Menghentikan perkara pidana di sistem peradilan pidana Belanda

2. Menghentikan perkara pidana di sistem peradilan pidana Belanda

Dipilih negara Belanda sebagai contoh dalam penulisan ini dikarenakan adanya fakta kesejarahan yang panjang antara Indonesia dengan Belanda dan memberikan gambaran perwakilan Negara dengan civil law legal tradition yang dirasa sangat mapan dalam mengatur penghentian perkara pidananya. Dalam Hukum Acara Pidana Belanda, menghentikan perkara pidana dapat dilakukan dengan dasar yang hampir sama seperti yang ada dalam Hukum Acara Pidana Indonesia dengan perkembangan pelaksanaan yang lebih menekankan pada kewenangan diskresi untuk tidak melakukan penuntutan. Persamaan tersebut dapat dilihat pada konsep penghentian atau melanjutkan perkara pidana yang didasarkan 1. Asas Legalitas 2. Asas Oportunitas yang juga dikenal dengan peristilahan expediency principle. Asas Legalitas yang dimaksud adalah Penuntut Umum wajib menuntut semua perkara pidana yang cukup alat buktinya dan tidak ada halangan untuk menuntut. Asas oportunitas berarti Penuntut Umum bisa tidak melakukan penuntutan atas dasar kepentingan umum. Tidak jelas dasar teoritik yang digunakan namun dalam praktiknya perkembangan tersebut didasarkan atas alas an bahwa tidak mungkin semua tindak pidana dapat diajukan penuntutan, bahwa tidak semua tindak pidana patut untuk diajukan penuntutan serta pada kondisi- kondisi tertentu sangatlah tidak produktif jika menuntut semua perkara pidana hasil dari penyidikan. Peter J.P.Tak mnyebutkan bahwa Research on the efect of law enforcement coupled with the limited resources of law enforcement agencies revealed that it was impossible, undesirable, and in some circumstances even counter-productive to prosecute all ofences investigated. 2

Ada dua cara yang dapat ditempuh dalam menghentikan perkara pidana dalam sistem hukum Belanda yakni melalui 1. technical or procedural waiver dan berdasarkan 2. the expediency principle. Untuk technical or

2 Peter J.P.Tak, The Dutch Criminal Justice System , Wolf Legal Publishers, Netherland, 2008, hlm.85

Tauik Rachman

procedural waiver, the prosecution service may decide not to prosecute in case where a prosecution would probably not lead to conviction due to lack of evidence,

or for technical consideration. 3 For the expediency principle laid down in section 167 CCP authorizes the prosecution service to waive (further) prosecution ‘for reasons of public interest’. 4 Sebenarnya selain menghentikan perkara se- bagaimana dimaksud diatas, meskipun tidak mempunyai dasar hukum yang jelas serta tidak mempunyai dasar teori yang pasti, namun diterima secara umum bahwa penuntut umum dapat melakukan “suspend a prosecution”. Suspend prosecution secara umum maupun secara khusus tidak ditentukan kondisi-kondisinya namun dapat praktiknya diterapkan mirip dengan kondisi suspended sentence.

Terkait dengan pelaksanaan penghentian perkara pidana, ditahun 1960, the Ducth criminal justice system mulai menerapkan kewenangan diskresi untuk tidak melakukan penuntutan pada skala yang terbatas, namun kemudian setelah dilakukan banyak penelitian terkait dengan “on the efects of law enforcement coupled with the limited resources of law enforcement

agencies” 5 kebjakan untuk tidak melakukan penuntutan diterapkan berdasarkan kewenangan diskresi. Lebih jauh Tak mengatakan bahwa “to harmonize the utilization of this discretionary power, the head of the prosecution service, the Board of Prosecutors General, regularly issues national prosecution

guidelines” 6 . The main reasons to apply the expediency principle are: 7

- Measures other than penal sanctions are preferable (mainly disciplinary sanctions or administrative or private measures); and - Prosecution will be disproportionate, unjust or inefective because - The crime is of a minor nature; - The crime has a low degree of punish ability ; or - The crime is old; - The suspect is too young or too old; - The suspect has recently been sentenced for another crime; - The crime has negatively afected the suspect himself (victim of his own

crime); - The health condition of the suspect; - Rehabilitation prospect of the suspect; - Suspect cannot be traced; - Corporate criminal liability; -

The person in control of the unlawful behavior is prosecuted, not the perpetrator;

