Perkembangan hukum penitensier Satu ungkapan yang tidak pernah lekang dan kiranya masih juga

1. Perkembangan hukum penitensier Satu ungkapan yang tidak pernah lekang dan kiranya masih juga

relevan ialah “hukum pidana berhenti berfungsi di gerbang penjara”. Dengan kata lain, “Rule of Law” secara tegas tidak berlaku di balik din- ding penitensier (penjara). Perihal eksekusi pidana kiranya sejak dahulu dan sekarang juga masih dianggap tidak bersinggungan dengan hak- hak substansial dari tahanan (narapidana), satu dan lain karena di dalam penjara (lembaga pemasyarakatan) yang terutama diprioritaskan adalah keamanan-ketertiban dan keteraturan. Tanpa itu semua, demikian umumnya diterima, penjara tidak mungkin berjalan dengan baik. Bukan tanpa alas an mengapa lembaga penitensier atau sejenisnya dinamakan pula “totale instituties’ (lembaga-lembaga total). Karena apa yang terutama menonjol ialah penundukan diri narapidana, pada prinsipnya sepenuhnya total bahkan secara totaliter, pada rezim yang berlaku. Tahanan diwajibkan mematuhi dan melaksanakan apapun perintah yang diberikan. Bila mere ka melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku dalam penjara, maka dapat terkena hukuman displiner oleh pengurus/ pengelola penjara, misalnya dalam bentuk penempatan di sel isolasi.

Constantijn Kelk

Di beberapa negara Barat dapat kita tenggarai adanya perubahan terhadap situasi di atas. Perubahan demikian kerapkali hanya sedikit dan marginal, namun ada pula yang lebih menyeluruh.

Kemungkinan besar pengalaman keras semasa berlangsungnya Perang Dunia ke-2 diduduki Jerman mendorong dilakukannya upaya lebih memanusiakan pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan (vrjheidstraf) dan upaya memperbaiki sistem pemenjaraan. Ini kiranya

nyata terjadi di Belanda, 10 terutama ketika pada 1947 diterbitkan laporan yang mengusulkan dibentuknya peraturan perundang-undangan baru. Pada 1953 di setiap lembaga penitensier (penitentiaire inrichtingen/ p.i .) dibentuk dan ditempatkan suatu komisi pengawas (Commissie van Toezicht/CvT ) yang beranggotakan warga-warga independen. Komisi demikian ditugaskan untuk, atas nama atau untuk kepentingan masyarakat umum, mengawasi dan menjaga agar tahanan yang ditempatkan di dalam lembaga penitensier diperlakukan dengan benar.

Semua tahanan (narapidana) memiliki hak untuk menyampaikan semua keluhan atau pengaduan kehadapan CvT. Keluhan atau pengadu an demikian akan ditangani oleh salah seorang anggota komisi – dinamakan pula maandcommissaris. Anggota komisi ini akan bertindak selaku penengah atau perantara antara p.i. dengan narapidana yang mengajukan keluhan, sedemikian sehingga masalah yang ada dapat diselesaikan. Kendati demikian, peluang ini belum dapat dikatakan merupakan satu jalur yuridis bagi narapidana.

Pada era 1970’an abad lalu di banyak negara Barat marak gerakan demokratisasi sosial. Melalui gerakan itu pula muncul benih-benih pemikiran yang memungkinkan berkembangnya proses yuridikasi. Dengan itu dimaksudkan bahwa semakin banyak perlindungan hukum yang diberikan kepada warga terhadap pelaksanaan kekuasaan oleh penguasa/pemerintah. Khususnya proses demikian terfokus pada penguatan posisi hukum kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki posisi rentan dan acap termarginalisasi. Di Belanda ke dalam kelompok masyarakat demikian tercakup pula pencari keadilan (jusitiabelen) yang mengalami kesialan bersentuhan dengan hukum pidana dewasa atau hukum pidana anak. Dengan cara demikian kiranya relasi kekuasaan yang tidak setimbang (antara negara dengan warga) hendak dikoreksi secara optimal melalui aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Hal ini juga berlaku dan terjadi dalam bidang yang tidak terlalu tampak bahkan tersembunyi dari mata warga biasa, yaitu hukum penitensier.

10 David Downes, Contrast in Tolerance: The Post War Penal Policy in The Netherlands and En- gland and Wales, Oxford: Oxford University Press, 1988, hlm. 78, sebaliknya menunjukkan bahwa Perancis dan Belgia, negara-negara yang juga mengalami pengalaman pahit den- gan kebjakan penginterniran yang dikembangkan Nazi-Jerman, kebjakan pidana tidak banyak berubah dan masih juga keras..

