Dari balik tirai toko: Pengantar dan identiikasi masalah

1. Dari balik tirai toko: Pengantar dan identiikasi masalah

atu ruang berisi kotak-kotak karton, tempat duduk plastik dan krupuk yang sedang dikeringkan yang terserak di mana-mana. Foto yang suram

namun tidak terlalu mengejutkan sebagaimana diambil oleh SIOD (de Sociale Inlictingen-en Opsporingsdienst /Dinas Penerangan dan Penyidikan Sosial) dapat kita temukan dipasang di jejaring internet dan di koran- koran. Foto tersebut pada pandangan pertama tidak terlalu menyolok. Kendati begitu menurut instansi penyidik yang menangani kasus ini, gambar di atas sebenarnya merupakan latarbelakang penghisapan/ penin dasan tenaga kerja illegal dari Indonesia. Satu bentuk kejahatan terorganisir yang luarbiasa, perdagangan manusia (human traicking) menurut KUHPidana Belanda. Adalah bentuk-bentuk kejahatan ini yang beberapa tahun terakhir ditangani dengan sungguh-sungguh. Pada 2010,

pelaku utama dari kasus krupuk di atas dikenakan pidana penjara 4 tahun oleh hakim pidana, lebih berat dari apa yang dituntut jaksa. Putusan ini dianggap sebagai terobosan dalam upaya penanganan kasus-kasus perdagang an manusia.

Di pabrik krupuk di Den Haag itu, suhu ruang tempat korban- korban diperkerjakan sangat panas, kecoa hilir mudik dengan bebas dan para pekerja illegal bekerja di bawah situasi-kondisi yang membahayakan

(jiwa atau kesehatan). 1 Para tetangga sekitar yang curiga dengan situasi- suasana bangunan tersebut melapor pada pihak yang berwenang. Setelah

1 Periksa vonnis, LJN BM33374, Rechtbank ‘s-Gravenhage, 09/993034-09. Kaasus ini ten- tang penghisapan/penindasan tenaga kerja illegal. Di samping itu kita juga temukan di Belanda kasus-kasus penghisapan/penindasan pendatang legal, misalnya oleh mucikari. Namun untuk yang terakhir tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Joanne van der Leun

dilakukan penyidikan menyeluruh, ternyata kemudian ditemukan tempat-tempat serupa tersebar di pelbagai kota di Belanda. Menurut OM (kejaksaan), kelompok pelaku dalam tahun-tahun mereka aktif menjalankan usaha illegal mereka berhasil menghisap tenaga lebih dari 200 korban. Kegiatan utama dari usaha-usaha illegal tersebut terutama adalah memproduksi bahan-bahan makanan khas Asia untuk disebarkan pada toko-toko dan restoran di seluruh wilayah Belanda. Para pekerja bila mendapat kesempatan untuk itu secara rutin melarikan diri dari tempat-tempat demikian. Kendati begitu, kemungkinan besar mereka akan ditampung di tempat kerja lain. Nasib dan keberadaan banyak dari mereka sekarang ini tidak diketahui.

Situasi-kondisi di bawah mana orang-orang Indonesia di atas dipekerjakan, menurut instansi penyidik Belanda, – demikian juga kemudian ditetapkan hakim – dapat dikualiikasikan sebagai (tindak pidana) perdagangan manusia (human traicking). Pada pandangan pertama situasi tersebut menunjukkan kemiripan dengan kerja illegal yang dilakukan banyak migran di Belanda maupun di negara-negara lain. Di dalam kasus krupuk yang diproses pengadilan Den Haag, para pelaku mendatangkan, seringkali dengan bujuk rayu dan janji-janji indah, orang-orang (pria-wanita) dari Indonesia yang bersemangat untuk mencari kerja di luar negeri. Penyelundup lokal dengan imbalan 3.000 euro menguruskan dokumen perjalanan, transportasi dan visa turis. Ini merupakan utang yang harus mereka (para pencari kerja) bayar kembali. Setiba di Belanda, mereka ditempatkan dan diperkerjakan di rumah tinggal sederhana di Den Haag. Sekurang-kurangnya 10 jam sehari mereka bekerja menggoreng, memasak dan membungkus, kerap tanpa jeda dan waktu istirahat yang layak. Upah mereka adalah 25 euro per hari. Untuk melestarikan ketergantungan, para pekerja illegal Indonesia tersebut, yang kurang atau bahkan tidak menguasai bahasa Belanda ataupun Inggris, dipekerjakan tidak lebih dari 8 hari dalam sebulan. Dari upah total 200 euro/bulan yang mereka terima, setengahnya digunakan dan diserahkan kepada majikan untuk membayar sewa tempat tinggal. Bila migran Indonesia yang sama mencari kerja – misalnya ke Malaysia - sebagaimana juga banyak dilakukan oleh mereka, nasib mereka mungkin lebih buruk. Demikian dikatakan para peserta kursus Building Blocks, Maret 2011.

Dengan ulasan di atas sebagai latarbelakang, namun juga sebagai ilustrasi dari tema kriminologis yang aktual, penulis, beranjak dari kasus krupuk di Den Haag di atas, mengajukan sejumlah pertanyaan kriminologis perihal kasus perdagangan manusia (penindasan/penghisapan tenaga kerja) di luar industri seks, sebagai berikut: v

Apa yang dimaksud dengan penindasan/penghisapan atau perdagangan manusia di luar industri seks menurut KUHPidana?

Perdagangan manusia dan bentuk-bentuk penghisapan/penindasan lainnya...

v Bagaimana menjelaskan/memahami bentuk-bentuk penindasan/ penghisapan lainnya itu (di luar industri seks/prostitusi)?

v Apa yang kita ketahui dari ruang lingkup penindasan/penghisapan yang terjadi?

v Bagaimana penindasan/penghisapan tersebut ditangani/ ditanggulangi? v

Seberapa jauh persepsi korban dan latarbelakang kultural mereka berperan?

Selanjutnya penulis akan juga menelaah persinggungan dan ketegangan antara penanganan pekerja illegal dengan penanggulangan perdagangan manusia. Apa yang menarik dari penindasan/penghisapan di luar industri seks ialah kriminalisasi dari perbuatan ini baru beberapa tahun lalu terjadi. Dengan itu pula hendak diberi pemahaman dampak kriminalisasi de jure terhadap gejala yang sudah ada sejak lama, namun tidak dikriminalisasi karena belum dikategorikan demikian.