Problem penegakan hukum cybercrime

4. Problem penegakan hukum cybercrime

Selain problem mengenai deinisi yang berpengaruh pada perumus an norma maupun penegakan hukum. Faktor yang turut berpengaruh dalam proses penegakan hukum, menurut penelitian yang dilakukan oleh Yang dengan mengacu pada teori aktivitas rutin (the routine activity theory) menunjukkan bahwa peningkatan kejahatan siber dipengaruhi tingkat sekuriti/keamanan sistem komputer dalam aktivitas yang dilakukan oleh pengguna. Hal ini berbeda dengan pendapat Grabosky yang lebih condong merujuk kepada peluang atau kesempatan para pelaku. Oleh itu beliau percaya bahwa faktor pertama untuk mencegah kejahatan siber adalah dengan mereduksi peluang pelaku untuk melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi karena seringkali pelaku menjadi termotivasi untuk melakukan kejahatan ketika terbuka kesempatan atau peluang, yaitu dengan rendahnya tingkat sekuriti dalam jaringan atau sistem komputer. Dalam hal ini negara tidak akan sanggup sendirian untuk mengontrol dan mengendalikan faktor kesempatan, motivasi pelaku dan sistem keamanan jaringan komputer. Negara memerlukan banyak institusi dan lembaga yang dapat mengendalikan keteraturan yang ada dalam dunia maya. Ini berarti hukum (pidana) negara mempunyai keterbatasan jangkauan untuk mengatur dan melindungi pengguna dari kejahatan. Grabosky percaya bahwa solusi untuk memerangi kejahatan siber harus melibatkan regulasi hukum negara (penegakan hukum), teknologi dan market.

Beberapa problematika dalam pemberantasan kejahatan siber:

1. Pelaku kejahatan siber seringkali tidak ditempat atau satu tempat dengan locus delictie ataupun akibat yang ditimbulkan. Masalah ini menyulitkan penegak hukum untuk melakukan penangkapan. Bahkan menjadi pesoalan tersendiri ketika pelaku melakukan TP dari negara yang berbeda dengan korban. Dalam konteks ini kerjasama antarnegara menjadi sangat penting untuk diperhatikan terkait dengan yurisdiksi dan kebolehan dilakukan penangkapan oleh penegak hukum negara yang terkena dampak atau menjadi korban.

Cybercrime: Masalah konsepsi dan penegakan hukumnya

2. Tantangan yang lain adalah terkait dengan jumlah dan variasi korban dari kejahatan siber. Biasanya yang menjadi korban dari kejahatan siber adalah lembaga-lembaga pemerintahan dan perusahaan-perusahaan yang terkadang diantara mereka mempunyai kepentingan tidak sama ataupun bahkan bertentangan satu sama lain, akibatnya muncul hambatan untuk memberantas kejahatan siber ini.

3. Keunikan kejahatan siber yang lain adalah variasi pelaku dan niat untuk melakukan kejahatan. Dalam kejahatan siber banyak motif yang tidak jelas atau sukar diprediksikan yang menyebabkan penegak hukum kesulitan untuk mengungkapkan suatu kejahatan siber. Contohnya banyak pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya merupakan suatu kejahatan siber ataupun tidak menyadari konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam ka tegori kejahatan siber.Selain itu perlu juga dikaji mengenai motif para pelaku kejahatan siber seperti motif keserakahan, nafsu balas dendam, dan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu disini merupakan motif unik pada era siber karena ditandai dengan tantangan untuk mengalahkan sistem keamanan yang lebih komplek.

4. Kesulitan dan keraguan melakukan kategorisasi perbuatan yang dikriminalisasi serta kelambatan pemerintah menerapkan regulasi yang melawan kejahatan siber.

5. Aparat penegak hukum (polisi), terutama didaerah tidak banyak dibekali pengetahuan dan peralatan yang cukup untuk memproses pelaku kejahatan siber. Bahkan bisa jadi tidak ada divisi yang secara khusus untuk memerangi kejahatan siber. Sebagai contoh ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh polisi dalam proses penyidikan:

a. Terkait dengan penyitaan data atau dokumen elektronik milik pelaku, polisi harus mempunyai pengetahuan mengenai bagian apa yang secara spesiik perlu disita sesuai dengan kebutuhan. Pertanyaannya bagaimana cara menentukannya?

b. Apakah salinan/copy data elektronik diterima sebagai alat bukti yang sah dipersidangan? Pertimbangan ini perlu sehingga polisi tidak perlu menyita seluruh sistem komputer yang memungkinkan mematikan bisnis yang dibangun dari data elektronik tersebut.

c. Alat apa yang dapat digunakan untuk melakukan akses ke sistem komputer? apakah yang dapat dianggap sebagai penyitaan sesuai hukum terhadap informasi dan bagaimana dengan penyadapan/perangkap?