Tahapan kritikal dalam pengembangan sistem hukum pidana yang beradab

Pada 1977, upaya yang disebutkan di atas dikonkretkan dengan diundangkannya weteljke regeling voor den rehtspositie van gedetineerden (peraturan perundang-undangan tentang posisi hukum narapidana/ tahanan). Belanda, dalam hal ini didunia internasional, menjadi negara paling maju dan selama beberapa tahun ke depan kerap dirujuk sebagai ‘gidsland’ (negara yang menunjukan arah/rujukan).

Kiranya satu-satunya titik tolak yang disediakan dunia internasional pasca Perang Dunia ke-2 untuk menetapkan standar minimum perlakuan yang layak diterima narapidana/tahanan ialah Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners yang dipublikasikan dalam kerangka kerja PBB di Jenewa pada 1955. Norma-norma yang termuat di dalam dokumen ini pada 1957 kemudian mendapat persetujuan dari Dewan Ekonomi

dan Sosial (ECOSOC) dari PBB. 11 Alhasil nilai penting dokumen ini hanya ada pada daya persuasi moralnya saja, sekalipun acapkali dirujuk dalam kongres-kongress internasional, khususnya yang mengagendakan pembahasan berkala laporan perihal situasi dan sistem pemenjaraan yang disampaikan perwakilan negara-negara.

Pada 1987 dalam kerangka kerja Dewan Eropa, standar minimum tersebut ditransformasikan menjadi peraturan penjara Eropa (Europese Gevagenisregels ). Peraturan ini kemudian pada 2006 ditinjau ulang. 12 Namun juga aturan-aturan ini dicirikan terutama oleh karakter ‘sot law’, karena tidak memiliki kekuatan mengikat yang memaksa dan sebaliknya lebih berupa usulan atau rekomendasi.

Kendatipun demikian, dalam bidang pengembangan hukum, dokumen-dokumen tersebut secara tidak langsung harus diakui besar peng aruhnya, yakni melalui laporan-laporan yang dibuat oleh Komite Eropa perihal pencegahan penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan (Europese Comité inzake de voorkoming van Folteringen en Onmenseljke of Vernederende Behandelingen of

Bestraingen, singkat kata CPT), 13 dan dengan cara serupa juga sampai pada tingkat Mahkamah/ Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (EHRM). Pengadilan tersebut dalam putusan-putusannya, terutama bilamana terkait dengan dugaan terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3

11 Resolutie nr. 663 C (XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan nr. 2076 (LXII) tertanggal 13 mei 1977.

12 Rec (2006)2 of the Commitee of Ministers. 13 CPT setiap empat tahun sekali tanpa pemberitahuan sebelumnya akan mengunjungi

lembaga penitensier atau satu bagian dari lembaga yang ada yang menjalankan sistem paling ketat/keras di seluruh wilayah negara-negara anggota Uni Eropa, dalam rangka memeriksa dan memantau kelayakan/kepatutan jalannya sistem pemenjaraan dan per- lakuan yang diterima tahanan. yang djalankan dalam penjara. Jelas bahwa khususnya untuk Belanda, perhatian kritis diduga kuat akan terpusat pada lembaga dengan sistem keamanan yang diperketat yang dikhususkan untuk menampung tahanan-tahanan yang berbahaya (Extra Beveiligde Inrichting voor vluchtgevaarljke gedetineerden).

Constantijn Kelk

Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (EVRM), acap merujuk pada temuan-temuan yang dilaporkan oleh CPT. Juga bukan kebetulan bila kemudian di dalam yurisprudensi EHRM dapat kita temukan pelunakan sikap, dibanding dengan apa yang terjadi sebelumnya, terhadap penetapan syarat-kondisi untuk menyatakan terbukti pelanggaran ketentuan Pasal 3 EVRM.

Dinyatakan pula bahwa pelanggaran demikian terjadi bila perlakuan konkret tertentu yang diterima tahanan atau situasi-kondisi penahanan terbukti tidak sesuai dengan harkat martabat manusia (niet in overeenstemmming met de menselikke waardigheid).

Terbayangkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 EVRM bilamana dilakukan penahanan atau pemenjaraan terhadap terlalu banyak tahanan di dalam ruang/sel yang terlalu sempit, 14 kekerasan yang dilakukan oleh sesama tahanan 15 dan perlakuan merendahkan yang dilakukan petugas, 16 tidak memadainya layanan kesehatan, dll.