Mendeiniskan saksi dan korban dalam konteks Indonesia
3. Mendeiniskan saksi dan korban dalam konteks Indonesia
3.1. Konsepsi umum
Konsep mengenai saksi secara umum mengandung pengertian yang secara luas dipahami sebagai orang yang menyaksikan suatu kejadian tertentu. Berdasarkan pemahaman umum ini, maka saksi merupakan sebuah posisi yang dapat melekat kepada siapa saja. Saksi dari terjadinya
17 Ibid. 18 Opinions of the Lords of Appeal For Judgment in the Cause, R. v. Davis, [2008] UKHL
Siradj Okta
kejahatan terutama adalah tentunya pelaku kejahatan itu sendiri. Pelaku menjadi saksi dari perbuatannya sendiri. Selain pelaku, tentunya korban juga merupakan saksi. Korban, jika masih hidup, maka merupakan saksi yang pasti atas kejadian yang dialaminya. Selain pelaku dan korban, saksi, sebagai sebuah posisi juga dapat melekat kepada orang (atau orang- orang) yang menyaksikan terjadinya suatu kejadian.
Perlu dipertegas, bahwa dalam konsepsi secara umum ini, istilah ‘kejadian’ tidak selalu harus sebagai sebuah kejahatan. Saksi yang diha- dirkan dalam proses persidangan tidak selalu secara langsung memberikan kesaksian secara langsung atas kejahatan yang didakwakan. Saksi juga dapat dihadirkan sebagai alat bukti untuk membuktikan terjadinya suatu kejadian yang terkait pada suatu kejahatan. Misalnya, seorang pembunuh menggunakan mobil warna merah ketika akan merampok sebuah toko, maka orang yang melihat bahwa memang mobil merah terparkir di depan took juga dapat mendukung pembuktian perampokan toko tersebut.
Menelaah konsep tentang korban dapat dimulai dengan mengacu kepada gradasi korban menurut viktimologi. Korban dapat dikatakan sebagai seseorang yang menderita secara langsung secara isik maupun emosional sebagai hasil dari tindak kejahatan. Namun demikian, selain korban secara langsung tersebut, terdapat juga jenis korban pada tingkat- an yang berbeda.
Korban sekunder, atau dapat diartikan sebagai korban tidak secara langsung mengalami penderitaan atas kejahatan yang dilakukan. Namun, korban sekunder ini tetap mengalami penderitaan sebagai lanjutan dari penderitaan yang dialami oleh korban primer. Sehingga secara konsepsi, korban sekunder baru ada jika korban primer telah ada. Contoh yang dapat menggambarkan korban sekunder ini adalah pada kejahatan penganiayaan seseorang yang ternyata ditemukan bahwa orang tersebut adalah orang tua dari seorang anak yang menggantungkan hidup pada orang tersebut. Sehingga, ketika sang orang tua menjadi korban primer, maka sang anak menjadi korban sekunder, terlebih jika sebagai akibat dari penganiayaan tersebut, orang tuanya tidak dapat memenuhi kebutuhan sang anak.
Selain korban sekunder, terdapat juga yang dikenal sebagai korban tersier. Korban tersier merupakan kelompok lebih luas yang mengalami dampak akibat terjadinya kejahatan kepada korban primer dan sekunder. Sebagai contoh untuk korban tersier ini adalah ketika suatu kejahatan dipublikasikan oleh media massa, maka kelompok massa yang menyaksikan atau mendengar pemberitaan tentang kejahatan tersebut menjadi korban juga. Massa yang menyaksikan dapat mengalamai ‘penderitaan’ berupa munculnya rasa takut atau terancam. Namun demikian, kedudukan saksi dalam berbagai manifestasinya dalam pengadilan tidak diharapkan
Perlindungan saksi di Indonesia
untuk menjadi ‘penuntut’ bayangan, melainkan tetap sebagai alat bukti. 19 Mekanisme perlindungan saksi memerlukan pendekatan khusus ketika subjek perlindungan adalah kelompok-kelompok tertentu, misalnya anak-anak.
3.2. Hukum acara pidana di Indonesia
Tahapan dan proses peradilan pidana yang melibatkan saksi dan korban saat ini memiliki dua perspektif. Pertama, menurut KUHP, batasan proses peradilan pidana terkait dengan saksi dan korban dapat dilihat dari deinisi saksi menurut KUHAP, yaitu pada Pasal 1 angka (26):
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Kedua, menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Berdasarkan deinisi tersebut dapat terlihat bahwa keberadaan saksi (dan korban) diperlukan dalam seluruh rangkaian proses peradil- an pidana. Namun demikian terdapat perbedaan antara KUHAP dan UU No. 13 Tahun 2003, yaitu menurut UU No. 13 Tahun 2003 menentukan deinisi saksi mulai dari proses penyelidikan, sementara KUHAP mendeiniskan saksi dimulai pada proses penyidikan. Dengan demikian, UU No. 13 Tahun 2003 lebih luas dalam menentukan deinisi saksi karena berdasarkan Pasal 1 ayat (5) KUHAP, dalam proses penyelidikan, penye- lidik masih dalam proses mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Hukum pidana Indonesia (Pasal 224 KUHP) secara tegas menyatakan bahwa hadir menjadi saksi merupakan kewajiban yang jika tidak dipatuhi terdapat sanksi pidananya.