Hukum Belanda tentang kesepakatan dengan saksi dalam perkara pidana 8

3. Hukum Belanda tentang kesepakatan dengan saksi dalam perkara pidana 8

3.1 Beberapa karakteristik utama hukum acara pidana Belanda

Sebelum kita menguraikan lebih lanjut aturan Belanda perihal kesepakatan dengan saksi, kiranya penting menjelaskan terlebih dahulu sejumlah karakter khusus proses pidana Belanda. Satu dan lain karena aspek-aspek khusus dari peraturan Belanda perihal kesepakatan dengan saksi hanya dapat djelaskan dengan utuh bila kita bertitiktolak dari pemahaman karakteristik khusus hukum acara pidana Belanda. Hukum acara pidana Belanda adalah bagian dari tradisi (sistem hukum) Eropa-kontinenal (civil law) dan dapat digambarkan dengan tepat sebagai sistem inquisitoir moderat. Hakim berkewajiban untuk secara mandiri/otonom mencari dan mengungkap kebenaran (materiil) dan tidak boleh secara pasif duduk di

7 Trimulyono Hendradi, Securing protection and cooperation of witnesses and whistle-blowers, hlm. 73 (diunduh dari: htp://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_GG4_Seminar/Fourth_ GGSeminar_P68-75.pdf ).

8 Untuk uraian lebih lengkap perihal sejarah, cakupan dan muatan isi di Belanda yang mengatur kesepakatan dengan saksi lihat: J.H. Crjns, De strafrechteljke overeenkomst. De rechtsbetrekking met het Openbaar Ministerie op het grensvlak van publiek- en privaatrecht (diss. Leiden; dengan ringkasan dalam bahasa Inggris), Deventer: Kluwer 2010, hlm. 56-108. Uraian perihal ketentuan di Belanda untuk bagian terbesar diambil dari penelitian ini.

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

kursi mendengarkan bagaimana para pihak dalam perkara – Openbaar Ministerie (OM/kejaksaan) dan pembelaan – menguraikan duduk perkara dari sudut pandang mereka masing-masing. Konsekuensi kedua dari dianutnya sistem acara yang bersifat inquisitoire ialah kuatnya kedudukan dan posisi OM dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara. OM tidak saja memimpin dan mengendalikan jalannya penyidik an, namun merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan apakah penuntutan akan dilanjutkan atau tidak. Dalam hal OM memutuskan untuk membawa perkara ke tingkat penuntutan, OM juga yang selanjutnya membuat (surat) dakwaan dan dengan demikian menetapkan ruang lingkup perkara yang dibawa kehadapan hakim. OM berhadapan dengan tindak pidana (relatif) ringan dapat menyelesaikan perkara secara mandiri di luar campurtangan hakim, misalnya dengan menawarkan transaksi (pengalihan: diversion) kepada tersangka atau menjatuhkan pidana (di luar pengadilan). Melandasi kewenangan memilih seperti diuraikan di atas, yakni antara menuntut atau tidak ialah asas oportunitas (opportuniteitsbeginsel; the principle of discretionary powers). Konsekuensi logis dari prinsip ini ialah OM tidak berada dalam kedudukan memiliki kewajiban mutlak untuk melakukan penuntutan; atas dasar adanya ‘kepentingan umum’ (gronden aan het algemeen belang ontleend), OM juga berwenang untuk memutuskan melakukan seponering atau menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Satu aspek penting lain berkaitan dengan tugas OM ialah OM tidak saja bertanggung jawab memajukan kepentingan umum, namun juga hak-hak korban maupun tersangka/terdakwa selama keseluruhan proses pemeriksaan pidana. Apa yang disebut terakhir sangat penting untuk digarisbawahi karena OM tidak boleh menempatkan diri dalam posisi berseberangan secara total dengan tersangka/terdakwa. Dengan kata lain, OM tidak saja harus memajukan kepentingan umum, namun setiap saat juga wajib memperhatikan hak-hak dan kepentingan tersangka/terdakwa. Lingkup kewenangan magistral dari OM (magisterial capacity ) sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi penting dalam kaitan dengan pembuatan kesepakatan dengan saksi. Sebabnya ialah bahwa dalam hal dibuatnya kesepakatan, OM setiap saat harus peduli dan melindungi hak-hak dan kepentingan dari saksi dengan siapa ia hendak membuat kesepakatan.

