Hukum pidana anak (jeugdstrafrecht) Tidak hanya pilihan sanksi pidana yang djatuhkan, namun juga

2. Hukum pidana anak (jeugdstrafrecht) Tidak hanya pilihan sanksi pidana yang djatuhkan, namun juga

prosedur (hukum acara) dalam pengadilan anak berbeda jauh dari hukum pidana untuk pelaku dewasa. Akibat pengaruh aliran modern dalam pemikiran hukum pidana (lihat di atas) juga diperkenalkan hukum pidana anak khusus. Di samping itu kita temukan juga dikembangkannya tindakan-tindakan keperdataaan (misalnya pencabutan hak asuh, penempatan anak di panti asuhan) dalam rangka melindungi anak bukan kriminal (non-delinkuen) yang pendidikan atau tumbuh kembangnya terancam serius oleh situasi-kondisi immoral atau lingkungan yang tidak menguntungkan atau, dengan kata lain, anak bukan kriminal yang potensial menjadi criminal atau delinkuen karena lingkungannya. Selanjutnya pada 1922 mulai diperkenalkan dan didayagunakan pengadilan anak dan hakim anak.

Sekarang ini berlaku ketentuan bahwa anak dalam rentang umur

12 sampai 18 tahun akan dihadapkan pada hakim atau pengadilan anak (kinderrechter). Faktor yang menentukan apakah pelaku akan dihadapkan pada hakim anak atau pengadilan pidana biasa ialah umur pelaku tatkala tindak pidana diperbuat (Pasal 488 Sv.).

Namun demikian, bilamana OvJ (Oicier van Justitie/Jaksa) berpendapat bahwa harus djatuhkan hukuman berupa penempatan pelaku di institusi untuk rehabilitasi anak (inrichting voor jeugdigen) (tidak persis sama dengan lembaga pemasyarakatan (lapas) anak) ataupun perampasan kemerdekaan lebih dari enam bulan, satu dan lain karena kompleksitas kasus ataupun adanya perbarengan yang melibatkan pelaku lain yang berumur lebih dari 18 tahun dan pemisahan (splitsing) tidak dimungkin kan, maka kasus tersebut akan disidangkan dihadapan majelis (yang juga beranggotakan hakim anak) (Pasal 495 Sv.).

Terdakwa (anak) wajib hadir dalam persidangan kasusnya. Orang tua atau wali -nya akan dipanggil untuk hadir dalam persidangan dan akan mendapat kesempatan untuk mengajukan pembelaan. Sidang anak dilakukan tertutup, terkecuali menurut pertimbangan ketua pengadilan

Constantijn Kelk

(voorziter van den rechtbank) kepentingan keterbukaan persidangan untuk umum harus lebih diprioritaskan.

Kewenangan hakim anak lebih luas daripada hakim dalam per- adilan pidana untuk pelaku dewasa. Demikian, maka hakim anak secara umum memiliki pengaruh lebih besar terhadap proses persidangan. Dalam penjatuhan penahanan sementera (voorlopige hechtenis), hakim pidana sekaligus menjalankan fungsi sebagai R-C (rechter-commissaries/ Pasal 492 Sv.), hal mana justru dilarang dalam hukum pidana untuk pelaku dewasa (Pasal 268 Sv.)

Dahulu hakim anak secara menyeluruh berfungsi sebagai R-C, yakni dengan tujuan melindungi kepentingan anak dari awal sampai akhir persidangan. Namun demikian, penggabungan fungsi di atas ke dalam satu orang (hakim anak) kemudian dibatasi dengan munculnya baik yurisprudensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (Straatssburgse) yang menegaskan pentingnya ‘impartial tribunal’ sesuai ketentuan Pasal 6

ayat 1 EVRM (kasus Hauschildt) 8 maupun yurisprudensi Hoge Raad. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (EHRM) (24 Agustus 1993, Nortier vs. the Netherlands) sebaliknya memutuskan bahwa kemandiran atau impartialitas hakim yang memeriksa perkara tidaklah dikompromikan tatkala majelis dalam pemeriksaan pendahuluan (vooronderzoek) memerintahkan dilakukannya pemeriksaan psikologis.

