Penetapan/penjatuhan hukuman (stratoemeting) Penetapan/penjatuhan hukuman bagi setiap terdakwa adalah saat

1. Penetapan/penjatuhan hukuman (stratoemeting) Penetapan/penjatuhan hukuman bagi setiap terdakwa adalah saat

paling menegangkan dalam proses peradilan pidana. Bagi terdakwa banyak yang dipertaruhkan berkenaan dengan pidana (straf) atau tindakan (maatregelen) yang djatuhkan: khususnya pidana perampasan kemerdekaan akan berdampak jauh terhadap situasi hidupnya sendiri, kehidupan keluarganya, masa depan pekerjaannya, dll. Namun, juga pidana harta (vermogensstraf), misalnya yang terkait dengan penyitaan harta kekayaan terdakwa atau denda yang berat dapat terasa sangat berat. Bahkan dalam banyak kasus juga penjatuhan pidana berupa

Constantijn Kelk

pengenaan kewajiban melakukan tugas atau kerja tertentu (taakstraf atau werkstraf), sekalipun djalankan dalam keadaan tidak dirampas kemerdekaannya dan dalam jangka waktu tertentu, dapat terasa sangat berat bagi yang menjalani. Tahapan di mana jenis dan berat ringan sanksi pidana diputuskan kiranya layak dikualiikasikan sebagai “critical stage” (tahapan kritikal).

Di dalam banyak budaya hukum pidana (barat), hakim pidana karena kepercayaan yang diberikan kepadanya, menikmati kewenangan diskresioner (beleidsvrjheid/freies Ermessen) yang cukup luas berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan demikian mencakup tidak saja pilihan bentuk-bentuk pemidanaan namun juga berat ringannya pidana yang djatuhkan. Ketentuan perundang-undangan (pidana) pada asasnya hanya memuat untuk dan di dalam setiap setiap delik batasan pidana maksimal yang dapat djatuhkan, dan sebaliknya di dalam perundang- undangan hanya secara umum ditetapkan batasan minimalnya. Undang- undang Belanda kiranya tidak boros mengatur hal-hal apa yang selayaknya dipertimbangkan sebagai keadaan yang memberatkan atau meringankan pidana (perkecualian dari itu berkenaan pengulangan tindak pidana/

recidivie 7 ). Pertimbangan penjatuhan pidana (strafmotivering) dalam putus- an pengadilan merupakan bentuk pertanggungjawaban hakim pidana dalam memutus bentuk dan berat-ringannya pidana yang djatuhkan. Berkenaan dengan itu sejumlah patokan umum yang terpenting adalah sebagai berikut:

a. tingkat keseriusan dari perbuatan yang secara konkret diperbuat (oleh pembuat undang-undang dirumuskan secara abstrak dalam rumusan ancaman hukuman maksimal di dalam ketentuan pidana);

b. latarbelakang personal dan situasi-kondisi yang melingkupi pelaku tatkala ia melakukan tindak pidana. Latarbelakang demikian kiranya dapat memunculkan pemahaman mengapa pelaku melakukan apa yang dilakukannya dan dengan demikian berpengaruh terhadap pertimbangan untuk meringankan atau justru memperberat pidana yang djatuhkan.

Bagaimanapun juga hal yang dibicarakan di atas pada akhirnya harus dimaknai sebagai individualisasi penjatuhan pidana, khususnya dalam kasus-kasus pidana berat. Hal ini merupakan dampak dari aliran modern dalam hukum pidana. Aliran ini muncul pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20, sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu perilaku

7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) memuat ketentuan (Pasal 43a) yang menentukan bahwa pidana penjara yang djatuhkan atas suatu kejahatan dapat ditambah dengan sepertiga bilamana pada saat kejahatan dilakukan belum berselang lima tahun sejak djatuhkannya putusan pengadilan terhadap pelaku sama yang dinyatakan bersalah melakukan kejahatan sejenis.

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

dan humaniora seperti psikiatri, psikologi dan kriminologi. Ilmu-ilmu demikian memberi perhatian lebih pada kepribadian pelaku daripada hanya sekadar pada perbuatan dan tingkat keseriusan perbuatan yang dilakukan pelaku. Aliran modern memberi penekanan pada prevensi umum dalam arti pada upaya rehabilitasi delinkuen (pelaku). Jadi, tidak lagi sekadar pada ihtiar pembalasan.

Namun itu semua tidak sekaligus berarti bahwa kita harus mengabaikan kenyataaan bahwa asas persamaan atau kesetaraan (geljkheidsbeginsel) di dalam hukum pidana pada tahun-tahun belakangan ini semakin dianggap penting. Itu berarti bahwa perhatian kembali bergeser dari personalitas pelaku dan kembali tertuju pada penjatuhan pidana berat yang sebanding (dengan kejahatan yang dilakukan). Ini kiranya merupakan tanggapan terhadap perkembangan yang terjadi dalam periode yang lalu.

Demikianlah dalam beberapa tahun terakhir di dalam OM dikembangkan sejumlah panduan atau pedoman penuntutan terhadap banyak delik dalam kaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan delik tersebut (misalnya apakah diperbuat dalam kombinasi dengan penggunaan senjata api atau dalam keadaan terpengaruh minuman keras). Betul bahwa hakim tidak terikat panduan yang berlaku bagi penuntut umum di atas, namun bagaimanapun juga ia akan tetap memperhatikan dan turut mempertimbangkan. Di samping itu, kekuasaan kehakiman juga mengenal dan memberlakukan sejumlah panduan atau pedoman umum yang berkaitan dengan sejumlah delik dan situasi-kondisi di mana delik diperbuat. Namun pedoman demikian murni bersifat mengikat secara internal.

