Latarbelakang kultural dan peran dari persepsi
6. Latarbelakang kultural dan peran dari persepsi
Setelah ulasan bentuk-bentuk penindasan/penghisapan tenaga manusia lainnya dan penanggulangannya kita beranjak pada dua pertanyaan yang tersisa yang muncul dari kasus krupuk di atas: peran persepsi dan peran budaya. Kita mulai dari budaya. Perdagangan manusia bukanlah delik (berlatarbelakang nilai-nilai) budaya. Terlepas dari itu tahun-tahun terakhir terungkap pula bahwa ke dalam unsur paksaan dan penindasan/ penghisapan yang menjadi bagian rumusan delik dapat dimuatkan pula sejumlah elemen budaya. Dari ketentuan Pasal 273f Sr. ternyata bahwa unsur paksaan (dwang) yang menjadi bagian penting dari rumusan delik bisa terwujud dalam pelbagai cara. Termasuk ke dalamnya (ancaman) kekerasan, penipuan (misleiding) dan penyalahgunaan posisi rentan atau ketidakseimbangan posisi (misbruik maken van een kwetsbare positie of overwicht ). Adanya paksaan tersebut dapat menyebabkan seseorang terjebak masuk ke dalam situasi ditindas/dihisap dan mencegahnya melepaskan diri dari situasi demikian. Juga tanpa diupayakannya secara khusus tindakan membatasi atau meniadakan kebebasan isik korban, korban dapat merasa bahwa ia tidak mungkin melepaskan diri dari situasi ditindas/dihisap tenaganya. Korvinus et al. (2006) menyatakan bahwa kita harus turut memperhitungkan faktor bagaimana korban secara subjektif menilai (mempersepsikan) situasinya sendiri, sekalipun pengalamannya tentang ketidakbebasan yang dialami juga harus dinilai secara objektif berdasarkan fakta dan situasi-kondisi yang ada seperti adanya ancaman dihukum, status keimigrasian (pendatang ilegal) atau konteks budaya.
Hakim juga berhadapan dengan pertanyaan kapan dapat dikatakan telah muncul situasi perdagangan manusia dan sebaliknya penempatan/ penggunaan tenaga kerja illegal berhenti. Dalam satu kasus yang banyak menarik perhatian masyarakat (Belanda) dan dikenal sebagai kasus Mehak (Mehakzaak) hakim mempertimbangkan:
‘Demi keuntungan terdakwa juga harus turut diperhitungkan bahwa semua
Joanne van der Leun
kejadian berlangsung dalam latarbelakang (budaya atau tata nilai) India, di dalam mana (korban) pada waktu tindak pidana yang didakwakan diperbuat (tempus delictie) tidak mengalaminya sebagai suatu ketidaksukarelaan (paksaan), hal mana menurut ukuran Belanda seja tinya telah dianggap ada.’ 2
Hakim dalam perkara di atas kiranya mengartikan standar yang ditetapkan undang-undang pada tingkat tertentu secara relatif. Kutipan di atas dari putusan pengadilan Den Haag membandingkan dan menilai pengalaman migran India di Belanda dengan tolok ukur Belanda. Apa sebenarnya nilai-nilai yang melandasi tolok ukur tersebut, kendati begitu, tidaklah seragam dan juga bukan sesuatu yang bersifat konstan. Setiap budaya kiranya bersifat dinamis dan terwujud dengan beranekarupa cara.
Di dalam lingkup ilmu hukum Belanda sudah sejak lama berkembang perhatian terhadap persinggungan antara masyarakat multikultural dengan hukum pidana. Perhatian tersebut terfokus pada ke(tidak)mungkinan atau dapat/tidaknya diterimanya pembelaan atas dasar nilai-nilai budaya dalam hukum (acara) pidana Belanda. Satu pembelaan atas dasar nilai-nilai budaya – singkat kata – berarti bahwa terdakwa merujuk pada latarbelakang budayanya sebagai alasan untuk meniadakan pidana atau alasan untuk mengurangkan hukuman (strafuitsluitings- of strafverminderingsgrond). Perdebatan yang selama ini muncul masih terfokus seputar apa yang dinamakan delik-delik kultural (culturele delicten), seperti pembunuhan atas dasar kehormatan keluarga (eerwraak: siri/carok) dan sunat perempuan (atau female genital mutilation). Kiranya tidak banyak dilakukan penelitian terhadap bagaimana hakim- hakim (pidana) mempertimbangkan atau mengesampingkan faktor- faktor budaya dalam kasus-kasus berbeda, misalnya yang berkaitan dengan perdagangan manusia di luar industri seks.
Dalam satu penelitian pendahuluan yang dilaksanakan pada 2009, tujuh kasus perdagangan manusia bentuk lainnya (di luar prostitusi) yang di Belanda telah dituntaskan dengan putusan akhir tampaknya ditenggarai pula sebagai kasus pidana yang memuat elemen budaya (De Jonge van Ellemeet et al 2009). Analisis yang dilakukan terhadap berkas-berkas perkara dari tujuh kasus besar di atas menunjukan bahwa dengan pelbagai cara pihak-pihak dalam perkara kerap merujuk pada budaya, baik dalam penetapan fakta maupun dalam uraian perihal penetapan hukuman yang sedianya layak djatuhkan. Juga di dalam setiap dokumen dalam berkas perkara dapat kita temukan indikator perujukan pada latarbelakang budaya. Bahkan dalam kasus penghisapan/penindasan pertama yang diperiksa dan diputus kita temukan bahwa semua pihak dalam perkara kerap merujuk pada latarbelakang budaya. Hakim yang memeriksa
2 Rechtbank ‘s-Gravenhage, 14 December 2007, LJN BC1761, dalam kasus Mehak.
Perdagangan manusia dan bentuk-bentuk penghisapan/penindasan lainnya...
perkara-perkara tersebut berhadapan dengan perujukan-perujukan pada latarbelakang budaya. Pada saat sama mereka tidak memiliki pegangan (panduan/pedoman) pasti bagaimana mengeyampingkan perujukan seperti itu, dan seringkali tampak ragu-ragu untuk menerima dan turut mempertimbangkan faktor latarbelakang budaya ke dalam putusan akhirnya.
