran yang Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme dengan Model Kooperatif Tipe TSTS ... 135

H. Keterbatasan Selama Penelitian ... 136

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan... 137

B. Saran ... 138


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Rencana Pembelajaran ... .... 68

Tabel 3. 2 Kisi-kisi Motivasi Belajar ... .... 69

Tabel 3. 3 Kisi-kisi Test Kemampuan Awal ... ... 71

Tabel 3. 4 Kisi-kisi Test Evaluasi Belajar (Soal Pilihan Ganda) ... .. 71

Tabel 3. 5 Kisi-kisi Test Evaluasi Belajar (Soal Uraian) ... .. 72

Tabel 3. 6 Skor Maksimal Per Butir Soal Tes Kemampuan Awal ... 76

Tabel 3. 7 Kategori Nilai Tes ... ... 77

Tabel 3. 8 Skor Maksimal Per Butir Soal Tes Evaluasi Belajar ... .. 77

Tabel 3. 9 Kategori Presentase ... ... 79

Tabel 3.10 Panduan Pemberian Skor Kuesioner ... ... 79

Tabel 3. 11 Jadwal Waktu Pelaksanaan ... ... 82

Tabel 4. 1 Jumlah Siswa ... 86

Tabel 4. 2 Analisis Keterlaksanaan Kegiatan ... 117

Tabel 4. 3 Hasil Tes Kemampuan Awal ... 119

Tabel 4. 4 Presentase Kategori Nilai Tes Kemampuan Awal ... 120

Tabel 4. 5 Hasil Nilai Uji Coba Soal Evaluasi Belajar Pertama ... 121

Tabel 4. 6 Validitas Uji Coba Soal Pilihan Ganda Pertama ... 122

Tabel 4. 7 Validitas Uji Coba Soal Uraian Pertama ... 123

Tabel 4. 8 Hasil Nilai Uji Coba Soal Evaluasi Belajar Kedua ... 123

Tabel 4. 9 Validitas Uji Coba Soal Pilihan Ganda Kedua ... 124

Tabel 4. 10 Validitas Uji Coba Soal Evaluasi Belajar Uraian Pertama ... 125

Tabel 4. 11 Hasil Tes Evaluasi Belajar ... ... 126

Tabel 4. 12 Presentase Kategori Nilai Tes Evalusasi Belajar... . 127

Tabel 4. 13 Hasil Kuesioner Motivasi Belajar ... 127


(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1 Diagram Presentase Kategori Nilai Kemampuan Awal ... 120 Gambar 4. 2 Diagram Kategori Nilai Tes Evalusasi Belajar ... 127 Gambar 4. 3 Diagram Kategori Motivasi Belajar ... 128


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... ... 143

Lampiran 2 Kode Siswa ... ... 163

Lampiran 3 LKS Operasi Hitung Perkalian Bilangan Bulat ... ... 167

Lampiran 4 LKS Sifat-sifat Operasi Hitung Perkalian Bilangan Bulat .... 169

Lampiran 5 LKS Operasi Hitung Pembagian Bilangan Bulat ... ... 172

Lampiran 6 LKS Sifat-sifat Operasi Hitung Perkalian Bilangan Bulat dan Operasi Hitung Campuran ...174

Lampiran 7 Soal Tes Kemampuan Awal ... 177

Lampiran 8 Soal Uji Coba Tes Evaluasi Belajar Pertama ... 178

Lampiran 9 Pedoman Penskoran Uji Coba Tes Evaluasi Belajar Pertama ... 181

Lampiran 10 Soal Uji Coba Tes Evaluasi Belajar Kedua ... 183

Lampiran 11 Pedoman Penskoran Uji Coba Tes Evaluasi Belajar Kedua ... 186

Lampiran 12 Soal Tes Evaluasi Belajar ... 188

Lampiran 13 Pedoman Penskoran Tes Evaluasi Belajar... 191

Lampiran 14 Contoh Hasil Uji Coba Soal Tes Evaluasi Belajar Pertama ... 193

Lampiran 15 Contoh Hasil Uji Coba Soal Tes Evaluasi Belajar Kedua ... 202

Lampiran 16 Lembar Pengamatan Keterlaksanaan Kegiatan ... 211

Lampiran 17 Contoh Hasil Tes Kemampuan Awal ... 232

Lampiran 18 Contoh Hasil Pengerjaan LKS ... 235

Lampiran 19 Contoh Hasil Tes Evaluasi Belajar ... 253


(16)

xv

Lampiran 21 Hasil Validitas dan Realibilitas Uji Coba Soal Evaluasi

Belajar Pertama ... . 265 Lampiran 22 Hasil Validitas dan Realibilitas Uji Coba Soal Evaluasi

Belajar Kedua ... 273 Lampiran 23 Foto Kegiatan Pembelajaran ... 281


(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kegiatan pembelajaran terdapat interaksi antara guru dengan peserta didik. Guru mengambil peranan yang penting dalam melakukan proses pembelajaran yang berawal dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Guru merupakan faktor yang ikut menentukan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan demikian, guru diharapkan dapat menciptakan situasi lingkungan belajar yang baik yaitu menciptakan suasana kelas yang kondusif, menciptakan situasi yang di mana antara guru dengan peserta didik dapat berinteraksi dengan baik pada saat pembelajaran berlangsung, menciptakan situasi tempat yang nyaman untuk belajar. Dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakannya pendekatan dan metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik dengan tepat supaya mampu mencapai keberhasilan dalam proses pembelajaran.

Keberhasilan yang dicapai oleh guru dalam mengajar dapat dilihat serta diukur dari hasil belajar peserta didik. Pada mata pelajaran matematika, sering terjadi peserta didik yang hasil belajarnya kurang baik. Menurut pandangan peserta didik, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit. Hal tersebut dapat terlihat pada saat peserta didik selesai mengerjakan soal ulangan, ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan ujian nasional. Pada saat peserta didik sudah selesai


(18)

menyelesaikan ulangan serta ujian, biasanya banyak peserta didik yang mengeluh karena kurang dapat menyelesaikan soal dengan baik. Selain peserta didik, masyarakat luas pun juga menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit.

Matematika merupakan suatu ilmu yang berkenaan dengan konsep abstrak yang disusun secara hierarki dan penalaran deduktif yang membutuhkan pemahaman secara bertahap dan berurutan. Pemahaman konsep merupakan tahap awal yang diambil sebelum melangkah ke tahap selanjutnya yaitu aplikasi dalam perhitungan matematika. Pada kenyataannya yang terjadi di sekolah-sekolah, peserta didik kurang mampu memahami materi yang diajarkan oleh guru sehingga peserta didik kesulitan untuk menanamkan konsep dalam dirinya.

Nilai pelajaran matematika yang diperoleh peserta didik biasanya kurang baik. Hal tersebut diakibatkan karena peserta didik masih mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami materi, antara lain :

1. Rendahnya pemahaman peserta didik tentang konsep matematika yang sedang dipelajari atau digunakan.

2. Banyaknya kesalahan dalam menyelesaikan soal, baik kesalahan dalam perhitungan maupun dalam penerapan konsep.

3. Kurangnya keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran.


(19)

4. Rendahnya semangat atau motivasi peserta didik dalam mempelajari matematika.

Hal lain yang menyebabkan sulitnya mencapai nilai yang baik antara lain karena latar belakang IQ peserta didik yang heterogen. Dalam suatu kelas terdapat peserta didik yang memiliki IQ tinggi dan ada juga yang memiliki IQ sangat rendah. Tidak meratanya IQ peserta didik menjadi kendala bagi guru dalam penyampaian materi pelajaran. Di satu sisi, sebagian peserta didik mampu memahami materi dengan cepat, namun disisi lain terdapat juga peserta didik yang sangat sulit memahami materi yang disampaikan oleh guru.

