Menekan angka residivis melalui resosilaisasi dan prevensi khusus

7.1. Menekan angka residivis melalui resosilaisasi dan prevensi khusus

Keberhasilan prevensi khusus dan pemasyarakatan kembali di dalam praktik diukur dari seberapa berhasil kita menekan angka residivis. Apakah penjatuhan pidana penjara berhasil mencegah tahanan/narapidana yang dibebaskan untuk tidak mengulang perbuatannya?

Pertanyaan umum ini kiranya menghasilkan jawaban yang sa ngat umum dan sama sekali tidak ternuansa, yakni bahwa pidana penjara ternyata tidak terlalu berhasil. 70% dari mantan narapidana dalam periode

enam tahun kembali bersentuhan dengan yustisi. 9 Dengan bertitiktolak dari konsep institusi total dan keberlakuan teori kontrol yang menyatakan bahwa ada dan berkembangnya relasi-relasi (jejaring) sosial mencegah perilaku kriminal, dapat disimpulkan bahwa tingkat residivis tinggi di atas tidaklah mengejutkan. Kehidupan di penjara justru mempelemah

9 Wartna 2009:126

Martin Moerings

ikatan dengan jejaring masyarakat dan tidak membuka kemungkinan untuk memperkuatnya. Kesimpulan umum demikian membenarkan pandangan bahwa pidana penjara dalam keseluruhannya tidak berhasil guna. Karena kalau berhasil seharusnya tingkat residivis jauh lebih rendah.

Setelah perang dunia ke-2, perikehidupan masyarakat Belanda di tahun 50’an abad lalu dicirikan oleh optimisme dan idealisme. 10 Ada kepercayaan besar bahwa masyarakat bisa direkayasa. ‘Bersama-sama kita bisa membangun masa depan yang indah’. Pendekatan ini berpengaruh pula terhadap pemikiran tentang pemidanaan. Tahanan/narapidana selama di penjara harus dipersiapkan untuk masuk kembali ke dalam kehidupan normal dalam masyarakat. Mereka harus mampu hidup mandiri dalam masyarakat, tidak saja dengan tidak lagi bertindak kriminal, namun juga sebagai warga setara berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Mereka harus didorong untuk mengikuti pendidikan. Wajib kerja yang diterapkan di penjara ditujukan pada pemberian pendidikan lanjut dan membuat mereka terbiasa dengan kesibukan dan tanggung jawab dunia kerja. Penjara dimaksudkan untuk membantu mereka menanggulangi kekurangan-kekurangan mereka di bidang sosial maupun personal.

Ternyata praktiknya jauh berbeda dan sangat mengecewakan. Pada tahun 1970-an abad lalu masyarakat dunia Barat tidak lagi percaya pada gagasan ideal re-sosialisasi dan ihtiar menekan angka residivis sampai nol. Angka residivis terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan ternyata tetap tinggi. Selanjutnya adalah Martinson yang melakukan studi sekunder terhadap studi-studi evaluasi yang secara khusus menelaah ragam program intervensi hukum pidana. Temuannya sangat

pesimistik: ‘Nothing works’ 11 . Studi tersebut berdampak jauh, tidak saja terhadap pakar-pakar kriminologi dunia akademis, namun juga pada pengambil kebjakan yang terutama menggunakan hasil studi tersebut untuk meng ajukan program penghematan. Pemenjaraan ternyata tidak memberi keuntungan bahkan merugikan tahanan/ narapidana. Kita sudah seharusnya merasa beruntung jika dapat setidak-tidaknya membatasi dampak pengaruh negatif yang muncul dari khususnya pengisolasian tahanan/ narapidana secara paksa dari masyarakat, terputusnya relasi- relasi sosial mereka serta proses pembelajaran kejahatan antarsesama narapidana/tahanan.

10 Untuk perkembangna di Ameriksa Serikat dan Inggris periksa, D. Garland, o.c. 2001. Ke- dua negara tersebut menjadi rujukan utama bagi perkembangan di Belanda, sekalipun di Belanda hasilnya tidak terlalu tegas.

11 R. L. Martinson, What Works? Questions and Answers About Prison Reform, The Pub- lic Interest, 35, 1974, hlm. 22-54. Di kemudian hari, Martinson, merevisi kesimpulannya dan membuatnya menjadi lebih ternuansa, R.L. Martinson, New Findings, New Views:

A Note of Caution Regarding Sentencing Reform, Hofstra Law Review, 7, 1979, hlm. 242- 258.

Apakah pidana penjara efektif?

