Penghisapan/penindasan bentuk lain dari sudut pandang teoretis
3. Penghisapan/penindasan bentuk lain dari sudut pandang teoretis
Secara teoretikal perdagangan manusia djelaskan sebagai satu fenomena ekonomi dan juga dalam kaitan dengan mondialisasi (globalisasi) (Salt dan Stein 1997). Kriminolog Ruggiero (1997) mengaitkan kemunculan penghisapan/penindasan di negara-negara barat dengan tumbuhkembangnya ekonomi bayang-bayang (shadow economy) dalam
Perdagangan manusia dan bentuk-bentuk penghisapan/penindasan lainnya...
dunia yang sangat maju. Teori-teori lain berkaitan dengan fenomena ini lebih menekankan pada tingkat pertumbuhan ekonomi negara asal atau meningkatnya hambatan yang menghalangi migrasi legal (Kyle & Koslowski 1997). Perdebatan ilmiah perihal apa penyebab makro dari kemunculan bentuk-bentuk penghisapan/penindasan lainnya belumlah selesai. Namun demikian, kiranya jelas bahwa baik negara pengirim maupun negara penerima mendapatkan keuntungan ekonomis dari bentuk kejahatan ini. Pada lain pihak, fenomena sama – yang dicermati pula sebagai praktik yang diasosiasikan dengan perbudakan - merupakan masalah besar bagi negara-negara yang mengalaminya (Bales 1999).
Pada tataran lebih kecil, motif ekonomi para pelaku dalam kombinasi dengan rendahnya peluang tertangkap kiranya juga memainkan peran penting. Perdagangan manusia sangatlah menguntungkan secara ekonomis dan peluang tertangkap (dan dihukum) sebaliknya relatif rendah. Pandangan demikian sejalan dengan teori pilihan rasional (rational choice) dalam kriminologi dan menjelaskan terutama eksistensi perdagang an manusia dalam artian umum.
Kita dapat melangkah sedikit lebih jauh, yaitu dengan menggunakan teori sosiologis-kriminologis yang kiranya paling berhasil menjelaskan fenomena di atas, seperti strain-theory yang dikembangkan Merton (1957). Merton mengaitkan relasi antara sejumlah variabel pada tataran makro – seperti pengorganisasian masyarakat – dengan variabel pada tataran meso dan mikro, perilaku kelompok dan individu. Di dalam karya Merton (1938) Social Structure And Anomie dibahas pertanyaan pokok mengapa orang melakukan kriminalitas: “some social structures exerts a deinite pressure on certain persons in the society to engage in nonconforming conduct rather than conformist conduct” (Merton, 1938: 672). Merton (1938, 1957) di dalam teorinya menunjuk pada peluang yang berbeda-beda antara ragam lapisan sosial masyarakat untuk mendapatkan dan menikmati sarana legal yang tersedia. Perilaku kriminal atau menyimpang dapat muncul bilamana individu tidak memiliki atau berpeluang memperoleh sarana legal untuk mencapai tujuan-tujuan kultural yang dianggap penting dalam masyarakat. Karena tekanan yang begitu kuat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka norma-norma institusional mendapatkan tekanan struktural (structural strain). Sebagai akibatnya, norma-norma tersebut kehilangan legitimitas dan kemampuan untuk mengatur perilaku. Maka tercipta anomie atau situasi tidak adanya norma; patahan dalam struktur budaya yang pada tataran individu memunculkan motivasi untuk melakukan perilaku kriminal. Dalam sudut pandang strain-theory, adalah kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam masyarakat yang cenderung mendayagunakan sarana-sarana alternatif, kemung kinan besar melawan hukum, untuk berupaya mencapai tujuan kultural masyarakat yang bersangkutan – sukses dan sejahtera. Merton
Joanne van der Leun
menyebutkan sebagai ilustrasi pencurian/perampokan, jualbeli obat- obatan terlarang, kejahatan kerah putih dan kejahatan terorganisir (Merton, 1938). Dengan cara serupa kita dapat meminjam teori di atas untuk menjelaskan mengapa penindasan/penghisapan terjadi.
Apabila pengusaha (majikan) tidak berhasil untuk – melalui sarana-sarana legitim – mewujudkan tujuan yang ditetapkan masyarakat, yaitu perolehan keuntungan dan pengembangan usaha, maka tercipta kemungkinan bahwa mereka akan mengupayakan sarana-sarana tidak legitim, misalnya dalam bentuk penghisapan/penindasan buruh. Majikan (pengusaha) bisa saja tergoda untuk menekan biaya produksi dengan cara tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan – misalnya yang berkaitan dengan keamanan (tempat kerja) atau pencegahan pencemaran lingkungan – atau dengan cara melawan hukum mencari penghasilan tambahan, terutama bilamana pos anggaran yang harus disediakan bagi pekerja sangat besar. Cukup alasan untuk menyatakan bahwa hal demikian terutama terjadi dalam sektor usaha yang banyak mempekerjakan buruh migran. Buruh atau pekerja migran kerap bekerja di bidang usaha yang dicirikan sebagai 3D (dirty, dangerous and degrading); posisi mereka dalam masyarakat sangat rentan, sedemikian sehingga penyalahgunaan sangat mudah terjadi. Justru kerentanan pekerja migran membuat me reka menjadi sangat menarik (secara ekonomis) bagi beberapa pengusaha. Satu dan lain karena berarti mereka sebagai pekerja dapat diupah sangat kecil dan tidak akan rewel memprioritaskan urusan perlindungan keamanan dan penjagaan kesehatan (International Labour Oice, 2009).