Berdasarkan keadaan tersebut maka peneliti berkeinginan untuk menawarkan dan menerapkan pendekatan kontruktivisme untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Karena pada dasarnya bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Oleh karena itu, untuk mendukung keterlaksanaan pendekatan konstruktivisme diperlukan suatu model pembelajaran. Model pembelajaran yang akan diterapkan yaitu model pembelajaran kooperatif, dimana pembelajaran kooperatif tersebut merupakan suatu strategi pembelajaran yang menerapkan kerja sama dalam suatu kelompok. Salah satu model pembelajaran yang nantinya akan digunakan dalam penelitian ini adalah


(20)

model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran ini memberikan kesempatan pada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan yang mendasar dalam proses belajar mengajar di kelas, sehingga hasil belajar dapat lebih baik. Dengan demikian, peneliti melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme dengan Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada Materi Bilangan Bulat di kelas VII SMP PANGUDI LUHUR I Klaten”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat?

2. Bagaimana hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan


(21)

model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat ?

3. Bagaimana motivasi belajar peserta didik ketika belajar matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengatahui pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat.

2. Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat.

3. Untuk mengetahui motivasi belajar peserta didik ketika belajar matematika dengan pendekatan konstruktivisme yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) pada materi operasi hitung bilangan bulat.


(22)

D. Pembatasan Masalah

Rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas dibatasi oleh beberapa hal, antara lain :

1. Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 untuk peserta didik di kelas VII C.SMP Pangudi Luhur I Klaten

2. Materi yang diterapkan dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) adalah operasi hitung pada bilangan bulat dengan sub bab operasi hitung perkalian, pembagian, dan campuran pada bilangan bulat.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami dan demi menghindarkan dari bermacam-macam penafsiran, maka penulis memberikan penjelasan tentang pengertian beberapa istilah yang tercantum dalam penelitian ini sehingga diketahui arti dan makna dalam pembelajaran yang diadakan.

a. Pendekatan Konstruktivisme

Pendekatan menurut Sanjaya (2008 : 127) dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Penentuan pendidik dalam menentukan pendekatan yang digunakan pada saat proses pembelajara harus tepat. Artinya bahwa dalam


(23)

melakukan proses pembelajaran, konsep awal yang harus dilakukan adalah memahami dasar sudut pandang yang digunakan pendidik.

Richardson (Wardoyo, 2013) menyatakan bahwa konstruktivisme merupakan sebuah keadaan di mana individu menciptakan pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada apa yang mereka ketahui dan percayai, serta ide dan fenomena di mana mereka berhubungan.

b. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) Menurut Rusman (2010) pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.

Metode TSTS atau metode dua tinggal dua tamu dikembangkan oleh Kagan (Lie, 2010: 60). Metode ini memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain.

c. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004).

d. Mc. Donald (Sardiman, 1986) mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.


(24)

F. Manfaat Hasil Penelitian 1. Bagi guru :

a. Memberi wawasan untuk guru supaya dapat melaksanakan pembelajaran yang dapat memberikan pelayanan terbaik untuk peserta didik.

b. Memberi semangat bagi guru untuk melakukan persiapan pembelajaran yang lebih baik.

c. Memotivasi guru untuk mengadakan penelitian yang bermanfaat bagi perbaikan proses pembelajaran matematika.

2. Bagi Peserta Didik

a. Memberikan kemampuan peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya melalui pembelajaran dengan pengembangan perangkat pembelajaran matematika konstruktivisme dengan metode TSTS. Dapat tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga prestasi belajar menjadi lebih baik.

b. Dapat meningkatkan potensi yang dimiliki peserta didik dan meningkatkan keterampilan berproses peserta didik dalam belajar yang dapat menjadikan peserta didik jenuh pada saat belajar. c. Dapat menumbuhkan sikap mau bekerjasama antar teman sehingga


(25)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Belajar

1. Definisi Belajar

Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hayat. Hampir semua kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi dan berkembang kerena belajar (Suryabarata, 2002). Dengan demikian, belajar merupakan suatu proses penting yang terjadi dalam kehidupan setiap orang. Karenanya, pemahaman yang benar tentang konsep belajar sangat diperlukan, terutama bagi kalangan pendidik yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh para ahli adalah :

a. Lester D. Crow dan Alice Crow (1958) menyatakan bahwa belajar adalah perolehan kebiasaan, pengetahuan, dan sikap, termasuk cara baru untuk melakukan sesuatu dan upaya-upaya seseorang dalam mengatasi kendala atau menyesuaikan situasi yang baru. Belajar menggambarkan perubahan progresif perilaku seseorang ketika beraksi terhadap tuntutan-tuntutan yang dihadapkan pada dirinya. Belajar memungkinkan seseorang memuaskan perhatian atau mencapai tujuannya. Definisi ini lebih menekankan pada perubahan yang dialami seseorang setelah ia belajar.


(26)

b. Hilgard dan Bower (dalam Snelbecker, 1974) dalam buku mereka yang berjudul Theories of Learning berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses di mana sebuah aktivitas dibentuk atau diubah melalui reaksi terhadap situasi yang dihadapi, yang mana karakteristik perubahan tersebut bukan disebabkan oleh kecenderuangan respon alami, kematangan atau perubahan sementara karena suatu hal. Definisi ini menekankan belajar sebagai proses, bukan hasil seperti kebanyakan definisi sebelumnya.

c. Cathrine Twomey Fosnot dkk. (1996) dalam buku mereka yang berjudul Conntruktivism : Theory, Perspective, and Practice mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses pengaturan dalam diri seseorang yang berjuang dengan konflik antara model pribadi yang telah ada dan hasil pemahaman yang baru tentang dunia ini sebagai hasil konstruksinya, manusia adalah makhluk yang membuat makna melalui aktivitas sosial, dialog, dan debat. Definisi ini juga menekankan pada proses, dan proses yang dijelaskan berdasarkan paradigma konstruktivis.

d. Sumadi Suryabrata (2002) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang memiliki tiga ciri, yaitu (1) proses tersebut membawa perubahan (baik aktual maupun potensial), (2) perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru, dan (3) perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja). Definisi ini menekankan pada hasil belajar berupa perubahan pada diri seseorang.


(27)

Dari berbagai pengertian di atas, tampak bahwa para ahli mendefinisikan belajar secara berbeda-beda. Akan tetapi, jika dicermati lebih lanjut ada beberapa titik kesamaannya dan bisa dipadukan untuk memperoleh sebuah pemahaman tentang belajar. Berdasarkan definisi-definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa :

a. Belajar adalah sebuah proses yang memungkinkan seseorang memperoleh dan membentuk kompetensi, keterampilan, dan sikap yang baru;

b. Proses belajar melibatkan proses-proses mental internal yang terjadi berdasarkan latihan, pengalaman, dan interaksi sosial;

c. Hasil belajar ditunjukkan oleh terjadinya perubahan perilaku (baik aktual maupun potensial); dan

d. Perubahan yang dihasilkan dari belajar bersifat relatif permanen.