3.2 Ihtiar pembuatan aturan hukum perihal pembuatan kesepakatan dengan saksi

Sampai dengan awal tahun 1990-an abad lalu di Belanda hanya ada sedikit perhatian pada fenomena pembuatan kesepakatan dengan saksi. Situasi ini berubah total seiring meningkatnya keperluan untuk memberantas kejahatan skala besar atau yang terorganisir. Polisi dan yustisi dalam kerangka penanggulangan kejahatan-kejahatan demikian semakin sering

Jan Crijns

berhadapan dengan saksi-saksi yang enggan memberikan kesaksian yang memberatkan atau melawan sesama tersangka/terdakwa. Sedangkan pada saat sama, saksi-saksi demikian yang memiliki hak ingkar atau hak untuk tidak memberikan kesaksian (vershoningsreht), tidak dapat dipaksa memberikan kesaksian yang diperlukan. Untuk menembus kebuntuan ini, dipergunakan semakin kerap instrumen kesepakatan dengan saksi. Pada saat itu, sekalipun tidak (belum) tersedia perun dang-undangan yang dapat memberikan landasan hukum bagi kesepakatan dengan saksi, OM berpendapat bahwa mereka bagaimanapun juga wenang melakukan hal tersebut. Alasannya ialah pandangan bahwa asas oportunitas (the principle of discretionary powers ), sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 167(2) dan Pasal 242(2) dari Wetboek van Strafvordering (KUHAP Belanda), cukup memberikan landasan hukum untuk dibuatnya kesepakatan dengan saksi. Argumentasi demikian kemudian dikuatkan oleh Hoge Raad, satu dan lain, dengan secara implisit membiarkan dilakukannya kesepakatan-kesepakatan demikian dengan saksi. Sekalipun demikian, Hoge Raad pada saat sama juga berulang mengingatkan pembuat undang- undang akan kewajiban mereka untuk memberikan dan membuatkan

landasan perundang-undangan khusus bagi praktik tersebut. 9 Baru pada 2006, peraturan perundang-undangan demikian diberlakukan. 10 Sejak itu, landasan perundang-undangan yang memungkinkan dibuatnya kesepakatan dengan saksi dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal(- pasal) 226g sampai dengan 226l dari KUHAP Belanda. Sama pentingnya bagi legitimitas kesepakatan dengan saksi ialah Petunjuk Pelaksanaan Pembuatan Kesepakatan dengan Saksi dalam Perkara Pidana (Aanwjzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) yang diterbitkan Kejaksaan Agung

(College van procureurs-generaal, organ tertinggi dari Openbaar Ministerie). 11 Dalam Petunjuk Pelaksanaan di atas –yang harus dianggap mengikat jaksa- penuntut umum – peraturan perundang-un dangan perihal pembuatan kesepakatan dengan saksi diuraikan lebih lanjut dalam aturan-aturan yang lebih rinci. Hal ini serta merta berarti bahwa hakim berwenang menguji apakah jaksa-penuntut umum individual secara nyata bertindak selaras dengan aturan-aturan rinci yang termuat di dalam Petunjuk Pelaksanaan yang dikeluarkan Kejaksaan Agung, dan bila ternyata tidak demikian, hakim berwenang memutus bahwa kesepakatan yan dibuat dengan saksi melanggar hukum.

9 Lihat, antara lain, Hoge Raad 19 Maret 1996, NJ 1997, 59 dan Hoge Raad 30 Juni 1998, NJ 1998, 799.

10 Baca Wet toezeggingen aan getuigen in strafzaken tertanggal 12 Mei 2005, Staatsblad 2005, 254, mulai berlaku 1 April 2006.

11 Periksa Aanwjzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken van 13 maart 2006, Staats- courant 2006, nr. 56, mulai berlaku 1 April 2006.