Keraguan dan kecurigaan yang ditujukan terhadap kemanfaatan pemenjaraan sebagai ihtiar re-sosialisasi yang datang dari segala penjuru memunculkan pada era 1990’an, atas dasar pendekatan teoretik baru, optimisme yang pragmatik. Hal ini terwujud dalam pendekatan What Works. Satu programa (dalam kerangka re-sosialisasi) haruslah memenuhi sejumlah prasyarat bila hendak (sampai tingkat tertentu)

menjadi efektif. 12 Pertama-tama harus dipastikan terlebih dahulu risiko seorang tahanan/ narapidana menjadi residivis. Selanjutnya harus ditelaah situasi-kondisi personal dan sosial apakah yang berpengaruh terhadap kemungkinan risiko residivis (faktor-faktor kriminogen: misalnya usia, tempat tinggal, pengangguran, kecanduan/ketergantungan pada alkolhol atau obat-obatan terlarang). Berikutnya dipandang juga penting cara/pola belajar seseorang, ketanggapan dan kemampuan adaptasinya (misalnya, tingkat kecerdasan, terorientasi pada diri sendiri atau kelompok). Beranjak dari hasil evaluasi tersebut kemudian harus ditentukan intervensi seperti apakah yang paling tepat-guna. Di Belanda untuk keperluan di atas telah dikembangkan skala penilaian risiko (RISc-Risico Inschatingsschaal), satu instrumen yang digunakan reklasering untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan yang digambarkan di atas.

Pendekatan di atas mengandaikan bahwa untuk semua orang dapat dikembangkan perlakuan yang cocok sesuai kebutuhan. Namun dalam kenyataannya juga di Belanda, sejumlah intervensi masih dalam tahap perkembangan atau tahap uji-coba. Satu program yang kerap dipergunakan ialah kursus keterampilan kognitif (cursussen cognitieve vaardigheden-COVA-cursussen ) dan kursus keterampilan sosial (sociale vaardigheidscursussen-SOVA cursussen ). Kursus yang disebut pertama ditujukan untuk membuat narapidana/tahanan mampu memperoleh pemahaman atas perilakunya sendiri (‘di mana letak salah dan mengapa saya cenderung berbuat salah?’), sedangkan yang kedua memberikan keterampilan bergaul dengan orang-orang lain. Kursus-kursus tersebut bagi narapidana/tahanan sangat relevan, karena banyak dari mereka setelah bebas dari penjara harus berurusan dengan instansi-instansi pemerintah, yakni tatkala mereka mencari kerja, rumah/tempat tinggal atau mengurus santunan sosial.

Apa yang sebenarnya dapat kita ketahui dari kajian-kajian ilmiah perihal peluang untuk menekan angka residivis? Apakah pemenjaraan untuk jangka waktu lama lebih efektif dari yang lebih pendek? Apakah penjara dengan metoda pengelolaan tertentu dan yang juga menggunakan program-program tertentu bekerja lebih baik dari lainnya?

Bertentangan dengan apa yang hendak dipercaya warga biasa,

12 Sherman c.s. 1997

Martin Moerings

pidana penjara lama, dibandingkan dengan pidana penjara yang lebih pendek, tidak serta merta berdampak positif terhadap pengurangan angka residivis. Apa yang ditemukan ialah bahwa pidana penjara lebih dari dua tahun efeknya justru sebaliknya dari yang diharapkan: penjara lebih lama justru meningkatkan kemungkinan residivis. Untuk sanksi- sanksi pidana lain hasilnya justru lebih positif. Ini khususnya berlaku untuk pidana denda yang ternyata efek jeranya lebih tinggi dibandingkan

bentuk-bentuk sanksi lain. 13

Sejauh manakah rezim yang diberlakukan di penjara atau penyediaan program-program intervensi tertentu berpengaruh? Pemenjaraan dikombinasikan dengan perlakuan tertentu kiranya dapat berdampak baik pada ihtiar menekan residivis. Ini terutama berhasil bagi pelaku pencandu obat-obatan terlarang yang ditempatkan dalam suatu komunitas yang dirancang sebagai sarana terapi (untuk lepas dari ketergantungan). Hal serupa dapat dikatakan pula tentang narapidana/ tahanan yang ditempatkan di dalam institusi setengah terbuka yang memungkinkan terpeliharanya kontak-kontak sosial dengan masyarakat. 14

Kerapkali program-program yang ditujukan pada pengembangan dan pelatihan kemampuan kognitif (‘pemahaman atas perbuatan sendiri’) dan keterampilan sosial berhasil-guna. Hasil berbeda ditunjukkan program re-sosialisasi melalui pendekatan ‘keras’, penerapan dan pembelajaran disiplin. Khususnya Amerika sangat berpengalaman dengan penyelenggaraan ‘boot camps’, pendidikan-pelatihan yang menerapkan disiplin keras dan di mana ketertiban-kepatuhan pada aturan diajarkan pada peserta melalui olahraga dan kerja isik. Berbeda dengan apa yang diasumsikan oleh ‘gesundenes Volksempinden’, atau yang disebut pula pendekatan akal sehat, kiranya tidak terbukti bahwa program demikian mengakibatkan berkurangnya tingkat residivis. 15

Berkaitan dengan pengurangan residivis, kiranya juga program- program pendidikan, baik pendidikan dasar maupun pendidikan khusus, dapat efektif atau setidak-tidaknya menjanjikan. Hal sama dapat dikatakan tentang program-program yang tertuju pada perolehan kerja setelah masa penahanan usai. 16