B. Pembelajaran

1. Definisi Pembelajaran

Menurut Slavin (2011 : 117) pembelajaran didefinisikan sebagai perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. Perubahan yang terjadi bersifat permanen, artinya bahwa perubahan yang terjadi bukan secara serta merta namun melalui proses interaksi dan pengalaman yang sistematis.


(28)

Pembelajaran menurut Jihad dan Haris (2009 : 11) merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar dan mengajar. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan siswa, sedangkan mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Menurut Suherman pembelajaran merupakan proses komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan perilaku (Jihad dan Haris, 2009 : 11). Oleh karena itu, pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses komunikasi yang memiliki tujuan tercapainya perubahan perilaku melalui interaksi antara pendidik dengan peserta dan antar peserta didik.

C. Pendekatan Konstruktivisme

1. Hakikat Pendekatan Konstruktivisme

Pandangan konstruktivisme menurut Kukla (2000 : 3) memberikan pandangan konstruktivismenya dengan menyatakan bahwa semua konsep yang didapat oleh setiap organisme merupakan suatu hasil dari proses konstruksi. Kukla beranggapan konsep yang dibangun berhubungan dengan suatu realitas. Realitas merupakan hasil dari konstruksi setiap organisme. Menurut Kukla pada dasarnya setiap individu membentuk realitas dalam perspektif mereka masing-masing. Oleh karena itu realitas yang terbangun merupakan hasil interpretasi dari masing-masing organisme.


(29)

Menurut Bidell dan Fischer (2005 : 10) konstruktivisme memiliki karakteristik adanya perolehan pengetahuan sebagai produk dari kegiatan organisasi sendiri oleh individu dalam lingkungan tertentu.

Richardson (1997 : 3) menyatakan bahwa konstruktivisme merupakan sebuah keadaan di mana individu menciptakan pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada apa yang mereka ketahui dan percayai, serta ide dan fenomena di mana mereka berhubungan.

Menurut Chaille dan Britain (2003 : 5) terdapat dua perbedaan pandangan terhadap bagaimana peserta didik belajar. Pertama perspektif behavioral yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan suatu proses pentransferan dari seseorang (pendidik) kepada peserta didik. Kedua adalah pandangan konstruktivis menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan yang aktif dan dinamis. Oleh karena itu, untuk memahami proses pengkonstruksian pengetahuan diperlukan pengkonsepan proses pembelajaran sebagai salah satu aspek dalam teori pembangunan konsep peserta didik.

Titik krusial dalam pandangan konstruktivisme adalah terkait dengan proses pembelajaran. Pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran lebih menekankan proses daripada hasil pembelajaran. Artinya bahwa hasil belajar yang merupakan tujuan pembelajaran tetap dianggap penting, namun di sisi lain proses belajar yang melibatkan cara maupun strategi juga dianggap penting. Pandangan konstruktivisme menganggap bahwa


(30)

belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan. Proses aktif tersebut sangat didukung oleh terciptanya interaksi antara peserta didik dan guru, dan interaksi antar peserta didik.

Pendekatan menurut Sanjaya (2008 : 127) dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Penentuan pendidik dalam menentukan pendekatan yang digunakan pada saat proses pembelajara harus tepat. Artinya bahwa dalam melakukan proses pembelajaran, konsep awal yang harus dilakukan adalah memahami dasar sudut pandang yang digunakan pendidik.

Pendekatan pembelajaran jika dilihat dari pusat pembelajaran dibedakan menjadi teacher centered learning dan student centered learning. Jika dlihat dari pengkonsepan pengetahuan dalam pembelajaran atau teori belajar dibedakan menjadi teori behavioristik dan konstruktivisme. Adapun jika dilihat dari cara belajar dibedakan menjadi kooperatif dan individualism.

Pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme menuntut agar seorang pendidik mampu menciptakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui interaksi sosial yang terjalin di dalam kelas, aktivitas siswa dalam pembelajaran konstruktivisme dapat dilakukan dengan kegiatan mengamati fenmena-fenomena, mengumpulkan data-data,


(31)

meruuskan dan mengudi hipotesis-hipotesis, dan bekerjasama dengan orang lain (Schunk, 2012 : 324).

2. Pendekatan Psikologi Berbasis Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahwa anak membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia di sekitarnya atau dengan kata lain, anak dapat membelajarkan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamannya (Bartlett 1932, Jannason, 1991).

Kemampuan ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menghadapi situasi baru dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, anak menyesuaikan dirinya dengan situasi baru tersebut. Misalnya, untuk memotong diperlukan pisau, apabila pisau tidak ada, maka anak tersebut mencoba berbagai hal berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya, antara lain; anak akan mematahkan benda yang akan dipotongnya dengan kedua tangannya atau ia menggunakan alat lain yang dapat dipakai untuk memotong. Oleh sebab itu, dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, anak tersebut akan mengajukan berbagai pertanyaan relevan, kemudian melakukan eksplorasi yang diikuti dengan mengevaluasi apakah pengetahuan yang telah dimilikinya dapat diterapkan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Berdasarkan hal tersebut, maka pembelajaran menurut


(32)

konstruktivisme adalah mendorong siswa dalam menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dan selanjutnya siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri sebagai hasil dari pemahamannya terhadap masalah yang dipecahkannya.

3. Pengertian Teori Belajar Kontruktivisme

Dalam kerangka konstruktivis, belajar dimaknai sebagai suatu upaya pengkonstruksian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya (Tasker, 1992). Belajar merupakan suatu proses pemaknaan yang melibatkan konstruksi-konstruksi dari para pembelajar (Sukadi, 1999; Sadia, 1996; Fosnot, 1989). Selanjutnya, Dyle & Haas (1997) dan Putrayasa (2010; 2011) menyatakan bahwa belajar menurut pandangan konstruktivis lebih diarahkan pada terbentuknya makna pada diri pembelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih ditekankan pada terbentuknya hubungan-hubungan makna antara pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan baru dengan fasilitasi kreativitas guru selaku mediator pembelajaran. Dengan demikian, dilihat dari dimensi pembelajaran, model konstruktivis memandang belajar itu sebagai sebuah proses modifikasi ide dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa menuju terbentuknya pengetahuan baru. Dalam proses ini siswa secara


(33)

aktif terlibat dalam upaya penemuan makna dari apa yang dipelajarinya, sehingga secara langsung berdampak pada tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir mereka selama pembelajaran berlangsung (Sharon Lee, 1994). Di samping itu, aplikasi model konstruktivis memungkinkan siswa untuk menguasai materi pelajaran secara lebih komprehensif dan bermakna, mengingat mereka terlibat secara aktif selama berlangsungnya pembelajaran (Putrayasa, 2010; 2011).

Model konstruktivis memberi beberapa peluang bagi kalangan guru untuk mengatasi berbagai persoalan yang terkait dengan rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, karena model ini dapat memfasilitasi keterlibatan aktif dan berkembangnya keterampilan berpikir siswa selama pembelajaran. Jadi, dalam pandangan konstruktivisme sangat penting peran siswa untuk dapat dapat membangun constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar.

4. Konstruktivisme dan Pengetahuan

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan memrupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri.