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

3.3 Dalam kasus seperti apa dapat ditawarkan kesepakatan dengan saksi

Telah disinggung di atas bahwa praktik peradilan Belanda sejak dahulu sangat berhati-hati dan tidak sembarang mendayagunakan peluang membuat kesepakatan dengan saksi. Kehati-hatian ini kemudian juga tercermin di dalam peraturan perundang-undangan terkait. Atas dasar ketentuan Pasal 226g (1) KUHAP Belanda, jaksa-penuntut umum berwenang untuk membuat kesepakatan demikian hanya bila berhadapan dengan kriminalitas berat, atau lebih konkretnya, 1) dalam hal adanya persangkaan (verdenking) dilakukan kejahatan yang diancam dengan sekurang-kurangnya 8 tahun penjara; 2) atau dalam hal adanya persangkaan dilakukannya kejahatan yang diancam dengan sekurang- kurangnya 4 tahun penjara dan yang diperbuat dalam ikatan atau jaringan yang terorganisir. Selanjutnya di sini perlu dirujuk asas subsidiaritas yang juga memainkan peran penting dalam peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi yang mendahuluinya tentang kesepakatan dengan saksi. Hanya bilamana semua upaya lainnya yang tersedia gagal atau dari awal sudah nyata bahwa semua upaya tersebut akan sia-sia, maka jaksa diperkenankan untuk mendayagunakan instrumen pembuatan kesepakatan tersebut. Pembatasan-pembatasan yang diuraikan di atas mencegah dibuatnya kesepakatan dengan saksi dalam kasus-kasus sederhana atau berkenaan dengan tindak pidana relatif ringan. Pada lain pihak, juga harus dicermati bahwa pembatasan yang dirumuskan perundang-undang an perihal pendayagunaan instrumen kesepakatan dengan saksi juga tidaklah begitu ketat; kasus pencurian sederhana menurut undang-undang diancam dengan pidana penjara empat tahun, sedangkan organisasi kriminal dalam kenyataan mungkin dibentuk oleh dua orang saja. De ngan kata lain, pembatasan yang diberikan undang- undang tidaklah harus ditafsirkan kaku. Pada akhirnya yang terpenting ialah bagaimana asas subsidiaritas diwujudkan sebagai panduan. Untuk setiap kasus berbeda, jaksa-penuntut umum harus dapat menjawab soal apakah nyata ada keniscayaan untuk mendayagunakan instrumen pembuatan kesepakatan dengan saksi. Hal mana harus dilakukannya sekaligus dengan mempertimbangkan sisi negatif yang melekat pada instrumen ini.

3.4 Opsi imbalan yang dapat ditawarkan pada saksi

Ada pembatasan penting berkenaan dengan imbalan apa yang dapat ditawarkan jaksa-penuntut umum kepada saksi yang diminta memberi keterangan. Beberapa dari pembatasan tersebut dalam kita temukan tercantum dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan sebahagian lainnya dirumuskan di dalam Petunjuk Pelaksanaan dari

Jan Crijns

Kejaksaan Agung (Aanwjzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken) yang disinggung di atas. Pembatasan terpenting ialah larangan untuk menawarkan imbalan imunitas (kekebalan) mutlak terhadap penuntutan pidana, dalam arti saksi kemudian tidak akan dituntut atas kejahatan terhadap mana ia berkedudukan sebagai tersangka. Pembatasan ini, dengan kata lain, berarti bahwa saksi dengan siapa jaksa-penuntut umum membuat kesepakatan bagaimana pun juga tetap akan dituntut atas tindak pidana yang disangkakan terhadapnya. Terutama situasi di atas oleh banyak saksi yang mempertimbangkan tawaran jaksa-penuntut umum untuk bekerjasama dipandang sebagai hambatan paling berat. Kiranya jelas bahwa peluang dan kesediaan untuk bekerjasama dengan jaksa-penuntut umum akan turut meningkat bilamana OM sebagai kontra-prestasi bagi saksi yang bersedia memberikan kesaksian memiliki kewenangan menawarkan kekebalan mutlak dari proses pidana. Opsi yang menjadi penting untuk dipikirkan, satu dan lain, karena sebenarnya OM tidak dapat menjamin bahwa pengurangan pidana yang djanjikan oleh jaksa-penuntut umum akan benar terwujud. Karena kewenangan nyata untuk mengurangi pidana yang akan djatuhkan mutlak ada pada hakim yang memeriksa perkara pidana di mana saksi sekaligus diperiksa sebagai terdakwa. Sekalipun hakim, dalam kasus-kasus di mana saksi memberikan kerjasamanya, umumnya bersedia memenuhi janji yang diberikan jaksa-penuntut umum, tidak dapat dipungkiri bahwa saksi/ terdakwa untuk beberapa waktu tetap berada dalam kebimbangan.

