Aturan hukum tentang kekerasan anak dalam keluarga di Indonesia
3.1. Aturan hukum tentang kekerasan anak dalam keluarga di Indonesia
Sama halnya dengan Thailand, segala bentuk kekerasan anak dipandang melawan hukum dan secara tegas dilarang di Indonesia. Bebas dari setiap bentuk kekerasan merupakan hak anak yang telah djamin dan diakui secara eksplisit dalam Pasal 28 B (2) UUD 1945. Ketentuan dalam UUD 1945 ini, kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan sejumlah peraturan terkait, diantaranya Undang-undang Nomor 23 Tahu 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kedua aturan ini merupakan aturan utama yang diterapkan negara guna melindungi anak dari bahaya kekerasan dalam keluarga (rumah tangga).
Walaupun sarana penal dan nonpenal telah diatur dalam kedua aturan tersebut, namun sarana yang lebih diutamakan dalam penanggulangan
Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...
kekerasan terhadap anak ini adalah pemidanaan para pelakunya. Hal ini nampak jelas pada muatan masing-masing aturan ini, yang menyi- ratkan dua hal, yakni: Pertama, dirumuskannya ancaman sanksi pidana yang berat terhadap tindak pidana yang ditetapkan, khususnya tindak pidana yang mengandung unsur kekerasan di dalamnya. Kedua, pilihan sarana non penal yang disediakan masih teramat terbatas. Dalam hal ini, nampaknyaIndonesia memberlakukan paradigma yang sebaliknya, bila dibandingkan dengan Thailand yang cenderung meminimalisasi penggunaan sanksi pidana dalam penanggulangan tindak kekerasan dalam keluarga (rumah tangga).
Deinisi hukum kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, dapat ditemukan dalam Pasal 1 nomor 1 dari Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal tersebut menyatakan:
“bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan kepada setiap orang, khususnya perempuan yang menyebabkan kerugian isik, seksual, mental, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman melakukan suatu perbuatan, paksaan, merampas kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Dari deinisi tersebut di atas, sekaligus sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5, kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia dapat diidentiikasikan ke dalam 4 (empat) bentuk, yakni: kekerasan isik, seksual, mental, dan penelantaran yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, yang dilakukan oleh dan kepada anggota keluarga.
Selain Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dapat diterapkan untuk melindungi anak dari kekerasan yang dilakukan oleh keluarganya. Undang-undang perlindungan anak ini memang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu yang diatur di dalamnya sebagai kekerasan dalam keluarga (rumah tangga), namun ketika pelaku perbuatan tersebut adalah anggota keluarga, maka perbuat- an tersebut sudah dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak sebagaimana dirumuskan unsurnya dalam Pasal 1 Nomor 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004.
Adapun perbuatan tertentu yang dimaksud di atas adalah penelantaran (Pasal 77), penganiayaan anak oleh orang tua atau wali-nya (Pasal 80 Ayat (4), kekerasan seksual (Pasal 81, 82) eksploitasi seksual dan ekonomi (Pasal 88), juncto Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.
Sarana-sarana yang digunakan untuk melindungi anak dari kekerasan dalam keluarga ini meliputi sarana penal dan nonpenal. Dengan mempertimbangkan bahwa setiap anak yang menjadi korban kekerasan harus segera mendapatkan perlindungan khusus (Pasal 59), maka baik Undang-undang Perlindungan Anak maupun Undang-undang
Rusmilawati Windari
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyediakan beberapa sarana nonpenal yang ditujukan untuk anak sebagai korban, yakni berupa rehabilitasi, pengawasan, perawatan korban (Pasal 64 ayat (3) dan Pasal
71 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002), mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif, memberikan penguatan psikologis dan isik oleh relawan, (Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).
Sedangkan sarana penal yang disediakan dalam kedua undang- undang tersebut berupa pidana penjara dalam waktu tertentu dan denda. Sanksi pidana tersebut dapat dikenakan secara fakultatif, kumulatif, dan gabungan. Adapun bobot pidana yang dikenakan kepada pelaku bervariasi tergantung dari deliknya. Untuk Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, sanksi pidana penjara yang diancamkan kepada pelaku, berkisar mulai dari maksimal 3 tahun 6 bulan hingga maksimal 15 tahun. Sedangkan sanksi pidana denda berkisar dari maksimal 72 juta hingga 300 juta. Selain itu, undang-undang perlindungan anak ini juga mengatur pemberatan pidana bagi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya sebesar 1/3 dari pidana yang diancamkan.
Untuk Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, sanksi pidana penjara yang diancamkan berkisar mulai dari maksimal 5 tahun hingga maksimal 15 tahun. Sedangkan, denda berkisar mulai dari maksimal 3 juta hingga maksimal 300 juta. Untuk pelaku, Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 juga menyediakan pidana tambahan berupa pembatasan gerak dan konseling (Pasal 50).