(34)

Menurut Suparno (dalam Adisusilo, 2012) kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi merupakan suatu proses menjadi. Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkkan konsep, ide, nilai, moral, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.

Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (dalam Suparno, 1997), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut : (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman; (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan; dan (3) kamampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.

Menurut Suparno (dalam Adisusilo, 2012) pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan, tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau


(35)

dunia sejauh dialmaninya. Proses pembentukan ini berjalan terus-menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Menurut Suparno (1997) secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut :

1) Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang

perlu untuk pengetahuan.

3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

5. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar

Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme menurut Suparno (dalam Adisusilo, 2012) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah :

1) Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial.

2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.


(36)

3) Peserta didik aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah.

4) Pendidik sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.

6. Prinsip-Prinsip Penerapan Konstruktivisme

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa konstruktivisme dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa anak atau siswa dapat mengkonstruks atau membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri. Oleh sebab itu, belajar adalah proses mengakomodasi pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh pengetahuan yang baru yang terjadi dalam rangka mencocokkan apa yang telah diketahui dengan apa yang dihadapai. Berkaitan dengan hal tersebut, Brook & Brook (1993 : 34) mengemukakan prinsip-prinsip penerapan pendekatan konstruktivisme, yang diperkaya oleh Jamaris (2004 : 101) seperti berikut ini.

a. Belajar perlu dimulai dari isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan siswa dalam mengkonstruk pemahaman dan pengetahuannya secara aktif. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa belajar adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka menemukan makna dari apa yang dipelajari.


(37)

b. Proses pembelajaran perlu disusun dengan memperhatikan konsep utama dan bagian-bagian yang berkaitan dengan konsep utama tersebut. Hal ini disebabkan karena kebermaknaan mempersyaratkan pemahaman konsep, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian dari konsep.

c. Pemahaman terhadap model mental yang digunakan siswa dalam memahami dunia di sekitarnya dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar dalam pengembangan model mental tersebut perlu dipahami oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses pembelajaran.

d. Pembelajaran perlu disajikan dalam konteks yang dapat membantu siswa untuk membangun pemahaman dan pengetahuannya secara interdisiplin. Hal ini disebabkan karena tujuan belajar bukan hanya menghafal, akan tetapi memahami sesuatu dalam konteks yang mengandung makna.

e. Asesmen merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini disebabkan karena aesmen tidak dilakukan hanya untuk mengetahui hasil belajar yang dilakukan di akhir proses belajar. Sehubungan dengan hal tersebut, sumber belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa perlu disediakan.

f. Berkaitan dnegan pandangan konstruktivisme terhadap kemampuan siswa dalam membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri maka penggunaan kurikulum yang standar perlu dihindari. Oleh sebab itu, kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan pengetahuan


(38)

aktual yang dimiliki siswa yang diarahkan pada kemampuan pemecahan masalah secara aktual.

g. Konstruktivisme menganjurkan agar menghindari pemberian nilai berdasarkan tes yang telah distandarisasi, karena asesmen merupakan bagian dari proses belajar yang melibatkan siswa dalam menilai kemajuan belajar yang telah dicapainya.

h. Pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme menekankan peranan pendidikan dalam menghubungkan fakta-fakta yang ada dapat mempertajam pemahaman siswa dalam usahanya membangun pengetahuan barunya sendiri. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran digunakan adalah strategi yang mampu mendorong siswa untuk melakukan analisis, interpretasi, dan memprediksi. Berkaitan dengan hal tersebut, guru disarankan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat open-ended question atau pertanyaan yang dapat memunculkan berbagai pendapat yang bersifat divergent, artinya pertanyaan yang tidak dijawab dengan jawaban “ya atau tidak”. Dengan demikian, dialog antara siswa dapat terjadi dengan baik.

7. Karakeristik Penerapan Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Jamaris (2012 : 154) mengatakan bahwa teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky pada tahap selanjutnya diperluas oleh ahli-ahli terkait melalui berbagai penelitian yang dilakukan mereka. Dari


(39)

berbagai hasil penelitian tersebut dapat disintesis karakteristik konsep-konsep konstruktivisme dalam pendidikan, seperti yang dijelaskan berikut ini.

a. Konsep penting dalam penerapan konstruktivisme di bidang pendidikan adalah zone of proximal yang diterapkan melalui scaffolding, yaitu suatu proses pemberian bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya kepada apa yang harus diketahuinya.

b. Di dalam mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah, perlu dipertimbangkan :

1. Keterampilan yang belum dikuasai siswa; 2. Keterampilan yang tidak dapat dilakukan siswa; 3. Keterampilan yang mungkin dapat dilakukan siswa;

4. Keterampilan yang dapat dilakukan siswa dengan bantuan orang lain.

c. Guru yang bijaksana memberikan dukungan pada siswa dalam usahanya mencapai perkembangannya secra optimal. Oleh sebab itu, scaffolding merupakan aspek yang penting di dalam proses pembelajaran.

d. Proses pembelajaran yang menerapkan prinsip konstruktivisme dikelola melalui pendekatan lingkungan secara nyata yang dilakukan dengan berbagai kegiatan nyata.


(40)

e. Pendidikan dan pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme memiliki ciri-ciri :

1. Berbagai materi dan konsep disajikan dalam berbagai perspektif dan konteks.

2. Tujuan pendidikan dan pembelajaran ditetapkan bersama oleh siswa dan guru.

3. Pendidik berperan sebagai pembimbing, mediator, monitor, dan fasilitator.

4. Berbagai kegiatan belajar, kesempatan, sarana dan prasarana disiapkan untuk mendorong perkembangan metakognitif, kemampuan analitis secara mandiri, kemampuan mengontrol dan merefleksikan diri secara mandiri.

5. Siswa memegang peranan penting dalam mengontrol dan memediasi proses belajar.

6. Situasi belajar, lingkungan belajar, keterampilan, isi, tugas-tugas belajar menekankan prinsip relevansi, realistik, autentik, dan merepresentasikan dunia nyata secara alami bersifat kompleks. 7. Penekanan hasil belajar tidak hanya pada hasil belajar, tetapi pada

proses mengkontruksi pengetahuan.

8. Pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berlangsung, baik secara individual maupun melalui negosiasi sosial, kolaboratif dan pengalaman aktual.


(41)

9. Pengetahuan yang telah dibangun siswa pada masa sebelumnya, keyakinan dan sikap yang telah dimiliki siswa merupakan bahan-bahan pertimbangan penting dalam membangun pengetahuan barunya.

10. Pemecahan masalah, penerapan proses berpikir tinggi, dalam pemahaman yang mendalam dan komprehensif merupakan hal-hal yang menjadi penekanan dalam proses pembelajaran.

11. Kesalahan dipandang sebagai peluang dalam usaha memahami dan membangun pengetahuan yang baru.

12. Eksplorasi merupakan kegiatan pembelajaran yang diterapkan dengan tujuan untuk mendorong siswa dalam mencari dan membangun pengetahuannya sendiri secara mandiri untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.

13. Siswa dihadapkan pada berbagai kesempatan yang memberi peluang untuk mempelajari berbagai tugas belajar yang secara bertahap ditingkatkan kesulitannya melalui interelasi berbagai konsep dan berbagai disiplin ilmu,

14. Penerapan metode kerja kelompok merupakan isu utama dalam mengungkapkan berbagai alternatif dan beragai pandangan dalam pemecahan suatu masalah.