Pembatasan lain yang sama pentingnya sebagaimana termuat dalam peraturan perundang-undangan ialah bahwa tawaran pengurang- an pidana dibatasi pada 50% dari pidana yang, tanpa adanya tawaran memberikan kesaksian, umumnya dituntut oleh jaksa-penuntut umum atas kejahatan tersebut. Demikian, bilamana biasanya untuk kasus-kasus serupa, jaksa-penuntut umum menuntut 16 tahun penjara, maka ia sebagai imbalan atas kesaksian yang diberikan hanya dapat menawaran pengurangan hukuman sebanyak-banyaknya untuk 8 tahun. Menuntut pidana penjara yang sekadar simbolis – dalam kasus ini misalnya satu tahun – dalam rangka mengenyampingkan (menyelundupi) larangan menawarkan imunitas mutlak dari tuntutan pidana atas dasar alasan di atas karena itu mutlak tidak dibenarkan. Bila dibandingkan dengan sistem hukum (negara) lain yang memungkinkan penawaran imunitas (mutlak), maka sistem Belanda dapat dikatakan sangat kaku. Sebaliknya dimungkinkan untuk menawarkan imbalan dalam bentuk-bentuk lain kepada saksi demi kesediaannya memberikan kesaksian, misalnya tidak dituntutnya penyitaan keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum sampai dengan (jumlah) maksimal 50%. Di samping itu juga, jaksa- penuntut umum dapat menawarkan imbalan-imbalan ringan lainnya, seperti pemindahan ke lembaga penitensier lain yang menerapkan

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

disiplin/tatatertib yang lebih lunak atau yang berada lebih dekat dengan tempat kediaman keluarga saksi.

Selanjutnya di dalam Petunjuk Pelaksanaan yang sudah disinggung di atas dapat kita temukan datar imbalan atau keuntungan (yang melawan hukum) yang tidak boleh ditawarkan kepada saksi. Butir pertama sudah disebutkan di atas: larangan menawarkan/memberikan imunitas penuh dari tuntutan pidana. Juga dilarang menawarkan imbalan di masa depan yang secara materiil akan berakibat kekebalan dari tuntutan pidana, seperti janji tidak akan dilakukannya penyidikan-penuntutan atas masa lalu kriminal dari saksi. Selanjutnya yang disebutkan sebagai tawar an atau janji yang melawan hukum ialah janji-janji berkenaan dengan apa yang akan termuat sebagai tuntutan jaksa; tidaklah mungkin untuk dalam perundingan melakukan tawar-menawar ihwal tindak pidana manakah yang akan didakwakan atau dituntut dan mana yang akan dikeluarkan dari surat dakwaan/tuntutan tersebut. Di samping itu, sejak kasus- Karman yang terkenal juga jelas bahwa OM dilarang untuk menawarkan imbalan tidak akan mengeksekusi pidana perampasan kemerdekaan yang djatuhkan hakim. Janji demikian nyata bertentangan dengan pembagian kewenangan dan pengaturan tanggung jawab dalam keseluruhan proses

peradilan pidana. 12 Dalam butir ke lima juga disebutkan bahwa imbalan inansial dilarang mutlak; jual beli keterangan saksi nyata-nyata perbuat- an melawan hukum. Butir terakhir menyebutkan bahwa jaksa-penuntut umum tidak diperkenankan menjanjikan perlindungan isik terhadap saksi, terkecuali berupa kesepakatan bahwa jaksa-penuntut umum yang bersangkutan akan menghubungkan saksi dengan pihak yang diberi kewenangan untuk itu (Dinas Perlindungan Saksi Kepolisian Nasional/ Dienst getuigenbesherming van het Korps Landeljke Politiediensten). Sebagaimana telah disebutkan di muka kiranya dianggap tidak bjak untuk menga itkan perlindungan isik saksi sepenuhnya terhadap pemenuhan janjinya untuk memberi keterangan di muka persidangan. Terutama karena sudah merupakan tugas penguasa untuk bagaimanapun juga bertanggung jawab atas keamanan saksi, terlepas dari soal apakah mereka memenuhi kesepakatan yang sebelumnya dibuat atau tidak.

