Sistem perlindungan anak di Indonesia
3. Sistem perlindungan anak di Indonesia
Lebih dari 20 tahun sejak diratiikasinya Konvensi Hak Anak di tahun 1990, Indonesia telah melakukan berbagai upaya secara berkesinambungan, guna membangun sistem perlindungan anak yang sesuai dengan kepribadian bangsa, namun tetap mengacu pada Konvensi Hak Anak (KHA). Adapun upaya yang dimaksud antara lain membuat seperangkat aturan terkait, merancang strategi dan perencanaan di bidang anak, mendirikan institusi independen, dan mengalokasikan dana-dana tertentu dalam APBN untuk kegiatan perlindungan anak.
Ditinjau dari unsur-unsur sistem perlindungan anak, gambaran sistem perlindungan anak di Indonesia adalah sebagai berikut:
3.1 Struktur Dari sisi aturan, saat ini Indonesia telah menetapkan seperangkat aturan
hukum yang terdiri dari undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden terkait dengan pelaksanaan perlindungan anak.
Secara umum, peraturan ini dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yakni aturan khusus dan aturan umum. Aturan khusus di bidang anak, antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak (dalam proses amendemen), dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan, beberapa aturan umum atau aturan yang memuat beberapa pasal yang dapat diterapkan pada kasus-kasus anak, antara lain KUHP, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Diantara aturan- aturan yang ada tersebut, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Rusmilawati Windari
Perlindungan Anak menjadi pedoman utama dalam melaksanakan perlindungan anak di Indonesia.
Dari sisi kelembagaan, sistem perlindungan anak di Indonesia djalankan oleh lembaga pemerintah, yakni Kementerian Pemberda yaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Sosial sebagai pemangku kewajiban (duty bearer),dan lembaga independen yang dikenal dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI ini adalah satu-satunya lembaga yang diamanatkan UU 23 tahun 2002, karena Komnas anak itu muncul atas kebjakan kementerian sosial melalui surat keputusan menteri no. 81/97 untuk meningkatkan efektiitas pelaksanaan perlindungan anak yang dilaksanakan pemerintah.
Pada dasarnya, KPAI hanya dibentuk di tingkat nasional dengan beranggotakan 9 komisioner yang berasal dari berbagai kalangan, baik pakar maupun pemuka masyarakat. Namun, jika dipandang perlu (tergantung kebutuhan tiap daerah), tiap pemerintah daerah diperkenankan untuk membentuk lembaga sejenis di daerahnya masing- masing (Pasal 9 ayat 1 Keppres Nomor 77 Tahun 2003).
Lembaga yang dimaksud di atas bernama KPAID (Komisi Perlin- dungan Anak Indonesia Daerah). KPAID ini bukanlah perwakilan atau cabang KPAI di daerah. Hubungan yang terjalin antara keduanya hanyalah koordinasi fungsional saja, bukan hubungan hierarkis. KPAID tidak wajib melaporkan kinerjanya pada KPAI Nasional, dalam hal ini KPAID hanya bertanggung jawab pada kepala daerah yang membentuknya.
3.2. Fungsi Berbeda dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak yang memiliki fungsi pebuat kebjakan, strategi, program-program perlindungan anak berikut dengan pelaksanaannya, KPAI difungsikan sebagai lembaga penasihat (advisory board). Salah satu tugasnya adalah menyampaikan pendapat/pandangannya kepada pemerintah mengenai penyelesaian kasus-kasus anak dan juga kebjakan yang telah diambil oleh pemerintah. Selain itu, KPAI juga melaksanakan fungsi sosialisasi peraturan-peraturan tentang anak, melakukan advokasi, mengumpulkan data, pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah dalam melindungi anak. 11
3.3. Kapasitas Seperti halnya Thailand, sistem perlindungan anak Indonesia juga
membutuhkan kapasitas yang mampu mendukung operasionalisasi sistem, meliputi ketersediaan sumber daya manusia, infrastruktur dan dana yang memadai. Adapun upaya yang telah dilakukan dalam rangka
11 Pasal 76 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Perlindungan hukum terhadap anak dari kekerasan dalam keluarga ...
peningkatan kapasitas sistem tersebut adalah sebagai berikut:
a. menyelenggaraan berbagai seminar, workshop, dan pelatihan keahlian di bidang anak untuk para pekerja sosial, pakar, dan aparat penegak hukum;
b. Mengenalkan program pengarustamaan hak-hak anak dan kota layak anak;
c. Mendirikan beberapa pusat rehabilitasi dan panti untuk anak, contohnya Panti Sosial Anak Asuhan (PSAA), dan Panti Sosial Bina Remaja (PSBR), bentukan hasil kerja sama dari Kesejahteraan Sosial bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM;
d. Menjalin kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNICEF dan Save for Children;
e. Menyelenggarakan pengadilan anak yang khusus diperuntukkan untuk menangani kasus-kasus anak nakal;
f. meningkatkan alokasi anggaran dana untuk membiayai kegiatan- kegiatan perlindungan anak. Dalam hal ini, setidaknya sekitar
4 % dari total APBN 12 telah dialokasikan untuk kepentingan ini. Dana yang dialokasikan pemerintah tersebut juga digunakan untuk mendanai operasionalisasi KPAI, hanya saja dana untuk KPAI tersebut masih digabung ke dalam anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan tidak secara langsung dikelola oleh KPAI.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem perlindungan anak di Indonesia lebih sederhana jika dibandingkan dengan sistem yang dimiliki Thailand. Namun demikian, dalam beberapa hal, sistem yang dimiliki Indonesia ini masih perlu untuk diperbaiki agar lebih sistematis, dan dapat dirasakan eksistensinya oleh masyarakat. Sistem perlindungan anak yang dimiliki Indonesia dapat dikatakan belum terbangun secara sistematis, komprehensif. Sistem ini juga belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem kesejahteraan sosial, dan belum menjadikan keluarga sebagai sasaran penting dalam pelaksanaan sistem tersebut.
Selanjutnya, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh menteri terkait dan KPAI nampaknya belum menjangkau semua level masyarakat, terutama masyakakat bawah. Hal ini nampak dari keberadaan KPAID yang masih sangat minim, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki komite perlindungan anak daerah (KPAID), terlebih lagi KPAID tersebut sebenarnya bukan perwakilan dari Komite Perlindungan Anak Nasional.
12 Lihat Laporan Periodic ke-3 dan ke-4 Unicef untuk Indonesia, 26 Maret 2008
Rusmilawati Windari