(42)

8. Perbandingan antara Kelas Konstruktivisme dan Tradisional Brooks (Suprijono, 2009 : 36) memberikan perbandingan antara kelas konstruktivisme dan tradisional sebagai berikut :

No. Konstruktivisme Tradisional

1. Kegiatan belajar bersandar pada materi hands on

Kegiatan belajar bersandar pada tex- books

2. Presentasi materi dimulai dengan keseluruhan kemudian pindah ke bagian-bagian

Presentasi materi dimulai dengan bagian-bagian, kemudian pindah ke keseluruhan

3. Menekankan pada ide-ide besar Menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar

4. Guru mengikuti pertanyaan peserta didik

Guru mengikuti kurikulum yang pasti

5. Guru menyiapkan lingkungan belajar di mana peserta didik dapat

menemukan pengetahuan

Guru mempresentasikan informasi ke peserta didik

6. Guru berusaha membuat peserta didik mengungkapkan sudut pandang dan pemahaman mereka sehingga mereka dapat memahami pembelajaran mereka

Guru berusaha membuat peserta didik memberikan jawaban yang “benar”

9. Kelebihan dan Kelemahan Menggunakan Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut Yaya Sutisna (2013) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme memiliki kelebihan, antara lain:

a. Berpikir : dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan.


(43)

b. Pemahaman : murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.

c. Mengingat murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Melalui pendekatan ini siswa membina sendiri pemahaman mereka, justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru. d. Kemahiran sosial : kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.

Menurut Yaya Sutisna (2013) pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivisme memiliki kelemahan, antara lain:

a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.

b. Membutuhkan waktu yang lama dan semua siswa membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.

c. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.


(44)

d. Meskipun guru hanya motivator dan memediasi jalannya proses belajar, tetapi guru harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi siswa sehingga dibutuhkan pengajaran yang mengapersepsi nilai-nilai kemanusiaan.

10. Peranan Guru dalam Kelas Berbasis Konstruktivisme

Pandangan Konstruktivisme tentang proses perkembangan manusia mempengaruhi berbagai kebijakan dan tindakan yang diterapkan di dalam dunia pendidikan dan pembelajaran (Jamaris, 2012 : 156), seperti dijelaskan berikut ini.

a. Konstruktivisme memodifikasi teori pendidikan dan pembelajaran ke arah yang lebih manusiawi dengan memadukan kemampuan yang ada di dalam diri individu dengan lingkungan yang ada di sekitarnya serta pemberian kesempatan pada anak untuk menentukan strategi belajarnya, lingkungan belajarnya, proses dan kecepatan belajarnya.

b. Konstruktivisme memodifikasi tugas dan peranan guru dari bersifat menentukan berubah menjadi memberikan bantuan kepada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran, fungsi dan peranan guru adalah sebagai fasilitator, mediator, dan motivator.


(45)

Sebagai fasilitator, guru perlu menyediakan media dan peralatan yang diperlukan siswa untuk memecahkan masalah dan melakukan kegiatan inquiri (penyelidikan) dan discovery (penemuan). Oleh sebab itu, dalam mendesain proses pembelajaran, guru yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam menganalisis, memprediksi sehingga secara kreatif membangun pengetahuannya sendiri.

2. Guru merupakan mediator

Sebagai mediator dalam proses pembelajaran, guru perlu dengan mengatur lingkungan belajar yang bersifat problem based learning atau belajar berdasarkan masalah yang dihadapi yang membuat siswa mampu memformulasikan dan mengevaluasi ide-idenya, menarik kesimpulan dam memahami implikasinya, serta menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa bekerja sama secara kolaboratif dengan siswa lainnya. Dengan demikian, guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan strategi belajar yang dipilihnya sendiri.

3. Guru adalah motivator

Sebagai motivator dalam proses belajar siswa, guru dapat melakukannya dengan jalan mendorong siswa untuk


(46)

melaksanakan brain storming atau bertukar pikiran, berdiskusi dengan pihak-pihak terkait apabila diperlukannya. Selanjutnya, guru juga perlu mendorong siswa untuk mmenggunakan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, guru yang menerapkan pendekatan konstruktivisme menghargai autonomi dan inisiatif siswa.

D. Model Pembelajaran kooperatif (Coperative Learning) 1. Pembelajaran Kooperatif

Menurut Rusman (2010) pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.

Menurut Nurulhayati (Rusman, 2010 : 201) pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi.

Karakteristik model pembelajaran kooperatif antara lain: 1) Pembelajaran scara Tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dilakukan secar tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh


(47)

karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Setiap anggota tim harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2) Didasarkan pada Manajemen Kooperatif

Manajeman memiliki 3 fungsi, yaitu : (a) Fungsi manajemen sebagai perencanaan pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, dan langkah-langkah pembelajaran yang ditentukan. (b) Fungsi manajemen sebagai organisasi, menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang, agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif. (c) Fungsi manajemen sebagai kontrol, menujukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui bentuk tes maupun non tes.

3) Kemauan untuk Bekerja Sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karenanya prinsip kebersamaan atau kerja sama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif.

4) Keterampilan Bekerja Sama

Kemampuan bekerja sama itu dipraktikkan melalui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran secara berkelompok. Dengan


(48)

demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Pembelajaran kooperatif akan efektif digunakan apabila : (1) guru menekankan pentingnya usaha bersama di samping usaha secara individual, (2) guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar, (3) guru ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4) guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, (5) guru menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan. (Sanjaya, 2006)

Menurut Rusman (2012 : 212-213) prosedur atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Penjelasan Materi

Pada tahapan penjelasan materi, hal yang dilakukan dalam proses pembelajaran adalah tahapan penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dan berinteraksi di dalam kelompok.

b. Belajar Kelompok

Tahapan belajar kelompok dilakukan setelah pendidik memberikan penjelasan materi kepada peserta didik dan


(49)

membentuk peserta didik menjadi beberapa kelompok untuk bekerjasama membahas materi yang telah ditentukan. Belajar kelompok sangat menuntut adanya aktivitas siswa secara optimal agar masing-masing anggota kelompok dapat beradaptasi dan berinteraksi dalam proses belajar di setiap kelompoknya.

c. Penilaian

Tahapan penilaian merupakan tahapan yang dilakukan pada proses pembelajaran dengan melalui tes maupun penilaian non tes. Tahapan ini bertujuan untuk mengukur hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Penilaian dilakukan dengan cara memberikan penilaian secara individu maupun penilaian berdasarkan kemampuan kelompoknya. Setiap informasi yang didapatkan dari hasil penilaian dijadikan sumber autentik dan dipadukan untuk memberikan keputusan akhir terhadap hasil belajar yang dicapai oleh setiap peserta didik.

d. Pengakuan Tim

Tahapan pengakuan tim adalah tahapan di mana pendidik menetapkan tim (kelompok) yang paling menonjol atau berprestasi dalam proses pembelajaran. Kepada tim (kelompok) tersebut diberikan penghargaan atau hadiah, atau pengakuan yang diharapkan akan memotivasi kelompok lain untuk terus meningkatkan prestasinya dalam kegiatan pembelajaran.