Beranjak dari apa yang diuraikan di atas dapat dikatakan ada cukup banyak batasan yang mengatur kesepakatan yang dapat dibuat antara jaksa-penuntut umum dengan saksi. Sebaliknya cukup tersedia ruang gerak bagi jaksa-penuntut umum, yakni berangkat dari asas oportunitas (the principle of discretionary powers). Asas ini pula yang sebenarnya melingkupi keseluruhan aspek pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan kepada jaksa-penuntut umum. Sepanjang ia mematuhi batasan yang ada, jaksa-penuntut umum bebas memutuskan imbalan apa

12 Lihat Hoge Raad 1 Juni 1999, NJ 1999, 567 (Karman).

Jan Crijns

yang akan ia tawarkan kepada saksi. Berkaitan dengan itu, satu-satunya batasan umum terpenting muncul dari asas proportionalitas. Pertama- tama haruslah ada proporsionalitas (kesebandingan) antara, pada satu pihak, kejahatan yang disangkakan terhadap saksi dengan, pada lain pihak, kejahatan yang dengan bantuan keterangan yang diberikan saksi tersebut dapat dituntut serta dituntaskan dengan baik. Dengan kata lain, kesepakatan dengan saksi kiranya hanya layak dipertimbangkan untuk dibuat apabila yang dihadapi adalah kasus-kasus yang relatif besar dan penting. Di samping itu juga hanya dengan saksi-saksi yang untuk dirinya sendiri hanya diancam dengan tindak pidana yang relatif ringan (digambarkan pula dengan logika ‘ikan besar, ikan/umpan kecil’). Berikutnya, juga harus ada kese padanan (proportionalitas) antara, pada satu pihak, bobot imbalan yang akan diberikan di masa depan dengan, pada lain pihak, seberapa perlunya mendapatkan keterangan saksi untuk dapat menjaring terdakwa lainnya. Dengan kata lain, imbalan yang ditawarkan harus berdayaguna.

3.5 Kewajiban saksi

Selanjutnya kita akan bahas kewajiban apakah yang mengikat saksi beranjak dari kesepakatan yang dibuat. Tentunya, saksi harus memberikan kesaksian, namun kapan, bagaimana dan tentang apa? Berkenaan dengan pertanyaan pertama, saksi baik dalam pemeriksaan pra-persidangan berhadapan dengan hakim-komisaris maupun tatkala masuk tahapan pemeriksaan dalam persidangan, sudah harus memberikan kesaksiannya. Di sini penting bahwa saksi tegas menyatakan bahwa ia untuk dan atas namanya sendiri – jadi bukan anonim – memberikan keterangan atas dasar kesepakatan dengan jaksa-penuntut umum (Pasal 226j (2) KUHAP Belanda). Identitas dari saksi, dengan demikian, diketahui oleh semua pihak dalam persidangan pidana. Mengingat adanya persoalan yang berkaitan dengan penentuan validitas (tingkat kebenaran dan keterandalan) dari kesaksian yang diberikan dalam kesepakatan demikian, pembuat undang-undang beranggapan bahwa status saksi anonim tidak boleh disatukan dengan saksi yang memberikan kesaksian atas dasar kesepakatan dengan jaksa-penuntut umum. Pilihannya adalah: atau anonimitas atau imbalan. Ini membawa implikasi pula bahwa – jika betul diperlukan – dapat ditawarkan dan harus diambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi saksi demikian. 13

Berkenaan dengan pertanyaan seberapa jauh saksi harus memberikan keterangan, pertama-tama harus dirujuk fakta bahwa saksi serta merta tidak dapat menuntut hak ingkar/diam, yakni dalam kaitan dengan risiko ia akan mengkriminalisasi dirinya sendiri melalui kesaksiannya sendiri.

13 Tentang ini lihat lebih lanjut uraian dalam § 3.8.

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

Saksi ‘biasa’ dalam situasi tertentu dapat saja menuntut pemenuhan hak tersebut. Sebaliknya saksi yang telah membuat kesepakatan dengan jaksa- penuntut umum tidak lagi dapat menggunakan hak ingkar/diam tersebut. Setidak-tidaknya ia dianggap melepaskan haknya tersebut tatkala bersepakat dengan jaksa-penuntut umum. Ini kiranya harus dianggap wajar; kiranya tidak masuk akal membuat kesepakatan dengan saksi, jika kemudian – mempertimbangkan imbalan yang ditawarkan – saksi memilih menggunakan hak ingkarnya. Terlepas dari situasi-kondisi khusus, dapat dikatakan bahwa saksi yang sudah bersepakat dengan jaksa-penuntut umum setiap kali wajib memberikan kesaksian atau keterangan, juga bilamana ia kemudian melalui kesaksiannya tersebut mengkriminalisasi dirinya sendiri. Maka sebelum dibuatnya kesepakatan harus dibuka dan diketahui riwayat kriminalitas saksi, sedemikian sehingga jaksa-penuntut umum dapat menilai apakah saksi tertentu layak atau tidak mendapatkan tawaran memberikan kesaksian dengan imbalan.