Lebih lanjut, hakim anak juga memiliki kewenangan mempengaruhi atau turut menentukan tempat dan cara bagaimana pidana perampasan kemerdekaan (vrjheidsstraf) terpidana anak harus dilaksanakan serta juga penempatan di institusi rehabilitasi anak (tindakan (maatregel) mana ditempuh dalam rangka mendorong perbaikan perilaku dan kepribadian si anak): di dalam putusan akhir, hakim diperkenankan mengajukan advis tentang itu semua. Selanjutnya Menteri Kehakiman (minister van Justitie) akan menentukan tempat pelaksanaan pidana yang djatuhkan.

Hakim pengadilan anak juga dilibatkan dalam urusan pengakhiran sanksi: dalam hal djatuhkan penempatan dalam institusi rehabilitasi anak, maka setiap dua tahun sekali, persoalan apakah sanksi ini dapat diperpanjang atau tidak harus diajukan kehadapan dan diputuskan oleh hakim pengadilan anak (tindakan demikian juga dapat dikenakan terhadap anak yang akibat menderita gangguan psikis tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana) dan selanjutnya hakim pengadilan anak juga menentukan apakah anak yang dikenakan penahanan di lembaga pemasyarakatan anak (jeugddetentie) dapat menikmati pembebasan bersyarat (Pasal 77j ayat 4 Sr.).

Hukum pidana anak bagaimanapun juga masih sangat dipengaruhi pemikiran atau semangat pedagogis, sekalipun sejak 1995 dapat kita

8 EHRM 24 mei 1989, A. 154.

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

tenggarai adanya peningkatan beratnya sanksi yang djatuhkan terhadap anak delinkuen. Kiranya perluasan ragam pidana dengan pengenaan pidana berupa kewajiban melakukan tugas atau pekerjaan tertentu (werk- en taakstrafen) dalam hukum pidana anak muncul dalam pemikiran pedagogis demikian. Namun, pada saat bersamaan penggunaan sanksi penugasan kerja yang sama sekarang ini dapat dimaknai justru sebagai meningkatnya dan bertambah beratnya sanksi yang biasa djatuhkan dalam perkara anak. Ini dikatakan sepanjang sanksi tersebut dalam kenyataan tidak menggantikan sanksi pidana yang lebih berat melainkan justru djatuhkan sebagai ganti sanksi pidana lebih ringan yang dahulu biasa dikenakan dalam kasus-kasus serupa.

Tujuan pedagogis (mendidik anak) pada masa lalu dirumuskan denga istilah “kepentingan anak yang bersangkutan” yang dalam hukum (pidana) anak djadikan titik tolak. Kesemua ini mengakibatkan tidak saja kecenderungan munculnya kebjakan paternalistik terutama pada tahun 50-an dan 60-an abad lalu maupun dalam praktiknya ‘pemaksaan perlakuan tertentu terhadap anak demi kebaikan yang bersangkutan’. Dalam era gerakan yuridisasi yang muncul pada tahun 1970-an meningkat pula perhatian pada posisi hukum anak delinkuen. Perbaikan posisi demikian dimaksudkan untuk memberdayakan mereka agar mampu melawan pemaksaan yang berlebihan atau sewenang-wenang. Anak yang ditampung di lembaga/institusi rehabilitasi lagi pula mendapatkan hak untuk mengajukan keluhan.

Pada masa berikutnya yang dicirikan dengan cara berpikir yang lebih lugas (no nonsense) dan lebih mementingkan pendekatan keamanan, pendulum kembali bergeser ke arah pendekatan yang lebih represif terutama terhadap anak dalam hukum pidana anak. Namun semua masih berubah dan berkembang terus: Sekretaris Negara bidang keamanan dan kehakiman (veiligheid en justitie) berupaya untuk mengajukan dan mendorong perubahan yang lebih radikal ke dalam hukum pidana anak. Sekalipun begitu seberapa jauh pendekatan lebih keras di atas akan berdayaguna diragukan banyak pakar hukum pidana.