(50)

Keunggulan dan kelemahan Pembelajaran Kooperatif (Sutarjo, 2012 : 118) sebagai berikut :

1) Keunggulan

a. Peserta didik tidak terlalu menggantungkan diri pada pendidik, meningkatkan kepercayaan diri dalam berpikir. b. Mengembangkan kemampuan mengungkapkan gagasan

sendiri dan membandingkan dengan gagasan teman. c. Belajar menghargai orang lain dan menyadari keterbatasan

diri.

d. Meningkatkan rasa tanggung jawab pribadi.

e. Meningkatkan kemampuan memecahkan permasalahan tanpa merasa takut membuat kesalahan.

f. Meningkatkan keterampilan interaksi, meningkatkan motivasi untuk berprestasi.

2) Kelemahan

a. Semangat belajar kelompok perlu waktu cukup lama untuk dipahami peserta didik sebagai cara belajar yang efektif. b. Belajar kelompok memang memberi manfaat dalam

kehidupan keseharian, namun sebagian besar aktivitas individual paling dominan dalam kehidupan nyata.


(51)

c. Menumbuhkan semangat peer teaching di kalangan peserta didik tidaklah mudah.

2. Tipe-tipe Model Pembelajaran Kooperatif

a. Student Team Achivement Divisions (STAD)

Metode yang dikembangkan Slavin ini melibatkan “kompetisi” antar kelompok. Siswa dikelompokkan secara beragam berdasarkan kemampuan, gender, ras, dan etnis. Pertama-tama, siswa mempelajari materi bersama dengan teman-teman satu kelompoknya, kemudian mereka diuji secara individual melalui kuis-kuis.

Perolehan nilai kuis setiap anggota menentukan skor yang diperoleh oleh kelompok mereka. Jadi, setiap anggota harus berusaha memperoleh nilai maksimal dalam kuis jika kelompok mereka ingin mendapatkan skor yang tinggi. Slavin menyatakan bahwa metode STAD ini dapat diterapkan untuk beragam materi pelajaran, termasuk sains, yang di dalamnya terdapat unit tugas yang hanya memiliki satu jawaban yang benar.

b. Teams-Games-Turnament (TGT)

Dikembangkan oleh Slavin dan rekan-rekannya, penerapan TGT mirip dengan STAD dalam hal komposisi kelompok,


(52)

format instruksional, dan lembar kerjanya. Bedanya, jika STAD fokus pada komposisi kelompok berdasarkan kemampuan ras, etnis, dan gender, maka TGT umumnya fokus hanya pada level kemampuan saja. Selain itu, jika dalam STAD, yang digunakan adalah kuis, maka dalam TGT istilah tersebut biasanya berganti menjadi game akademik.

Teknis pelaksanaannya mirip dengan STAD. Setiap siswa ditempatkan dalam satu kelompok yang terdiri dari 3 orang yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. Dengan demikian, masing-masing kelompok memiliki komposisi anggota yang comparable. Komposisi ini dicatat dalam tabel khusus (tabel turnamen), yang setiap minggunya harus diubah. Sama seperti STAD, dalam TGT setiap angota ditugaskan untuk mempelajari materi terlebih dahulu bersama dengan anggota-anggota yang lain, lalu mereka diuji secara individual melalui game akademik. Nilai yang mereka peroleh dari game ini akan menentukan skor kelompok mereka masing-masing.

c. Jigsaw

Metode jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Aronson (1975). Dalam metode jigsaw, siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 anggota. Setiap kelompok diberi informasi yang membahas salah satu topik dari


(53)

meteri pelajaran mereka saat itu. Dari informasi yang diberikan pada setiap kelompok ini, masing-masing anggota harus mempelajari bagian-bagian yang berbeda dari informasi tersebut. Misalnya, jika kelompok A diminta mempelajari informasi tentang novel, maka lima orang anggota di dalamnya harus mempelajari bagian-bagian yang lebih kecil dari novel, seperti tema, alur, tokoh, konflik, dan latar.

Setelah mempelajari informasi tersebut dalam kelompoknya masing-masing, setiap anggota yang mempelajari bagian-bagiain ini berkumpul dengan anggota-anggota dari kelompok lain yang juga menerima bgaian-bagian yang materi yang sama. perkumpulan siswa yang memiliki bagian informasi yang sama ini dikenal dengan istilah “kelompok ahli”. Dalam kelompok ahli ini, masing-masing siswa saling berdiskusi dan mencari cara terbaik bagaimana menjelaskan bagian infromasi itu kepada teman-teman satu kelompoknya yang semula. Setelah diskusi selesai, semua siswa dalam “kelompok ahli” ini kembali ke kelompoknya yang semula, dan masing-masing dari mereka mulai menjelaskan bagian informasi tersebut kepada teman-teman satu kelompoknya. Setelah maisng-masing anggota menjelaskan bagiannya masing-masing kepada teman satu kelompoknay, mereka mulai bersiap untuk diuji secara individu. Guru memberikan kuis kepada setiap anggota kelompok untuk


(54)

dikerjakan sendiri-sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Skor yang diperoleh setiap anggota dari hasil ujian/ kuis individu ini akan menentukan skor yang diperoleh kelompok mereka.

d. Team Accelerated Instruction (TAI)

Dalam metode TAI, siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang beragam. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa dan ditugaskan untuk menyelesaikan materi pembelajaran atau PR tertentu. Pada awalnya, jenis ,etode ini dirancang khusus untuk mengejarkan matematika atau keterampilan menghitung pada siswa SD kelas 3-6. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya, metode ini mulai diterapkan pada materi pelajaran yang berbeda.

Dalam metode TAI, setiap kelompok diberi serangkaian tugas tertentu untuk dikerjakan bersama-sama. Poin-poin dalam tugas dibagikan secara berurutan kepada setiap anggota (misalnya, untuk materi matematika yang terdiri dari 8 soal, berarti empat anggota dalam setiap kelompok harus saling bergantian menjawab soal-soal tersebut). Semua anggota harus saling mengecek jawaban teman-teman satu kelompoknya dan saling memberi bantuan jika memang dibutuhkan.


(55)

Setelah itu, masing-masing anggota diberi tes individutanpa bantuan dari anggota yang lain. Selama menjalani tes individu ini, guru harus memperhatikan setiap siswa. skor tidak hanya dinilai sejauh mana siswa mampu menjalani tes itu, tetapi juga sejauh mana siswa mampu bekerja secara mandiri (tidak mencontek).

e. Numbered Head Together (NHT)

Pada dasarnya, NHT merupakan varian dari diskusi kelompok. Tehnis pelaksanaannya hampir sama dengan diskusi kelompok. Pertama-tama, guru meminta siswa untuk duduk berkelompok-kelompok. Masing-masing anggota diberi nomor. Setelah selesai, guru memanggil nomor untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Guru tidak memberitahukan nomor berapa yang akan berpresentasi selanjutnya. Begitu seterusnya hingga semua nomor terpanggil. Pemanggilan secara acak ini akan memastikan semua siswa benar-benar terlibat dalam diskusi tersebut. Menurut Slavin (1995), metode yang dikembangkan oleh Russ Frank ini cocok untuk memastikan akuntabilitas individu dalam diskusi kelompok.


(56)

f. Mencari Pasangan (Make a Match) Prosedur :

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa topik yang mungkin cocok untuk sesi review

2. Setiap siswa mendapatkan satu buah kartu

3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

4. Siswa bisa juga bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memegang kartu yang berhubungan.

g. Berpikir-Berpasangan-Berbagi (Think-Pair-Share)

Prosedur :

1. Siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat anggota/ siswa.

2. Guru memberikan tugas pada setiap kelompok.

3. Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri-sendiri terlebih dahulu.