6. Banyak kasus kejahatan siber yang tidak dilaporkan oleh korban

Faizin Sulistio

kepada aparat penegak hukum. Dalam konteks ini biasanya ada

2 alasan, pertama korban merasa bahwa serangan cybercrime yang terjadi padanya bukan hal yang signiikan. Kedua korban tidak merasa yakin bahwa polisi akan sanggup untuk mengatasi

serangan cybercrime tersebut 17 .

7. Biasanya serangan kejahatan siber yang berhasil membobol suatu sistem keamanan membuat suatu sistem keamanan kesulitan untuk bertahan dari serangan berikutnya. Hal ini disebabkan pelaku sudah mengenal dengan baik kelemahan dari sistem keamanan yang dibangun.

8. Perbedaan penanganan kejahatan siber di banding kejahatan konvensional, yakni : Ada beberapa karakteristik kejahatan siber yang berbeda dengan

kejahatan konvensional antara lain 18 :

Kejahatan Kon- Perbedaan

Kejahatan Siber

vensional TIK

Penggunaan TIK dalam aktivitas

Tidak ada peng- kejahatan

gunaan TIK Alat Bukti

Alat bukti digital Alat bukti isik

(psl 184 KUHAP) Hubungan Pelaku

Pelaku dan Kor- dg Korban

Pelaku dan Korban ada dimana

saja ban biasanya satu tempat

Locus delictie Alam siber Alam nyata/isik Penyidikan

Lab. Forensik komputer Lab. Komputer

Perlu penyidikan di siber space

Tidak perlu Computer scene ( penanganan

TKP Tidak ada com- komputer sebagai TKP)

puter scene Keterangan Ahli Diperlukan keterangan ahli

dalam bidang IT Tidak perlu ahli IT

Problematika penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber memberikan peringatan mengenai perlunya pemikiran yang jernih me- ngenai konsepsi yang mesti dipilih dalam memberikan perlindungan terhadap kejahatan siber, yakni.

17 Furnel, S. 2006. Cybercrime: Vandalizing the information society. htp://openlibrary.org/b/ OL7408656M/Cybercrime-Vandalizingthe-Information-Society. diakses 11 April 2011.

18 Petrus R Golose, 2010, Perkembangan Cyber Crime dalam Kejahatan Extra Ordinary, makalah disampaikan di Penataran nasional Hukum Pidana dan Kriminologi tahun 2010 kerjasa- ma FH UPH Surabaya , FH Ubaya dan MAHUPIKI 2-3 Desember.

Cybercrime: Masalah konsepsi dan penegakan hukumnya

1. Untuk memahami sifat kejahatan siber harus melihat dampaknya, yaitu (1) locus delictie; (2) Korban; (3) pelaku; dan (4) Apa yang sedang dilakukan untuk mengurangi ancaman kejahatan siber.

2. Memperhatikan faktor-faktor yang mendukung efektiitas dalam mengurangi kejahatan siber,antara lain:

a. pertama, sifat kejahatan siber harus dipahami sebagai klasiikasi kejahatan siber yang bervariasi tergantung pada pelaku dan korban;

b. kedua, kejahatan siber harus dianalisis dalam hubungannya dengan ancaman keamanan yang dilakukan;

c. Ketiga, struktur keamanan harus di implemantasikan untuk menanggulangi bahkan menyerang kejahatan siber.

3. Apabila menggunakan KUHP dan UU pidana konvensional diluar KUHP dengan argumentasi mengisi kekosongan hukum/celah hukum perlu penafsiran baru terhadap norma KUHP disesuaikan dengan konteks kekinian;

4. UU tentang penanggulangan kejahatan siber haruslah: mengintegrasikan antara norma yang dibentuk negara yang bersifat top-down dengan self-regulation dalam alam siber yang juga berperan memberi andil keteraturan dalam alam siber. Artinya dalam menanggulangi kejahatan siber, hukum pidana punya keterbatasan, oleh itu agar efektif perlu koeksistensi dengan norma-norma yang hidup dan ditaati oleh pengguna, seperti netizen/etika.

5. Teknologi berperan dalam mencegah pelaku memanfaatkan peluang/kesempatan melakukan kejahatan siber seperti: enkripsi, autentikasi, biometric dan sebagainya.

Faizin Sulistio