Rangkuman: Bahan dasar untuk membangun hukum pidana dalam masyarakat pluralistik/pluriform

5. Rangkuman: Bahan dasar untuk membangun hukum pidana dalam masyarakat pluralistik/pluriform

Apakah kelompok minoritas berwenang merumuskan ketentuan- ketentuan pidana yang menyimpang dari hukum pidana nasional? Kita

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik

telah cermati bahwa pertanyaan di atas bukan persoalan hipotetikal belaka: kelompok minoritas sudah sejak lama memiliki peluang untuk merumuskan ketentuan pidana yang menyimpang dari hukum pidana nasional. Pada tahun-tahun terakhir ini, hukum pidana lokal mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat tersebut dapat djelaskan dengan menunjuk pada fakta bahwa konstitusi Indonesia memberikan ruang pada kelompok minoritas untuk juga dalam bidang hukum pidana mengembangkan peraturan perundang-undangan selaras dengan nilai-nilai yang melandasi kebiasaan (adat) dan tradisi kelompok yang bersangkutan. Pembuat undang-undang dasar (pemerintah pusat) berkenaan dengan itu tidak memberikan panduan dan batasan yang jelas. Sedangkan sebaliknya juga tampak bahwa kelompok-kelompok minoritas enggan menerima dan mengakui pembatasan terhadap kewenangan mereka untuk membuat aturan pidana sendiri. Ini semua tidak serta merta menaikan kenyataan bahwa kekebasan tersebut tampaknya bersifat sementara: pertama-tama karena tidak tersedianya mekanisme bagi kelompok minoritas untuk mencegah pemerintah pusat turut campur terlalu jauh dengan pembentukan aturan-aturan di tingkat lokal, di samping itu juga berangkat dari fakta bahwa KUHPidana secara haraiah bertitiktolak dari pandangan niscayanya satu hukum pidana yang berlaku secara nasional. Pada saat sama, tampak pula bahwa pemerintah pusat membiarkan begitu saja perumusan aturan pidana yang menyimpangi hukum pidana nasional oleh satuan-satuan pemerintah dari tingkatan lebih rendah. Kiranya dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat tidak memprioritaskan penanggulangan persoalan-persoalan yang muncul dari fragmentasi hukum pidana.

Dari sudut pandang hak asasi manusia kita tenggarai bahwa ketentuan Pasal 27 ICCPR memberikan hak pada kelompok minoritas untuk menyelenggarakan kehidupan mereka selaras dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam kelompok tersebut. Mengancam dengan sanksi pidana perbuatan atau perilaku yang bertentangan dengan latarbelakang (pandangan hidup berlandaskan) agama/keyakinan atau etnisitas tertentu kiranya diperkenankan; setidak-tidaknya tidak dinyatakan dilarang. Bertitiktolak dari penafsiran materiil asas kesetaraan atau persamaan ditegaskan adanya ruang demikian untuk merumuskan ketentuan pidana sendiri berbeda dari hukum pidana nasional bagi kelompok minoritas. Namun ICCPR ternyata juga menetapkan sejumlah pembatasan terhadap kemerdekaan tersebut. Batasan yang ada berkenaan dengan perlindung- an keamanan umum, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, kesusilaan yang baik, dan yang terpenting dari itu semua, hak-hak dan kebebasan dasar dari orang-orang lain. Indonesia menambahkan sejumlah pembatasan lain (seperti perkembangan ekonomi), namun persyaratan tersebut dari sudut pandang internasional tidak begitu penting.

Jeroen ten Voorde

Salah satu hak terpenting berkaitan dengan asas kesetaraan/persa- maan, dan asas tersebut berkait berkelindan dengan hak-hak lainnya dalam hukum pidana. Ketentuan pidana pada prinsipnya diberlakukan terhadap siapapun dengan cara yang sama. Interpretasi materiil asas ini memberikan landasan untuk melakukan diferensiasi, bahkan sedemikian rupa sehingga bagi anggota kelompok-kelompok masyarakat tertentu dapat diberlakukan ketentuan pidana yang berbeda (menyimpang). Undang-Undang Dasar 1945 berkenaan dengan itu menetapkan sebagai tujuan bahwa penyimpangan demikian – diartikan sebagai kewajiban positif dari pembuat undang-undang untuk memperhatikan kepentingan khusus orang-perorang – harus dibuat dengan tetap memperhatikan kepentingan memajukan persamaan dan keadilan (equality and fairness). Sekalipun kedua pengertian tersebut cukup kabur dan luas, kita tetap dapat memandangnya sebagai landasan atau titik tolak dalam perumusan ketentuan pidana: apakah rumusan perbuatan tertentu sebagai tindak pidana menjamin persamaan dan keadilan (bagi semua; termasuk orang- orang dari luar kelompok)?

Pengembangan kedua konsep di atas bukan soal yuridis semata. Setiap kali harus dipertimbangkan apa yang sejatinya menjadi tujuan masyarakat: bagaimana kiranya kita hendak wujudkan dan mengisi hak- hak yang diberikan pada kelompok minoritas? Kita telah cermati bahwa Indonesia membayangkan dirinya sendiri sebagai suatu negara-bangsa, namun sebaliknya Undang-Undang Dasar 1945 memungkinan pula kita untuk memandang Indonesia lebih sebagai imperium multinasional. Pi- lihan tipe negara seperti apa yang hendak diwujudkan haruslah dibuat lebih jelas dan tegas. Pilihan yang dibuat tidaklah harus sama untuk se- tiap wilayah. Bahkan untuk setiap wilayah berbeda dapat dibuat pilihan berbeda. Selintas hal tersebut mendorong fragmentasi lebih jauh, namun cara ini membuka peluang untuk memfokuskan diri pada persoalan khas yang muncul di setiap wilayah yang berbeda dan mencari solusi terbaik. Dengan itu pula harus ditemukan pembagian dan pembatasan kewenangan dari dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang lebih jelas. Untuk itu kita dapat bertitiktolak dari ketentuan Pasal 130 KUHPidana, dan sekaligus pula menetapkan aturan-aturan minimum yang harus dipenuhi hukum pidana lokal, khususnya dalam rangka melindungi minoritas (atau kelompok rentan, seperti perempuan). Juga di sini prinsip kesetaraan/persamaan dan keadilan dapat kita pergunakan sebagai rujukan umum. Sekaligus dengan itu kita harus mengakui dan menerima pengaruh religi terhadap hukum lokal dan memastikan bahwa pengembangan hukum lokal tersebut tetap selaras dengan serta memperhatikan hak-hak konsitusional yang diberikan pada kelompok minoritas.

Hukum pidana dalam masyarakat pluralistik