4. Kelompok membentuk anggota-anggotanya secara berpasangan. Setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya.

5. Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing menshare hasil diskusinya.


(57)

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS

Metode TSTS atau metode dua tinggal dua tamu dikembangkan oleh Kagan (Lie, 2010: 60). Metode ini memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Hal ini dilakukan karena banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatan-kegiatan individu. Peserta didik bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan peserta didik yang lain. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu sama lainnya.

Gambar skema Diskusi Model TSTS (Kagan, Lie, 2010: 60) Keterangan :

= Peserta didik yang bertamu ke kelompok lain. = Kelompok


(58)

Menurut Wijayanti (2007: 25-27), langkah-langkah skema diskusi Model TSTS pada gambar 1 adalah sebagai berikut.

a. Peserta didik dibagi dalam kelompok berempat, setiap peserta didik dalam setiap kelompok mendapat nomor. Sistem penomoran misalnya (1a : anak dari kelompok 1 kode a, 4b : anak dari kelompok 4 kode b, dst).

b. Guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya.

c. Setelah diskusi intra kelompok usai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada kelompok yang lain

d. Anggota kelompok yang tidak mendapatkan tugas sebagai duta (tamu) mempunyai kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut.

e. Dua orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah usai menunaikan tugasnya, mereka kembali kekelompoknya masing-masing f. Setelah kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang

bertugas bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokan dan membahas hasil kerja yang telah mereka tunaikan.


(59)

Metode TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :

a. Persiapan

Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas peserta didik dan membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing anggota 4 peserta didik dan setiap anggota kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi akademik peserta didik dan suku,

b. Presentasi Guru

Pada tahap ini guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

c. Kegiatan Kelompok

Pada kegiatan ini pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap peserta didik dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, peserta didik mempelajarinya dalam kelompok kecil (4 peserta didik) yaitu mendiskusikan masalah tersebut bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok menyelesaikan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri. Kemudian 2 dari 4 anggota dari masing-masing


(60)

kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu. Setelah memperoleh informasi dari 2 anggota yang tinggal, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuannya serta mancocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

d. Formalisasi

Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahs dan mengarahkan peserta didik ke bentuk formal.

e. Evaluasi kelompok dan penghargaan

Pada tahap evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan peserta didik dalam memahami materi yang telah diperoleh dengan menggunakan metode TSTS. Masing-masing peserta didik diberi kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari hasil pembelajaran dengan metode TSTS, yang selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi.


(61)

4. Penerapan Konstruktivisme Pada Model Kooperatif Tipe Two

Stay Two Stray (TSTS)

Penerapan pendekatan pembelajaran konstruktivisme pada model pembelajaran kooperatif tipe Tipe Two Stay Two Stray (TSTS) ini dilaksanakan melalui adanya Lembar Kerja Siswa (LKS). Dalam setiap pertemuan peneliti memberikan LKS yang berisikan soal-soal dan masih terdapat bagian-bagian yang masih kosong dan siswa bertugas untuk mengisi bagian-bagian yang masih kosong tersebut. Lembar Kerja Siswa tersebut digunakan untuk mengarahkan siswa agar dapat menemukan suatu konsep. Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) ini menjadi sarana yang digunakan oleh peneliti untuk membingkai proses kegiatan pembelajaran.

5. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar (Abdurrahman, 1999). Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.


(62)

Hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukannya (Juliah, 2004). Menurut Hamalik (2003) hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, dan sikap-sikap. Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran.

Sudjana (2004) berpendapat bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Benjamin S. Bloom (Jihad dan Haris, 2013 : 15) berpendapat bahwa untuk memperoleh hasil belajar, dilakukan evaluasi atau penilaian yang merupakan tindak lanjut atau cara untuk mengukur tingkat penguasaan siswa. kemajuan prestas belajar siswa tidak saja diukur dari tingkat penguasaan ilmu pengetahuan, tetapi juga sikap dan keterampilan.

E. Motivasi

Sardiman (1986) mengatakan bahwa kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.


(63)

Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/ mendesak.

Mc. Donald (dalam Sardiman, 1986) mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting.

1. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam sistem “neuropsysilogical” yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.

2. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa “feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.

3. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/ terdorong oleh adanya unsur lain,


(64)

dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang siswa, misalnya tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan, maka perlu diselidiki sebab-sebabnya. Sebab-sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang, mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berarti pada diri anak tidak terjadi perubahan energi, tidak terangsang pada afesinya untuk melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebutuhan belajar. Keadaan semacam ini perlu dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab musababnya kemudian mendorong seseorang siswa itu melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan, yakni belajar. Dengan kata lain, siswa perlu diberikan rangsangan agar tumbuh motivasi pada dirinya.

Motivasi dapat juga dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Dalam kegatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki


(65)

oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Dikatakan “keseluruhan”, karena pada umumnya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan bersemangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Ada tiga fungsi motivasi belajar, yaitu :

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa

yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan.

Motivasi dapat berfungsi juga sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya


(66)

motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.

Menurut (Hamzah, 2006) motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau peguatan yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Tetapi harus dingat, kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang lebih giat dan semangat.

Hamzah (2006) mengatakan bahwa hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswi yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Hal itu mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Indikator motovasi dapat diklarifikasikan sebagai berikut : (1) adanya hasrat dan


(67)

keinginan berhasil; (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar; (3) adanya harapan dan cita-cita masa depan; (4) adanya penghargaan dalam belajar; (5) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; (6) adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik.

F. Materi Pembelajaran 1. Bilangan Bulat

Bilangan-bilangan : disebut bilangan bulat negatif. Bilangan-bilangan yang lebih besar dari nol yaitu disebut bilangan bulat positif. Himpunan bilangan bulat negatif, nol, dan himpunan bilangan positif membentuk himpunan bilangan bulat. Nol (0) adalah bilangan yang tidak positif dan tidak negatif (Cholik, 2005 : 2).

2. Operasi Hitung Perkalian, Pembagian, dan Campuran Pada Bilangan Bulat

Definisi perkalian :

Jika bilangan asli dan bilangan bulat, maka hasil kali

sebanyak suku


(68)

Menghitung perkalian bilangan bulat :

Dapat ditunjukkan bahwa hasil kali dua buah bilangan bulat yang sama tanda akan menghasilkan bilangan bulat positif dan hasil kali dua buah bilangan bulat yang berbeda tanda akan menghasilkan bilangan bulat negatif dengan mengamati pola berikut :

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 berkurang 3


(69)

berkurang 1 berkurang 3

berkurang 1 bertambah 1

berkurang 1 bertambah 1

berkurang 1 bertambah 1

berkurang 1 bertambah 1

berkurang 1 bertambah 2

berkurang 1 bertambah 2

berkurang 1 bertambah 2

berkurang 1 bertambah 2


(70)

Dari contoh-contoh di atas diperoleh kesimpulan :

a. Bilangan bulat positif dikalikan dengan bilangan bulat positif hasilnya bilangan bulat positif.

b. Bilangan bulat positif dikalikan dengan bilangan bulat negatif hasilnya bilangan bulat negatif.

c. Bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat positif hasilnya bilangan bulat negatif.

d. Bilangan bulat negatif dikalikan dengan bilangan bulat negatif hasilnya bilangan bulat positif.