Hanya dalam hal pengacara terdakwa atau OM secara tegas meng- ajukan argumentasi yang cukup beralasan berkenaan dengan pidana yang selayaknya djatuhkan, hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan. Namun sekaligus ia harus di dalam putussan akhir memberikan pertimbangan (motivering) mengapa pengecualian atau penyimpangan tersebut harus dilakukan (Pasal 359 ayat 2 Sv.).

Kiranya juga jelas bahwa dalam proses penjatuhan pidana sebagai- mana diuraikan di atas, terdakwa tidak memiliki cukup perlindungan hukum.

Lagipula, pilihan sanksi yang dapat djatuhkan dalam beberapa tahun ini meningkat pesat. Di samping pidana penjara dan denda serta pencabutan/penangguhan hak-hak tertentu (misalnya dalam hukum lalulintas berupa penangguhan atau pencabutan sementara waktu hak untuk mengemudikan kendaraan) diperkenalkan juga pidana pengenaan kewajiban melakukan kerja tertentu sebagai pidana pokok terpenting. Pidana kerja demikian (werkstraf), selama-lamanya 240 jam, dapat djatuhkan terhadap kejahatan yang sekalipun diancam dengan pidana

Constantijn Kelk

penjara, namun juga sekaligus terlalu ringan untuk itu. Lagipula pidana pengenaan ke wajiban kerja itu dapat dikenakan bersamaan dengan hukuman percobaan (penjara atau pidana badan singkat).

Selanjutnya ke dalam sejumlah tindakan (maatregel) yang tersedia, penyerahan/penempatan delinkuen yang menderita gangguan jiwa di lembaga psikiatri (rumah sakit jiwa) (terbesckkingstelling ter behandeling van pyschisch gestoorde delinquenten) dan pencabutan (pemusnahan) barang- barang tertentu yang dianggap berbahaya dari lalulintas peredaran barang (ontrekking aan het verkeer van gevaarljke geachte voorwerpen) – perpanjangan keduanya setiap kali harus diputus oleh hakim - ditambahkan pula tiga jenis tindakan lainnya, (maatregel) lainnya:

v tindakan penyitaan keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan (ontnemingsmaatregel van onrechtmatig uit misdrjf verkregen voordeel),

v tindakan untuk mengganti-kerugian yang diakibatkan kejahatan (maatregel om de door het misdrjf betrokkende schade te vergoeden) yang

dapat djatuhkan bersamaan dengan pengenaan pidana pokok; v tindakan penempatan di lembaga tertentu yang ditujukan untuk

itu (maatregel van plaatsing in een daarvoor bestemde inrichting), untuk selama-lamanya dua tahun, terhadap mereka yang bersalah memunculkan gangguan (ketertiban-keamanan) terus menerus (stelselmatige overlastplegers), khususnya mereka yang dalam waktu lima tahun berselang setidak-tidaknya telah dihukum tiga kali karena bersalah melakukan kejahatan yang menimbulkan gangguan (ketertiban-keamanan).

Semua tindakan di atas memiliki tujuan khusus menjaga keamanan. Dengan kata lain, melindungi masyarakat terhadap orang- orang berbahaya, barang-barang berbahaya dan situasi yang sangat tidak diinginkan. Dari sifatnya tindakan-tindakan di atas relatif berat karena tidak dimaksudkan sebagai pembalasan terhadap ketidakadilan yang muncul dari tindakan, melainkan berangkat dari postulat eisiensi pencapaian tujuan (kebertujuan/doelmatigheid).

Selanjutnya dapat pula ditambahkan bahwa jenis pidana serta bobotnya juga mengalami peningkatan: terpenting ialah hukuman penjara seumur hidup (levenslange gevangenisstraf). Selama beberapa dekade terakhir, dibandingkan paruh kedua abad lalu, pidana ini semakin sering djatuhkan. Kendati demikian, meningkatnya putusan penjatuhan hukuman penjara seumur hidup sekaligus memunculkan masalah kurangnya sel penjara untuk kepentingan itu. Maksimum pidana penjara sementara yang diancamkan di samping penjara seumur hidup (dalam hal pembunuhan/moord ) pada 2006 ditinggikan dari duapuluh tahun menjadi tigapuluh tahun.

Mengingat bahwa kebanyakan sanksi pidana dapat dikombinasikan satu sama lain dalam satu vonis (putusan), maka dalam kerangka

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

negara hukum (rechtsstaat) selalu dapat diajukan satu persoalan penting: proporsionalitas (kesetimbangan) yang perlu antara pidana (tunggal atau dalam kombinasi) dengan tingkat keseriusan perbuatan serta situasi- kondisi yang melatarbelakangi perbuatan tersebut. Ini serta merta juga berkaitan dengan prinsip-prinsip klasik hukum pidana abad ke-19. Maka itu bukan pula suatu hal yang langka bahwa hukuman (berat) yang djatuhkan pengadilan tingkat pertama di tingkat banding kemudian dikurangkan, satu dan lain, beranjak dari sudut pandang penghukuman yang proporsional.