3.6 Prosedur atau tata cara

Bagaimana kesepakatan dengan saksi harus diwujudkan diuraikan dengan rinci di dalam Petunjuk Pelaksaaan dari OM (Aanwjzing toezeggingen aan getuigen in strafzaken). Satu aspek terpenting dari prosedur yang harus ditempuh berkenaan dengan tahap pengujian kesepakatan yang dibuat antara saksi dengan OM oleh hakim. Hakim komisaris dalam tahapan ini akan memeriksa dan menguji tidak saja keabsahan (rechtmatigheid) dari imbalan yang ditawarkan melainkan juga seberapa jauh saksi dan keterangannya dapat diandalkan dan dipercaya (Pasal 226h(3) KUHAP Belanda). Hanya bilamana hakim komisaris telah memutus keabsahan kesepakatan dengan saksi dan menyatakan bahwa keterangan saksi layak dipercaya, maka kesepakatan boleh diwujudkan. Ini merupakan satu aspek penting dalam peraturan tentang kesepakatan dengan saksi di Belanda yang dimaksudkan untuk, sampai tingkat tertentu, menjamin dan memastikan bahwa proses peradilan pidana hanya akan menggunakan kesepakatan-kesepakatan dengan saksi yang sudah dinyatakan absah (rechtmatig). Kendati begitu, diloloskannya kesepakatan demikian oleh hakim komisaris tidak sekaligus menghilangkan kewenangan majelis hakim dalam persidangan perkara yang bersangkutan untuk kembali menguji tidak saja keabsahan kesepakatan yang dibuat dengan saksi namun juga seberapa jauh keterangan demikian dapat diandalkan. Majelis hakim bahkan tidak terikat pada putusan terdahulu dari hakim komisaris. Hal mana berarti bahwa majelis hakim dapat memutuskan berbeda dan menyatakan kesepakatan yang sebelumnya diloloskan hakim komisaris sebagai tidak absah atau melawan hukum (onrechtmatig). Bahkan juga hakim yang memeriksa saksi dalam perkaranya sendiri sebagai terdakwa berwenang untuk memeriksa dan memutus keabsahan kesepakatan yang

Jan Crijns

dibuat serta bagaimana kesepakatan tersebut kemudian diwujudkan. Lagipula, ia-lah yang sebagai hakim yang harus memutus apakah saksi/ terdakwa pantas/tidak mendapatkan pengurangan hukuman. Demikian, maka tiga hakim berbeda secara mandiri memiliki kewenangan menguji – tanpa terikat putusan terdahulu - tidak saja keabsahan kesepakatan yang dibuat dengan saksi melainkan juga bagaimana kesepakatan tersebut dilaksanakan. Tiga tahapan pengujian bertingkat demikian, setidak- tidak nya, dari sudut pandang teori, memunculkan situasi rumit di mana tiga hakim berbeda bisa saja menerbitkan tiga putusan berbeda tentang persoalan yang sama. Kendati begitu, bagi penulis, persoalan di atas hanya muncul pada tataran teoretis; dalam sejarah singkat praktik pembuatan kesepakatan dengan saksi di Belanda, pertimbangan hakim paling akhir perihal ketidakabsahan kesepakatan dengan saksi pada akhirnya selalu lolos dari pengujian dan kritik dari hakim-hakim sebelumnya (yang memutus berbeda).