Sifat-sifat pada perkalian bilangan bulat adalah :

1. Sifat tertutup

Untuk sembarang bilangan bulat dan , selalu merupakan bilangan bulat.

Contoh :

, adalah bilangan bulat

, adalah bilangan bulat

2. Sifat komutatif

Untuk sembarang dua buah bilangan bulat dan , . Oleh sebab itu, perkalian bilangan bulat mempunyai sifat komutatif. Contoh :


(71)

3. Sifat asosiatif

Untuk sembarang tiga bilangan bulat dan ,

oleh sebab itu, perkalian bilangan bulat mempunyai sifat asosiatif.

Contoh :

[ ] [ ]

4. Sifat distributif

a. Sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan

Untuk sembarang tiga bilangan bulat, dan , diperoleh

.

Contoh :

[ ] dan [

]

Jadi, [ ] [ ].

b. Sifat distributif perkalian terhadap pengurangan

Untuk sembarang tiga bilangan bulat, dan , diperoleh


(72)

[ ] dan [ ] Jadi, [ ] [ ].

5. Elemen identitas untuk perkalian

Untuk sembarang bilangan bulat , maka dan . 1 disebut dengan elemen identitas untuk perkalian.

Contoh :

Perkalian suatu bilangan bulat dengan menghasilkan lawan dari bilangan tersebut.

b. Operasi Hitung Pembagian dan Sifat-sifat Pembagian Bilangan Bulat

Konsep Pembagian :

1)


(73)

Definisi pembagian :

Pembagian adalah operasi kebalikan dari perkalian.

, dengan

Operasi kebalikan ini disebut juga invers perkalian.

Pembagian dengan nol :

1. Untuk sembarang bilangan bulat , maka tidak didefinisikan.

Contoh : berapakah hasil dari ?

Misal , maka

Ternyata tidak ada satu pun pengganti yang memenuhi sehingga menjadi kalimat yang benar.

2. Untuk sembarang bilangan bulat dengan , maka

Contoh : berapakah hasil dari ?


(1)

276

Realibilitas :

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted SOAL1 20.1875 20.222 .272 .675 SOAL2 20.3125 19.899 .271 .673 SOAL3 21.0000 21.097 .000 .689 SOAL4 20.2500 19.613 .395 .666 SOAL5 20.4375 19.544 .315 .669 SOAL6 20.1875 20.093 .316 .673 SOAL7 20.1563 21.039 .011 .690 SOAL8 20.2188 19.273 .540 .657 SOAL9 20.4063 19.604 .309 .670 SOAL10 20.5625 18.125 .641 .638 SOAL11 20.3438 18.814 .539 .651 SOAL12 20.0938 21.120 .004 .688 SOAL13 20.1875 20.480 .186 .680 SOAL14 20.8125 19.448 .391 .664 SOAL15 20.2500 20.129 .245 .676 TOTAL 10.5313 5.289 1.000 .606

dan taraf signifikasi 5% didapat

,

Oleh karena

maka dapat disimpulkan bahwa

soal-soal tersebut realibel.

Case Processing Summary N % Cases Valid 32 100.0

Excludeda 0 .0 Total 32 100.0

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items .684 16


(2)

277

Validitas :

Correlations

SOAL1a SOAL1b SOAL1C SOAL2a SOAL2b SOAL3 TOTAL SOAL1a Pearson Correlation 1 .014 -.027 .082 .104 -.098 .109

Sig. (2-tailed) .940 .884 .654 .571 .593 .552

N 32 32 32 32 32 32 32

SOAL1b Pearson Correlation .014 1 .693** -.099 .125 -.107 .355* Sig. (2-tailed) .940 .000 .590 .496 .562 .046

N 32 32 32 32 32 32 32

SOAL1C Pearson Correlation -.027 .693** 1 .119 .203 -.142 .442* Sig. (2-tailed) .884 .000 .515 .266 .438 .011

N 32 32 32 32 32 32 32

SOAL2a Pearson Correlation .082 -.099 .119 1 .559** .339 .716** Sig. (2-tailed) .654 .590 .515 .001 .057 .000

N 32 32 32 32 32 32 32

SOAL2b Pearson Correlation .104 .125 .203 .559** 1 .338 .774** Sig. (2-tailed) .571 .496 .266 .001 .058 .000

N 32 32 32 32 32 32 32


(3)

Sig. (2-tailed) .593 .562 .438 .057 .058 .000

N 32 32 32 32 32 32 32

TOTAL Pearson Correlation .109 .355* .442* .716** .774** .625** 1 Sig. (2-tailed) .552 .046 .011 .000 .000 .000

N 32 32 32 32 32 32 32

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Soal Nomor 1a :

Taraf signifikasi 5%


(4)

279

Realibilitas :

Case Processing Summary N % Cases Valid 32 100.0

Excludeda 0 .0 Total 32 100.0

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted SOAL1a 24.7813 40.176 .063 .728 SOAL1b 23.9063 37.701 .248 .711 SOAL1C 23.8125 36.802 .339 .700 SOAL2a 23.5000 31.290 .608 .642 SOAL2b 23.8750 31.274 .694 .632 SOAL3 22.4375 31.028 .452 .667 TOTAL 12.9375 10.125 1.000 .516

dan taraf signifikasi 5% didapat

Oleh karena

maka dapat disimpulkan bahwa

soal-soal tersebut realibel.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items .709 7


(5)

FOTO KEGIATAN PEMBELAJARAN

Pertemuan Pertama

diskusi kelompok

pembelajatan TSTS

Pertemuan Kedua

diskusi kelompok

diskusi kelompok

Pertemuan Ketiga


(6)

Pertemuan Keempat

siswa mengerjakan LKS

diskusi kelompok

Pelaksanaan Tes Evaluasi Belajar


Dokumen yang terkait

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray(Dua Tinggal Dua Tamu) Dengan Pendekatan Nilai Untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya

0 6 192

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray Terhadap Keterampilan Menyimak Siswa Kelas V MIN 15 Bintaro Jakarta Selatan

1 10 130

Perbedaan hasil belajar ips siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik inside outside circle dan two stay two stray

0 12 0

Pengaruh teknik kooperatif Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Guided Note Taking (GNT) terhadap hasil belajar siswa pada konsep archaebacteria dan eubacteria: kuasi eksperimen di SMA Negeri 1 Kota Tangerang Selatan.

0 9 243

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TWO STAY TWO STRAY (TSTS) MENGGUNAKAN CD PEMBELAJARAN

0 10 193

perbedaan hasil belajar peserta didik menggunakan pendekatan sts, sets, dan stem pada pembelajaran konsep virus

3 22 77

Peningkatan keaktifan dan hasil belajar materi pengelolaan lingkungan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) untuk siswa kelas XA SMA Pangudi Luhur Sedayu tahun ajaran 2011-2012.

0 1 222

MODEL KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY

0 0 14

PenGARUH MOdel PeMBelAJARAn kOOPeRATIF TIPe TWO STAY TWO STRAY (TSTS) TeRHAdAP HASIl BelAJAR IPA

0 0 5

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA FITRA YULIA ROZI Guru IPS SMP Negeri 6 Pekanbaru fitriagmail.com ABSTRAK - PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TS

0 0 12