Bagaimana mencari keseimbangan dan menilai faktor budaya tampaknya dalam kasus-kasus perdagangan manusia bentuk lainnya menjadi lebih sulit bila dibandingkan dengan kasus-kasus pidana lain. Dalam upaya untuk mempertajam perbedaan antara kejahatan perdagangan manusia dari sekadar pemberian/pengelolaan kerja yang buruk, faktor latarbelakang budaya memainkan peran penting dan kompleks. Demikian, maka turut mempertimbangkan pengaruh latarbelakang budaya terhadap persepsi korban perihal ada/tidaknya paksaan bisa saja bertentangan dengan kewajiban untuk memeriksa dan menilai ada/tidaknya perdagangan manusia bertitiktolak dari norma- norma yang berlaku di Belanda. Temuan yang diungkap penelitian pendahuluan ini ialah bahwa ada kebutuhan untuk memperoleh kejelasan lebih perihal tolok ukur yang dapat dipergunakan dalam memutuskan apakah perdagangan manusia dalam bentuk lain terbukti ada atau tidak. Hal ini menjadi penting karena mereka yang terkait bisa jadi berpikiran lain dan mengalaminya secara berbeda pula.
Tentu harus diakui bahwa hidup sederhana di luar negeri tidak serta merta harus disamakan dengan hidup di bawah penghisapan/penindasan. Banyak dari migran illegal merasa cukup layak dan tidak bermasalah bertempat tinggal di antara tumpukan dus-dus karton. Bekerja keras dan mendapatkan uang pada tahap tertentu dalam kehidupan mereka adalah lebih penting daripada hidup nyaman atau hidup berguna (terpandang) dalam masyarakat. Mereka juga secara masuk akal memiliki preferensi lain daripada masyarakat asli Belanda (autochtone) atau migran legal lainnya yang sudah lama bermukim di negara-negara barat. Lagipula terbuka kemungkinan bahwa ditempat asal atau tempat lain nasib atau pengalaman mereka lebih buruk. Terlepas dari itu yurisprudensi semakin tegas menunjukkan bahwa hakim-hakim harus berpegang pada tolok ukur Belanda dan tidak pada tempatnya untuk menggunakan relativisme budaya. Hakim lagipula mempertimbangkan dengan jelas bahwa paksaan (dwang) dalam konteks perdagangan manusia (human traicking) harus dilihat dari situasi-kondisi aktual, terlepas dari apakah korban sendiri bersepakat dan menerima praktik yang djalankan pelaku (tindak pidana) perdagangan manusia (NRM 2010; Boot & Smit 2007). Dari sudut pandang yuridis, maka itu tidaklah relevan temuan bahwa banyak korban tidak memandang diri mereka sendiri sebagai korban (dan sebab itu menurut penulis-penulis lain harus dikatakan telah ada
Joanne van der Leun
‘perdagangan manusia konsensuil’). Ulasan di atas membawa kita pada persoalan persepsi.
Pakar-pakar ilmu sosial banyak mengajukan kritikan bahwa hukum pidana Belanda begitu saja mengenyampingkan realita yang dialami banyak pekerja migran. Pakar kriminologi, Hiah, meneliti, dari sudut pandang internal, perikehidupan masyarakat Cina/Tionghoa dan situasi- kondisi pekerjaan di sektor restoran di Belanda. Ia menunjukkan bahwa beranjak dari adat-istiadat (cultural) yang berkembang dalam masyarakat Tionghoa ditenggarai munculnya norma-norma yang bersifat timbalbalik dan mengatur relasi antara pemberi kerja dengan migran illegal. Daya berlaku atau kekuatan mengikat norma-norma tersebut bagi keduabelah pihak dialami sebagai lebih kuat daripada ketentuan memaksa di dalam perundang-undangan perburuhan Belanda perihal kerja atau upah. Di samping itu dalam masyarakat Tionghoa, kurang berguna indikator pemisahan antara kehidupan privat dan dunia kerja. Sebaliknya oleh penguasa Belanda ketiadaan pemisahan kehidupan privat dan dunia kerja dipandang sebagai salah satu indikator penting untuk menunjukkan adanya penyalahgunaan posisi ketergantungan dan sebab itu juga adanya tindak pidana perdagangan manusia. Dalam beberapa kasus menurut undang-undang sudah jelas terdapat penindasan/penghisapan dan perdagangan manusia, padahal keduabelah pihak (majikan dan buruh) tidak mengalami dan mempersepsikannya seperti demikian (Hiah 2011). Staring (2011) melanjutkan pandangan itu dan di dalam orasinya menyatakan bahwa kenyataan pengaruh tata nilai budaya dan persepsi pelaku dan korban kiranya diabaikan begitu saja dalam pengembangan kebjakan penangangan tindak pidana perdagangan manusia.