- The suspect has paid compensation; 3 Ibid.hal. 84

4 Ibid 5 Ibid 6 Ibid 7 Ibid. hlm. 85

Kepentingan umum dalam mengesampingkan perkara pidana di Indonesia

- The victim has contributed to the crime; and -

A close relation between the victim and the suspect, and the prosecution would be contrary to the interest of the victim

The ground for non-prosecution due to technicalities can be: 8

- Wrongly registered as suspect by the police; -

Insuicient legal advice for a prosecution; -

Inadmissibility of a prosecution because of the expire of the time limit, the decease of the suspect, the absence of a complaint in cases of private complaint ofences, the non-observance of undue delay (sect.6 ECHR) or suspect not yet criminally liable (< 12 years of age)

- The court does not have a legal competence over the case -

The act does not constitute criminal ofence; -

The ofender is not criminally liable due to a justiication or excuse defense; and

- The evidence has been illegally obtained Penuntut Umum di Belanda tidak wajib untuk tidak menuntut

berdasarkan ‘due to technicalities’ (due to policy considerations). Namun jika Penuntut Umum tersebut akan menghentikan perkara pidana, dia harus menentukan alasannya berdasarkan katagori yang disebutkan tersebut. Hal ini tentunya membuat kemungkinan ada perbedaan kebjakan antara satu Kejaksaan di suatu wilayah tertentu dengan Kejaksaan di wilayah yang lain di Belanda, tergantung kebjakan masing-masing dari Kejaksaan daerah tersebut.

Sampai sejauh ini penulis telah menunjukan gambaran penghentian penuntutan perkara pidana Belanda tanpa menerapkan kondisi-kondisi tertentu pada tersangka. Selain menerapkan penghentian penuntutan tanpa kondisi, Penuntut umum Belanda dapat menghentikan penuntutan dengan kondisi tertentu yang harus dipenuhi, yang diberi nama “conditional waiver” atau “dismissal”. Sistem peradilan pidana Belanda juga memperbolehkan Penuntut umum untuk menunda penuntutan. Meski tidak ada landasan hukumnya, namun secara umum tindakan tersebut bisa dilakukan oleh Penuntut umum. Akan menjadi semakin kompleks, ternyata di Belanda, Penuntut Umum juga diperbolehkan untuk menghentikan perkara pidana berdasarkan konsep “transaction”. Hal ini bisa dikatakan sebagai penerapan penerapan konsep “diversion” dimana tersangka secara sukarela membayar sejumlah uang pada Bendahara Negara atau harus memenuhi satu atau lebih kondisi-kondisi yang telah ditetapkan terkait dengan keuangan untuk menghindari penuntutan di persidangan. Hal ini menunjukan bahwa Penuntut Umum Belanda seolah-olah semakin memiliki kekuasan yang dulunya hanya dimiliki oleh Hakim. Tak mengatakan terkait dengan transaksi sebagai berikut:

8 Ibid.hal. 86

Tauik Rachman

“Transaction can be considered as a form of diversion in which the ofender voluntarily pays a sum of money to the Treasury, or fulils one or more (inancial) conditions laid down by the prosecution service in order to avoid further criminal prosecution and public trial ” 9

Dari gambaran yang disampaikan diatas, penghentian perkara pidana di Belanda didasarkan atas kewenangan diskresi yang ada pada penuntut umum. Terkait dengan makna kepentingan umum dalam menghentikan perkara pidana di Belanda secara tegas menyebut dalam guidlinesnya mengenai criteria yang dimaksud. Argumentasi yang me- ngatakan bahwa penjabaran secara spesiik mengenai apa yang dimaksud kepentingan umum hanya ada pada Negara Anglo Saxon saja tentu tidak bisa dipertahankan mengingat Belanda adalah salah satu Negara dengan Civil Law tradition . Ada tendensi bahwa negara yang dulunya menerapkan asas legalitas dalam penuntutannya sekarang lebih banyak menerapkan kewenangan diskresi dalam menghentikan perkara pidananya. Hal ini dikarenakan kewenangan diskresi dalam penututan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari untuk menjalankan administrasi peradilan pidana atas pertimbangan keterbatasan jumlah aparat penegak hukum, inansial dan jumlah perkara pidana yang tinggi. Sistem peradilan pidana Indonesia harusnya belajar untuk merasionalisasikan administrasi per adilannya seperti yang dilakukan di Belanda. Namun demikian hal tersebut harus dilakukan penelitian yang sistematis dan menyeluruh untuk melihat tidak hanya ‘teks’ namun juga kesesuian ‘konteks’ kebjakannya.