Apa sebenarnya tujuan pemidanaan: Mengapa kita menghukum orang?

2. Apa sebenarnya tujuan pemidanaan: Mengapa kita menghukum orang?

Di dalam kepustakaan kita akan temukan spektrum luas tujuan pemidanaan yang kerap kali bertentangan satu sama lain.

Retribusi (Vergelding). Tujuan yang merupakan tujuan pemidanaan terpenting, kerap juga disebut landasan pemidanaan, ialah restribusi (pembalasan). Karena seseorang (bersalah) melakukan suatu tindak pidana dan ia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana untuk itu, maka dengan sengaja hakim atas nama masyarakat menjatuhkan derita pada pelaku tersebut. Ia harus dibuat merasakan derita (nestapa) tersebut sebagai akibat dari perbuatannya yang melampau apa yang dianggap pantas, yakni perbuatan yang melanggar batasan hukum. Untuk itu hakim tatkala menjatuhkan pidana harus memperhatikan proporsionalitas: pidana yang djatuhkan tidak boleh lebih berat dibandingkan tingkat keseriusan perbuatan dan harus pula sebanding dengan beban tanggung jawab pribadi (kadar kesalahan) dari pelaku. Kendati begitu, ‘formula ajaib’ ini ternyata tidak menyelesaikan semua persoalan: dengan tolok ukur apakah hakim menilai tingkat keseriusan perbuatan dan bagaimana hakim menentukan kesalahan/ketercelaan (perbuatan) pelaku? Khususnya dalam penilaian atas tingkat keseriusan perbuatan, hakim untuk sebahagian akan merujuk pada rasa keadilan yang berkembang

Martin Moerings

dalam masyarakat. Demikian, tigapuluh tahun lalu, reaksi pengadilan terhadap kontak seksual dengan anak-anak cenderung lebih toleran. Sekarang ini pengadilan berhadapan dengan perkara serupa cenderung bereaksi keras dengan menjatuhkan hukuman berat.

Pembalasan (vergelding) harus dibedakan dari tindakan balas dendam yang mengesankan pelibatan reaksi emosional yang disproporsional. Pembalasan di sini harus dimengerti sebagai tindakan balas dendam yang dikembalikan pada proporsi sepatutnya – sebagaimana diproses dan diputus oleh hakim – yang djatuhkan untuk memulihkan tertib hukum yang terganggu oleh kejahatan yang terjadi. Pembalasan merupakan batas-atas dari pidana yang djatuhkan. Tujuan-tujuan pemidanaan lainnya tidak boleh mengakibatkan seseorang dihukum lebih dari apa yang sepatutnya ia terima sebagai akibat dari perbuatannya.

Tujuan-tujuan lain tersebut untuk keseluruhan atau sebagian berkenaan dengan pemulihan atau upaya penjagaan keamanan-ketertiban masyarakat.

Internalisasi atau penegasan keberlakuan norma (Norminprenting of –bevestiging). Di dalam perundang-undangan termuat apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam lalulintas pergaulan masyarakat. Jika se- seorang melanggar aturan perundang-undangan, hakim pidana di dalam putusan dalam perkara orang tersebut, menetapkan dan menegaskan kembali keberlakuan norma hukum. Selanjutnya dalam eksekusi pidana, keberlakuan norma yang sama kembali digarisbawahi. Tujuan pemidanaan ialah agar warga dengan cara tersebut menginternalisasi norma hukum, mengintegrasikannya ke dalam kehidupannya sehari-hari, dan menerima keberlakuan norma yang ada sebagai sudah seharusnya.

Prevensi umum (Generale preventie). Di samping itu penjatuhan pidana dan eksekusi putusan dimaksudkan juga sebagai tindakan meng ancam (menakut-nakuti) masyarakat melalui hukum yang djatuhkan pada pelaku dan mencegah masyarakat melakukan kejahatan. “Warga yang terhormat, anda semua sudah diperingatkan, apabila kalian melanggar undang-undang dilanggar, maka penjara ganjarannya”.

Prevensi khusus (speciale preventie). Selain itu, penjatuhan pidana dan eksekusi putusan juga dimaksud agar terpidana menjadi jera dan tidak lagi terjerumus melakukan kejahatan. Pidana pertama-tama harus membuatnya takut mengulangi kesalahan. Beban biaya yang terkait de- ngan pidana (penjara) yang ditanggung pelaku harus lebih tinggi daripada keuntungan yang diterima dari kejahatan (misal hasil penjualan barang curian), sedemikian sehingga hal itu akan membuat jera dan mencegah pelaku melakukan kejahatan baru atau lain di masa depan.