3.7 Tidak dipenuhi/dilanggarnya kesepakatan

Tentu dapat terjadi saksi tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi apa yang telah disepakatinya dengan jaksa-penuntut umum, yakni de- ngan menolak memberikan keterangan yang telah disepakati akan diberikannya dihadapan persidangan. Situasi seperti demikian dapat ditanggapi dengan dua cara. Cara pertama yang termudah ialah untuk dalam hal adanya penolakan serta merta membatalkan kesepakatan. Jika saksi menolak memberikan keterangan yang telah ia sepakati berikan, maka sebaliknya jaksa-penuntut umum juga dapat menolak memberikan imbal an yang diperjanjikan. Dalam kebanyakan kasus ini berarti bahwa saksi dalam sidang pemeriksaan dirinya sendiri sebagai terdakwa tidak akan memperoleh pengurangan hukuman yang djanjikan. Cara kedua yang terbuka untuk menanggapi situasi di atas ialah dengan menuntut saksi atas perbuatannya melanggar kesepakatan. Di dalam KUHP Belanda sejak 2006 dapat kita temukan ketentuan pidana baru (Pasal 192(2)): ‘saksi yang, bertentangan dan dengan melanggar kesepakatan terdahulu yang dibuat dengan jaksa-penuntut umum, menolak memberikan keterangan yang diperjanjikan, dapat dikenakan pidana penjara selama-lamanya satu (1) tahun.’ Ketentuan ini kiranya mengantisipasi situasi saksi sudah menikmati pengurangan hukuman, sedangkan cara pertama tidak lagi dapat digunakan. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa undang- undang menghalangi penggunaan cara kedua juga ketika pilihan pertama sebenar nya masih terbuka. Mengingat bahwa sampai dengan sekarang (di-) Belanda sendiri belum banyak terjadi kasus saksi ingkar janji, maka tidak banyak yang dapat dikatakan perihal pilihan manakah yang paling baik sebagai reaksi terhadap munculnya situasi yang digambarkan di atas.

Kesepakatan dengan saksi dalam proses pidana kesepakatan dengan saksi ...

Sebaliknya dapat dikatakan bahwa ancaman pidana penjara satu tahun bagi saksi yang ingkar janji kiranya tidak atau kurang memiliki daya preventif, terutama bila saksi sudah mendapatkan apa yang ditawarkan: pengu rangan masa hukuman. Karena itu pula penting untuk mengatur urut an rangkaian persidangan yang kait mengait sedemikian rupa sehingga saksi baru akan mendapatkan imbalan pengurangan hukuman setelah ia memenuhi kewajibannya (dibaca: setelah ia memberikan keterangan dihadapan sidang). Bila strategi demikian diabaikan atau dikesampingkan, muncul risiko nyata jaksa-penuntut umum tidak mendapatkan apa yang diperjanjikan.

3.8 Perlindungan saksi

Sebagaimana telah disinggung di atas, saksi yang memberikan kesaksian atas dasar imbalan tertentu tidak dapat berlindung di balik anonimitas. Maka itu muncul keniscayaan memberikan perlindungan isik bagi saksi demikian. Di Belanda perlindungan demikian diatur dan difasilitasi oleh Dienst getuigenbescherming van het Korps Landeljke Politiediensten (Dinas Perlindungan Saksi Kepolisian Nasional). Dinas ini dapat kita perbandingkan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seketika jaksa-penuntut umum berunding dengan saksi perihal kemungkinan mempertukarkan kesaksian dengan imbalan tertentu, ia juga berkewajiban menyampaikan laporan kepada Dinas Perlindungan Saksi agar lembaga ini dapat menilai apakah dan seberapa jauh saksi demikian membutuhkan perlindungan isik (Pasal 226l KUHAP Belanda). Bilamana kemudian diputuskan bahwa perlindungan tersebut nyata diperlukan, Dinas Perlindungan Saksi akan menutup kesepakatan terpisah dengan saksi. Di dalam kesepakatan ini akan diatur syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan perihal pemberian perlindungan (isik) saksi (dan kadangkala diperluas pula untuk mencakup anggota keluarganya). Bagaimana perlindungan demikian faktual diwujudkan bersifat rahasia, namun berkisar dari pemberian identitas baru atau proil baru sampai dengan pemindahan tempat kediaman ke kota berbeda bahkan ke luar negeri. Beranjak dari pemisahan kesepakatan dengan saksi dari pranata hukum perlindungan saksi, maka kesepakatan untuk memberikan perlindungan harus dipisahkan mutlak dari kesepakatan yang dibuat saksi dengan jaksa-penuntut umum, yaitu untuk memberikan keterangan dengan mendapatkan imbal an tertentu. Sebagaimana perlu kembali ditegaskan, kedua pranata hukum di atas memunculkan kesepakatan yang berbeda, dengan pihak-pihak yang berbeda, dan dengan maksud-tujuan serta

akibat hukum yang jauh berbeda pula. 14 Ini berimplikasi bahwa tidak dipenuhinya salah satu dari kesepakatan di atas oleh pihak-pihak terkait

14 Periksa (putusan) Rechtbank Amsterdam 27 april 2010, LJN BM2493.

Jan Crijns

tidak serta merta berdampak terhadap pemenuhan kewajiban yang termuat dalam perjanjian lainnya.