Pengertian korupsi
2. Pengertian korupsi
Dilihat dari sudut terminologi, istilah korupsi berasal dari kata “corruptio” dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah korupsi yang sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan
negara. Hal itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black, 5 yang mengartikan korupsi sebagai: “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with oicial duty and the rights of others”. (terjemahan
3 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebjakan Hukum Pidana dalam Pen- anggulangan Kejahatan, Cetakan pertama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 77
4 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebjakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, (Jakarta: CV. Diadit Media, 2007), hlm 374
5 Henry Compbell Black, Black’s Law Dictionary With Pronounciations, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1983), hlm. 182
Septa Candra
bebasnya: sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk pula dalam pengertian “corruption” menurut Black adalah, perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya. “an act done with an intent to give some advantage inconsistent with oicial duty and the rights of others ”. (terjemahan bebasnya: sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Dalam Webster’s New American Dictionary , kata “corruption” diartikan sebagai “decay” (Lapuk), “contamination” (kemasukan sesuatu yang merusak), dan “impurity” (tidak murni). Sedangkan kata “corrupt” djelaskan sebagai “to become roten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga “to induce decay in something originally clean and sound ” (memasukkan sesuatu yang busuk,
atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus). 6 Sementara itu, di dalam kamus umum bahasa Indonesia, kata korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 7 Sedangkan menurut Sudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan “corruption”, yang berarti kerusakan. Disamping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak disangkutkan
kepada ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan. 8 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pa sal 3 memberikan pengertian korupsi sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Secara umum korupsi berhubungan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan negara atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau keluarga tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyim pangan menyangkut keuangan.
Brooks, sebagaimana dikutip oleh Alatas, memberikan perumusan
6 Lihat A. Mariam Webster, New International Dictionary, (G & C Marriam Co. Publishers Springield Mass USA, 1985 )
7 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976) 8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm 42
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi, sebagai berikut: “dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi”. Selanjutnya ciri-ciri korupsi diringkaskan se bagai berikut:
a. Suatu penghianatan terhadap kepercayaan.
b. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.
c. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
d. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang- orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu.
e. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
f. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain.
g. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
h. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk- bentuk pengesahan hukum.
i. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.
Dari segi tipologi, menurut Alatas, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berlainan, yaitu:
1. Korupsi transaktif (transactive corruption). Di sini menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingan dirinya, atau orang- orang, dan hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri, seperti pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk- bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (defensive corruption) di sini pemberi tidak bersalah
Septa Candra
tetapi si penerima yang bersalah. Misalnya, seorang penguasa yang kejam menginginkan hak milik seseorang, tidak berdosalah memberikan kepada penguasa tersebut sebagian dari harta itu untuk menyelamatkan harta selebihnya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption) di sini tidak langsung menyangkut uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan- tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.
Deinisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang digunakan 9 sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno, korupsi dideinisikan menjadi empat jenis, yaitu :
1. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena ada nya kebebasan dalam menentukan kebjaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Misalnya, seorang pelayan perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit dibuktikan tentang praktik korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih memberikan uang tambahan itu dibungkus dengan jargon “tanda ucapan terima kasih”, dan diserahkan setelah pelayanan diberikan.
2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud menga caukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Misalnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak memungkinkan. Untuk itu pimpinan proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sebagian banyak pasal, misalnya ditemukanlah suatu pasal yang mengatur perihal “keadaan darurat” atau “force mayeur”. Dalam pasal ini dikatakan bahwa
9 Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harahap, 2005), hlm. 17
Tindak pidana korupsi; Upaya pencegahan dan pemberantasan
“dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan, de ngan syarat harus memperoleh izin dari pejabat yang berkompeten”. Dari sinilah dimulainya illegal corruption, yakni ketika pemimpin memimpin proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat.
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penya- lahgunaan wewenang dan kekuasaan. Misalnya, dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang sogok atau semir dalam jumlah tertentu.
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Misalnya, kasus skandal Watergate adalah contoh ideological corruption, dimana jumlah individu memberikan komitmen mereka kepada presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset BUMD untuk mendukung pemenangan pemilihan umum untuk partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini. 10