Pengamanan/Menghilangkan ancaman (beveiliging/onschadeljkmaking- incapacitation) merupakan tujuan yang terkait dengan penempatan pelaku kejahatan sebagai hukuman (pidana atau tindakan) dalam lembaga

Apakah pidana penjara efektif?

penitensier. Selama dikurung, pelaku tidak lagi memiliki peluang untuk melakukan delik baru yang menganggu ketertiban/keamanan masyarakat. Masyarakat setidak-tidaknya untuk beberapa waktu, selama hukuman tersebut djalankan, terbebas dari potensi ancaman yang muncul dari pelaku. Pada bagian akhir tulisan ini, tujuan di atas akan dibahas lebih rinci, satu dan lain, karena dalam sepuluh tahun terakhir dianggap semakin penting, setidak-tidaknya dalam masyarakat barat.

Pemasyarakatan kembali (resocialisatie). Juga tujuan ini ekslusif terkait dengan penempatan pelaku tindak pidana dalam lembaga penintensier, misalnya penjara atau lembaga lainnya yang dikhususkan bagi pelaku kambuhan. Demikian, terpidana, selama berada di penjara harus dipersiapkan untuk dapat kembali hidup normal di dalam masyarakat. Ini merupakan perintah undang-undang sebagaimana dapat ditemukan termaktub di dalam ketentuan Pasal 2 (UU Pokok tentang Penitensi/ Penitentiaire Beginselen Wet). Konsekuensi dari itu ialah bahwa selama ditahan, pelaku/terpidana akan memperoleh pelatihan atau diberi pekerjaan yang memberikannya kesempatan mendapatkan keahlian yang akan berguna kelak dalam kehidupannya nanti di masyarakat sebagai warga biasa. Hal ini juga berarti bahwa pelaku dicegah untuk menjadi residivis. Berbeda dengan prevensi khusus, pelaku (diharapkan) patuh pada hukum bukan karena takut pada penjatuhan hukuman baru, namun karena ia telah dibekali (dengan keterampilan atau keahlian) untuk masuk kembali ke dalam kehidupan masyarakat normal. Di dalam lembaga penitensier pelaku telah direhabilitasi sedemikian sehingga ia tidak lagi perlu dan memiliki kehendak untuk melakukan kejahatan.

Resosialisasi (pemasyarakatan kembali) juga menjadi tujuan resmi di Indonesia. Tujuan dari penempatan di lembaga pemasyarakatan (correction institution) adalah memperbaiki atau meningkatkan kualitas penghuni lapas sampai mereka menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan (dan yang mengakibatkan mereka dipenjara), dan sekaligus terdorong untuk memperbaiki diri serta tidak akan lagi (jera) melakukan kejahatan. Semuanya dimaksudkan agar mereka dapat kembali diterima di dalam masyarakat dan menjalani kehidupan normal. Ketentuan Pasal 1 butir 2 dan Pasal 5 dari UU 12/1995 menyatakan bahwa tahanan setelah dibebaskan sejatinya dapat kembali masuk ke dalam kehidupan masyarakat normal. 1

Pemulihan derita yang ditimbulkan atau penggantian kerugian yang diakibatkan tindak pidana (herstel van aangedane leed en veroorzaakte schade). Tujuan ini tahun-tahun terakhir ini menjadi semakin penting sebagai reaksi terhadap kritikan yang diajukan dari sudut pandang kepentingan

1 Informasi mengenai penjara di Indonesia diperoleh dari Agustinus Pohan dan Topo San- toso.

Martin Moerings

korban. Diargumentasikan bahwa perhatian selama ini terlalu banyak dicurahkan pada pelaku dan akibatnya tidak ada yang memperhatikan nasib korban. Pidana penjara lagipula, sebagai sanksi, selama ini paling kecil peluangnya memberi kesempatan bagi pelaku untuk memulihkan atau mengganti kerugian yang diderita korban. Peluang demikian justru lebih besar berkenaan dengan penjatuhan sanksi oleh polisi dalam kejahatan-kejahatan kecil, atau yang ditangani jaksa-penuntut umum dalam hal pengenaan sepot bersyarat.

Kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita juga disebutkan di dalam hukum pidana Indonesia. Jaksa/ Penuntut Umum dapat mengajukan gugatan perdata selagi sidang pidana terkait sedang berjalan. Dalam praktiknya, peluang ini jarang dimanfaatkan karena tidak bekerja sebagaimana diharapkan, satu dan lain karena hanya kerugian nyata (material) yang dapat dituntut. Padahal kebanyakan orang (korban) justru hendak menuntut kompensasi atas kerugian immaterial.

Bilamana kita bandingkan ragam tujuan pemidanaan di atas, dapat ditenggarai bahwa masing-masing bertentangan satu sama lain dan sulit untuk diselaraskan. Sebagai contoh bagaimanakah menyelaraskan tujuan meningkatkan keamanan masyarakat dengan tujuan pemasyarakatan kembali? Lagipula pengamanan mengimplikasikan bahwa pelaku justru diisolasi dari masyarakat, padahal dalam re-sosialisasi, sebaliknya ikatan dengan masyarakat harus djalin kembali.

Beranjak dari itu, kita sekarang akan menelaah esensi dan eksekusi pidana penjara. Ini harus dilakukan sebelum kita dapat membahas efek apa yang muncul darinya: seberapa jauh tujuan yang dinyatakan tercapai?