Kewenangan diskresi Jaksa Agung dalam menerapkan asas oportunitas
5. Kewenangan diskresi Jaksa Agung dalam menerapkan asas oportunitas
tidak disebutkan dengan tegas bahwa penerapan asas oportunitas merupakan kewenangan diskresi dari Jaksa Agung namun dlihat dari rumusan Pasal yang mengaturnya dapat dipastikan bahwa kewe nangan yang dimaksud adalah kewenangan diskresi yang dibedakan dengan kewenangan terikat. Karakter kewenangan diskresi tersebut terlihat ketika kewenangan atau tugas Jaksa Agung dalam mengkesampingkan perkara pidana tersebut didasarkan atas penilaian kebjaksanaan Jaksa Agung dalam menilai kepentingan umum/public interest. Pilihan untuk mengkesampingkan atau tidak mengkesampingkan perkara pidana didasarkan atas ‘kebjaksanaan’ seorang pejabat (Jaksa Agung) merupakan kewenangan yang diskresional. K.C. Davis menegaskan bahwa “An administrator has discretion whenever the efective limits on his power leave him
free to make a choice among possible courses of action or inaction.” 13 Berdasarkan deinisi ini, limitasi penerapan asas oportunitas dapat terlihat dalam hal
1. Hanya Jaksa Agung yang dapat menerapkannya dan 2. Alasan yang dapat digunakan hanya kepentingan umum. Untuk memperbandingkan antara kewenangan bebas (diskresi) dengan kewenangan terikat, Prof. Philipus M. Hadjon mendeinisikan sebagai berikut. 14
Wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan. Sedangkan wewenang diskresi (beleidsvrjheid, discretionary power, freies ermessen ) adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkret dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal- hal yang pokok saja.
Uraian tersebut menunjukan bahwa kewenangan diskresi haruslah lahir dari suatu peraturan perundang-undangan sebagai dasar kewenang-
13 K.C.Davis dikutip di George P. Fletcher, Some Unwise Relections About Discretion, 47Law & Contemp.Probs.273 1984
14 Philipus M. Hadjon dikutip di Tauik Rachman, above n.1.hal 13
Tauik Rachman
an itu sendiri meski mengatur hal-hal yang pokok saja serta adanya kebebasan dari pejabat untuk mengaturnya lebih konkret dan rinci. Penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung didasarkan atas Undang- Undang Kejaksaan sebagai peraturan yang mengatur mengenai pokok- pokoknya saja. Mengenai perlu atau tidaknya pengaturan yang lebih rinci dan konkret hal itu diserahkan Jaksa Agung. Namun dalam paper ini, diajukan argumentasi bahwa pengaturan yang lebih rinci seharusnya dilakukan terutama terkait dengan pemaknaan kepentingan umum/public interest. Hal ini didasarkan pada perkembangan di beberapa negara-negara maju, seperti Belanda, Inggris, Amerika, Australia memberikan perincian yang konkret terkait makna kepentingan umum/ public interest. Dilihat dari bentuk kewenangannya, jika memperbandingkan antara penghentian perkara pidana di Negara Belanda, Amerika, Inggris, Australia de ngan penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung di Indonesia, karakternya yang diskresional tentu sama namun perbedaannya terlihat pada kejelasan makna kepentingan umumnya.
Secara umum, penghentian perkara pidana di Indonesia bukanlah kewenangan diskresi karena adanya kewajiban untuk Penuntut Umum menuntut semua perkara pidana dalam daerah hukumnya. Selain itu adanya karakter “Governing Rule” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 140 ayat 2 KUHAP, mengikat Penuntut Umum dalam menerapkan
penghentian penuntutan. 15 Governing Rules yang dimaksud adalah adanya syarat yang harus dipenuhi sebelum menghentikan perkara pidana yakni tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan perkara pidana atau perkara ditutup demi hukum (mati, daluarsa atau nebis in idem ). Penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung merupakan perkecualian dalam menghentikan perkara pidana di Indonesia dengan karakter yang diskresional.