Pembaca kiranya mencermati bahwa kesimpulan yang diambil perihal efek jera (menakuti) dari program (pemenjaraan) terhadap nara- pidana/tahanan dibuat sangat berhati-hati dan sangat ternuansa. Ini terutama dilakukan mengingat kenyataan bahwa daya kerja positif dari

13 Wartna o.c. hlm.45; 222-223 14 Wartna o.c. hlm. 45; 220 – 221;228-229 15 Wartna o.c. hlm.46 16 Wartna o.c. hlm.45;220-221; 222-223

Apakah pidana penjara efektif?

semua itu seringkali terbatas; tingkat residivis hanya turun beberapa persen saja atau paling banyak hanya sejauh sepuluh persen. 17

Lagipula tersedia hanya sedikit studi ilmiah yang ‘baik’ dalam artian memenuhi kriteria metodologis tertentu sebagai landasan untuk menarik kesimpulan tegas perihal dampak atau pengaruh pidana penjara. Bilamana suatu penelitian merujuk pada faktor seberapa tinggi atau rendahnya angka residivis, maka hal itu tidak serta merta menunjukkan adanya korelasi langsung dengan sanksi yang djatuhkan atau intervensi yang diberikan.

Jika kita hendak menarik kesimpulan tegas tentang makna dari dan dampak pemenjaraan terhadap peluang residivis dibandingkan dengan penjatuhan bentuk-bentuk pidana lainnya, maka kelompok terpidana yang menjalani penjara haruslah dapat diperbandingkan (dalam arti memiliki karakteristik serupa) dengan kelompok (kontrol) yang misalnya dihukum dengan pidana denda atau kerja sosial. Bila syarat (metodologis) demikian tidak terpenuhi, maka sebenarnya tidak dapat diambil kesimpulan pasti tentang ada/tidaknya korelasi positif antara ragam pidana yang djatuhkan dengan dampak yang ditimbulkan, satu dan lain karena mungkin saja situasi/kondisi personal dari pelaku

atau faktor-faktor lain justru lebih berpengaruh. 18

Dari sudut pandang (metoda eksperimental di atas serta) kepentingan pengukuran efektivitas sanksi, maka seharusnya hakim dengan melempar dadu menentukan apakah terdakwa tertentu, misalnya, dikenakan hukuman penjara atau denda. Dalam situasi demikian, maka dua kelompok yang dikenakan sanksi berbeda secara sistematis tidak dapat dibedakan satu sama lain dan selanjutnya dengan membandingkan dampak pengenaan sanksi terhadap kedua kelompok tersebut dapat ditarik kesimpulan yang lebih pasti perihal dampak atau pengaruh penjara. Namun demikian, dari sudut pandang kesamaan hukum (rechtsgeljkheid) dan perlindungan masyarakat, hakim kiranya tidak mungkin membiarkan terbuka peluang djatuhkannya pidana berat untuk kejahatan ringan dan sebaliknya hukuman ringan untuk kejahatan berat, yakni dengan cara lempar dadu di atas. Ini jelas bertentangan dengan titik tolak kewajiban hakim untuk menghukum selaras dengan tingkat keseriusan (kejahatan) perbuatan dan kesalahan pelaku.

Beranjak dari itu semua, lebih dapat diterima (dari sudut pandang hukum) ialah untuk di dalam penjara membentuk secara acak beberapa kelompok narapidana/tahanan yang akan berpartisipasi atau justru dike- cualikan dari sejumlah intervensi. Dengan cara itu, pengaruh atau dampak

17 McGuire 2000 18 Ini menjadi landasan untuk dapat menarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawab-

kan tentang pengaruh sanksi dan intervensi. Untuk mendapatkan uraian yang lebih rinci dan cermat periksa Wartna o.c. bab 5

Martin Moerings

intervensi (antara lain terhadap residivis) dapat lebih mudah diukur. Di sini fokus kita adalah pada pengaruh penahanan/perampasan kemerdekaan terhadap residivis. Bisa saja itu terjadi semata-mata sebagai akibat efek jera (prevensi khusus), namun juga disebabkan oleh penyelenggaraan aktivitas di penjara yang ditujukan pada re-sosialisasi, seperti misalnya pendidikan/pelatihan keterampilan tertentu. Seperti sudah disinggung sebelumnya, prevensi khusus dan resosialisasi tidaklah dapat kita tempatkan setara. Re-sosialisasi bagaimanapun juga, sekalipun hanya diduga memiliki efek positif terhadap residivis, harus dianggap tujuan dalam dirinya sendiri. Bahkan juga bila tidak berhasil menekan resividis, ihtiar ini tetap dapat dianggap bermakna. Setidak-tidaknya, mereka yang dibebaskan kembali ke dalam masyarakat kemudian mendapatkan modal sosial lebih, sekalipun hal tersebut tidak ternyata mengakibatkan penurunan angka residivis.