Penanggulangan korupsi di Indonesia dalam kerangka UNCAC
5. Penanggulangan korupsi di Indonesia dalam kerangka UNCAC
Korupsi termasuk tindak pidana yang bersifat “extra ordinary crime” artinya kejahatan yang luar biasa dan bersifat transnasional, sehingga pemberantasannya diperlukan kerja sama internasional. Kerjasama ini dituangkan dalam United National Convention Against Corruption pada tanggal 29 September 2003. Pada Pasal 3 tentang Scope application , ayat (1) tentang cooperation with law enforcement authorities , ditegaskan bahwa :
“Each state Party shall take appropriate measure to encourage persons who participate or who have participated in the commission of an ofense establishe in occordance with this convention to supply information useful to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to provide factual, speciic help to competent that may contribute to such depriving ofenders of the proceeds of crime and to recovering such proceeds”.
Pasal 38 United Nation Convention Againts Corruption tentang cooperation between national authorities memberi jalan kerja sama antarnegara, dimana masing-masing negara menyiapkan regulasi yang mendorong kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku kejahatan.
Keprihatinan masyarakat internasional terhadap korupsi telah disuarakan dalam berbagai pertemuan atau konvensi internasional dan
Septa Candra
mencapai puncaknya dengan dideklarasikannya United Decralarations Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan dalam konferensi Diplomatik di Merida Mexico pada Desember 2003. Sidang Mejelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 57/169 telah mengadopsi drat Konvensi PBB sebagai dokumen yang sah dan siap untuk ditandatangani oleh negara peserta konferensi Diplomatik dimaksud. Di dalam bagian pembukaan Konvensi PBB tersebut ditegaskan, bahwa masyarakat internasional (peserta konvensi) prihatin atas keseriusan dari masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Oleh karena itu, perlu diyakininya suatu pendekatan komprehensif dan multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.
Bila dikaitkan dengan permasalahan penegakan hukum di bidang korupsi di Indonesia, maka aspek budaya hukum inilah yang cenderung kurang mendapat perhatian. Secara substansial telah banyak perundang- undangan yang dapat didayagunakan untuk memberantas korupsi. Mulai dari UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, sampai pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan secara struktural, telah dimiliki banyak institusi yang dapat digunakan untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Seperti Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Ombudsman Nasional. Sedangkan di bidang pengawasan telah ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat-inspektorat dan sebagainya.
Melihat kondisi seperti itu, maka Indonesia memiliki instrumen hukum paling lengkap untuk melenyapkan korupsi dari negeri ini. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga mengatur tentang peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diatur dalam Pasal 41-
42 sebagai bentuk terobosan baru dalam pemberantasan korupsi. Peran serta masyarakat tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Dalam hal mewujudkan peran serta masyarakat tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi telah membuka akses seluas- luasnya kepada masyarakat dalam penyampaian pengaduan tentang terjadinya tindak pidana korupsi. Pengaduan dapat disampaikan
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
melalui berbagai media, yaitu penyampaian secara langsung ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, melalui telepon, pos, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS), dan faksimili (fax). Namun dalam kenyataannya korupsi bukan berkurang, malahan cenderung meningkat intensitasnya bila dibandingkan dengan kondisi pada masa lalu. Mereka yang dulu ikut bersorak untuk memberantas korupsi, tetapi sekarang justru sekarang terlibat dalam perilaku korup. Pada akhir-akhir ini ba- nyak para aparat penegak hukum terutama mereka yang mengerti hukum korupsi justru mereka yang melakukan korupsi, disisi lain banyak yang menilai bahwa proses pemberantasan korupsi masih dilakukan secara tebang pi lih. Bertolak dari fenomena tersebut di atas, maka pekerjaan yang mendasak yang harus dilakukan adalah bagaimana membangun dan mengembangkan budaya hukum untuk menopang proses penegakan hukum. Tentunya ini bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, namun usaha untuk itu haruslah dilakukan dari sekarang demi menuju negara yang bebas dari perilaku korup.